Perkembangan Kondisi Pergulaan di Lampung

memperlihatkan pula bahwa sektor ini merupakan sektor utama mata pencaharian penduduk Lampung Utara.

6.1.4. Perekonomian Kabupaten Lampung Utara

Pada tahun 2009, perekonomian Kabupaten Lampung Utara mengalami pertumbuhan sebesar 5.85 persen. Beberapa sektor mengalami pertumbuhan yang sangat berarti seperti sektor angkutan dan komunikasi 9.31 persen, bangunan 6.76 persen dan pertanian 5.97 persen. Perekonomian Lampung Utara didominasi oleh empat sektor kegiatan yaitu sektor pertanian 33.76 persen, sektor jasa 19.54 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran 13.69 persen dan sektor industri pengolahan 11.77 persen. Adanya kontribusi sektor pertanian dan ketersediaan lahan yang luas merupakan potensi untuk meningkatkan perekonomian di Kabupaten Lampung Utara. 6.2. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian 6.2.1. Karakteristik Petani Sampel Jumlah petani sampel dalam penelitian ini sebanyak 75 petani. Dari 75 petani responden, 45 petani merupakan anggota TRK yang terdiri dari 14 petani dengan pola non-keprasan plane cane dan 31 petani dengan pola keprasan ratoon, serta 30 petani merupakan anggota TRB yang terdiri dari 11 petani dengan pola non-keprasan plane cane dan 19 petani dengan pola keprasan ratoon. Jika berdasarkan pola tanamnya, maka 25 petani melakukan pola tanam non-keprasan dan 50 petani melakukan pola tanam keprasan. Hal ini karena biaya yang dikeluarkan pada pola tanam non-keprasan jauh lebih besar dibandingkan pada pola tanam keprasan. Penyebab perbedaan tersebut adalah adanya biaya pengolahan tanah, pembelian bibit dan biaya tanam pada pola non-keprasan. Adapun karakteristik petani sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23. Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa berdasarkan umur, petani yang tergabung baik dalam TRK maupun TRB berada pada usia produktif yaitu pada usia kurang dari 30 sampai dengan 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa secara umur para petani contoh masih dapat mengelola usahatani tebunya dengan baik. Berdasarkan pendidikan, baik petani contoh yang tergabung dalam TRK maupun TRB sebagian masih tergolong berpendidikan dasar SD dan SMP, yaitu 73.33 persen untuk petani TRK dan 63.33 persen untuk petani TRB. Tingkat pendidikan ini tentu saja akan mempengaruhi teknik usahatani khususnya terkait dengan penggunaan teknologi maupun mekanisasi pertanian. Sedangkan jika ditinjau dari pengalaman, baik petani contoh anggota TRK maupun TRB sebagian besar sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun 82.22 persen petani TRK dan 80.00 persen petani TRB. Lamanya pengalaman yang dimiliki para petani tebu ini menunjukkan bahwa petani cukup terampil dalam mengusahakan budidaya tebu di daerahnya. Tabel 23. Sebaran Petani Sampel Menurut Umur, Pendidikan dan Pengalaman di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Musim Tanam 20092010 No Karakteristik Responden TRK TRB Jumlah Persen Jumlah Persen 1 Berdasarkan Umur tahun a.30 tahun 2 4.44 4 13.33 b. 30-40 tahun 17 37.78 9 30.00 c. 41-50 tahun 13 28.89 11 36.67 d. 51-60 tahun 10 22.22 5 16.67 e. 60 tahun 3 6.67 1 3.33 2 Berdasarkan Pendidikan tahun a. Tidak Sekolah 0 tahun 0.00 0.00 b. SD 0-6 Tahun 13 28.89 13 43.33 c. SLTP 7-9 Tahun 20 44.44 6 20.00 d. SLTA 10-12 Tahun 10 22.22 10 33.33 e. Perguruan Tinggi 12 Tahun 2 4.44 1 3.33 3 Berdasarkan Pengalaman a.10 tahun 8 17.78 6 20.00 b. 10-20 tahun 34 75.56 23 76.67 c. 21-30 tahun 3 6.67 1 3.33 d. 30 tahun 0.00 0.00 Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Sebagian besar petani yang berada di daerah penelitian merupakan petani tebu dengan menggunakan pola keprasan. Dari 75 petani contoh, 25 petani melakukan pola non-keprasan dan 50 petani menggunakan pola keprasan. Kondisi ini hampir terjadi di seluruh perkebunan tebu rakyat di Indonesia. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dominannya pola keprasan ini mengingat pola keprasan membutuhkan biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan pola non-keprasan karena pola non-keprasan tidak membutuhkan biaya pengolahan tanah, pembelian bibit dan biaya tanam. Akan tetapi, pola keprasan ini tidaklah terlalu buruk asalkan dilakukan sesuai dengan anjuran pemerintah. Pola keprasan yang dianjurkan oleh pemerintah sampai pada keprasan ketiga. Akan tetapi, di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang petani masih diperbolehkan sampai keprasan keempat. Setelah itu, petani tebu dianjurkan mengganti tanamannya dengan bibit baru kembali. 6.2.2. Kepemilikan Lahan Sistem kepemilikan lahan yang umum di daerah penelitian adalah lahan milik sendiri. Lahan sewa untuk usahatani tebu jarang ditemukan di daerah penelitian. Tetapi jika ada pihak yang akan melakukan sewa, harga sewa di daerah penelitian berkisar antara 1-1.5 juta rupiah perhektar tergantung letak dan kondisi lahan. Berdasarkan hasil survei, rata-rata luas lahan yang digunakan petani dalam usahatani tebu adalah 1.98 hektar dengan luas lahan minimal 0.25 hektar dan luas lahan maksimal 10.50 hektar. Rata-rata luas lahan petani TRK adalah 1.51 hektar dengan luas lahan minimal adalah 0.25 hektar dan luas lahan maksimal adalah 5 hektar. Sedangkan untuk petani TRB rata-rata luas lahannya adalah 2.68 hektar dengan luas minimal 0.50 hektar dan luas lahan maksimal 10.50 hektar. Berdasarkan penjelasan ini diketahui bahwa petani TRB memiliki lahan yang relatif luas dibandingkan dengan petani TRK. Luas lahan berpengaruh terhadap usahatani tebu yang dilakukan karena terkait dengan modal usahatani. Petani yang memiliki luas lahan yang besar akan memperoleh penghasilan yang besar sehingga ketersediaan modal cukup untuk membeli dan menggunakan input secara proporsional.

6.2.3. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian

Kegiatan usahatani di daerah penelitian pada tebu non-keprasan meliputi persiapan lahan pengolahan tanah, penanaman, penyulaman, penimbunanan, perawatan, pemupukan, penyemprotan dan tebang angkut. Sedangkan pada kegiatan usahatani tebu keprasan, aktivitas yang dilakukan meliputi pembersihan kebun, pengeprasan, penyulaman, pemupukan, perawatan, penyemprotan dan kegiatan tebang angkut. Kegiatan pengolahan tanah meliputi bajak 1, bajak 2, dan pembuatan jalur. Pada kegiatan tanam, penggunaan bibit disesuaikan dengan masa tanam. Jenis bibit yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu BM 9604 untuk masa awal sedangkan untuk masa tanam bulan ke-4, ke-5 dan ke-6 digunakan bibit BM 9605. Sedangkan pada pola keprasan, petani tidak menggunakan bibit baru tetapi melakukan keprasan. Umur bibit yang tertanam rata-rata 6 sampai 7 bulan. Aktivitas penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit yang mati atau tidak tumbuh dengan baik. Kegiatan perawatan atau klentek mengelupas daun yang kering dilakukan dua kali oleh petani yaitu untuk klentek ke-1 dilakukan pada bulan ke-5 sampai dengan bulan ke-6, sedangkan untuk klentek ke-2 dilakukan pada bulan ke-7, ke-8 dan ke-9. Sebagian besar petani melakukan aktivitas penyemprotan setelah klentek ini. Penyemprotan dilakukan dengan melihat ada tidaknya gulma setelah klentek. Jenis obat yang digunakan oleh petani bermacam-macam antara lain DMA, Gramason, Round Up, Gesapak, Karmex dan Andal. Pupuk yang dianjurkan oleh pabrik terdiri dari 3 jenis yaitu pupuk Urea, TSP dan KCL dengan dosis masing-masing 300 Kg per hektar. Pemupukan pertama dilakukan pada bulan ke-2 sampai dengan bulan ke-3 dengan dosis 300 Kg pupuk TSP dan 100 Kg pupuk Urea. Sedangkan untuk pemupukan kedua dilakukan pada bulan ke-5 sampai dengan bulan ke- 6 dengan dosis pupuk KCL 300 Kg dan pupuk Urea 200 Kg. Di daerah penelitian juga dijumpai pupuk lain yang digunakan oleh petani yaitu pupuk NPK, pupuk Phonska, pupuk Kujang, pupuk kandang serta kompos. Aktivitas terakhir dalam usahatani tebu adalah aktivitas tebang dan angkut. Pada bulan ke-3 dan ke-4 tebu mulai dianalisa kemasakannya dengan periode seminggu sekali. Kegiatan ini dilakukan oleh Litbang pabrik. Jika waktu tebang sudah tiba, Litbang mengeluarkan jadwal tebang yang diberikan pada kelompoktani petani tebu rakyat TRK. Setelah itu, dikeluarkan surat perintah tebang setiap setengah bulan sekali untuk setiap kelompoktani. Kegiatan penebangan dilakukan oleh petani. Alat angkut yang biasanya digunakan adalah