Periode 1945-1950 Sistematika Disertasi

152 1959-1965. Keseluruhan periode tersebut tergolong dalam Orde Lama 1945-1965. Uraian berikut ini mengikuti spesifikasi ketiga periode dimaksud Abd. Rachman Assegaf, 2005: 54.

a. Periode 1945-1950

Setelah merdeka, pedoman pelaksanaan pendidikan berdasarkan UUD 1945. Atas usul dari Badan Pekerja KNIP, pada bulan Desember 1945 dibentuklah Panitia Penyelidikan Pendidikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Abd. Rachman Assegaf, 2005: 55. Pada masa pendudukan Belanda NICA, Indonesia dibagi menjadi negara- negara bagian RIS, sehingga perbedaan dalam pendidikan dari negara-negara itupun terjadi. Setelah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1950, pendidikan pun disatukan kembali atau seragam kembali, keadaan ini berlangsung sampai tahun 1952. Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Namun karena situasi sosial- politik yang belum stabil, perjuangan kemerdekaan belum selesai, dan di sana-sini terjadi instabilitas, maka tidak mengherankan bila selama periode ini sering terjadi pergantian menteri. Sekedar diketahui, antara 1945 sampai 1959, kabinet di Indonesia rata-rata berumur antara 7-8 bulan Abd. Rachman Assegaf, 2005: 56. Selama periode awal kemerdekaan 1945-1950 telah terjadi serangkaian pergantian Menteri Pengajaran. Menurut Napitupulu: 153 Menteri Pengajaran yang pertama adalah Ki Hadjar Dewantara 1889-1959, menjabat pada masa Kabinet Presidentil untuk periode 19 Agustus 1945-14 Nopember 1945. Menteri Pengajaran kedua adalah Dr. Mr.T.S.G. Mulia 1896-1969, menjabat pada masa Sjahrir I untuk periode 14 Nopember 1945- 12 Maret 1946. Menteri Pengajaran ketiga adalah Muhammad Sjafei 1896- 1966, menjabat pada masa Kabinet Sjahrir II untuk periode 12 Maret 1946- 2 Oktober 1946. Menteri Pengajaran yang keempat adalah Mr. Suwandi, menjabat pada masa Sjahrir III untuk periode 2 Oktober 1946-27 Juni 1947. Menteri Pengajaran kelima, keenam dan ketujuh adalah Mr. Ali Sastroamidjojo, menjabat pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin I, II dan Kabinet Hatta I untuk periode 3 Juli 1947-11 Nopember 1947, 11 Nopember 1947-29 Januari 1948, dan periode 29 Januari 1948-4 Agustus 1949. Jabatan menteri berikutnya menggunakan nama Menteri PP dan K, dengan Mr, Teuku Mah. Hassan sebagai menteri kedelapan, menjabat pada masa Kabinet Darurat untuk periode 19 Desember 1948-13 Juli 1949. Menteri PP dan K kesembilan adalah S. Mangunsarkoro, menjabat pada masa Kabinet Hatta II untuk periode 4 Agustus 1949-20 Desember 1949. Menteri PP dan K kesepuluh adalah dr. Abu Hanifah, M.D, menjabat pada masa Kabinet RI untuk periode 20 Desember 1949-6 September 1950. Selanjutnya, menteri kesebelas dan keduabelas dijabat oleh S. Mangunsarkoro pada masa Kabinet Peralihan untuk periode 20 Desember 1949-21 Januari 1950 dan 21 Januari 1950-6 September 1950. Napitupulu, 1976: 10. Menurut Abd. Rachman Assegaf 2005: 56 semangat revolusi sangat dominan dalam periode ini. Berbagai gejolak sosial politik muncul mewarnai awal kemerdekaan, sehingga operasionalisasi transisi pemerintahan belum stabil. Mengapa pada masa tersebut terjadi instabilitas politik dan belum mapannya sistem serta undang-undang pendidikan? Hal ini dapat dianalisis, terutama dengan memahami beberapa aspek sosial politik sebagai berikut: Pertama, adanya upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia sehingga timbul Agresi Belanda I pada 21 Juli 1947 dan Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948. Sebagian besar guru dan pelajar terlibat dalam perjuangan ini. Sekolah dan tempat-tempat pendidikan lainnya dijadikan sebagai perlindungan. Praktis, kegiatan belajar mengajar terhenti untuk sementara. Setelah gagal dengan upayanya tersebut Belanda mencoba menerapkan sistem negara federal atau Republik Indonesia serikat RIS dengan Belanda sebagai sentral pemerintahan. Periode 1945-1949, yang sering dikenal sebagai era revolusi Indonesia, ditandai tidak hanya oleh perjuangan bersenjata melawan Belanda dan konflik keras antar kelompok 154 yang berbeda, tapi juga konflik di tubuh parlemen dalam hal gagasan diplomatik, negosiasi dan politik Kedua, secara internal, di beberapa daerah muncul beberapa gerakan yang menimbulkan ketegangan sosial, seperti gerakan Partai Komunis Indonesia PKI di Madiun pada 1948. Gerakan Darul Islam DI 1948-1962 di Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo, pergolakan Darul Islam di Aceh 1953-1959 pimpinan Daud Beureueh, pembenrontakan Darul Islam Sulawesi Selatan 1950-1959 pimpinan Kahar Muzakkar, pemberontakan PRRI di Sumatera Barat 1958. Agaknya masa itu diwarnai oleh banyaknya insiden yang melibatkan gerakan Islam, konsentrasi terhadap pembangunan bidang pendidikan pun terganggu. Ketiga, terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1949 mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan pendidikan nasional. Itu sebabnya Undang-undang Pendidikan dan pengajaran baru dapat muncul kemudian setelah terjadi kemapanan politik dan meredanya gejolak sosial. Keempat, pemerintah Indonesia pada saat itu dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan penggantian kerugian dengan pihak pemerintah Jepang, dimana memakan waktu yang lama dan proses yang kompleks. sedemikian sibuknya pemerintah dalam menangani keempat masalah tersebut, sehingga fokus perhatiannya terpusat ke arah stabilitas politik, sementara kondisi sosial ekonomi dan pendidikan tercecer. Abd. Rachman Assegaf, 2005: 56. Kondisi sosial-politik demikian mempengaruhi iklim pendidikan nasional saat itu, antara lain berupa: pertama, masa jabatan Menteri Pengajaran yang relatif singkat akibat sering terjadi pergantian menteri sebagaimana disebut di atas. Kedua, minimnya jumlah guru, terutama guru Sekolah Dasar, akibat keikut sertaan mereka dalam perang kemerdekaan, demikian pula halnya dengan para pelajar yang merangkap fungsi sebagai tentara, menimbulkan terpecahnya konsentrasi pendidikan ke arah perjuangan nasional. Ketiga, fasilitas sekolah banyak yang hancur akibat perang atau karena dipakai sebagai barak militer, mengakibatkan terhentinya proses belajar mengajar di kelas. Keempat, belum terbentuknya undang-undang pendidkan nasional Abd. Rachman Assegaf, 2005: 57. 155 Meskipun faktor sosial politik di atas menyebabkan beberapa hambatan terhadap kelancaran pelaksanaan pendidikan, bukan berarti bahwa proses pendidikan tidak berjalan sama sekali atau tidak ada upaya untuk mengatasi hambatan tersebut. Tindakan pertama yang diambil oleh pemerintah Indonesia ialah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat, sebagaimana terwujud dalam UUD 1945 Bab XIII pasal 31, menyatakan bahwa: Ayat 1: Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. Ayat 2: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang Abd. Rachman Assegaf, 2005: 58. Jika pada masa Belanda tujuan pendidikan untuk membentuk kelas elit dan tenaga terdidik yang murah untuk tujuan memperkuat bentuk penjajahan. Pada masa Jepang pendidikan bertujuan untuk menciptakan tenaga buruh dan mobilisasi militer untuk tujuan membantu pemerintah pendudukan Jepang melawan tentara sekutu, maka pascakemerdekaan, tahun 1946, melalui SK Menteri PP dan K, menurut Djumhur: Pendidikan dinyatakan untuk menanamkan semangat dan jiwa patriotisme, yang dioperasionalkan melalui instruksi umum oleh Menteri Pengajaran pertama, Ki Hadjar Dewantara, ditujukan kepada semua kepala sekolah dan guru agar: 1 Mengibarkan ”Sang Merah Putih” setiap hari di halaman sekolah. 2 Melagukan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”. 3 Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian ”Kimigayo”. 4 Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang beserta segala upacara yang berasal dari Balatentara Jepang. 5 Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid. Djumhur, 1976: 200. Langkah berikutnya, menurut Ary H. Gunawan, 1986: 43 untuk mengatasi masalah kuantitas dan kualitas guru: 156 Diadakan penerimaan tenaga pengajar baru di samping peningkatan Sekolah Guru Tipe C selama 2 tahun, Tipe B selama 4 tahun dan Tipe A selama 6 tahun. Diadakan kursus-kursus, menambah jumlah Sekolah Rakyat SR, mengubah Sekolah Rendah 3 tahun menjadi 6 tahun, serta memperbaiki tingkat dan mutu pendidikan. Mengenai masalah murid atau pelajar pejuang, baik sebagai tentara, anggota Palang Merah Indonesia maupun pelajar yang tinggal di daerah pendudukan, yang karena kondisinya tersebut, tidak memungkinkan untuk aktif sekolah, maka oleh Kementrian Pendidikan dan Pengajaran, pada Maret 1948, diadakan sekolah peralihan baik untuk SMP Sekolah Menengah Pertama, SMA Sekolah Menengah Atas, atau SGL Sekolah Guru Laki-laki. Upaya mengatasi lokal sekolah yang rusak akibat perang atau dipakai sebagai barak militer menurut Djumhur 1976: 208: Dilakukan beberapa alternatif: membangun gedung sekolah baru, menyewa rumah penduduk untuk sekolah, atau memfungsikan gedung sekolah dalam dua tahap, pagi dan siang hari. Di samping itu Persatuan Orang Tua Murid dan Guru POMG berhasil mengkoordinasikan kekuatan untuk kemajuan pendidikan, sehingga mampu mendirikan gedung sekolah bahkan lebih banyak dari yang telah dibangun oleh pemerintah. Selanjutnya, dilakukan tindakan pembenahan kebijakan pendidikan, sebagaimana diusulkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BP KNIP pada 29 Desember 1945 kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, supaya selekas mungkin mengusahakan agar pembaharuan pendidikan dan pengajaran dijalankan sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan dan pengajaran baru, dengan pokok pembaharuan sebagai berikut: 1 Untuk menyusun masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Paham perseorangan individualisme yang hingga kini berlaku haruslah diganti dengan paham kesusilaan dan perikemanusiaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa tanggungjawab. 2 Untuk memperkuat persatuan rakyat kita hendaknya diadakan satu macam sekolah untuk segala lapisan masyarakat. Perlu diingat pula, bahwa sesuai dengan dasar keadilan sosial semua sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara baik laki-laki maupun perempuan. 3 Metodik yang berlaku di sekolah-sekolah hendaknya berdasar pada sistem sekolah kerja agar 157 aktivitas rakyat kita kepada pekerjaan bisa berkembang seluas-luasnya. 4 Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur dan seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. Tentang cara melakukan Kementrian mengadakan perundingan dengan Badan Pekerja. 5 Madrasah dan pesantren-pesantren dan sejenisnya yang pada hakikatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata, yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materiil dari pemerintah. 6 Pengajaran tinggi hendaknya diadakan seluas-luasnya, dan jika perlu dengan menggunakan bantuan bangsa asing sebagai guru besar. Lain dari itu hendaklah diusahakan berlakunya pengiriman pelajar-pelajar ke luar negeri untuk keperluan negara. 7 Kewajiban belajar lambat laun dijalankan dengan ketentuan bahwa dengan tempo yang sesingkat-singkatnya paling lama 10 tahun, bisa berlaku dengan sempurna dan merata 6 tahun sekolah untuk tiap- tiap anak Indonesia. 8 Pengajaran teknik dan ekonomi terutama pengajaran pertanian, industri, pelayaran dan perikanan, hendaklah mendapat perhatian istimewa. 9 Pengajaran kesehatan dan olah raga hendaklah teratur sebaik- baiknya hingga terdapat kemudian hasil kecerdasan rakyat yang harmonis. 10 Di Sekolah Rendah tidak dipungut uang sekolah, untuk Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi hendaklah diadakan aturan pembayaran dan tunjangan yang luas, sehingga soal keuangan jangan menjadi halangan bagi pelajar-pelajar yang kurang mampu. Ary H. Gunawan, 1986: 32-34. Selanjutnya atas usul Badan Pekerja, maka Menteri Pendidikan dan Pengajaran, yang waktu itu adalah Dr. Mr. T.S.G. Mulia, membuat Surat Keputusan tertanggal 1 Maret 1946 No. 104Bhg.0, untuk membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hadjar Dewantara dan Soegarda Poerbakawatja, dengan tugas antara lain: 1 Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah. 2, Menetapkan bahan-bahan pengajaran dengan menimbang keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat. 3 Menyiapkan rencana-rencana pelajaran untuk tiap-tiap sekolah dan tiap-tiap kelas. Ary H. Gunawan, 1986: 34. Menyusul kemudian diselenggarakannya beberapa Konggres Pendidikan Indonesia, yang pertama di Solo 1947, lalu sebagai tindak lanjutnya dibentuklah Panitia Pembentukan Rencana Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran 158 pada tahun 1948 oleh Menteri PP dan K Mr. Ali Satroamidjoja, juga Konggres Pendidikan di Yogyakarta 1949. Keseluruhan dari hasil Konggres tersebut merupakan bahan berarti bagi lahirnya UU tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran UUPP No. 4 Tahun 1950. Inilah UU tentang Pendidikan Nasional yang pertama, sekaligus mengakhiri periode ini dan memasuki periode berikutnya Ary H. Gunawan, 1986: 35.

b. Periode 1950-1959