Saran SIMPULAN DAN SARAN

Sugianto, T. 1982. The Relative Economic Efficiency of Irrigate Rice Farm, West Java, Indonesia. Ph. D Thesis. Department of Agricultural Economics, University of Illionis, Urbana. Suratiyah, Ken. 2008. Analisis Usahatani. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Susila, W.R. dan B.M. Sinaga. 2005 a. Analisis kebijakan industri gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 231: 30 −5γ. ___________________________________b. Pengembangan Industri Gula Indonesia yang Kompetitif Pada Situasi Persaiangan yang Adil. Jurnal Litbang Pertanian, 241. Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. _________. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. Edisi Kedua. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekartawi, Soeharjo A, Dillon J, Hardaker J. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil Terjemahan. UI Press, Jakarta. Sriati, Yulian Junaidi dan Lisa Asri Gusnita. 2008. Pola Kemitraan antara Petani Tebu Rakyat Dengan PTPN VII Unit Usaha Bunga Mayang Dalam Usahatani Tebu; Kasus di Desa Karang Rejo Kecamatan Sungkai Selatan, Lampung Utara. Socio-Economic of Agriculture and Agribusiness Journal, 8 2. Taylor, T.G., H.E. Drummond and A.T. Gomes. 1986. Agricultural Credit Program and Production Efficiency: An Analysis of Traditional Farming in South-eastern Minas Gerais, Brazil. American Journal of Agricultural Economics, 68 1: 100-117. Tjakarawiralaksana, Abas. 1985. Usahatani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Wahida. 2005. Estimasi Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi dan Palawija Sungai Brantas: Aplikasi Pendekatan Stochastic Production Frontier. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zhang, Yu, Jian Hing Ni, dan Sizhu Zhang. 2011. Sustainable Energy Crop Production in Yunan China. Paper Presented at the 55 th Annual Australian Agricultural and Resource Economic Society National Conference , Melbourne: 8-12 February 2011. LAMPIRAN Lampiran 1. Analisis Usahatani Petani TRK dan Petani TRB Pola Tanam Non- Keprasan dan Keprasan a. Analisis Finansial Usahatani Petani TRK Pola Tanam Non-Keprasan Uraian Nilai Rata- RataHektar Nilai Rp Total RpHa A Penerimaan Pendapatan Gula 2 810 8 106 22 776 911 Pendapatan Sisa Rendemen 334 8 106 2 709 148 Pendapatan Natura 281 10 500 2 950 541 Pendapatan Tetes 1 558 1 617 2 519 311 Total Penerimaan 30 955 910 B Biaya B1 Biaya Diperhitungkan Bibit 14.61 75 000 273 912 Pupuk Urea 253.51 1 800 456 321 Pupuk TSP 239.63 4 600 1 102 292 Pupuk KCL 251.61 5 200 1 308 372 Pestisida Padat 1.90 90 000 171 235 Pestisida Cair 3.03 80 000 242 268 Tenaga Kerja 232.13 45 000 10 445 979 Biaya Angkutan Tebu 65.48 28 000 1 833 448 Total Biaya Diperhitungkan 15 833 825 B2 Biaya Tidak Diperhitungkan Bibit Tenaga Kerja Dalam Keluarga 53.88 45 000 2 424 759 Penyusutan 242 343 Bunga Modal 191 689 PBB 53 347 Total Biaya Tidak Diperhitungkan 2 912 138 C Total Biaya Usahatani B1+B2 18 745 963 D Pendapatan Atas Biaya Tunai A-B1 15 122 085 E Pendapatan Tunai A-C 12 209 947 F RC atas Biaya Tunai AB1 1.96 G RC atas Biaya Total AC 1.65 b. Analisis Finansial Usahatani Petani TRK Pola Tanam Keprasan Uraian Nilai Rata- RataHektar Nilai Rp Total RpHa A Penerimaan Pendapatan Gula 3 036 8 106 24 605 636 Pendapatan Sisa Rendemen 361 8 106 2 926 662 Pendapatan Natura 304 10 500 3 187 435 Pendapatan Tetes 1 683 1 617 2 721 583 Total Penerimaan 33 441 315 B Biaya B1 Biaya Diperhitungkan Bibit Pupuk Urea 281.77 1 800 507 192 Pupuk TSP 265.48 4 600 1 221 195 Pupuk KCL 228.70 5 200 1 189 236 Pestisida Padat 1.81 90 000 163 057 Pestisida Cair 2.39 80 000 191 527 Tenaga Kerja 230.83 45 000 10 387 178 Biaya Angkutan Tebu 68.70 28 000 1 923 623 Total Biaya Diperhitungkan 15 583 008 B2 Biaya Tidak Diperhitungkan Bibit 14.61 75 000 273 912 Tenaga Kerja Dalam Keluarga 32.88 45 000 1 479 386 Penyusutan 278 836 Bunga Modal 142 395 PBB 45 000 Total Biaya Tidak Diperhitungkan 2 219 529 C Total Biaya Usahatani B1+B2 17 802 536 D Pendapatan Atas Biaya Tunai A-B1 17 858 308 E Pendapatan Tunai A-C 15 638 779 F RC atas Biaya Tunai AB1 2.15 G RC atas Biaya Total AC 1.88 c. Analisis Finansial Usahatani Petani TRB Pola Tanam Non-Keprasan Uraian Nilai Rata- RataHektar Nilai Rp Total RpHa A Penerimaan Pendapatan Gula 3 048 7 850 23 923 956 Pendapatan Sisa Rendemen Pendapatan Natura Pendapatan Tetes Total Penerimaan 23 923 956 B Biaya B1 Biaya Diperhitungkan Bibit 13.97 75 000 261 917 Pupuk Urea 289.92 1 800 521 848 Pupuk TSP 242.93 4 600 1 117 460 Pupuk KCL 200.94 5 200 1 044 911 Pestisida Padat 2.06 90 000 185 490 Pestisida Cair 3.41 80 000 272 790 Tenaga Kerja 221.95 45 000 9 987 914 Biaya Angkutan Tebu 66.37 32 000 2 123 913 Total Biaya Diperhitungkan 15 516 243 B2 Biaya Tidak Diperhitungkan Bibit Tenaga Kerja Dalam Keluarga 38.87 45 000 1 749 244 Penyusutan 265 999 Bunga Modal PBB 85 750 Total Biaya Tidak Diperhitungkan 2 100 993 C Total Biaya Usahatani B1+B2 17 617 236 D Pendapatan Atas Biaya Tunai A-B1 8 407 712 E Pendapatan Tunai A-C 6 306 719 F RC atas Biaya Tunai AB1 1.54 G RC atas Biaya Total AC 1.36 d. Analisis Finansial Usahatani Petani TRB Pola Tanam Keprasan Uraian Nilai Rata- RataHektar Nilai Rp Total RpHa A Penerimaan Pendapatan Gula 3 563 7 850 27 971 889 Pendapatan Sisa Rendemen Pendapatan Natura Pendapatan Tetes Total Penerimaan 27 971 889 B Biaya B1 Biaya Diperhitungkan Bibit Pupuk Urea 251.14 1 800 452 047 Pupuk TSP 229.41 4 600 1 055 291 Pupuk KCL 208.97 5 200 1 086 665 Pestisida Padat 1.75 90 000 157 811 Pestisida Cair 3.38 80 000 270 443 Tenaga Kerja 230.64 45 000 10 378 884 Biaya Angkutan Tebu 70.31 32 000 2 249 761 Total Biaya Diperhitungkan 15 650 903 B2 Biaya Tidak Diperhitungkan Bibit 13.97 75 000 261 917 Tenaga Kerja Dalam Keluarga 22.20 45 000 998 955 Penyusutan 314 967 Bunga Modal PBB 109 145 Total Biaya Tidak Diperhitungkan 1 684 984 C Total Biaya Usahatani B1+B2 17 335 887 D Pendapatan Atas Biaya Tunai A-B1 12 320 985 E Pendapatan Tunai A-C 10 636 002 F RC atas Biaya Tunai AB1 1.79 G RC atas Biaya Total AC 1.61 Lampiran 2. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Pola Tanam Non-Keprasan dan Non- Keprasan Tanpa Benih a. Fungsi Produksi Pola Tanam Non-Keprasan b. Fungsi Produksi Pola Tanam Non-Keprasan Tanpa Variabel Benih Lampiran 3. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan Lampiran 4. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan Tanpa Variabel Benih Terestriksi dan Uji Asumsi Constan Return to Scale CRTS a. Fungsi Produksi Non-Keprasan Tanpa Variabel Benih Terestriksi b. Uji Asumsi Constan Return to Scale CRTS Lampiran 5. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan Terestriksi dan Uji Asumsi Constan Return to Scale CRTS a. Fungsi Produksi Keprasan Terestriksi b. Uji Asumsi Constan Return to Scale CRTS Lampiran 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier MLE dengan Menggunakan Frontier 4.1 Output from the program FRONTIER Version 4.1c instruction file = terminal data file = be15.dat Tech. Eff. Effects Frontier see BC 1993 The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.11252995E+01 0.45525965E+00 0.24717753E+01 beta 1 0.35801985E+00 0.62839249E-01 0.56973921E+01 beta 2 0.17066722E+00 0.62044179E-01 0.27507370E+01 beta 3 0.88291286E-01 0.32751634E-01 0.26957826E+01 beta 4 0.57930408E-01 0.52893249E-01 0.10952326E+01 beta 5 0.81955598E-01 0.27501447E-01 0.29800468E+01 beta 6 0.55030893E-01 0.33458775E-01 0.16447372E+01 beta 7 0.22044641E+00 0.53584246E-01 0.41140153E+01 sigma-squared 0.64109082E-02 log likelihood function = 0.32469247E+02 the final mle estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.14097773E+01 0.30680189E+00 0.45950737E+01 beta 1 0.31629331E+00 0.41418724E-01 0.76364813E+01 beta 2 0.12018843E+00 0.67319652E-01 0.17853394E+01 beta 3 0.98925822E-01 0.23222186E-01 0.42599703E+01 beta 4 0.65947801E-01 0.47016820E-01 0.14026427E+01 beta 5 0.87404078E-01 0.22164403E-01 0.39434439E+01 beta 6 0.31215185E-01 0.23485986E-01 0.13290983E+01 beta 7 0.22940619E+00 0.36121597E-01 0.63509427E+01 delta 0 0.48788702E+00 0.14530846E+00 0.33575955E+01 delta 1 -0.98870962E-02 0.83150749E-02 -0.11890568E+01 delta 2 -0.13165693E-01 0.48278186E-02 -0.27270479E+01 delta 3 -0.37680971E-01 0.57335699E-01 -0.65719913E+00 delta 4 -0.66672765E-01 0.39202617E-01 -0.17007223E+01 sigma-squared 0.40897887E-02 0.93164326E-03 0.43898656E+01 gamma 0.83453316E+00 0.32665362E+00 0.25547954E+01 log likelihood function = 0.38431760E+02 LR test of the one-sided error = 0.11925025E+02 with number of restrictions = 6 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 26 maximum number of iterations set at : 100 number of cross-sections = 25 number of time periods = 1 total number of observations = 25 thus there are: 0 obsns not in the panel technical efficiency estimates : firm year eff.-est. 1 1 0.88104102E+00 2 1 0.81859483E+00 3 1 0.96899398E+00 4 1 0.89017796E+00 5 1 0.78379373E+00 6 1 0.89630389E+00 7 1 0.84709514E+00 8 1 0.82252780E+00 9 1 0.95047798E+00 10 1 0.90371437E+00 11 1 0.87802376E+00 12 1 0.94581829E+00 13 1 0.87916838E+00 14 1 0.77761114E+00 15 1 0.80315776E+00 16 1 0.97890377E+00 17 1 0.97280257E+00 18 1 0.87511129E+00 19 1 0.89342480E+00 20 1 0.97015727E+00 21 1 0.81707346E+00 22 1 0.83677116E+00 23 1 0.95360738E+00 24 1 0.98605718E+00 25 1 0.99423542E+00 mean efficiency = 0.89298577E+00 Lampiran 7. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier MLE dengan Menggunakan Frontier 4.1 Output from the program FRONTIER Version 4.1c instruction file = terminal data file = dkk.dat Tech. Eff. Effects Frontier see BC 1993 The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.15440051E+01 0.46793448E+00 0.32996181E+01 beta 1 0.42613847E+00 0.91171269E-01 0.46740435E+01 beta 2 0.11360838E+00 0.76558514E-01 0.14839418E+01 beta 3 0.15052761E+00 0.61566694E-01 0.24449520E+01 beta 4 0.10703631E+00 0.45933411E-01 0.23302495E+01 beta 5 0.11056273E+00 0.55037942E-01 0.20088457E+01 beta 6 0.84397240E-01 0.33713600E-01 0.25033589E+01 beta 7 0.89084102E-01 0.84543338E-01 0.10537093E+01 sigma-squared 0.15472786E-01 log likelihood function = 0.37628723E+02 the final mle estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.20394995E+01 0.30421241E+00 0.67041959E+01 beta 1 0.55093465E+00 0.60785878E-01 0.90635303E+01 beta 2 0.12016586E+00 0.60369790E-01 0.19904966E+01 beta 3 0.96342695E-01 0.42833794E-01 0.22492216E+01 beta 4 0.74462100E-01 0.35451134E-01 0.21004152E+01 beta 5 0.18974768E-01 0.47702811E-01 0.39777043E+00 beta 6 0.77273864E-01 0.27200450E-01 0.28409038E+01 beta 7 0.10364420E+00 0.58234502E-01 0.17797731E+01 delta 0 0.14128724E+01 0.42741785E+00 0.33055998E+01 delta 1 -0.11105117E+00 0.32442649E-01 -0.34229995E+01 delta 2 -0.47779960E-01 0.36128036E-01 -0.13225175E+01 delta 3 -0.63273331E-01 0.12069558E+00 -0.52423902E+00 delta 4 -0.70554883E-01 0.36684484E-01 -0.19232895E+01 sigma-squared 0.27689456E-01 0.76227733E-02 0.36324649E+01 gamma 0.82420335E+00 0.12448732E+00 0.66207817E+01 log likelihood function = 0.50700034E+02 LR test of the one-sided error = 0.26142622E+02 with number of restrictions = 6 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 25 maximum number of iterations set at : 100 number of cross-sections = 50 number of time periods = 1 total number of observations = 50 thus there are: 0 obsns not in the panel technical efficiency estimates : firm year eff.-est. 1 1 0.96152540E+00 2 1 0.98633879E+00 3 1 0.94394561E+00 4 1 0.94757844E+00 5 1 0.91603614E+00 6 1 0.95048974E+00 7 1 0.89708886E+00 8 1 0.89959506E+00 9 1 0.97002195E+00 10 1 0.98081918E+00 11 1 0.79257478E+00 12 1 0.97610233E+00 13 1 0.91502807E+00 14 1 0.98113340E+00 15 1 0.98390955E+00 16 1 0.90351562E+00 17 1 0.95737161E+00 18 1 0.97412812E+00 19 1 0.94630991E+00 20 1 0.93752719E+00 21 1 0.92265887E+00 22 1 0.93182673E+00 23 1 0.89752538E+00 24 1 0.95986865E+00 25 1 0.91631662E+00 26 1 0.96834327E+00 27 1 0.92507060E+00 28 1 0.91236473E+00 29 1 0.96317185E+00 30 1 0.84674076E+00 31 1 0.97126014E+00 32 1 0.94502985E+00 33 1 0.55797520E+00 34 1 0.95466887E+00 35 1 0.94742628E+00 36 1 0.96640407E+00 37 1 0.96959190E+00 38 1 0.97736977E+00 39 1 0.96842303E+00 40 1 0.97630763E+00 41 1 0.97941484E+00 42 1 0.73179721E+00 43 1 0.97320053E+00 44 1 0.98113669E+00 45 1 0.96248794E+00 46 1 0.98110321E+00 47 1 0.93762116E+00 48 1 0.80761845E+00 49 1 0.98026332E+00 50 1 0.95761285E+00 mean efficiency = 0.93183280E+00 ABSTRACT KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI. The Efficiency Analysis of Sugar Cane Production in the Working Area of PTPN VII Bungamayang Business Unit North Lampung District Lampung Province. Under direction of RATNA WINANDI and WILSON HALOMOAN LIMBONG. The objectives of this study are: 1 to analyze smallholder sugarcane farm system plant-cane and ratoon cropping patterns in partnerships that Tebu Rakyat Kredit TRK-Credit Sugarcane Smallholder partnership and Tebu Rakyat Bebas TRB-Independent Sugarcane Smallholder partnership in the working area of PTPN VII Bungamayang Business Unit and influence partnerships on sugarcane farmers income levels of sugarcane smallholder, 2 to analyze production efficiency rate on sugarcane smallholders in the working area of PTPN VII Bungamayang Business Unit and influence of partnership on production efficiency on sugarcane smallholders. The results of farm income analysis indicate that smallholder sugarcane farm in the study area on plant-cane and ratoon cropping pattern financially feasible. Farmers income on ratoon greater than plant-cane cropping pattern and farmers income on TRK partnership greater than TRB. The estimation results of smallholder sugarcane farms using a frontier production function shows that land, fertilizer Urea, TSP, KCL, pesticide solid and liquid and labour variable have positive significant effect in plant-cane cropping pattern. While land, fertilizer Urea, TSP, KCL, pesticide liquid and labour variable have positive significant effect on ratoon cropping patterns. The technical inefficiency of farmers on plant-cane and ratoon cropping pattern is influenced by education, experience and farm size. Farm size has greatest influence to reducing technical inefficiencies. The partnership has positive influence because it makes farmers efficient technically on plant-cane and ratoon cropping patterns. The farmers have been able to reach allocative and economic efficiency on ratoon but have not on plant-cane cropping patterns. Based on partnership TRB farmers more efficient in technical, allocative and economic efficiency than TRK. Key words: sugar cane, partnership, production function, stochastic frontier, efficiency RINGKASAN KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI. Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung. Dibimbing RATNA WINANDI dan WILSON HALOMOAN LIMBONG. Gula merupakan salah satu komoditas yang sangat penting dalam perekonomian. Selain sebagai sumber mata pencaharian bagi petani dan pekerja, gula juga merupakan bahan utama bagi industri makanan dan minuman. Konsumsi gula diperkirana akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk. Peningkatan konsumsi gula ternyata tidak dimbangi dengan produksinya. Rata-rata produksi gula nasional masih sangat rendah sehingga terjadi defisit dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional. Defisit pemenuhan gula selama ini adalah dengan melakukan impor yang pada gilirannya menimbukan ketergantungan. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap gula impor. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan produksi tebu rakyat karena produksi gula nasional sebagian besar dihasilkan dari tebu perkebunan rakyat. Selain itu peningkatan produksi tebu rakyat juga penting mengingat produksi maupun produktivitas tebu rakyat yang cenderung masih rendah saat ini. Rendahnya produktivitas juga mencerminkan rendahnya tingkat efisiensi yang berpangkal pada tidak optimalnya budidaya dalam aktivitas usahatani. Peningkatan produktivitas ini penting mengingat produktivitas yang rendah pada giliraanya akan berpengaruh pada pendapatan petani. Pendapatan yang rendah menyebabkan modal yang dimiliki petani terbatas. Biaya usahatani yang meningkat sering menyebabkan petani tidak mampu melakukan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi sebagaimana mestinya. Salah satu satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah mengembangkan kemitraan antara petani dengan pabrik gula. Dengan adanya kemitraan, petani mendapatkan permodalan sehingga dapat menggunakan input yang proporsional dan tepat. Selain itu, kemitraan memungkinkan petani mendapatkan bimbingan dari pabrik sehingga dapat menjalankan usahataninya dengan lebih baik dan efisien. Salah satu kemitraan antara petani dengan pabrik gula adalah kemitran antara petani tebu rakyat di Lampung Utara dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Penelitian ini bertujuan untuk: 1 Menganalisis sistem usahatani tebu rakyat pola non-keprasan dan keprasan pada kemitraan Tebu Rakyat Kredit TRK dan Tebu Rakyat Bebas TRB dan pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. 2 Menganalisis tingkat efisiensi dan faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi usahatani tebu rakyat dan pengaruh pola kemitraan di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross section. Data cross section yang digunakan adalah data dari 75 orang petani yang terdiri dari 45 orang petani dengan pola kemitraan Tebu Rakyat Kredit TRK dan 30 orang petani dengan pola kemitraan Tebu Rakyat Bebas TRB dengan pola tanam non- keprasan dan keprasan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis usahatani dan analisis efisiensi produksi, Fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb Douglas dan diestimasi menggunakan Ordinary Least Squares OLS dan Maximum Likelihood Estimation MLE. Pola tanam non-keprasan adalah pola budidaya tebu dengan menggunakan bibit dan pola tanam keprasan adalah pola budidaya tebu yang tumbuh setelah tanaman pertama ditebang atau dari sisa tanaman yang ditebang. Hasil analisis pendapatan usahatani menunjukkan bahwa usahatani tebu di wilayah penelitian baik pada pola tanam non-keprasan maupun keprasan layak diusahakan secara finansial karena nilai RC rasio masih lebih besar dari satu. Hasil analisis juga menunjukkan pendapatan petani dengan pola keprasan lebih tinggi dibandingkan dengan pola non-keprasan. Selain itu, pendapatan petani dengan pola kemitraan TRK lebih besar dibandingkan pola TRB. Hasil estimasi usahatani tebu fungsi produksi frontier pada pola non- keprasan dijumpai variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Hasil estimasi usahatani tebu fungsi produksi frontier pada pola keprasan dijumpai variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida cair dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tebu di daerah penelitian. Faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis baik pada pola tanam non- keprasan mupun keprasan adalah pendidikan, pengalaman dan ukuran usahatani. Petani dengan pola tanam keprasan lebih efisien dibandingkan petani dengan pola keprasan baik secara teknis, alokatif maupun ekonomi. Berdasarkan pada pola kemitraan, petani TRB lebih efisien dibandingkan petani TRK baik secara teknis, alokatif maupun ekonomis. Hal ini karena petani TRB memiliki lahan lebih luas dan lebih fleksibel dalam penggunaan inputnya. Ukuran usahatani memiliki pengaruh paling besar untuk mengurangi inefisiensi teknis dimana petani yang memiliki lahan lebih besar cenderung lebih efisien. Hal ini erat kaitannya dengan skala usaha. Mengingat penambahan luas lahan sulit dilakukan, maka peran kelembagaan baik melalui koperasi maupun kelompoktani perlu ditingkatkan untuk mencapai skala usaha bagi para petani yang memiliki lahan sempit. Kata kunci: tebu, kemitraan, fungsi produksi, stochastic frontier, efisiensi

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu merupakan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Selain itu, gula merupakan salah satu sumber kalori dalam struktur konsumsi masyarakat selain bahan pangan, dan merupakan bahan baku untuk industri makanan dan minuman Mirzawan et al., 2009. Berdasarkan hal tersebut, maka industri gula yang berbasis tebu dapat digolongkan dalam industri yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang, bahkan yang tertinggi dari seluruh bahan pangan Minarso dan Ibrahim, 2010. Pentingnya gula bagi masyarakat di Indonesia tercermin pula pada kebijakan pemerintah yang menetapkan gula sebagai lima komoditas pangan strategis yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010-2014 selain beras, kedelai, jagung, dan daging sapi untuk ketahanan pangan. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk, konsumsi gula diperkirakan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Informasi berkaitan dengan perkembangan konsumsi gula dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 2000-2009 Tahun Kebutuhan Industri Juta Ton Kebutuhan Rumah Tangga Juta Ton Total Konsumsi Juta Ton 2000 0.69 2.51 3.20 2001 0.74 2.51 3.25 2002 0.78 2.52 3.30 2003 0.78 2.58 3.35 2004 0.80 2.60 3.40 2005 0.93 2.58 3.50 2006 1.22 2.64 3.85 2007 1.25 2.70 3.95 2008 1.48 2.67 4.15 2009 2.15 2.70 4.85 Sumber: Pusdatin Kementan, 2010 Konsumsi gula terus mengalami kenaikan baik konsumsi rumah tangga maupun untuk industri. Pada tahun 2000, konsumsi gula sebesar 3.2 juta ton menjadi 4.85 pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 4.84 persen pertahun. Peningkatan konsumsi yang signifikan khususnya pada konsumsi gula untuk industri, ternyata tidak dimbangi dengan upaya peningkatan produksi gula nasional. Tabel 2 menyajikan perkembangan produksi tebu dan gula nasional dari tahun 2000-2009. Tabel 2. Perkembangan Produksi Tebu, Rendemen, Produksi Gula, Luas Lahan dan Produktivitas Gula Periode 2000-2009 Tahun Produksi Tebu Ton a Rendemen b Produksi Gula Ton c Luas Lahan Ha c Produktivitas Gula TonHa a 2001 25 946 872 6.65 1 725 467 344 441 5.01 2002 24 516 117 7.16 1 755 354 350 722 5.00 2003 25 261 889 6.46 1 631 918 335 725 4.86 2004 29 351 130 6.99 2 051 644 344 793 5.95 2005 36 391 916 6.16 2 241 742 381 786 5.87 2006 30 760 360 7.50 2 307 027 396 441 5.82 2007 34 983 813 7.50 2 623 786 427 799 6.13 2008 34 342 703 7.77 2 668 428 436 505 6.11 2009 32 398 636 7.77 2 517 374 422 953 5.95 ¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010 Sumber: a Hasil konversi; b FAO, 2010; c Ditjenbun Kementan, 2010 Produksi gula Indonesia rata-rata sebesar 1.72 juta ton antara tahun 2000- 2002 dengan luasan lahan rata-rata 345 274 hektar. Pada tahun 2003, produksi gula Indonesia menurun menjadi 1.63 juta ton atau turun sebesar 0.12 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya penurunan luas lahan sebesar 14 997 hektar dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 350 722 hektar. Produksi gula nasional setelah tahun 2003 cenderung naik sampai pada tahun 2008. Rata-rata produksi gula nasional sebesar 2.73 ton pertahun dengan laju peningkatan produksi rata-rata per tahun sebesar 10.66 persen 0.2 juta ton perhektar. Peningkatan produksi ini dikarenakan adanya peningkatan luas lahan sebesar 5.44 persen atau 20 156 hektar per tahun. Perkembangan produksi gula nasional yang lebih rendah dibandingkan dengan perkembangan konsumsinya mengakibatkan terjadinya defisit pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri. Infomasi selengkapnya berkaitan dengan perkembangan produksi, konsumsi dan defisit gula nasional selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Defisit Gula Nasional Periode 2001-2009 Tahun Produksi Juta Ton Konsumsi Juta Ton Defisit Juta Ton 2001 1.73 3.25 1.52 2002 1.76 3.30 1.54 2003 1.63 3.35 1.72 2004 2.05 3.40 1.35 2005 2.24 3.50 1.26 2006 2.31 3.85 1.54 2007 2.62 3.95 1.33 2008 2.67 4.15 1.48 2009 2.52 4.85 2.33 Sumber: Pusdatin Kementan, 2010 Berdasarkan Tabel 3 di atas diketahui bahwa rata-rata pertahun Indonesia mengalami kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri sebesar 1560 ribu ton kurun waktu 2000-2009. Defisit gula nasional tersebut selama ini dipenuhi oleh pemerintah dengan melakukan impor. Keputusan pemerintah untuk melakukan impor gula dalam upaya pemenuhan kebutuhan gula nasional ini justru membuat produksi gula nasional menurun. Sebagai contoh adalah kebijakan impor gula yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan tahuan 2008 yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 256M-DAG32008 tentang Impor GKP, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19M-DAGPER52008 tentang Impor Gula membuat produksi gula tahun 2009 menurun. Produksi gula nasional sebesar 2.52 juta ton atau turun sebesar 0.15 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 2.67 juta ton pada tahun 2008. Rata-rata impor gula Indonesia dari tahun 1995 sampai 2009 sebesar 1.32 juta ton dengan laju peningkatan rata-rata 2.5 persen pertahun. Perkembangan impor gula sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Pada periode 1996- 1998, impor gula mengalami peningkatan sangat tajam karena pemberlakukan tarif impor 0 persen dan hilangnya hak monopoli impor Bulog sejak 1998 Nainggolan, 2005. Sementara ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan pelaku impor dan perijinan impor yang dikaitkan dengan harga tingkat petani serta kuota impor oleh pemerintah yang didasarkan pada kondisi produksi dan persediaan dalam negeri, volume impor cenderung menurun secara signifikan selama tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Sebaliknya, sejak tahun 2007 impor gula kembali mengalami peningkatan tajam yang dipicu oleh meningkatnya impor gula rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri. Tabel 4. Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1996-2009 Tahun Volume Ton Tahun Volume Ton 1996 1 099 306 2003 1 489 625 1997 578 025 2004 1 130 291 1998 844 852 2005 1 998 367 1999 1 398 950 2006 1 506 002 2000 1 538 519 2007 2 972 788 2001 1 284 790 2008 1 018 594 2002 970 978 2009 1 373 546 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010 Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap gula impor. Salah satu cara meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan produksi tebu rakyat karena produksi tebu nasional sebagian besar dihasilkan dari perkebunan rakyat. Informasi selengkapnya berkaitan dengan luas areal panen dan produksi perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Luas Panen dan Produksi Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta Periode 2001- 2009 Tahun Luas Panen Ha a Produksi Tebu Ton b PR PBN PBS PR PBN PBS 2001 178 887 87 687 77 867 11 072 450.98 3 281 344.54 9 315 728.29 2002 196 509 79 975 74 238 12 233 654.14 4 675 924.81 9 037 293.23 2003 172 015 87 251 76 459 13 507 821.23 4 157 611.73 6 850 684.36 2004 184 283 78 205 82 305 12 988 049.54 5 734 922.60 6 538 916.41 2005 211 479 80 383 89 924 14 716 466.38 5 492 017.17 9 142 646.64 2006 213 876 87 227 95 338 19 377 483.77 6 873 717.53 10 140 714.29 2007 249 487 81 665 96 657 16 357 933.33 6 043 120.00 8 359 306.67 2008 252 783 82 222 101 500 20 193 720.00 5 662 560.00 9 127 533.33 2009 243 219 74 185 105 549 19 771 029.60 5 098 918.92 9 472 754.18 ¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010. PR: Perkebunan Rakyat, PBN: Perkebunan Besar Negara, PBS: Perkebunan Besar Swasta Sumber: a Ditjenbun Kementan, 2010; b Data hasil konversi Perkembangan luas perkebunan rakyat cenderung menunjukkan peningkatan. Akan tetapi, pada tahun 2009 terjadi penurunan luas areal perkebunan rakyat seluas 9 564 ha dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan produksi tebu rakyat sebesar 13 552 ton. Penurunan jumlah produksi tebu rakyat akan memberikan dampak pada penurunan pendapatan bagi petani tebu rakyat. Pendapatan yang rendah menyebabkan modal yang dimiliki petani terbatas. Biaya usahatani yang meningkat sering menyebabkan petani tidak mampu melakukan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi sebagaimana mestinya. Padahal dalam usahatani tebu, tahapan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi yang tepat merupkan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang tinggi sehingga diperoleh pendapatan maksimal Jasila, 2009. Perbaikan sistem produksi tebu di tingkat petani memiliki arti yang sangat strategis, khususnya pada wilayah-wilayah yang secara teknis dan ekonomis mempunyai potensi untuk dikembangkan. Hal ini juga karena sampai saat ini sekitar 80 persen bahan baku pabrik gula berasal dari tebu rakyat Malian et al., 2004.

1.2. Perumusan Masalah

Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sentra produksi tebu nasional. Tabel 6. Perkembangan Produksi Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 Propinsi Produksi Juta Ton 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 10.93 11.67 11.93 12.89 17.02 14.23 17.88 16.77 14.18 Lampung 9.53 7.34 7.33 10.16 11.27 9.25 9.53 10.43 11.63 Jawa Tengah 1.89 2.38 2.18 2.51 2.78 3.92 3.75 4.01 3.34 Jawa Barat 1.26 1.13 1.28 1.72 1.85 1.71 1.91 1.68 1.33 Sumatera Selatan 0.53 0.60 0.65 0.84 0.84 0.89 0.85 0.89 1.33 Sumatera Utara 0.69 0.45 0.40 0.20 0.61 0.76 0.73 0.61 0.57 Gorontalo 0.36 0.41 0.53 0.57 0.58 0.46 0.77 0.39 0.53 Sulawesi Selatan 0.32 0.51 0.44 0.42 0.39 0.27 0.29 0.53 0.34 Yogyakarta 0.30 0.36 0.37 0.36 0.46 0.20 0.24 0.24 0.26 ¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010 Tabel 6 menunjukkan produksi tebu di Lampung pada tahun 2001 sebesar 9 528 285 ton menjadi 11 625 740 ton pada tahun 2009 dengan jumlah gula yang dihasilkan mencapai 903 320 ton. Angka ini menjadikan Lampung sebagai penghasil tebu terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur dengan proporsi sebesar 36 persen dari total produksi tebu nasional. Jawa Timur menjadi propinsi penghasil tebu terbesar pada tahun 2009 dengan produksi mencapai 1 101 538 ton atau 44 persen dari total produksi tebu nasional. Besarnya produksi tebu di Jawa Timur dibandingkan dengan Lampung karena Jawa Timur memiliki luas lahan lebih besar dibandingkan dengan Lampung. Luas lahan tebu di Jawa Timur pada tahun 2009 mencapai 198 944 hektar sedangkan luas lahan di Lampung mencapai 114 255 hektar pada tahun yang sama sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Luas Lahan Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 Propinsi Luas Lahan Ribu Hektar 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 150.00 159.44 148.92 150.11 169.34 171.40 204.13 198.60 198.94 Lampung 86.92 80.73 88.47 96.26 102.85 105.92 103.06 116.36 114.26 Jawa Tengah 34.16 40.60 34.65 37.11 41.78 50.96 46.49 52.06 55.89 Jawa Barat 22.23 21.50 20.20 21.14 22.73 21.96 23.60 23.26 23.09 Sumatera Selatan 12.32 12.09 12.28 11.66 12.30 12.48 12.41 12.50 18.14 Sumatera Utara 9.97 10.24 10.45 10.07 10.19 9.40 10.89 12.76 11.12 Gorontalo 13.88 13.08 9.38 5.99 9.36 12.84 13.38 12.37 9.67 Sulawesi Selatan 6.85 6.26 6.58 8.16 7.78 8.22 10.02 5.08 6.56 Yogyakarta 4.61 4.87 4.80 4.30 5.47 3.28 3.82 3.53 3.78 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010 Luas lahan di Jawa Timur lebih tinggi jika dibandingkan dengan Lampung, tetapi lebih rendah dalam produktivitasnya yaitu berturut-turut 82.09 dan 97.72 ton per hektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan tingkat produktivitas tebu di sentra produksi tebu nasional dapat dilihat pada Tabel 8. Akan tetapi jika dilihat dari produktivitas berdasarkan pengusahaan, maka besarnya produktivitas tebu di Lampung lebih dikarenakan produktivitas tebu yang dihasilkan oleh perkebunan swasta dibandingkan dengan perkebunan rakyat. Bahkan produktivitas tebu rakyat paling rendah dibandingakan dengan yang lain. Tabel 8. Produktivitas Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 Propinsi Produktivitas TonHa 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 72.85 73.20 80.08 85.89 100.54 83.03 87.58 84.42 71.26 Lampung 109.62 90.90 82.80 105.56 109.58 87.31 92.46 89.67 101.75 Jawa Tengah 55.35 58.66 62.86 67.70 66.51 76.96 80.72 77.09 59.71 Jawa Barat 56.54 52.45 63.17 81.25 81.46 77.66 81.13 72.28 57.68 Sumatera Selatan 43.35 49.86 52.73 72.46 68.04 71.07 68.27 70.80 59.43 Sulawesi Selatan 32.10 49.46 41.98 41.24 37.87 29.19 26.43 41.86 30.92 Sumatera Utara 49.39 34.45 42.95 33.80 65.61 59.28 54.72 49.35 58.92 Gorontalo 52.64 65.53 79.84 69.96 74.23 56.24 77.22 76.26 81.05 Yogyakarta 64.27 73.95 77.32 82.94 83.61 61.50 62.11 66.70 69.73 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010 Pada kurun waktu 2004-2009, rata-rata produktivitas tebu rakyat hanya 67.81 ton perhektar, lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas tebu perkebunan negara yang mencapai 78.75 ton perhektar, dan tebu perkebunan swasta yang mencapai 102.91 ton perhektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan produktivitas tebu di Lampung berdasarkan pengusahaannya disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Negara 2004-2009 di Propinsi Lampung Jenis Pengusahaan Produktivitas TonHa 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Perkebunan Rakyat 68.55 72.96 69.42 60.19 70.23 65.52 Perkebunan Negara 73.66 88.17 81.13 68.40 79.15 81.97 Perkebunan Swasta 111.20 115.28 89.33 97.41 92.84 111.40 ¥ : Data produksi gula dan luas lahan bersumber dari BPS Propinsi Lampung 2005-2010 dengan penyesuaian menurut data produksi nasional Ditjenbun Kementan 2010. Data produksi tebu merupakan konversi dengan menggunakan nilai rendemen FAO 2010. Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2010 Produktivitas tebu perkebunan rakyat yang sebagian besar masih rendah berkaitan dengan berbagai faktor antara lain: 1 sebagian besar lahan tebu adalah lahan tegalan atau lahan kering karena konversi lahan tebu untuk industri atau perumahan, 2 sekitar 60 – 70 persen merupakan tanaman keprasan, 3 varietas yang digunakan merupakan varietas lama, 4 teknik budidaya yang belum optimal, 5 keterbatasan modal, dan 6 sistem bagi hasil yang kurang memotivasi petani. 1 Produktivitas yang rendah juga mencerminkan tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini berpangkal pada budidaya yang tidak optimal akibat dari: 1 kualitas bahan tanaman yang kurang baik, 2 harga gula yang rendah, dan 3 kebijakan pemerintah yang kurang mendukung Susila dan Sinaga, 2005b. Rendahnya produksi dan produktivitas tebu rakyat membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkankannya. Salah satu program yang dikeluarkan pemerintah adalah Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula APPG. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas gula nasional demi tercapainya swasembada gula tahun 2014. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sasaran dari program tersebut karena Lampung termasuk sentra produksi tebu nasional dengan Kabupaten Lampung Utara sebagai daerah pelaksanaan program tersebut. Pemilihan perkebunan rakyat karena tebu rakyat sering menghadapi masalah, yaitu: 1 lemahnya modal usahatani, 2 lemahnya penguasaan teknologi, 3 lemahnya lembaga penyedia sarana produksi, dan 4 teknologi pascapanen Sriati et al, 2008. Berbagai kelemahan tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas tebu rakyat. Akan tetapi kebijakan tersebut gagal karena tidak mencapi target yang ditetapkan 2 . Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mencapai swasembada gula melalui peningkatan produksi gula nasional sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, ternyata masih menghadapi berbagai kendala. Kondisi ini juga terlihat pada usahatani tebu rakyat di Lampung. Rata-rata tingkat produktivitas tebu rakyat kurun waktu 2004-2009 masih sangat rendah yaitu sebesar 67.51 ton perhektar. Kondisi ini masih jauh jika dibandingkan dengan produktivitas di Brazil dan Australia dengan nilai rata-rata 75.12 ton perhektar dan 83.27 ton perhektar pada kurun waktu yang sama sebagaimana ditunjukkan Tabel 10. 1 Wayan R. Susila. 2005. Peningkatan Efisiensi Industri Gula Nasional melalui Perbaikan Sistem Bagi Hasil antara Petani dan PG.http:www.ipard.com[Diakses tanggal 14 Oktober 2014] 2 Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Produksi Dinas Perkebunan Propinsi Lampung 13 Juni 2011.