Usahatani Tebu Pola Tanam Non-Keprasan dan Pola Keprasan

nyata. Faktor yang menentukan efisiensi teknis adalah pengalaman, akses kredit dan ukuran usahatani. Jasila 2010 menganalisis pengaruh kredit ketahanan pangan terhadap efisiensi usahatani tebu di Kabupaten Situbondo Propinsi Jawa Timur. Faktor- faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat efisiensi teknis petani tebu di daerah penelitian adalah lahan, pupuk N, tenaga kerja, dummy KKP, pendidikan dan ukuran usahatani. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan bahwa pengalaman dan pola tanam berpengaruh positif terhadap tingkat inefisiensi teknis tetapi tidak berpengaruh nyata. Berkaitan dengan pola tanam, penelitian ini menjelaskan bahwa jika petani tebu menanam dengan pola non-kepras akan menghasilkan produksi yang relatif tidak efisien dibandingkan dengan hasil pada tanaman tebu kepras. Hal ini terjadi karena anakan pada tanaman non-kepras lebih sedikit dibandingkan dengan anakan pada tanaman kepras, sehingga produksi tebu yang dihasilkan tanaman kepras lebih banyak. Petani hanya dianjurkan untuk melakukan keprasan maksimal sampai pada kepras ke tiga.

2.3. Pola Kemitraan Dalam Produksi Tebu

Kemitraan dalam produksi tebu sering dilakukan antara petani dengan pabrik gula. Kemitraan memberikan kemudahan bagi petani untuk mengakses kredit, pupuk, dan bibit unggul. Hal ini mempengaruhi input usahatani sehingga dengan input yang lebih baik kuantitas dan kualitasnya ini petani berkesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Dengan kemitraan petani juga bisa mendapatkan bimbingan teknis budidaya sehingga memperbaiki proses produksinya. Kemitraan juga akan memperbaiki manajemen tebang angkut sehingga risiko kehilangan kadar gula dan risiko tebu tidak terpanen lebih kecil. Dwijayanti 2011 dalam penelitiannya yang bertujuan untuk, 1 mendeskripsikan prosedur pelaksanaan kemitraan antara Pabrik Gula Candi Baru dengan petani tebu, 2 mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan kemitraan di Pabrik Gula Candi Baru, dan 3 mengetahui harmonisasi kemitraan yang terjadi antara Pabrik Gula Candi Baru dengan petani tebu mitra, dalam kaitannya dengan perjanjian kemitraan dan menganalisa perbedaan biaya usahatani, penerimaan dan pendapatan antara petani Tebu Rakyat Kerjasama Usahatani TRKSU dan petani Tebu Rakyat Mandiri TRM Pabrik Gula Candi Baru menyimpulkan bahwa prosedur pelaksanaan yang ditetapkan oleh PG Candi Baru sebagai persyaratan bagi petani dalam bermitra dirasakan tidak memberatkan pihak petani. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi Pabrik Gula Candi dalam pola kemitraan dengan para petani anatar lain adalah tebang-angkut yang terkadang tidak tepat waktu, masalah penyediaan bahan baku dalam memenuhi kapasitas giling PG serta masalah dalam perkreditan dimana terdapat petani yang terlambat dalam melakukan pembayaran apabila mengalami gagal panen. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa biaya produksi rata-rata petani TRKSU lebih besar dibandingkan biaya produksi rata-rata petani TRM yaitu sebesar Rp. 31 111 488,5 dan sebesar Rp. 28 457 398. Hal ini dikarenakan adanya beban bunga sebesar 12 persen yang dibebankan kepada petani TRKSU atas pinjaman modal yang diberikan oleh Pabrik Gula. Akan tetapi, penerimaan rata- rata petani TRKSU lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan rata-rata petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 57 766 309.25 dan Rp. 49 340 676.67. Hal ini dikarenakan produksi rata-rata dan tingkat rendemen petani TRKSU lebih tinggi dibanding petani TRM. Pendapatan petani TRKSU pun lebih besar dibandingkan petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 26 654 820.74 dan Rp. 20 883 278.28 per hektarnya. Peningkatan pendapatan akibat adanya kemitraan petani juga dapat dilihat pada penelitian Najmudirohman 2011 dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu di Kecamatan Trangkil, Pati Jawa Tengah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemitraan membuat pendapatan petani mitra lebih tinggi daripada non-mitra, yang ditunjukkan dengan nilai RC yang lebih tinggi. Nilai RC atas biaya tunai petani mitra adalah 1.42, dan petani yang tidak bermitra adalah 1.20. Sedangkan RC atas biaya total untuk petani mitra adalah 1.37 sedangkan untuk petani non mitra adalah 1.16. Kedua penelitian diatas memberikan kesimpulan yang sama yaitu pola kemitraan cenderung menguntungkan petani. Kemitraan juga diharapkan mampu meningkatkan efisiensi para petani tebu melalui pembinaan atau penyuluhan maupun dengan bantuan saprodi sesuai dengan petunjuk dari pabrik gula. Akan tetapi, hasilnya sering tidak sesuai harapan sebagaimana yang terdapat dalam penelitian Msuya dan Ashimogo. Msuya dan Ashimogo 2007 melakukan analisis efisiensi produksi terhadap petani tebu plasma bermitra dengan pabrik dan non-plasma tidak bermitra dengan pabrik di Mtibwa di Tanzania dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglass. Variabel bebas yang digunakan adalah luas lahan, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga, total input bibit, pupuk, pestisida dan keranjang panen dan peralatan. Sedangkan variabel yang digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya efek inefisiensi teknis antara lain usia, pendidikan, dummy daerah Mtibwa, dummy daerah Diongoya, dummy daerah Kangga, dummy keaslian penduduk, pengalaman dan ukuran usahatani. Hasil penelitian menunjukkan rata- rata efisiensi teknis untuk plasma adalah 76.43 persen, dan 80.65 persen untuk non plasma. Variabel bebas pada petani plasma yang berpengaruh nyata adalah luas lahan, te naga kerja luar keluarga dan total input α 1 persen dan α 10 persen. Sedangkan pada petani non-plasma, variabel luas lahan dan total input yang berpengaruh nyata α 1 persen dan α 5 persen. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis pada petani plasma adalah umur α 10 persen. Sedangkan untuk petani non plasma tidak ada variabel yang berpengaruh nyata. Skema kemitraan yang dilakukan antara petani dengan pabrik gula dapat berbeda antara satu tempat lain. Govereh et al. 1999 dalam penelitiannya terhadap usahatani tebu rakyat di Kenya menemukan bahwa selama proses persiapan lahan, input, pemanenan dan pengangkutan dilakukan oleh pabrik, sedangkan petani hanya bertanggungjawab dalam penanaman dan perawatan. Unggul 2009 menjabarkan bentuk kemitraan yang terjadi antara petani tebu dengan pihak PG Madukismo. Kerjasama antara PG dengan petani dalam menjalankan usahatani tebu dilakukan dengan memberikan jaminan pendapatan minimum JPM. Petani yang memperoleh JPM adalah petani yang melakukan adopsi inovasi kelembagaan dengan menjalankan usahatani Tebu Rakyat Kemitraan TR Kemitraan dan usahatani Tebu Kerjasama usaha TRKSU. Besaran JPM yang diterima petani disesuaikan dengan potensi lahan. Pada pelaksanaan usahtani TR KSU yang harus dilaksanakan pada lahan sawah kelas I,