Kebebasan Pers Sistematika Disertasi

136 Perbedaan para sarjana dalam memandang realita kepolitikan Orde Baru pada dasarnya terletak pada upaya identifikasi saja. Menurut Moh Mahfud MD: Sistem politik Orde Baru bukanlah sistem yang demokratis. Benedict Anderson, Donald K Emerson, R. William Liddle, dan Yahya Muhaimin memandang kenyataan tersebut sebagai pemunculan kembali budaya patrimonialisme dalam budaya Jawa. Ruth T. Mc.Vey dan Farchan Bulkin menyebutkan ”beamtenstaat” pascakolonial. Karl D Jackson menyebutnya ”bureucratic polity” sebagai identifikasi yang tepat. Dwight Y King juga menunjuk model ”bureaucratic authoritarian regime” yang berimplikasi pada strategi korporatisme sebagai penjelasannya. Sedangkan Abdul Kadir Besar, yang didukung oleh Padmo Wahjono, memberikan pembenaran pada realita kepolitikan Orde Baru dengan menunjukkan paham integralistik sebagai paham resmi yang dianut oleh UUD 1945. Dalam semua upaya teoritisasi itu tersimpul bahwa kontestasi dan partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan di luar birokrasi masih sangat lemah sehingga banyak sarjana, seperti Afan Gaffar, mengualifikasikan juga sebagai ”sistem politik hegemoni. Moh Mahfud MD, 2010: 239.

d. Kebebasan Pers

Pada awal kelahiran Orde Baru, kehidupan pers mendapat angin segar. Kebebasan pers diberi harapan untuk berkembang seperti yang diinginkan oleh kalangan pers sendiri, yakni keluar dari belenggu sistem politik otoriter, seperti yang dialami pada era Orde Lama. Oleh sebab itu, kritik-kritik yang pedas sering muncul dalam media pers pada waktu itu, baik ditujukan rezim yang baru jatuh Demokrasi Terpimpin maupun kepada rezim yang baru naik ke pentas politik. Pemerintah Orde Baru bersikap toleran terhadap cara penyajian yang kadangkala ”panas” itu. Pers mahasiswa kembali meraih puncak kebesarannya, dan bersama dengan pers umum menikmati keleluasaan mengekspresikan apa saja. Moh Mahfud MD, 2010: 233. Namun gaya libertarian pada era Orde Baru hanyalah bersifat sementara, yakni selama pemerintah memantapkan pembuatan format politik baru di Indonesia. Segera 137 setelah format politik baru itu terbentuk melalui UU No. 151969 dan UU No. 161969 mulailah gaya libertarian bergeser ke gaya otoritarian dan pemberedelan terhadap pers tetap terjadi secara terus menerus. Lebih lanjut menurut Moh Mahfud MD: Pada periode ini sudah ada UU yang mengatur kehidupan pers, yakni UU No. 11 Tahun 1966, mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Pers UU ini dikeluarkan pada awal Orde Baru, tetapi ketika itu Presiden Soekarno masih menjadi presiden. Oleh karena itu UU ini dapat disebut UU yang dibuat pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Meskipun UU ini ditandatangani oleh Soekarno pada 12 Desember 1966, tapi istilah demokasi terpimpin tidak tercantum di dalamnya. Pada waktu itu Soekarno secara resmi masih presiden, tetapi kekuasaannya yang riil telah berpindah kepada Soeharto sejak 11 Maret 1966. Dan sebelum UU itu diundangkan Orde Baru telah lahir dengan membawa perlawanan terhadap konsep Demokrasi Terpimpin. Moh Mahfud MD, 2010: 234. Setelah peristiwa Malari 15 Januari 1974 pemerintah memberedel beberapa penerbitan pers umum, seperti Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, dan harian KAMI. Begitu juga setelah Pemilu 1977 atau menjelang sidang umum MPR tahun 1978, beberapa surat kabar umum seperti Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Indonesia Timur, Sinar Pagi, Pelita, Masa Kini diberedel meskipun kemudian boleh terbit lagi setelah para pimpinannya membuat pernyataan tertentu. Semula pers mahasiswa dianggap sebagai cagar kebebasan pers, dan kerenanya, setelah beberapa pers umum terkekang dengan ancaman pemberedelan, pers mahasiswa menggantikan peranan pers umum untuk menyampaikan pemberitaan secara lugas. Tetapi pers mahasiswa juga dikenakan larangan terbit diberedel pada waktu itu Daniel Dhakidae, 1977: 73. Meskipun setelah enam bulan pers mahasiswa boleh terbit kembali, tetapi belum setahun setelah itu beberapa pers mahasiswa seperti Salemba UI, Gelora Mahasiswa UGM, Kampus ITB, diberhentikan penerbitannya. Setelah itu pers mulai bisa 138 menyesuaikan diri, tetapi pemberedelan sekali-kali tetap terjadi. Pada tahun 1982 Tempo biberedel sementara karena reportasenya mengenai peristiwa ”Lapangan Banteng” Peristiwa ini adalah ”huru-hara” yang menimbulkan kerusakan di Jakarta ketika ada kampanye Golkar di Lapangan Banteng yang kemudian bentrok dengan simpatisan kontestan lain. Menuyusul harian Prioritas yang sebelumnya telah berkali- kali mendapat peringatan dari Deppen dan Harian Sinar Harapan 1986 serta mingguan tabloid Monitor yang diberedel pada tahun 1990. Akhirnya pada tahun 1994, tiga penerbitan yang sangat berpengaruh diberedel, yaitu Tempo, Editor, dan Detik. Di kalangan dunia pers Indonesia belakangan ini dikenal juga istilah ”lembaga telepon” yang dianggap bertendensi penyensoran secara halus. Dengan melalui telepon, biasanya seorang pejabat minta kepada redaksi untuk tidak memuat berita- berita tertentu. Moh Mahfud MD, 2010: 232.

e. Hegemoni Soeharto