Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Pembahasan 1. Dinamika PKn Refleksi Politik Pendidikan dan Kurikulum

119

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Data yang telah terkumpul terlebih dahulu dilakukan verifikasi. Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data ditempuh melalui konfirmasi antar dokumen, komfirmasi hasil wawancara antar informan, dan konfirmasi antara dokumen dengan hasil wawancara. G.Teknik Analisis Data. 1. Reduksi Data Data yang dihasilkan dari wawancara dan dokumentasi merupakan data mentah yang masih bersifat acak dan kompleks. Untuk itu peneliti melakukan pemilihan data yang relevan dan bermakna serta mampu menjawab permasalahan penelitian, selanjutnya data disederhanakan.

2. Unitisasi dan Kategorisasi

Data yang telah dipilih dan disederhanakan tersebut kemudian disusun secara sistematis ke dalam suatu unit-unit sesuai dengan sifat masing-masing dengan menonjolkan hal-hal yang bersifat pokok dan penting. Dari unit-unit data yang telah terkumpul dipilah-pilah kembali dan dikelompokkan sesuai dengan kategori yang ada sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas dari hasil penelitian.

3. Display Data

Pada tahap ini peneliti menyajikan data yang telah direduksi ke dalam laporan secara sistematis. Data disajikan dalam bentuk narasi berupa informasi mengenai hal- hal yang terkait dengan dinamika Pendidikan Kewarganegaraan pada jenjang 120 pendidikan dasar dan menengah, era Orde Lama, Orde Baru, serta era Reformasi. Pada setiap era akan ditinjau dari sudut politik pendidikan dan kurikulum.

4. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Data yang telah diproses dengan langkah-langkah seperti di atas, kemudian ditarik kesimpulan secara kritis dengan menggunakan metode induktif yang berangkat dari hal-hal yang khusus untuk memperoleh kesimpulan umum yang objektif. Kesimpulan tersebut kemudian diverifikasikan dengan cara melihat kembali pada hasil reduksi dan display data sehingga kesimpulan yang diambil tidak menyimpang dari permasalahan penelitian.

H. Sistematika Disertasi

Secara garis besar disertasi ini terdiri dari 5 bab. Bab 1 pendahuluan, berisi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta definisi operasional. Bab 2 kajian pustaka, berisi: kajian teori, kajian penelitian yang relevan, kerangka pikir penelitian, dan pertanyaan penelitian. Kajian teori meliputi 4 hal yaitu: pendidikan nasional, pendidikan kewarganegaraan, politik pendidikan, dan kurikulum. Bab 3 metode penelitian, berisi: tempat dan waktu penelitian, jenis dan pendekatan penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik pemeriksaan keabsahan data, teknik analisis data, dan sistematika disertasi. Bab 4 hasil penelitian, berisi: 1 Setting kehidupan sosial politik Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi. 2 Dinamika Politik Pendidikan di Indonesia sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. 3 Dinamika kurikulum pendidikan dasar dan menengah dari Orde Lama, Orde Baru, sampai era Reformasi. 4 Dinamika PKn sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. 5 Pembahasan dinamika PKn dan pengembangan pemikiran PKn ke depan. Bab 5 kesimpulan, berisi: 1 kesimpulan; 2 refleksi; 3 dan rekomendasi. 121 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Setting Kehidupan Sosial Politik Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi

1. Orde Lama

Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia resmi berdiri sebagai negara merdeka. Pemerintah Republik Indonesia segera dibentuk di Jakarta pada tanggal 18 Agustus sehari setelah proklamasi dilakukan. Soekarno diangkat sebagai presiden 1945-1967 dan Hatta sebagai wakil presiden 1945-1956. Sambil menantikan pemilihan umum, yang dalam kenyataan baru terlaksana tahun 1955, maka ditunjuklah Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP untuk membantu Presiden. Dengan berdirinya negara kebangsaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan berlakunya Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, satu hari setelah proklamasi kemerdekaan maka secara resmi sistem pemerintahan kolonial dihapuskan dan diganti dengan sistem pemerintah yang ditentukan oleh bangsa sendiri. Antara tahun 1945-1950 negara Indonesia yang baru berdiri tersebut masih menghadapi perang mempertahankan kemerdekaan. Perang kemerdekaan I clash I terjadi tahun 1947 dan selanjutnya perang kemerdekaan II clash II terjadi pada Desember 1948. Pada tahun 1950 perang clash I dan clash II sudah berakhir, tetapi perjalanan negara kebangsaan Indonesia juga belum mencapai kestabilan. Konflik politik dan ideologis yang sudah ada sejak berdirinya negara kebangsaan berkembang menjadi masalah nasional yang mendorong perpecahan kesatuan nasional. Problem besar yang menjadi sumber konflik nasional menurut beberapa ahli adalah bersumber 122 dari penentuan arah sistem politik macam apa yang dipakai sesudah Indonesia merdeka Shiraishi Takhasi, dalam Sodiq A Kuntoro, 2007: 158. Sebenarnya sejak berdirinya Republik Indonesia sudah ditetapkan satu sistem politik nasional yaitu negara Republik Indonesia yang didasarkan pada ideologi Pancasila. Tetapi pertentangan terjadi antara kelompok ideologi yang ingin memasukkan pengaruh ideologinya pada sistem politik kenegaraan tersebut. Kelompok nasionalis, agama, dan komunis mempunyai interpretasi yang berbeda mengenai Pancasila dan berusaha membawa Pancasila sesuai dengan kepentingannya.

a. Kondisi Sosial Politik Indonesia Tahun 1945-1950

Sebulan setelah Indonesia diproklamasikan, sistem pemerintahan parlementer berlaku di Indonesia, padahal UUD 1945 tidak menghendaki demikian. Menurut Husain Haikal: Hal ini ditunjang dengan adanya pengumuman pemerintah yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik, yang mendapat sambutan antusias dari rakyat. Secara politis lembaga legislatif sebagai pembawa aspirasi rakyat adalah Komite Nasional Indonesia Pusat. Dilihat dari segi historis, maka kehidupan partai-partai politik ini sebenarnya bermula dari penjajahan Belanda dan Jepang. Namun pada awal Indonesia mengenyam kemerdekaan, tampaknya konsentrasi seluruh masyarakat dihadapkan sepenuhnya terhadap aksi-aksi militer dan politik Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, sehingga segenap potensi rakyat dikerahkan untuk mensukseskan revolusi bersenjata ini. wawancara, 7 Juli 2011. Sistem parlementer ini merupakan produk dari Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945. Pengumuman Badan Pekerja, 11 November 1945 dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 menyatakan bahwa tanggung jawab politik terletak 123 ditangan menteri. Hal ini dipertahankan praktis sampai dikeluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mencabut UUDS 1950 dan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara.

b. Kondisi Sosial Politik Indonesia Era Demokrasi Liberal 1950-1959

Pada periode demokrasi liberal berkembang sistem politik yang mengutamakan kebebasan individu, mengikuti demokrasi model Barat. Menurut Armaidy Armawi: Sistem pemerintahannya mengikuti pemerintahan parlementer yang meletakkan presiden hanya sebagai kepala negara dan bukan sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan tanggung jawab pemerintahan ada di tangan para menteri yang bertanggung jawab pada parlemen. Pelaksanaan demokrasi liberal menimbulkan ketidakstabilan politik, keamanan, dan juga ekonomi sebab kabinet sering berganti sehingga program-program pemerintah tidak dapat dilaksanakan secara baik. wawancara, 8 Juli 2011. Persaingan secara terbuka antar partai sangat kentara dalam panggung politik nasional, masing-masing berusaha untuk mencapai cita-cita politiknya. Sehingga dalam Pemilu yang pertama sejak Indonesia diproklamirkan sangat banyak partai yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat kabinet baru yang akan berjalan, akan mantap bila di dalamnya terdapat koalisi Ukasah Martadisastra, 1987:144. Adanya koalisi antara berbagai partai yang besar ini dikarenakan tidak ada satupun partai yang menang secara mayoritas mutlak. Sehingga efek negatifnya dalam kabinet adalah jatuh bangunnya kabinet dalam tempo waktu sesingkatnya, karena partai yang berkuasa kehilangan dukungan di parlemen, sehingga bubarlah kabinet. Akibat selanjutnya program kerja kabinet yang bersangkutan tidak dilaksanakan. Pemilu pertama dalam sejarah Indonesia tahun 1955, diikuti lebih dari 124 39 juta orang memberikan suara, mewakili 91,5 dari para pemilih yang terdaftar. Walaupun pasti banyak pemilih yang memberikan suara sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh para pemimpin keagamaan, para kepala desa, para pejabat, para tuan tanah, atau para atasan lainnya Ricklefs, 2008: 496. Bagaimanapun juga, ini adalah pemilihan umum nasional yang terpenting dalam sejarah Indonesia merdeka. Pemilihan umum ini menawarkan pilihan yang paling bebas di kalangan partai-partai yang tak terbatas, yang kesemuanya berkampanye dengan penuh semangat. Hasil-hasil yang paling penting adalah sebagai berikut: Tabel 8 Perolehan Suara Pemilihan Umum 1955 Partai Suara yang sah Suara yang sah Kursi parlemen Kursi parlemen PNI 8.434.653 22,3 57 22,2 Masyumi 7.903.886 20,9 57 22,2 NU 6.955.141 18,4 45 17,5 PKI 6.176.914 16,4 39 15,2 PSII 1.091.160 2,9 8 3,1 Parkindo 1.003.325 2,6 8 3,1 Partai Katholik 770.740 2,0 6 2,3 PSI 753.191 2,0 5 1,9 Murba 199.588 0,5 2 0,8 Lain-lain 4.496.701 12,0 30 11,7 Jumlah 37.785.299 100 257 100 Sumber, Ricklefs, 2008: 496. Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Jumlah partai bertambah banyak, dengan 20 partai mendapat kursi. Hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai politik dalam negara demokrasi merupakan keharusan untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Menurut Muchson: 125 Partai yang begitu banyak tanpa adanya mayoritas mutlak dalam parlemen, sering berakibat instabilitas dalam jalannya pemerintahan. Melihat kenyataan itu pengaruh terhadap sistem pemerintahan yang sangat buruk, bahkan menimbulkan perpecahan. Padahal UUDS itu sendiri memberikan landasan yang cukup bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik, dimana didalamnya memuat pokok-pokok bagi pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan sosial serta hak-hak asasi manusia. Dalam kenyataannya Pancasila hanyalah merupakan pemanis pidato saja. Yang menonjol adalah individualisme dengan latar belakang kepentingan golongan atau partai. wawancara, 15 Desember 2010. Demokrasi politik dipakai alasan untuk tumbuhnya oposisi yang destruktif. Demokrasi ekonomi tidak lagi untuk membebaskan kemiskinan, tetapi malah mengaburkan tujuan semula dengan tumbuh suburnya persaingan bebas. Demokrasi sosial bukannya menciptakan tata masyarakat yang bersih dari unsur-unsur feodalisme, malah semakin menutup kemungkinan rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. Inilah yang menyebabkan macetnya tugas-tugas pemerintahan. Secara politis kondisi demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah satu buktinya adalah ketidak mampuan dari Konstituante untuk menetapkan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Yang menonjol adalah persaingan antar partai politik dari golongannya. Sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terabaikan. Dilihat dari kepentingan nasional tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Sehingga Presiden Soekarno selaku Kepala Negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Konstituante dibubarkan, serta kembalinya ke UUD 1945, yang kemudian menghendaki terbentuknya MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu pula dimulainya babak baru pelaksanaan demokrasi terpimpin. 126

c. Kondisi Sosial Politik Indonesia Era Demokrasi Terpimpin

Periode demokrasi terpimpin berangkat dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang kembali kepada UUD 1945, tetapi dengan mengalami pergeseran arah. Menurut Husain Haikal: Demokrasi Pancasila yang seharusnya dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan bergeser menjadi konsep demokrasi yang dipimpin oleh presiden, pemimpin besar revolusi. Dalam periode demokrasi terpimpin suara presiden seolah-olah diletakkan sebagai suara rakyat yang harus diterima begitu saja sehingga kekuasaan presiden melebihi yang ditetapkan oleh UUD 1945. Lebih jauh ideologi komunis masuk sangat kuat melalui ideologi Nasakom. wawancara, 7 Juli 2011. Konflik politik sangat tajam masuk dalam dunia pendidikan, di perguruan tinggi mahasiswa terkotak-kotak dalam kelompok-kelompok ideologi politik dan saling bertengkar satu dengan lainnya untuk menduduki kedudukan dalam lembaga kemahasiswaan dan untuk mempengaruhi opini massa mahasiswa ke arah kepentingannya. Begitu juga di sekolah-sekolah para guru terkotak-kotak dalam kelompok persatuan guru yang bertentangan satu sama lainnya dan para siswa juga tidak bebas dari pengkotakan ke dalam ideologi politik. Pertengkaran dalam masyarakat sering terjadi dan ini mengakibatkan memburuknya keadaan politik dan keamanan masyarakat. Akibatnya kehidupan ekonomi masyarakat merosot sangat tajam. Menurut Moh. Mahfud MD: Sejak dikeluarkan dekrit itu, dimulailah langgam otoritarian dalam kehidupan politik di Indonesia di bawah bendera demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin akan mengolah proses pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat dan berdasarkan semangat gotong royong. Implikasi sistem ini dijabarkan dalam amanat presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang diberi nama Manifesto Politik Manipol yang rinciannya secara sistematis dikenal dengan akronim USDEK atau UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi 127 Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia. Moh Mahfud MD, 2010: 139. Selama kurun waktu 1959-1965 Presiden Soekarno dengan sistem demokrasi terpimpinnya menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter. Menurut Armaidy Armawi: Partai-partai yang pernah marak pada era demokrasi liberal secara praktis menjadi lemah dan tak berdaya, kecuali PKI yang dapat memperluas pengaruhnya dengan berlindung di bawah kekuasaan Soekarno, sementara Angkatan Darat dapat memperluas peran dan kekuasaan politiknya. wawancara, 8 Juli 2011. Pengertian Demokrasi Terpimpin bisa ditemukan juga dalam pidato kenegaraan Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Dikatakan oleh Soekarno, butir-butir pengertian demokrasi terpimpin terdiri dari: pertama, tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara, kedua, tiap orang mendapat kehidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara Moh Mahfud MD, 2010: 140. Sementara menurut Syafii Maarif, sebelumnya Soekarno memberikan berbagai definisi demokrasi terpimpin yang seluruhnya tidak kurang dari duabelas definisi, sebagai berikut: Salah satu formulasinya menyebutkan, demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pada kesempatan lain, Soekarno mengemukakan, demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarki, tanpa liberalisme, dan tanpa otokrasi diktator. Demokrasi kekeluargaan yang Soekarno maksudkan adalah, demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan serta kekuasaan sentral ditangani seorang ”sesepuh”, seorang tetua yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin mengayomi. Siapa yang beliau maksudkan dengan ”sesepuh” atau ”tetua” pada waktu itu, tidak lain adalah beliau sendiri sebagai penyambung lidah rakyat, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari keluarga besar bangsa Indonesia. Syafii Maarif, 1988: 34. 128 Dalam pandangan Muchtar Lubis, betapapun dari sudut definisi gagasan demokrasi terpimpin tidak jelek, tetapi kehadirannya tidak serta merta mendapat dukungan luas, bahkan banyak yang menolak. Masyumi dan Partai Katolik serta daerah-daerah bergolak menolaknya dengan tegas. Sedangkan PSI, NU, PSII, dan Parkindo menolak secara berhati-hati, namun PKI memberikan dukungan kuat Moh Mahfud MD, 2010: 141. Dari sela-sela pro-kontra itu, Soekarno berhasil membentuk Kabinet Djuanda setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh Maret 1957. Kabinet Djuanda yang dikenal sebagai Kabinet Karya kemudian merealisasikan keadaan darurat perang yang telah diumumkan Sokarno sebelum pembentukan kabinet baru. Soekarno membentuk Dewan Nasional, yang ekstra konstitusional, serta berkedudukan lebih tinggi daripada kabinet, karena keanggotaan dewan mencerminkan seluruh bangsa. Sedangkan kabinet hanya mencerminkan parlemen dan Soekarno menjadi ketua dewan yang lebih tinggi daripada kabinet itu. Kritik serta penolakan terhadap demokrasi terpimpin didasarkan pada keraguan: apakah dengan kekuasaan yang terpusat di tangannya itu, Soekarno bisa konsisten dengan teorinya. Menurut Mahfud MD: ....bahwa segala-galanya akan ada di dalam demokrasi terpimpin itu, kecuali demokasi, segala-galanya mungkin ada, kecuali kebebasan jiwa...Dalam istilah biasa yang semacam itu kita namakan diktator, suatu diktator sewenang-wenang. Moh Mahfud MD, 2010: 141. Menurut Soempono Djojowadono Moh Mahfud MD, 2010: 141, selain maksud-maksud yang tidak pernah diungkapkan, reaksi-reaksi penolakan terhadap demokrasi terpimpin didasarkan pada alasan, bahwa pengertian terpimpin bertentangan dengan asas demokrasi. Syarat mutlak demokrasi adalah kebebasan, 129 sedangkan istilah terpimpin sudah menghilangkan kebebasan. Oleh sebab itu, demokrasi terpimpin disamakan dengan diktator, atau setidak-tidaknya pasti menuju ke kondisi diktator. Sejarah membuktikan, apa yang dikhawatirkan para penentang demokrasi terpimpin benar, sebab dalam praktiknya, Soekarno melakukannya jauh dari apa yang diteorikan. Seperti telah dikemukakan di atas, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, telah menjadi jalan lurus bagi sistem Demokrasi Terpimpin yang realitasnya tidak demokratis, malahan telah menjelmakan Soekarno menjadi seorang diktator. Deliar Noer 1966: 12 misalnya, menulis bahwa: Demokrasi terpimpin justru memperlihatkan ”hilangnya demokrasi dan yang tinggal hanya terpimpinnya. Soekarno benar-benar melaksanakan keinginannya, lebih jauh setelah Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden. Konstituante dan DPR yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilu dibubarkannya, kemudian membentuk Dewan Nasional yang pada gilirannya dibubarkan sendiri juga. Perilaku Soekarno semasa demokrasi terpimpin jauh menyimpang, bahkan bertentangan dengan pemikiran politiknya sendiri. Di puncak kekuasaannya, presiden memperlihatkan tingkah laku yang sewenang-wenang. Itu semua menyebabkan timbulnya penilaian bahwa tingkah laku politik Soekarno telah menyeleweng dari Demokrasi Pancasila dan lebih dari itu mengandung ciri otoriter. Upaya Soekarno untuk memperluas wewenangnya secara melampaui batas-batas konstitusionalnya tidak memperoleh halangan. Dengan demikiaan, Soekarno pribadi, Soekarno pada dirinya sendiri berkembang menjadi suatu kekuatan politik yang setingkat dengan partai- partai dan merupakan faktor yang menentukan dalam kehidupan politik Indonesia sejak akhir tahun lima puluhan. Nugroho Notosoesanto, 1975: 72. 130 Pada akhirnya gagasan demokrasi terpimpin mendapat dukungan dari lembaga-lembaga negara yang telah diatur oleh kekuasaan Soekarno. Pada tahun 1965 MPRS mengeluarkan ketetapan No. VIIIMPRS1965, yang berisi pedoman pelaksanaan demokrasi terpimpin. Ketetapan ini memuat isi yang menentukan proses pengambilan keputusan yang harus dilakukan dengan musyawarah mufakat, tetapi jika musyawarah mufakat tidak dapat dicapai, maka keputusannya diserahkan pada pimpinan. Mekanisme yang demikian tentu saja akan memberikan peluang pada Soekarno untuk mnguasai setiap pengambilan keputusan. Sebab sangat sulit jika setiap musyawarah harus selalu mufakat bulat. Akhirnya pimpinanlah yang akan menentukan segalanya. Tak dapat dibantah memang, jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, garis politik yang ditempuh Soekarno dapat memperlihatkan stabilitas, terutama setelah dilakukannya penyederhanaan sistem kepartaian dan dibentuknya Front Nasional. Tetapi stabilitas yang hidup waktu itu adalah stabilitas semu, sebab seperti ternyata kemudian ia tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses penggantian kepemimpinan. Stabilitas yang ada waktu itu hanya mengandalkan pada adanya tokoh politik yang dapat mengelola Front Nasional yang seolah-olah mewakili sistem partai tunggal yang tak kentara. Melalui sistem satu partai tak kentara ini dibina suatu gaya yang berorientasi pada nilai secara mutlak dengan konsekuensi bahwa interpretasi dari pemerintah harus selalu dianggap benar tanpa ada tawaran dan tidak mengenal alternatif lain Rusadi Kartaprawira, 1977: 147. Pada era Orde Lama ini situasi sosial politik didominasi oleh ideologi komunisme, sehingga politik nasional cenderung diarahkan ke pembentukan 131 masyarakat yang berbau sosialismekomunisme. Puncak kehidupan politik nasional adalah terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1965 yang lebih dikenal dengan Gerakan 30 September PKI.

2. Orde Baru

Orde Baru dimaknai sebagai tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara Indonesia, yang diletakkan kembali kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Dengan rumusan ini tampak dengan jelas bahwa apa yang disebut Orde Baru merupakan orde yang ingin mengoreksi dan mengadakan introspeksi secara mendasar dan menyeluruh atas praktek pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah disalaharahkan oleh Orde Lama. Usaha untuk kembali kepada kemurnian Pancasila dan UUD 1945 terjadi setelah pemberontakan G 30 SPKI. Menurut Tilaar: Tujuan Orde Baru adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu Orde Baru ikut mewujudkan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Secara lebih nyata Orde Baru ingin mencapai dua sasaran pokok, yaitu pemilihan umum yang akan memilih wakil-wakil rakyat serta memilih presiden dan pemerintahan baru secara konstitusional. Selanjutnya, menyediakan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat dalam volume yang cukup dan dengan harga yang terjangkau oleh daya beli rakyat. Tilaar, 1995: 111. Orde Baru adalah sebuah rezim di bawah pimpinan Soeharto, yang tampil setelah keruntuhan Demokrasi Terpimpin. Pada umumnya diterima kesepakatan bahwa, awal kelahiran Orde Baru adalah pada saat diterimanya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 Supersemar dari Soekarno oleh Soeharto yang kemudian si penerima dalam waktu sangat cepat membubarkan PKI BP-7 Pusat, 1990: 71. Orde Baru itu sendiri secara resmi didefinisikan sebagai ”tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila 132 dan UUD 1945 Joeniarto, 1990: 149. Masyarakat Orde Baru adalah masyarakat Indonesia yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ada baiknya dikemukakan di sini cuplikan pengertian Orde Baru sebagaimana dirumuskan dalam Seminar II Angkatan Darat: 1 Musuh utama Orde Baru adalah PKI dan pengikut-pengikutnya yaitu Orde Lama. 2 Orde Baru adalah suatu sikap mental. 3 Tujuan Orde Baru adalah menciptakan kehidupan politik, ekonomi, dan kultural yang dijiwai oleh moral Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 4 Orde Baru menghendaki pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis, walaupun tidak meninggalkan idealisme perjuangan. 5 Orde Baru menghendaki diutamakannya kepentingan nasional, walaupun tidak meninggalkan komitmen ideologi perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme. 6 Orde Baru menginginkan suatu tata susunan yang lebih stabil, berdasarkan lembaga-lembaga, misalnya MPR, DPR, Kabinet dan yang tidak dipengaruhi oleh oknum-oknum yang dapat menimbulkan kultus individu, akan tetapi Orde Baru tidak menolak pimpinan yang kuat dan pemerintahan yang kuat, malahan menghendaki ciri-ciri yang demikian dalam masa pembangunan. 7 Orde Baru menghendaki pengutamaan konsolidasi ekonomi dan sosial dalam negeri. 8 Orde Baru menghendaki pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari cita-cita demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. 9 Orde Baru menghendaki suatu tata politik dan ekonomi yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan yang mempunyai prinsip idiil, operasional dalam ketetapan MPRS IV1966. 10 Orde Baru adalah suatu tata politik dan ekonomi yang belum mempunyai kenyataan, yang ada baru suatu iklim yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan Orde Baru ini. 11 Orde Baru adalah suatu proses peralihan dari Orde Lama ke suatu susunan baru. 12 Orde Baru masih menunggu pelaksanaan dari segala Ketetapan MPRS IV1966. 13 Orde Baru harus didukung oleh tokoh pimpinan yang berjiwa Orde Baru yang menduduki tempat-tempat yang strategis. 14 Orde Baru harus didukung oleh suatu imbangan kekuatan yang dimenangkan oleh barisan Orde Baru. Joeniarto, 1990: 149. Pemerintah Orde Baru yang bersemboyan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, juga melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter, terutama pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan hak-hak politik rakyat sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. Menurut Moh. Mahfud MD: 133 Soeharto membangun sistem politik yang korporatis atau rezim militer teknokratis. Kekerasan-kekerasan politik banyak dilakukan oleh pemerintahan Soeharto melalui pembatasan dan pengendalian dengan koersi penekanan terhadap partai politik, ormas, dan berbagai LSM. Yang membedakan atoriterisme Soekarno dan otoriterisme Soeharto adalah cara membangun sistem tersebut. Era Soekarno membangun otoriterisme dengan terang- terangan melanggar konstitusi sedangkan pada era Soeharto otoriterisme dibangun melalui formalisasi pemuatan di dalam aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah yang sebenarnya melanggar konstitusi, artinya, banyak pelanggaran konstitusi dan hukum dilakukan, tetapi secara prosedural diberi bentuk hukum dijadikan peraturan perundang-undangan dulu sehingga ”seolah-olah” menjadi benar secara hukum. Moh. Mahfud MD, 2009: 136.

a. Konfigurasi Politik

Meskipun para pakar mencoba memberi identifikasi yang satu sama lain berbeda, tetapi ada persamaan di antara mereka bahwa Indonesia di bawah Orde Baru menampilkan konfigurasi politik yang tidak demokratis. Abdurrahman Wahid dalam Moh Mahfud MD, 2010: 229 menggambarkan secara lebih lugas bahwa Indonesia di era Orde Baru ”...ini kan otoriter, belum sampai ke taraf tirani”. Di samping karena logika pembangunan yang tentu berbeda, konfigurasi politik pada Orde Baru dapat dibedakan dari Orde Lama dalam hal tumpuannya. Seperti dikatakan oleh Alfian: Kalau Soekarno terutama mengandalkan kekuasaannya pada pengaruh karismanya sebagai seorang pemimpin dan pada kepandaiannya memegang kunci keseimbangan antara kekuatan-kekuatan politik yang saling bersaing dan bertentangan, maka Soeharto terutama mengandalkan kekuasaannya sebagai kepala eksekutif pada organ-organ politik yang kuat, militer dan Golkar. Oleh karena itu, kalau kekuasaan politik Soekarno yang besar tampak tidak efektif karena tidak adanya organ politik yang kuat sebagai landasan, maka kekuasaan politik Soeharto dengan adanya militer dan Golkar yang menjadi landasan dan pendukung utamanya tampak sangat efektif. Alfian, 1974: 53. 134

b. Partai dan DPR

Tekad Orde Baru menjamin stabilitas politik dalam rangka pembangunan ekonomi mempunyai implikasi tersendiri pada kehidupan partai-partai dan peran lembaga perwakilan rakyat. Sejak awal pemerintah sudah mempunyai obsesi untuk menghentikan kericuhan-kericuhan politik. Untuk itu salah satu cara yang dapat ditempuh adalah mengatur sistem kepartaian sedemikian rupa, agar partai-partai yang ada tidak melakukan pertikaian yang dapat mengganggu ketenangan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Pada saat bersamaan dengan pengebirian terhadap partai-partai, pemerintah telah membina dan membangun Golkar menjadi kuat melalui berbagai fasilitas. Menurut Afan Gaffar: Golkar tampil sebagai partai hegemonik, partai yang tidak tertandingi, yang menjadi mesin politik pengontrol seluruh spektrum dalam proses politik di Indonesia, sedangkan partai-partai lain hanya menjadi partai kelas dua atau licenced parties. Hasil Pemilu 1971 memberi kemenangan yang luar biasa bagi pemerintah karena Golkar meraup dukungan suara 62,8 dari kursi yang diperebutkan. Dengan modal itu, pada masa-masa selanjutnya pemerintah bersama Golkar mengambil porsi yang dominan dalam semua spektrum proses politik dan menjadikan Orde Baru sebagai negara kuat. Afan Gaffar, 1992: 186. Komposisi kekuatan di MPR mengalami hal yang sama: fraksi pemerintah tetap dominan. Sebab di samping seluruh anggota DPR adalah anggota MPR, masih ada dua hal lagi yang mengokohkan dominasi itu: Pertama, keanggotaan MPR selain dari DPR diangkat pula oleh presiden. Kedua, utusan-utusan golongan setelah hasil perimbangan lebih banyak ditentukan oleh presiden. Jadi, dalam komposisi ini terjadi ketidakselarasan komposisi keanggotaan MPR dengan struktur masyarakat. 135 Sebagai akibat dari lemahnya lembaga perwakilan tersebut, maka hampir semua produk legislasi yang disahkan sebagai perwakilan berasal dari usulan pemerintah. Menurut Alfian peranan presiden atau pemerintah dalam mengambil inisiatif mengajukan RUU amatlah dominan: ”Selama Orde Baru, dan bahkan selama ada DPR hasil Pemilu pada Orde Baru tidak ada inisiatif usul RUU yang berasal dari kalangan DPR sehingga merisaukan berbagai kalangan dalam masyarakat”. Alfian, 1990: 48. Pada umumnya DPR hanya melakukan perbaikan semantik tidak prinsip atas rancangan-rancangan yang disampaikan oleh pemerintah.

c. Pemerintah yang Dominan

Upaya teoritisasi politik Orde Baru yang dilakukan oleh para pakar menunjukkan kesamaan pandangan dalam satu hal bahwa: ”peranan pemerintah dalam rezim Orde Baru sangatlah besar, intervensionis, dan berada di atas berbagai kelompok yang hidup di tengah masyarakat”. Dalam proses pembuatan keputusan legislasi tampak dengan jelas betapa dominasi pemerintah bukan hanya dalam pengelolaan eksekutif, tetapi juga dalam kegiatan legislatif. Produk-produk MPR hampir seluruhnya berasal dari sumbangan pemerintah, termasuk GBHN yang sangat penting itu. Paling tidak sampai dengan Sidang Umum MPR 1988 bahan-bahan GBHN dihimpun oleh Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional Wanhankamnas untuk kemudian disusun oleh tim dalam sistematika yang sudah hampir final. Kedua ”tim kerja” ini dibentuk oleh presiden. Sejak tampilnya anggota-anggota DPR hasil Pemilu 1971 semua produk hukum yang berbentuk UU berasal dari rancangan yang diusulkan oleh pemerintah. 136 Perbedaan para sarjana dalam memandang realita kepolitikan Orde Baru pada dasarnya terletak pada upaya identifikasi saja. Menurut Moh Mahfud MD: Sistem politik Orde Baru bukanlah sistem yang demokratis. Benedict Anderson, Donald K Emerson, R. William Liddle, dan Yahya Muhaimin memandang kenyataan tersebut sebagai pemunculan kembali budaya patrimonialisme dalam budaya Jawa. Ruth T. Mc.Vey dan Farchan Bulkin menyebutkan ”beamtenstaat” pascakolonial. Karl D Jackson menyebutnya ”bureucratic polity” sebagai identifikasi yang tepat. Dwight Y King juga menunjuk model ”bureaucratic authoritarian regime” yang berimplikasi pada strategi korporatisme sebagai penjelasannya. Sedangkan Abdul Kadir Besar, yang didukung oleh Padmo Wahjono, memberikan pembenaran pada realita kepolitikan Orde Baru dengan menunjukkan paham integralistik sebagai paham resmi yang dianut oleh UUD 1945. Dalam semua upaya teoritisasi itu tersimpul bahwa kontestasi dan partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan di luar birokrasi masih sangat lemah sehingga banyak sarjana, seperti Afan Gaffar, mengualifikasikan juga sebagai ”sistem politik hegemoni. Moh Mahfud MD, 2010: 239.

d. Kebebasan Pers

Pada awal kelahiran Orde Baru, kehidupan pers mendapat angin segar. Kebebasan pers diberi harapan untuk berkembang seperti yang diinginkan oleh kalangan pers sendiri, yakni keluar dari belenggu sistem politik otoriter, seperti yang dialami pada era Orde Lama. Oleh sebab itu, kritik-kritik yang pedas sering muncul dalam media pers pada waktu itu, baik ditujukan rezim yang baru jatuh Demokrasi Terpimpin maupun kepada rezim yang baru naik ke pentas politik. Pemerintah Orde Baru bersikap toleran terhadap cara penyajian yang kadangkala ”panas” itu. Pers mahasiswa kembali meraih puncak kebesarannya, dan bersama dengan pers umum menikmati keleluasaan mengekspresikan apa saja. Moh Mahfud MD, 2010: 233. Namun gaya libertarian pada era Orde Baru hanyalah bersifat sementara, yakni selama pemerintah memantapkan pembuatan format politik baru di Indonesia. Segera 137 setelah format politik baru itu terbentuk melalui UU No. 151969 dan UU No. 161969 mulailah gaya libertarian bergeser ke gaya otoritarian dan pemberedelan terhadap pers tetap terjadi secara terus menerus. Lebih lanjut menurut Moh Mahfud MD: Pada periode ini sudah ada UU yang mengatur kehidupan pers, yakni UU No. 11 Tahun 1966, mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Pers UU ini dikeluarkan pada awal Orde Baru, tetapi ketika itu Presiden Soekarno masih menjadi presiden. Oleh karena itu UU ini dapat disebut UU yang dibuat pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Meskipun UU ini ditandatangani oleh Soekarno pada 12 Desember 1966, tapi istilah demokasi terpimpin tidak tercantum di dalamnya. Pada waktu itu Soekarno secara resmi masih presiden, tetapi kekuasaannya yang riil telah berpindah kepada Soeharto sejak 11 Maret 1966. Dan sebelum UU itu diundangkan Orde Baru telah lahir dengan membawa perlawanan terhadap konsep Demokrasi Terpimpin. Moh Mahfud MD, 2010: 234. Setelah peristiwa Malari 15 Januari 1974 pemerintah memberedel beberapa penerbitan pers umum, seperti Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, dan harian KAMI. Begitu juga setelah Pemilu 1977 atau menjelang sidang umum MPR tahun 1978, beberapa surat kabar umum seperti Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Indonesia Timur, Sinar Pagi, Pelita, Masa Kini diberedel meskipun kemudian boleh terbit lagi setelah para pimpinannya membuat pernyataan tertentu. Semula pers mahasiswa dianggap sebagai cagar kebebasan pers, dan kerenanya, setelah beberapa pers umum terkekang dengan ancaman pemberedelan, pers mahasiswa menggantikan peranan pers umum untuk menyampaikan pemberitaan secara lugas. Tetapi pers mahasiswa juga dikenakan larangan terbit diberedel pada waktu itu Daniel Dhakidae, 1977: 73. Meskipun setelah enam bulan pers mahasiswa boleh terbit kembali, tetapi belum setahun setelah itu beberapa pers mahasiswa seperti Salemba UI, Gelora Mahasiswa UGM, Kampus ITB, diberhentikan penerbitannya. Setelah itu pers mulai bisa 138 menyesuaikan diri, tetapi pemberedelan sekali-kali tetap terjadi. Pada tahun 1982 Tempo biberedel sementara karena reportasenya mengenai peristiwa ”Lapangan Banteng” Peristiwa ini adalah ”huru-hara” yang menimbulkan kerusakan di Jakarta ketika ada kampanye Golkar di Lapangan Banteng yang kemudian bentrok dengan simpatisan kontestan lain. Menuyusul harian Prioritas yang sebelumnya telah berkali- kali mendapat peringatan dari Deppen dan Harian Sinar Harapan 1986 serta mingguan tabloid Monitor yang diberedel pada tahun 1990. Akhirnya pada tahun 1994, tiga penerbitan yang sangat berpengaruh diberedel, yaitu Tempo, Editor, dan Detik. Di kalangan dunia pers Indonesia belakangan ini dikenal juga istilah ”lembaga telepon” yang dianggap bertendensi penyensoran secara halus. Dengan melalui telepon, biasanya seorang pejabat minta kepada redaksi untuk tidak memuat berita- berita tertentu. Moh Mahfud MD, 2010: 232.

e. Hegemoni Soeharto

Pemerintah Orde Baru dengan ketat sebenarnya menerapkan sistem satu partai. Sejak awal tahun 1970-an hingga 1998, formalnya hanya tiga partai yang boleh hidup, yakni Golkar, PPP, dan PDI. Dua partai yang disebut belakangan itu adalah hasil ”fusi paksa” yang disponsori pemerintah terhadap sembilan partai yang eksis dalam Pemilu 1971, pemilihan umum pertama di bawah Orde Baru. Kendati Golkar resminya bukan partai politik, melainkan hanya sebuah kelompok fungsional semata, pada praktiknya, Golkar adalah satu-satunya ”partai sejati” sepanjang rezim Orde Baru. Guna memperkuat kontrol terhadap partai yang ada, Pasal 14 1 UU No. 1 Tahun 1985 tentang Partai Politik: 139 Memberi kewenangan kepada Presiden untuk membubarkan partai yang tidak sesuai dengan tujuan negara. Lebih jauh lagi, masih menurut Pasal 2 1 UU yang sama, partai politik harus menerima Pancasila, falsafah negara, sebagai satu-satunya landasan, alias asas tunggal. Vatikiotis berpendapat bahwa kontrol melalui prinsip asas tunggal ini adalah pembatasan sangat efektif yang dilakukan Orde Baru terhadap ruang gerak masyarakat. Langkah ini merupakan pengebirian terhadap semua partai politik, dengan meletakkan kekuatan Islam ke dalam cengkeraman ketat kontrol negara. Denny Indrayana, 2007: 142. Pemerintah Soeharto jelas bersikap pilih kasih, dengan membeda-bedakan bobot kontrolnya di antara ketiga partai yang ada. Terhadap PPP dan PDI, pemerintah bersikap jauh lebih ketat dan keras, ketimbang terhadap Golkar. Yang terakhir ini dengan cepat menjadi partai politik negara yang intim dengan militer Indonesia. Pemerintah Soeharto membantu kinerja Golkar, hasilnya, seperti terlihat dalam Tabel 1, Golkar tak terkalahkan dalam semua Pemilu yang digelar sepanjang sejarah Orde Baru: 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Tabel 9 Hasil Pemilu Orde Baru 1971-1997 Tahun Golkar total jumlah kursi Golkar total jumlah suara PPP total jumlah kursi PPP total jumlah suara PDI total umlah kursi PDI total jumlah suara 1971 66 59 27 26 8 9 1977 64 56 28 27 8 8 1982 60 64 24 28 6 8 1987 75 73 15 16 10 11 1992 70 68 16 17 14 15 1997 76 75 21 22 3 3 Sumber: Denny Indrayana, 2007: 146. Denny Indrayana. 2007. Amandemen UUD 1945, antara mitos dan pembongkaran. Bandung: Penerbit Mizan. Salah satu di antara mekanisme yang digunakan untuk membantu Golkar, agar selalu menang dalam setiap Pemilu, adalah: 140 Kewajiban bagi para pegawai negeri sipil untuk selalu mendukung Golkar. Semua PNS secara otomatis menjadi anggota Korpri, sebuah lembaga yang setali tiga uang dengan Golkar, dan sejak awal 1970-an semua anggota Korpri diwajibkan menandatangani sebuah surat yang menyatakan “monoloyalitas” mereka kepada Golkar. Mereka yang melanggarnya dianggap telah melakukan tindak pengkianatan dan hal demikian sudah cukup untuk menjadi alasan pemecatan. Denny Indrayana, 2007: 144. Lama-kelamaan program-program pemerintah Orde Baru tidak diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Ambisi penguasa Orde Baru mulai merambah keseluruh sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan Orde Baru menjadi otoriter, namun seolah-olah dilaksanakan secara demokratis. Penafsiran pasal-pasal UUD 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan isi yang tertuang dalam UUD tersebut, melainkan dimanipulasi demi kepentingan sang penguasa. Bahkan Pancasila diperalat demi legitimasi kekuasaan. Hal itu terbukti dengan adanya Ketetapan MPR No. IIMPR1978, tentang P4 yang dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda kekuasaan Orde Baru. Realisasi UUD 1945 praktis lebih banyak memberikan porsi pada presiden, walaupun sesungguhnya UUD 1945 memang memberi wewenang yang amat besar pada lembaga kepresidenan, akan tetapi presiden hanyalah mandataris MPR serta dalam menjalankan pemerintahan diawasi oleh DPR. Dalam kenyataan di lapangan posisi legislatif berada dibawah presiden. Seperti tampak dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya, serta UU tentang Pemilihan Umum, posisi presiden terlihat sangat dominan. Dengan paket UU politik tersebut praktis secara politis kekuasaan legislatif berada dibawah presiden. Selanjutnya hak asasi rakyat juga sangat dibatasi serta dikekang demi kekuasaan, sehingga amanat pasal 28 UUD 1945 jauh dari kenyataan. Akibat 141 kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol tersebut akhirnya penguasa Orde Baru cenderung melakukan penyimpangan hampir di semua sendi kehidupan bernegara. Korupsi kolusi dan nepotisme KKN merajalela dan membudaya, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang yang dekat dengan penguasa, kesenjangan semakin melebar, utang luar negeri menjadi menggunung, akhirnya badai krisis ekonomi menjalar menjadi krisis multi dimensi. Rakyat yang dipelopori mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang. Akhirnya runtuhlah Orde Baru bersamaan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.

3. Era Reformasi

Era reformasi adalah suatu era yang dimulai sejak tumbangnya rezim Orde Baru di Indonesia yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa. Jatuhnya Soeharto dari kekuasaan digantikan oleh B.J. Habibie. Dengan demikian Era Reformasi dimulai sejak pemerintahan B.J. Habibie. Perubahan politik yang diawali dengan krisis multidimensi sejak pertengahan 1997 membawa implikasi signifikan bagi proses terciptanya suatu tatanan politik baru yang terbuka, transparan, dan demokratis. Krisis ini berlanjut pada berbagai bidang dan sebagai akibat dari akumulasi krisis bangsa, pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden. Sejak itu, politik Indonesia mengalami perubahan penting. Kejatuhan Soeharto melalui gerakan reformasi 1998 merupakan titik awal bagi reformasi seluruh sistem politik dan birokrasi negara. Oleh karena sistem lama tidak lagi dapat merespons arus deras perubahan, maka diperlukan sistem baru dan aktor baru. 142 Dari hasil wawancara dengan Muchson dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Gerakan reformasi semakin menguat ketika krisis moneter yang terjadi pada Juli 1997 tidak dapat segera diatasi, bahkan berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis multi dimensional, yang akhirnya gagal ditangani oleh rezim Orde Baru. Padahal keberhasilan pemerintah Orde Baru dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi sejak lama dijadikan alat legitimasi pemerintah, terutama dalam menghadapi tuntutan kelompok-kelompok demokrasi, untuk segera melakukan proses keterbukaan politik. Terjadinya krisis ekonomi yang gagal ditangani oleh rezim Soeharto tersebut menyebabkan tidak validnya keberhasilan ekonomi ini sebagai alat legitimasi. Kegagalan dalam menangani krisis moneter dan ekonomi itu membuat Soeharto dan rezim Orde Baru yang dipimpinnya menyerah pada tuntutan reformasi. Mahasiswa dan masyarakat berhasil mendesak pimpinan DPRMPR untuk meminta Soeharto presiden yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun tersebut, mundur dari jabatannya. Akhirnya Soeharto mundur dari panggung politik pada tanggal 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa. Posisi Soeharto segera digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie, yang dikenal luas sebagai anak didik Soeharto. Presiden BJ Habibie langsung memenuhi tuntutan rakyat dan kelompok pro-demokrasi untuk menggelar pemilu demokratis pertama era reformasi 1999. Meski telah mengakomodasi tuntutan politik kelompok- kelompok pro-demokrasi dan reformasi, pertanggungjawaban BJ Habibie sebagai presiden ternyata ditolak oleh MPR. Melihat kenyataan tersebut, Habibie kemudian menyatakan tidak bersedia untuk dicalonkan kembali sebagai presiden. Menurut Akbar Tanjung 2008: 30: Dalam kondisi politik yang masih labil, MPR akhirnya berhasil memilih dan mengangkat Abdurrahman Wahid Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa PKB sebagai presiden, menggantikan BJ Habibie. Kurang dari dua 143 tahun berkuasa, Presiden Abdurrahman Wahid jatuh dari kekuasaan, setelah terjadi konflik dengan partai politik di DPR. Megawati Soekarnoputri, wakil presiden dan juga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP, pemenang Pemilu 1999, pada 23 Juli 2001 oleh MPR diangkat menjadi presiden sampai 2004. Perubahan dan dinamika politik era reformasi terjadi sangat cepat, sehingga antara 1998-2004 Indonesia telah memiliki tiga orang presiden. Lewat Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggantikan Presiden Megawati dan berkuasa hingga saat ini. Akbar Tanjung, 2008: 29. Reformasi politik 1998 membalikkan situasi politik di Indonesia. Kepolitikan otoriter era Orde Baru digantikan oleh sistem politik yang demokratis pada era reformasi. Meskipun Soeharto berhasil menyerahkan jabatan presiden kepada BJ Habibie namun Soeharto gagal mewariskan struktur politik Orde Baru secara utuh kepada wakilnya itu. Menurut Akbar Tanjung 2008: 30. Indonesia pasca Orde Baru berupaya mencari sebuah bentuk sistem kepolitikan nasional yang demokratis. Upaya tersebut dilakukan dengan menghilangkan dan menggantikan berbagai aturan yang tidak demokratis, menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, serta berbagai momentum demokrasi politik lainnya. Pemerintah Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, telah menunjukkan tekad yang kuat untuk melakukan reformasi nasional di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Samsuri 2010: 5 Presiden Habibie melakukan langkah sebagai berikut: Pada 7 Desember 1998 Presiden Habibie membentuk sebuah Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani melalui Keputusan Presiden RI No. 198 Tahun 1998. Tim ini dipimpin oleh Adi Sasono sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Sofian Effendi sebagai Ketua Tim Pelaksana. Tim reformasi meliputi tujuh kelompok bidang yaitu: Kelompok Reformasi Ekonomi Koordinator M. Dawam Rahardjo; Kelompok Reformasi Tekno-Industri Koordinator Laode M. Kamaluddin; Kelompok Reformasi Politik Koordinator Susilo Bambang Yudhoyono; Kelompok Reformasi Kelembagaan Koordinator Mustopadidjana AR; Kelompok Reformasi Sosial Budaya Koordinator Taufik Abdullah; Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-undangan Koordinator Jimly Ashshidiqi, dan Kelompok 144 Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Koordinator A. Malik Fadjar. Tim nasional Reformasi ini berhasil menyusun sebuah laporan tentang dasar pemikiran, kerangka strategi dan kebijakan tentang transformasi masyarakat madani dari perspektif sosial- budaya, ekonomi, politik, hukum, kelembagaan, pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, serta tekno-industri. Masing-masing perspektif tersebut oleh Tim Nasional Reformasi dipandang sebagai satu kesatuan sistemik yang harus diwujudkan dalam proses transformasi bangsa menuju masyarakat madani. Guna mewujudkan tujuan reformasi tersebut, telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Sistem Multi Partai

Sekalipun menuai banyak kritik, UU Pemilu memberi landasan yang memadai bagi terselenggaranya Pemilu 1999. Salah satu langkah reformatif adalah diberlakukannya sistem multi partai berdasarkan UU tentang partai politik, menggantikan sistem satu partai ala Orde Baru yang otoriter. Euforia politik periode pasca-Soeharto antara lain melahirkan 141 partai politik, yang 48 diantaranya dianggap memenuhi syarat untuk ikut bertarung di ajang Pemilu 1999. Belakangan, sistem multi partai ini ikut berperan kuat dalam menelurkan perdebatan kaya pemikiran dan lebih terbuka sebelum keempat perubahan UUD 1945 disahkan Denny Indrayana, 2007: 172.

b. Mewujudkan Kebebasn Pers

Pemerintah Soeharto menerapkan sistem sensor yang ketat untuk membatasi kebebasan pers. Menteri Penerangan kala itu mengeluarkan Peraturan Menteri No. 1 Tahun 1984 tentang Izin Penerbitan. Peraturan ini memberi kewenangan kepada Menteri Penerangan untuk mencabut SIUPP, atau lisensi penerbitan milik perusahaan media mana pun yang tidak mendukung kebijakan pemerintah. Pada bulan Juni 1998, 145 pemerintah Habibie mencabut peraturan ini dan menyederhanakan prosedur pemberian surat izin bagi dunia penerbitan Kebijakan ini melahirkan ratusan penerbitan baru dan era baru dalam kebebasan pers Denny Indrayana, 2007: 172.

c. Pembebasan Tapol

Di bawah rezim Soeharto, setiap pemimpin oposisi harus siap bila sewaktu- waktu dicokok dan dijebloskan ke dalam penjara, menjadi tahanan politik. Menjelang tumbangnya rezim Soeharto, terdapat lebih dari 200 orang tapol, mulai dari pemimpin mahasiswa, aktivis muslim, orang Timor Timur, dan kader komunis berusia lanjut, yang beberapa di antaranya bahkan sudah mendekam di penjara selama lebih dari 25 tahun. Setelah ambruknya rezim Soeharto, tekanan-tekanan internasional maupun domestik untuk membebaskan semua tahanan ini pun menguat. Menaggapi tekanan demikian, Habibie memerintahkan 179 orang tapol, yang terdiri dari oang-orang Indonesia dan Timor-Timur, dibebaskan. Muladi, menteri Kehakiman pada kabinet Habibie, mengakui bahwa kebijakan ini merupakan satu upaya pemerintah untuk mendongkrak citranya di bidang penegakkan hak-hak asasi manusia. Apapun tujuannya, pembebasan tapol ini adalah salah satu proses yang menghilangkan praktik otoritarianisme yang umum terjadi selama rezim Soeharto berkuasa. Lagi pula, tindakan demikian memperkuat iklim politik yang lebih terbuka yang dibutuhkan untuk membahas isu-isu penting seperti reformasi konstitusi Denny Indrayana, 2007: 173.

d. Pemilu yang Dipercepat 1999

Legitimasi Habibie dipersoalkan bukan hanya oleh kekuatan-kekuatan oposisi, melainkan juga oleh rakyat. Liddle mengatakan: 146 Habibie memulai sebagai seorang Presiden yang luar biasa lemah, tidak disukai secara pribadi dan diremehkan secara politik, oleh hampir setiap kelompok penting dalam masyarakat Indonesia, termasuk elemen-elemen penting di lingkungan Golkar, partainya sendiri. Liddle, 2000:10. Seandainya saja Habibie punya legitimasi yang lebih kuat, sangat mungkin masa jabatannya tidak akan tamat sebelum 2003. Sebab, menurut Pasal 8 UUD 1945, seharusnya Habibie meneruskan masa jabatannya sebagai Presiden hingga berakhirnya masa jabatan Soeharto 1998-2003. Jadi, mestinya, Pemilu baru akan digelar satu tahun sebelum masa jabatan itu berakhir, atau tepatnya pada tahun 2002. Tetapi karena kepresidenannya miskin legitimasi, Habibie pun merasa wajib menggelar Pemilu lebih dini, yaitu pada tahun 1999. Dewi Fortuna Anwar menjelaskan bahwa: ...kendati secara konstitusional masa jabatan Habibie berlangsung hingga 2003, jelas bahwa mandat politik pemerintahannya yang lemah itu membuat opsi semacam ini menjadi mustahil....Untuk membentuk suatu pemerintah yang memiliki legitimasi konstitusional dan politik yang kuat, sebuah pemilu baru harus dilakukan sesegera mungkin. Dewi Fortuna Anwar, 1999: 34-35. Dengan melaksanakan pemilihan umum selekas mungkin setelah lengsernya Soeharto, Indonesia memulai transisinya dari kekuasaan otoriter sebagaimana mestinya. Menurut Liddle, Pemilu pasca Soeharto ini merupakan sebuah titik balik atau momentum yang menentukan dalam transisi Indonesia. Baginya, Pemilu yang demokratis menjadi indikasi bahwa “ambang pintu peralihan dari otoritarianisme ke demokrasi sudah dilalui” oleh Indonesia Liddle, 2000: 373. 147 Dalam Pemilu 1999, dari empat puluh delapan partai kontestan Pemilu, hanya 21 yang berhasil meraih kursi di DPR. Tabel berikut menunjukkan hasil ini dan distribusi kursi di DPR secara keseluruhan. Tabel 10 Hasil-Hasil Pemilu 1999 dan Komposisi DPR No Partai Total Jumlah Suara Jumlah Kursi Total Jumlah Kursi 1 PDIP 33,73 153 30,6 2 Golkar 22,46 120 24 3 PPP 10,72 58 11,6 4 PKB 12,66 51 10,2 5 TNI-Polri 38 7,6 6 PAN 7,12 34 6,8 7 PBB 1,94 13 2.6 8 15 Partai lainnya 11,4 33 5,2 Total 100 500 100 Sumber: Wiliam Liddle, 2000: 373. Tabel tersebut menunjukkan bahwa situasi, konfigurasi politik masih didominasi oleh ketiga partai yang eksis di bawah rezim otoriter Soeharto, dengan PDIP, Golkar, dan PPP sebagai tiga partai terbesar di DPR. Di sisi yang lain, dari 500 anggota DPR, sebanyak 116 orang atau 23 dari jumlah total itu adalah anggota lama. Sedangkan 77 sisanya adalah anggota baru. Sebagian besar anggota-anggota baru itu adalah wirausahawan, birokrat, dan guru. Ini menunjukkan terjadinya perubahan radikal dalam latar belakang profesi para anggota Dewan, dimana jumlah birokrat dan pensiunan perwira-perwira militer merosot tajam, digantikan oleh mereka yang berlatarkan wirausaha National Democratic Institute, The 1999 Presidential Elections and Post-Elections Stament Number 4, Post Election 148 Developments in Indonesia, the Formation of the DPR and the MPR, Jakarta, 26 Agustus 1999, h.8. B. Dinamika Politik Pendidikan Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi 1. Politik Pendidikan Orde Lama Pendidikan di Indonesia pada era Orde Lama berlandaskan Pancasila. Landasan pendidikan ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 1945 ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Meskipun selama periode ini Indonesia sudah menggunakan tiga UUD, tetapi setiap UUD tersebut Pancasila tetap dijadikan falsafah negara dan dengan demikian secara otomatis menjadi landasan pendidikan di Indonesia. Politik pendidikan pada era ini tercermin pada UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, dengan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. UU No.4 Tahun 1950, Bab II, Pasal 3. Pada tahun 1954 dikeluarkan UU No. 12 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. UU ini merupakan pemberlakuan kembali UU No. 4 Tahun 1950 untuk seluruh wilayah RI bekas RIS. Ketetapan yang tercantum di dalamnya sama dengan ketetapan yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun 1950. Demikian pula mengenai tujuan pendidikan yang tercantum dalam Bab II, Pasal 3 pada kedua undang-undang tersebut. 149 Sejak tahun 1959 Indonesia berada di bawah gelora Manipol-Usdek yang seolah-olah menjadi panglima dalam kehidupan politik Indonesia dan dalam bidang kehidupan lain. Bidang pendidikan pun tak luput dari pengaruh tersebut. Keputusan Presiden No. 145 Tahun 1965 merumuskan tujuan nasional pendidikan Indonesia sesuai dengan Manipol-Usdek. Manusia sosialis Indonesia adalah cita-cita utama setiap usaha pendidikan di Indonesia, sedangkan kepentingan kehidupan pribadi agar dinomorduakan Tilaar, 1995: 91. Dalam Keputusan Presiden RI, No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan ditetapkan sebagai berikut: Tujuan Pendidikan Nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, dari pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan Warga Negara Sosialis, yang bertanggungjawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila. Di era pemerintahan Soekarno Orde Lama, pendidikan nasional memasuki suatu masa di mana pendidikan betul-betul merupakan alat politik tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Periode ini merupakan suatu era dimana metode indoktrinasi merupakan sarana untuk mewujudkan suatu cita-cita politik. Tilaar, 1995: 92. Kegagalan Konstituante untuk menyusun undang-undang dasar baru menyebabkan Indonesia dalam keadaan yang tidak menentu. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Konstituante dibubarkan dan kembali kepada UUD 1945. Dengan Dekrit Presiden tersebut maka terjadilah suatu perubahan yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Era kehidupan pada masa itu dikenal dengan era “Manifesto Politik”. 150 Manifesto Politik Manipol merupakan keseluruhan isi pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959. Pidato tersebut merupakan penjelasan resmi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Manipol mula-mula diintrodusir oleh Menteri Penerangan Maladi dalam rangka mengantisipasi pidato Presiden 17 Agustus 1959. Menurut Tilaar: Dalam pidato tersebut Presiden memberikan sejenis pertangungjawaban mengapa Dekrit 5 Juli tersebut dikeluarkan. Di dalam Manipol tersebut dikemukakan mengenai persoalan-persoalan pokok revolusi Indonesia, program umum, dan usaha-usaha pokok revolusi tersebut. Selanjutnya, Manipol dianggap sebagai garis-garis besar haluan negara, suatu konsep yang tentunya bertentangan dengan apa yang kita kenal sekarang ini. Seharusnya garis-garis besar haluan negara ditetapkan oleh MPR dan memberikan mandat kepada Presiden untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, Presiden adalah mandataris MPR. Akan tetapi yang terjadi saat itu tidak sesuai dengan ketentuan UUD. Bermula dari pidato Presiden dan kemudian MPRS mengukuhkannya sebagai garis-garis besar haluan negara. Manipol kemudian dijadikan sebagai doktrin negara dan setiap warga negara wajib mengetahuinya. Dalam perkembangan selanjutnya, dirangkumkan intisari Manipol yang terkenal dengan kependekan USDEK. USDEK adalah singkatan dari kata-kata Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Istilah USDEK itu sendiri berasal dari Ketua DPRD Jawa Barat Kosasih, yang menganjurkan untuk menghafalkan lima unsur Manipol dalam rangkaian kata USDEK. Tilaar, 1995: 94. Secara ideologis, Manipol memang bertentangan dengan Pancasila. Kita lihat misalnya ungkapan mengenai kekuatan-kekuatan sosial revolusi Indonesia yang dirumuskan sebagai berikut, seperti yang dipidatokan Presiden Soekarno pada waktu itu: Jadi jelaslah bahwa kekuatan-kekuatan sosial revolusi Indonesia, yaitu seluruh rakyat Indonesia dengan kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya tanpa melupakan peranan penting dari golongan-golongan lain, adalah sangat besar dan meyakinkan akan menangnya revolusi Indonesia. Tilaar, 1995: 94. 151 Dengan menyebut secara jelas mengenai kekuatan kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokok, maka arahnya ialah sesuai ajaran komunisme mengenai kelas-kelas tani dan buruh sebagai tulang punggung revolusi. Manipol USDEK ini secara sistematis diindoktrinasikan pada seluruh lapisan rakyat Indonesia termasuk di semua jenjang dan jenis pendidikan. Cara penyampaiannya adalah dengan cara indoktrinasi karena tidak dibenarkan adanya penafsiran-penafsiran yang lain selain dari yang telah dirinci oleh pemerintah, yaitu yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertimbangan Agung DPA tentang perincian persoalan-persoalan pokok dan program umum revolusi Indonesia yang diambil dari Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959. Di dalam rumusan DPA tersebut dikatakan bahwa Manipol adalah sangat penting karena telah menjawab persoalan-persoalan revolusi dan telah mengemukakan usaha-usaha pokok untuk menyelesaikan revolusi Indonesia. Seperti kita ketahui, Manipol sebagai garis besar haluan negara di dalam sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan ketapan TAP MPRSXXII1967 ditinjau kembali Tilaar, 1995: 95. Menurut Abd. Rachman Assegaf, politik pendidikan era Orde Lama dapat dibagi dalam tiga periode seiring dinamika politik yang mempengaruhinya. Periode pertama: sejak proklamasi kemerdekaan sampai terbentuknya Undang-undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950. Periode kedua: dari akhir periode pertama sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden tahun 1959. Periode ini dalam konteks politik saat itu dikenal sebagai masa Demokrasi Liberal atau Parlementer 1951-1959. Periode ketiga: dari akhir periode kedua sampai berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin 152 1959-1965. Keseluruhan periode tersebut tergolong dalam Orde Lama 1945-1965. Uraian berikut ini mengikuti spesifikasi ketiga periode dimaksud Abd. Rachman Assegaf, 2005: 54.

a. Periode 1945-1950

Setelah merdeka, pedoman pelaksanaan pendidikan berdasarkan UUD 1945. Atas usul dari Badan Pekerja KNIP, pada bulan Desember 1945 dibentuklah Panitia Penyelidikan Pendidikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Abd. Rachman Assegaf, 2005: 55. Pada masa pendudukan Belanda NICA, Indonesia dibagi menjadi negara- negara bagian RIS, sehingga perbedaan dalam pendidikan dari negara-negara itupun terjadi. Setelah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1950, pendidikan pun disatukan kembali atau seragam kembali, keadaan ini berlangsung sampai tahun 1952. Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Namun karena situasi sosial- politik yang belum stabil, perjuangan kemerdekaan belum selesai, dan di sana-sini terjadi instabilitas, maka tidak mengherankan bila selama periode ini sering terjadi pergantian menteri. Sekedar diketahui, antara 1945 sampai 1959, kabinet di Indonesia rata-rata berumur antara 7-8 bulan Abd. Rachman Assegaf, 2005: 56. Selama periode awal kemerdekaan 1945-1950 telah terjadi serangkaian pergantian Menteri Pengajaran. Menurut Napitupulu: 153 Menteri Pengajaran yang pertama adalah Ki Hadjar Dewantara 1889-1959, menjabat pada masa Kabinet Presidentil untuk periode 19 Agustus 1945-14 Nopember 1945. Menteri Pengajaran kedua adalah Dr. Mr.T.S.G. Mulia 1896-1969, menjabat pada masa Sjahrir I untuk periode 14 Nopember 1945- 12 Maret 1946. Menteri Pengajaran ketiga adalah Muhammad Sjafei 1896- 1966, menjabat pada masa Kabinet Sjahrir II untuk periode 12 Maret 1946- 2 Oktober 1946. Menteri Pengajaran yang keempat adalah Mr. Suwandi, menjabat pada masa Sjahrir III untuk periode 2 Oktober 1946-27 Juni 1947. Menteri Pengajaran kelima, keenam dan ketujuh adalah Mr. Ali Sastroamidjojo, menjabat pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin I, II dan Kabinet Hatta I untuk periode 3 Juli 1947-11 Nopember 1947, 11 Nopember 1947-29 Januari 1948, dan periode 29 Januari 1948-4 Agustus 1949. Jabatan menteri berikutnya menggunakan nama Menteri PP dan K, dengan Mr, Teuku Mah. Hassan sebagai menteri kedelapan, menjabat pada masa Kabinet Darurat untuk periode 19 Desember 1948-13 Juli 1949. Menteri PP dan K kesembilan adalah S. Mangunsarkoro, menjabat pada masa Kabinet Hatta II untuk periode 4 Agustus 1949-20 Desember 1949. Menteri PP dan K kesepuluh adalah dr. Abu Hanifah, M.D, menjabat pada masa Kabinet RI untuk periode 20 Desember 1949-6 September 1950. Selanjutnya, menteri kesebelas dan keduabelas dijabat oleh S. Mangunsarkoro pada masa Kabinet Peralihan untuk periode 20 Desember 1949-21 Januari 1950 dan 21 Januari 1950-6 September 1950. Napitupulu, 1976: 10. Menurut Abd. Rachman Assegaf 2005: 56 semangat revolusi sangat dominan dalam periode ini. Berbagai gejolak sosial politik muncul mewarnai awal kemerdekaan, sehingga operasionalisasi transisi pemerintahan belum stabil. Mengapa pada masa tersebut terjadi instabilitas politik dan belum mapannya sistem serta undang-undang pendidikan? Hal ini dapat dianalisis, terutama dengan memahami beberapa aspek sosial politik sebagai berikut: Pertama, adanya upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia sehingga timbul Agresi Belanda I pada 21 Juli 1947 dan Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948. Sebagian besar guru dan pelajar terlibat dalam perjuangan ini. Sekolah dan tempat-tempat pendidikan lainnya dijadikan sebagai perlindungan. Praktis, kegiatan belajar mengajar terhenti untuk sementara. Setelah gagal dengan upayanya tersebut Belanda mencoba menerapkan sistem negara federal atau Republik Indonesia serikat RIS dengan Belanda sebagai sentral pemerintahan. Periode 1945-1949, yang sering dikenal sebagai era revolusi Indonesia, ditandai tidak hanya oleh perjuangan bersenjata melawan Belanda dan konflik keras antar kelompok 154 yang berbeda, tapi juga konflik di tubuh parlemen dalam hal gagasan diplomatik, negosiasi dan politik Kedua, secara internal, di beberapa daerah muncul beberapa gerakan yang menimbulkan ketegangan sosial, seperti gerakan Partai Komunis Indonesia PKI di Madiun pada 1948. Gerakan Darul Islam DI 1948-1962 di Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo, pergolakan Darul Islam di Aceh 1953-1959 pimpinan Daud Beureueh, pembenrontakan Darul Islam Sulawesi Selatan 1950-1959 pimpinan Kahar Muzakkar, pemberontakan PRRI di Sumatera Barat 1958. Agaknya masa itu diwarnai oleh banyaknya insiden yang melibatkan gerakan Islam, konsentrasi terhadap pembangunan bidang pendidikan pun terganggu. Ketiga, terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1949 mengakibatkan belum mapannya perangkat hukum, politik, dan pendidikan nasional. Itu sebabnya Undang-undang Pendidikan dan pengajaran baru dapat muncul kemudian setelah terjadi kemapanan politik dan meredanya gejolak sosial. Keempat, pemerintah Indonesia pada saat itu dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan penggantian kerugian dengan pihak pemerintah Jepang, dimana memakan waktu yang lama dan proses yang kompleks. sedemikian sibuknya pemerintah dalam menangani keempat masalah tersebut, sehingga fokus perhatiannya terpusat ke arah stabilitas politik, sementara kondisi sosial ekonomi dan pendidikan tercecer. Abd. Rachman Assegaf, 2005: 56. Kondisi sosial-politik demikian mempengaruhi iklim pendidikan nasional saat itu, antara lain berupa: pertama, masa jabatan Menteri Pengajaran yang relatif singkat akibat sering terjadi pergantian menteri sebagaimana disebut di atas. Kedua, minimnya jumlah guru, terutama guru Sekolah Dasar, akibat keikut sertaan mereka dalam perang kemerdekaan, demikian pula halnya dengan para pelajar yang merangkap fungsi sebagai tentara, menimbulkan terpecahnya konsentrasi pendidikan ke arah perjuangan nasional. Ketiga, fasilitas sekolah banyak yang hancur akibat perang atau karena dipakai sebagai barak militer, mengakibatkan terhentinya proses belajar mengajar di kelas. Keempat, belum terbentuknya undang-undang pendidkan nasional Abd. Rachman Assegaf, 2005: 57. 155 Meskipun faktor sosial politik di atas menyebabkan beberapa hambatan terhadap kelancaran pelaksanaan pendidikan, bukan berarti bahwa proses pendidikan tidak berjalan sama sekali atau tidak ada upaya untuk mengatasi hambatan tersebut. Tindakan pertama yang diambil oleh pemerintah Indonesia ialah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat, sebagaimana terwujud dalam UUD 1945 Bab XIII pasal 31, menyatakan bahwa: Ayat 1: Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. Ayat 2: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang Abd. Rachman Assegaf, 2005: 58. Jika pada masa Belanda tujuan pendidikan untuk membentuk kelas elit dan tenaga terdidik yang murah untuk tujuan memperkuat bentuk penjajahan. Pada masa Jepang pendidikan bertujuan untuk menciptakan tenaga buruh dan mobilisasi militer untuk tujuan membantu pemerintah pendudukan Jepang melawan tentara sekutu, maka pascakemerdekaan, tahun 1946, melalui SK Menteri PP dan K, menurut Djumhur: Pendidikan dinyatakan untuk menanamkan semangat dan jiwa patriotisme, yang dioperasionalkan melalui instruksi umum oleh Menteri Pengajaran pertama, Ki Hadjar Dewantara, ditujukan kepada semua kepala sekolah dan guru agar: 1 Mengibarkan ”Sang Merah Putih” setiap hari di halaman sekolah. 2 Melagukan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”. 3 Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian ”Kimigayo”. 4 Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang beserta segala upacara yang berasal dari Balatentara Jepang. 5 Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid. Djumhur, 1976: 200. Langkah berikutnya, menurut Ary H. Gunawan, 1986: 43 untuk mengatasi masalah kuantitas dan kualitas guru: 156 Diadakan penerimaan tenaga pengajar baru di samping peningkatan Sekolah Guru Tipe C selama 2 tahun, Tipe B selama 4 tahun dan Tipe A selama 6 tahun. Diadakan kursus-kursus, menambah jumlah Sekolah Rakyat SR, mengubah Sekolah Rendah 3 tahun menjadi 6 tahun, serta memperbaiki tingkat dan mutu pendidikan. Mengenai masalah murid atau pelajar pejuang, baik sebagai tentara, anggota Palang Merah Indonesia maupun pelajar yang tinggal di daerah pendudukan, yang karena kondisinya tersebut, tidak memungkinkan untuk aktif sekolah, maka oleh Kementrian Pendidikan dan Pengajaran, pada Maret 1948, diadakan sekolah peralihan baik untuk SMP Sekolah Menengah Pertama, SMA Sekolah Menengah Atas, atau SGL Sekolah Guru Laki-laki. Upaya mengatasi lokal sekolah yang rusak akibat perang atau dipakai sebagai barak militer menurut Djumhur 1976: 208: Dilakukan beberapa alternatif: membangun gedung sekolah baru, menyewa rumah penduduk untuk sekolah, atau memfungsikan gedung sekolah dalam dua tahap, pagi dan siang hari. Di samping itu Persatuan Orang Tua Murid dan Guru POMG berhasil mengkoordinasikan kekuatan untuk kemajuan pendidikan, sehingga mampu mendirikan gedung sekolah bahkan lebih banyak dari yang telah dibangun oleh pemerintah. Selanjutnya, dilakukan tindakan pembenahan kebijakan pendidikan, sebagaimana diusulkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BP KNIP pada 29 Desember 1945 kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, supaya selekas mungkin mengusahakan agar pembaharuan pendidikan dan pengajaran dijalankan sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan dan pengajaran baru, dengan pokok pembaharuan sebagai berikut: 1 Untuk menyusun masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Paham perseorangan individualisme yang hingga kini berlaku haruslah diganti dengan paham kesusilaan dan perikemanusiaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa tanggungjawab. 2 Untuk memperkuat persatuan rakyat kita hendaknya diadakan satu macam sekolah untuk segala lapisan masyarakat. Perlu diingat pula, bahwa sesuai dengan dasar keadilan sosial semua sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara baik laki-laki maupun perempuan. 3 Metodik yang berlaku di sekolah-sekolah hendaknya berdasar pada sistem sekolah kerja agar 157 aktivitas rakyat kita kepada pekerjaan bisa berkembang seluas-luasnya. 4 Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur dan seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. Tentang cara melakukan Kementrian mengadakan perundingan dengan Badan Pekerja. 5 Madrasah dan pesantren-pesantren dan sejenisnya yang pada hakikatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata, yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materiil dari pemerintah. 6 Pengajaran tinggi hendaknya diadakan seluas-luasnya, dan jika perlu dengan menggunakan bantuan bangsa asing sebagai guru besar. Lain dari itu hendaklah diusahakan berlakunya pengiriman pelajar-pelajar ke luar negeri untuk keperluan negara. 7 Kewajiban belajar lambat laun dijalankan dengan ketentuan bahwa dengan tempo yang sesingkat-singkatnya paling lama 10 tahun, bisa berlaku dengan sempurna dan merata 6 tahun sekolah untuk tiap- tiap anak Indonesia. 8 Pengajaran teknik dan ekonomi terutama pengajaran pertanian, industri, pelayaran dan perikanan, hendaklah mendapat perhatian istimewa. 9 Pengajaran kesehatan dan olah raga hendaklah teratur sebaik- baiknya hingga terdapat kemudian hasil kecerdasan rakyat yang harmonis. 10 Di Sekolah Rendah tidak dipungut uang sekolah, untuk Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi hendaklah diadakan aturan pembayaran dan tunjangan yang luas, sehingga soal keuangan jangan menjadi halangan bagi pelajar-pelajar yang kurang mampu. Ary H. Gunawan, 1986: 32-34. Selanjutnya atas usul Badan Pekerja, maka Menteri Pendidikan dan Pengajaran, yang waktu itu adalah Dr. Mr. T.S.G. Mulia, membuat Surat Keputusan tertanggal 1 Maret 1946 No. 104Bhg.0, untuk membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hadjar Dewantara dan Soegarda Poerbakawatja, dengan tugas antara lain: 1 Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah. 2, Menetapkan bahan-bahan pengajaran dengan menimbang keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat. 3 Menyiapkan rencana-rencana pelajaran untuk tiap-tiap sekolah dan tiap-tiap kelas. Ary H. Gunawan, 1986: 34. Menyusul kemudian diselenggarakannya beberapa Konggres Pendidikan Indonesia, yang pertama di Solo 1947, lalu sebagai tindak lanjutnya dibentuklah Panitia Pembentukan Rencana Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran 158 pada tahun 1948 oleh Menteri PP dan K Mr. Ali Satroamidjoja, juga Konggres Pendidikan di Yogyakarta 1949. Keseluruhan dari hasil Konggres tersebut merupakan bahan berarti bagi lahirnya UU tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran UUPP No. 4 Tahun 1950. Inilah UU tentang Pendidikan Nasional yang pertama, sekaligus mengakhiri periode ini dan memasuki periode berikutnya Ary H. Gunawan, 1986: 35.

b. Periode 1950-1959

Pada masa ini, pendidikan di Indonesia mengalami penyempurnaan. Tujuan pendidikan dan pengajaran pada saat itu ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Pada tahun 1952 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, menerbitkan “Rencana Pengajaran Terurai” untuk Sekolah Rakyat yang berguna untuk guru sebagai pedoman dalam proses belajar mengajar pada sekolah dasar Abd. Rachman Assegaf, 2005: 65. Jenis-jenis pelajarannya adalah: Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, dan Sejarah. Dalam 1 tahun terdapat 8 bulan waktu belajar, dan tiap mata pelajaran diuraikan menjadi 8 bagian untuk masing-masing kelas, yakni untuk bulan pertama, kedua, ketiga, sampai bulan kedelapan. Pendidik dalam tiap kelas sudah memiliki pedoman mengenai hal-hal yang perlu diajarkan berdasarkan waktu yang telah ditentukan tersebut. Abd. Rachman Assegaf, 2005: 66. Mata pelajaran lain yang juga diajarkan di sekolah selain mata pelajaran yang telah tercantum di dalam Rencana Pelajaran terurai sesuai dengan peraturan Kementerian PP dan K mengenai Sapta Usaha Tama, yakni: 1 Penertiban aparatur dan usaha-usaha kementerian PP dan K; 2 Menggiatkan kesenian dan olah raga; 3 159 Mengharuskan penabungan; 4 Mewajibkan usaha-usaha koperasi; 5 Mengadakan kelas masyarakat; 6 Membentuk regu kerja SLA dan universitas. Kurikulum SD dari tahun 1952 sampai dengan 1964 dapat dikategorikan kurikulum tradisional, yakni separated subject curriculum. Periode ini dipandang spesifik, karena faktor sosio-politik yang mempengaruhi situasi pendidikan nasional telah berubah dari periode sebelumnya, dan perubahan tersebut diiringi dengan pergeseran kebijakan pendidikan. Faktor dimaksud antara lain adalah: pertama, dalam periode ini terjadi perubahan bentuk negara dari RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki sistem politik yang mapan, terbukti dengan masuknya Indonesia sebagai anggota Dewan Perserikatan Bangsa Bangsa PBB yang ke-60 dan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18-24 April 1955 Ary H. Gunawan, 1986: 45. Kedua, berlakunya sistem politik Demokrasi Liberal 1951-1959, dengan hasil pemilu pertama pada tahun 1955 yang diikuti oleh multipartai, termasuk diantaranya PKI, yang belakangan berpengaruh bagi muatan pendidikan nasional Abd. Rachman Assegaf, 2005: 66. Ketiga, adanya Dekrit Presiden 1959 dengan Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia Manipol USDEK, yang setelah itu menjadi ”dewa” dalam kehidupan politik di Indonesia, termasuk bidang pendidikan Abd. Rachman Assegaf, 2005: 66. Kempat, sebagai hasil perjuangan Bangsa Indonesia di bidang pendidikan, dengan didahului oleh serangkaian konggres tersebut di atas dan berbagai perdebatan, maka terbentuklah UUPP No. 4 Tahun 1950 secara regional, namun kemudian dinyatakan berlaku secara 160 nasional melalui UUPP No. 12 tahun 1954 Abd. Rachman Assegaf, 2005: 67. UUPP No. 4 Tahun 1950 terdiri dari 17 bab, 30 pasal ditambah penjelasan umum, dengan ringkasan isi sebagai berikut: Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air pasal 3. Tujuan pendidikan TK hingga Perguruan Tinggi selengkapnya berisi sebagai berikut: 1 Pendidikan dan Pengajaran Taman Kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani anak-anak sebelum ia masuk sekolah rendah pasal 7 ayat 1. 2 Pendidikan dan Pengajaran Rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani anak-anak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat kesukaannya masing-msing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuan kecakapan dan ketangkasan baik lahir dan batin pasal 7 ayat 2. 3 Pendidikan dan Pengajaran Menengah umum dan vak bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing, kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing, dan kebutuhan masyarakat danatau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengajaran tinggi pasal 7 ayat 3. 4 Pendidkan dan Pengajaran Tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada pelajar untuk menjadi orang, yang dapat memberi pimpinan di dalam masyarakat dan yang dapat memelihara kemajuan hidup kemasyarakatan pasal 7 ayat 4. 5 Pendidikan dan Pengajaran Luar Biasa bermaksud memberi pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak, pasal 7 ayat 6. UUPP No. 4 Tahun 1950. Ketentuan mengenai dasar pendidikan dan bahasa pengantar adalah sebagai berikut: 1 Pendidikan dan Pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia pasal 4. 2 Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah bahasa pengantar di sekolah-sekolah di seluruh Republik Indonesia pasal 5 ayat 1, sedang di Taman Kanak-kanak atau tiga kelas yang terendah di Sekolah Rendah bahasa daerah boleh digunakan sebagai bahasa pengantar, pasal 5 ayat 2. UUPP No. 4 Tahun 1950. 161 Dari beberapa pokok kandungan UUPP No. 4 Tahun 1950 di atas, bila dibandingkan dengan sistem pendidikan yang berlaku pada periode sebelumnya 1945-1950, tampak adanya perkembangan dan perubahan, persamaan, dan perbedaan. Persamaannya, dasar dan ideologi pendidikannya tetap mengacu pada Pancasila sebagai falsafah negara. Budaya bangsa dan bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar, sedang perbedaannya terletak pada tujuan pendidikan, yang semula untuk menanamkan semangat patriotisme dan jiwa nasionalisme, dalam UUPP No. 4 Tahun 1950 pasal 3 dengan jelas menyebutkan pembentukan manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

c. Periode 1959-1965

Sesuai dengan keputusan MPRS No. IIMPRS1960 telah dirumuskan mengenai manusia sosialis Indonesia sebagai suatu bagian dari pada sosialisme Indonesia yang menjadi tujuan pembangunan nasional semesta berencana yaitu tata masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam pelaksanaannya di sekolah sesuai dengan jiwa dan Keputusan MPRS tersebut maka isi kurikulum haruslah disesuaikan dengan keputusan tersebut. Sesuai dengan keputusan MPRS tersebut, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional antara lain dirumuskan mengenai pembinaan manusia Indonesia sebagai berikut: 1 Manusia Indonesia baru yang berjiwa Pancasila Manipol USDEK, dan sanggup berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut. 2 Manpower yang cukup untuk melaksanakan pembangunan. 3 Kepribadian kebudayaan nasional yang luhur. 4 Ilmu dan teknologi yang tinggi. 5 Pergerakan massa 162 aksinya seluruh kekuatan rakyat dalam pembangunan dan revolusi. Abd. Rachman Assegaf, 2005: 75. Sesuai dengan ketetapan MPRS No. IIMPRS1960 maka pendidikan berfungsi sebagai berikut: 1 Pendidikan sebagai pembina manusia Indonesia baru yang berakhlak tinggi. 2 Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan. 3 Pendidikan sebagai lembaga pengembangan kebudayaan nasional. 4 Pendidikan sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan fisikmental. 5 Pendidikan sebagai lembaga penggerak seluruh kekuatan rakyat. Ketetapan MPRS No. IIMPRS1960. Kelima hal tersebut dikenal sebagai lima dharma bakti pendidikan dalam segala jenis dan tingkatnya yaitu: 1 Membina manusia Indonesia baru yang berakhlak tinggi moral Pancasila. 2 Memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam segala bidang dan tingkatan. 3 Memajukan dan mengembangkan kebudayaan nasional. 4 Memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 5 Menggerakkan dan menyadarkan seluruh kekuatan rakyat untuk membangun masyarakat dan manusia Indonesia baru. Ary H. Gunawan, 1986: 50. Kaitan yang sangat erat antara pendidikan dan politik pada masa itu dirumuskan sebagai berikut: bahwa pendidikan sebagai alat revolusi dalam suasana berdikari mengharuskan perubahan dalam segala bidang khususnya bidang pendidikan. Dengan kebijakan di atas maka tujuan pendidikan nasional dari pendidikan pra-sekolah sampai pendidikan tinggi ditujukan untuk melahirkan apa yang disebut warga negara sosialis Indonesia yang susila, bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila. Isi moral pendidikan nasional adalah Pancasila ManipolUSDEK. Politik pendidikan nasional ialah Manifesto Politik Republik Indonesia dan sebab itu strategi dasar pelaksanaan pendidikan nasional 163 demokratis harus melahirkan patriot-patriot komplit yang berdasarkan Pancasila ManipolUSDEK. Untuk melaksanakan pendidikan tersebut maka dibentuklah Majelis Pendidikan Nasioanal melalui Keppres Republik Indonesia No. 146 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, maka diuraikan lebih lanjut mengenai “Panca Bhakti Pendidikan Nasional”, tujuan pendidikan nasional, isi moral pendidikan nasional dan politik pendidikan nasional. Selanjutnya di dalam Penpres tersebut dikemukakan sistem pendidikan nasional yang terdiri atas: 1 Pendidikan biasa pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 2 Pendidikan khusus. 3 Pendidikan luar biasa. Selain pendidikan sekolah terdapat pula pendidikan kemasyarakatan, dan pendidikan di luar hubungan sekolah. Jiwa dari kurikulum pendidikan yaitu: 1 Semangat mengemban amanat penderitaan rakyat secara gotong-royong demi tercapainya masyarakat adil dan makmur diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. 2 Semangat demokrasi terpimpin yang mengutamakan musyaarah untuk mufakat. 3 Semangat cinta bangsa dan tanah air dan semangat kesatuan bangsa yang ber-bhineka tunggal ika, berkepribadian dan berkebudayaan masional. 4 Rasa perikemanusiaan dalam bentuk persahabatan dengan seluruh bangsa di dunia atas semangat NEFO untuk membangun dunia baru yang bebas dari imperialisme, kolonialisme, dan neo- kolonialisme. 5 Kepercayaan dan rasa taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa secara berkeadaban sebagai karakteristik bangsa Indonesia. Sebenarnya setelah Presiden menyatakan Dekrit 5 Juli 1959 maka terjadilah perubahan yang sangat besar dalam kehidupan pendidikan di Indonesia dengan masuknya unsur-unsur asing di dalam kehidupan masyarakat Pancasila. Dalam suatu 164 usaha menyesuaikan pendidikan nasional dengan perkembangan politik pada masa itu, maka atas instruksi menteri Muda Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 1 tanggal 17 Agustus 1959, Menteri Prijono mengeluarkan apa yang disebut “Sapta Usaha Tama”, yang berisi tindakan-tindakan jangka pendek di lingkungan Kementerian PP dan K sebagai berikut: 1 Penertiban aparatur dan usaha-usaha Kementerian PP dan K. 2 Menggiatkan kesenian dan olah raga. 3 Mengharuskan usaha halaman. 4 Mengharuskan penabungan. 5 Mewajibkan usaha-usaha koperasi. 6 Mengadakan kelas masyarakat. 7 Membentuk regu kerja di kalangan SLA dan universitas. Ary H. Gunawan, 1986: 51. Sebagai pelaksanaan instruksi No. 1 di atas maka dalam Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 2 tanggal 17 Agustus 1961 dirumuskan sebagai berikut: 1 Menegaskan Pancasila dengan Manipol sebagai pelengkapnya, menjadi asas pendidikan nasional. 2 Menetapkan Pantja Wardhana sebagai sistem pendidikan yang berisikan prinsip-prinsip: a Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional, internasionalkeagamaan. b Perkembangan kecerdasan. c Perkembangan emosional artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir batin. d Perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan. e Perkembangan jasmani. Ary H. Gunawan, 1986: 50. Selanjutnya menyelenggarakan hari krida atau hari untuk kegiatan-kegiatan lapangan kebudayaan, kesenian, olahraga dan permainan pada tiap-tiap Sabtu. Demikian kita lihat betapa politik memasuki dunia pendidikan dan ikut bergolak sesuai dengan pergolakan kehidupan politik pada saat itu. Di bawah pengaruh tokoh- tokoh pendidikan komunis pada saat itu terjadi keributan mengenai dasar pendidikan nasional apakah Pancasila atau Pantja Wardhana. Di dalam keributan tersebut Menteri P dan K memutuskan bahwa Pancasila merupakan dasar pendidikan nasional 165 dan Pantja Wardhana adalah sistem pendidikan nasional Ary H. Gunawan, 1986: 50. Periode ini adalah periode Nasakom Nasionalis, Agama dan Komunis yang ditandai dengan berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin yang dilandasi Nasakom menciptakan kondisi politik di mana unsur komunis mendominasi keadaan di semua bidang Abd. Rachman Assegaf, 2005: 77. Karena infiltrasi komunis ini maka berbagai ormas dan parpol Islam mengambil posisi diametral terhadap kebijakan pemerintah. Masyumi versus pemerintah, misalnya, berada dalam posisi konflik yang serius Abd. Rachman Assegaf, 2005: 77. Akibat pengaruh PKI juga, Indonesia terlibat dengan konfrontasi dengan Malaysia sehingga hubungan diplomatik menjadi tegang pada 3 September 1964, meskipun konfrontasi ini mengendor ketegangannya pada Januari 1966 Abd. Rachman Assegaf, 2005: 67. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konstituante dibubarkan dan kembali ke UUD 1945, tetapi dengan pergeseran arah Mahendra, Yusril Ihza, 1996: 82. Pancasila yang seharusnya dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan bergeser menjadi konsep demokrasi yang dipimpin oleh Presiden Pemimpin Besar Revolusi Sodiq A. Kuntoro, 1997: 28. Dekrit ini memperkuat posisi Presiden dan memperlemah parpol. Era kehidupan ini dikenal dengan era ”Manifesto Politik” atau Manipol. Manipol merupakan keseluruhan isi Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959, sekaligus sebagai penjelasan resmi dari Dekrit Presiden. Secara ideologis, Manipol bertentangan dengan Pancasila. Pengaruh Manipol terhadap pendidikan menurut Wardiman Djojonegoro, adalah sebagai berikut: 166 Pertama, dari sisi ideologi. Manipol ini diindoktrinasikan pada seluruh lapisan rakyat Indonesia termasuk di semua jenjang dan jenis pendidikan. Tidak dibenarkan adanya penafsiran-penafsiran yang lain selain dari yang telah dirinci oleh pemerintah, yaitu yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertimbangan Agung DPA tentang perincian persoalan-persoalan pokok dan program umum Revolusi Indonesia yang diambil dari Manipol. Ide Manipol ini mengubah corak pendidikan nasional menjadi alat dari ideologi komunis, karenanya yang menyambut baik sistem ini ialah golongan komunis Djojonegoro, Wardiman dkk, 1995: 103. Kedua, dari sisi kebijakan pendidikan. Masih karena pengaruh Manipol, asas pendidikan nasional adalah Pancasila dan Manipol USDEK. Adapun tujuan pendidikan nasional pada periode ini adalah untuk melahirkan warganegara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila. Djojonegoro, Wardiman dkk, 1995: 103. Tujuan pendidikan ini menggeser tujuan sebelumnya. Yang dimaksud dengan manusia sosialis Indonesia di sini adalah manusia Indonesia yang berwatak Manipol. Dasar pendidikan Manipol adalah TAP MPRS No.IIMPRS1960 Bab II pasal 2. Untuk menyesuaikan kebijakan pendidikan dengan Manipol, maka Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan mengeluarkan instruksi Nomor 2 tanggal 17 Agustus 1961 tentang Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana seabagai berikut: Sapta Usaha Tama berisi: 1 Penertiban aparatur dan usaha-usaha kementrian PP dan K. 2 Menggiatkan kesenian dan olah raga. 3 Menggiatkan ”usaha halaman”. 4 Mengharuskan penabungan. 5 Mewajibkan usaha-usaha koperasi. 6 Mengadakan kelas masyarakat. 7 Membentuk ”regu kerja” di kalangan SLA dan Universitas. Pancawardhana atau lima prinsip pendidikan berisikan hal-hal sebagai berikut: 1 Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasionalinternasional keagamaan. 2 Perkembangan intelegensi. 3 Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir- batin. 4 Perkembangan keprigelan kerajinan tangan. 5 Perkembangan jasmani. Ary H. Gunawan, 1986: 50. Sejak itu, seluruh kegiatan sekolah, baik yang kurikuler maupun yang ekstrakurikuler banyak berubah dan disesuaikan dengan instruksi di atas. Kemudian, sistem Pancawardhana ini disempurnakan melalui berbagai Keputusan Presiden, di 167 antaranya Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1965 tertanggal 25 Agustus 1965 Abd. Rachman Assegaf, 2005: 80. Dari sisi materi pelajaran di sekolah, Pancasila dan Manipol dijadikan mata pelajaran di perguruan rendah sampai dengan perguruan tinggi. Selanjutnya juga ditetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas. Bila dicermati, penggunaan kalimat membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila tampaknya memang Pancasila masih menjiwai tujuan pendidikan. Bahkan tampaknya lebih maju dibanding dengan rumusan tujuan pendidikan menurut UUPP No. 4 Tahun 1950, karena di sana kalimatnya hanya menyebut manusia susila tanpa berjiwa Pancasila. Akan tetapi setelah sampai kepada kalimat bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia, tampak adanya penyimpangan dan pengaruh Manipol USDEK Mirwan Agus, 1989: 8. Perubahan berjalan cepat, upaya-upaya golongan kiri komunisme ini mengalami kegagalan total, dan sementara itu tujuan pendidikan yang berlandaskan pada Manipol USDEK tidak bertahan lama. Melalui Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. XXVII MPRS 1966 Bab II pasal 3 tentang tujuan pendidikan merubah tujuan pendidikan yang semula untuk melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila menjadi untuk membentuk manusia Pancasila sejati Ketetapan MPRS RI No. XXVIIMPRS1966. Dari beberapa perubahan kebijakan tersebut dapat dikatakan bahwa ketika komunisme menguat maka rumusan tujuan pendidikannya mengandung nilai-nilai sosialis. Sebaliknya, begitu pengaruh komunisme melemah, maka rumusan tujuan pendidikannya berubah menurut konstelasi politik saat itu yang berupaya 168 memurnikan Pancasila, dan pelaksanaan pendidikan agama pun menjadi kewajiban setiap peserta didik. Perubahan kebijakan di atas membuktikan bahwa popularitas Manipol ini berlaku sangat singkat. Terlebih lagi dengan meletusnya peristiwa G-30 SPKI tahun 1965, tujuan dan kebijakan pendidikan ini ditinggalkan. Tujuan pendidikan nasional Indonesia tahun 1966 dirumuskan melalui TAP MPRS No. XXVII MPRS 1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Pasal 2 membicarakan tentang dasar pendidikan. Dinyatakan bahwa: ”Dasar pendidikan adalah falsafah negara Pancasila”. Pasal 3 menetapkan bahwa: ”Tujuan pendididkan adalah membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945” Abd. Rachman Assegaf, 2005: 83. Dalam pasal 4 memuat isi pendidikan, yaitu: pertama, mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan. Kedua, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. Ketiga, membina mengembangkan fisik yang kuat dan sehat Abd. Rachman Assegaf, 2005: 83. Pasal 5 memuat ketentuan, perlunya meninjau kembali peraturan pendidikan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 termasuk Penetapan Presiden No. 19 Tahun 1965 tersebut di atas Abd. Rachman Assegaf, 2005: 83. Terjadi pergeseran tujuan pendidikan dari membentuk Manusia Sosialis, atas pengaruh Manipol, menjadi Manusia Pancasilais Sejati, sebagai upaya pemurnian Pancasila yang sesuai dengan kehidupan Orde Baru.

2. Politik Pendidikan Orde Baru

Fokus perhatian Orde Baru ditujukan pada empat tahap. Semuanya berpengaruh langsung bagi kebijakan pendidikan nasional, yaitu: 169 Tahap pertama, penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari kehidupan politik bangsa, serta membersihkan semua lembaga dan kekuatan sosial- politik dari kader-kader PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh aspek kehidupan bangsa. Tahap kedua, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan UUD 1945. Tahap ketiga, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional. Dan tahap keempat, mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan. Abd. Rahman Assegaf, 2005: 84. Implikasi pada tahap pertama pembubaran PKI, menimbulkan penutupan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah PKI dan organisasi yang ada di bawahnya. Menurut Abd. Rahman Assegaf : Sejak tahun 1966 sampai 1971 terdapat penurunan sekolah. Setelah resmi dibubarkan, PKI praktis tidak terlibat dalam birokrasi pemerintahan. Kondisi ini menguatkan posisi kelompok nasionalis dan kelompok muslim. Kurikulum yang semula dijabarkan dalam Sapta Usaha Tama dan Pancawardana, yang berkarakter kiri, diganti dengan kurikulum bermuatan pembinaan Pancasila. Prestasi penting lainnya adalah diberlakukannya UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan Kurikulum 1994. Abd. Rahman Assegaf, 2005: 85. Tahap kedua, dilakukan konsolidasi pemerintahan, serta pemurnian Pancasila. Hal ini berpengaruh besar bagi perubahan redaksi tujuan pendidikan nasional. Konsolidasi pemerintahan dilakukan dengan pembentukan kabinet baru dan penyusunan program pembangunan. Adapun upaya pemurnian Pancasila menjadi prioritas. Sebagaimana telah disebut pada bagian sebelumnya, ketika pengaruh ide Manipol masih kuat, maka tujuan pendidikannya diarahkan agar ”melahirkan warga negara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan Sistem Pendidikan Nasional. Dan ketika PKI dibubarkan, serta dilakukan pemurnian Pancasila, tujuan pendidikan nasional berubah menjadi ”membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang 170 dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945. Perubahan mendasar di atas menunjukkan bahwa ide Manipol USDEK telah diganti secara tegas menjadi falsafah Pancasila. Orde Baru diwarnai semangat serba Pancasila. Semangat itu selalu ditekankan, baik dalam bidang politik maupun pendidikan. Menurut Udin S. Winataputra: Penataran P-4 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila wajib diberikan kepada setiap siswa yang diterima di sekolah, di samping masih adanya mata pelajaran Pancasila. Mata pelajaran PMP Pendidikan Moral Pancasila termasuk yang mempengaruhi kenaikan kelas atau kelulusan sekolah. Setelah EBTANAS Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional diberlakukan, PMP menjadi komponen bidang studi yang mempengaruhi nilai komulatif DANEM Daftar Nilai EBTANAS Murni, DANEM berfungsi sebagai standar memasuki jenjang pendidikan di atasnya. Penataran P-4 juga berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil PNS. Di tingkat desa, penduduk di data untuk memperoleh pembinaan P-4. sejak 1984, semua parpol dan ormas diharuskan menganut asas tunggal, Pancasila. wawancara, 6 Agustus 2011. Pada tahap ketiga, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional. untuk itu diadakan Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan hasil diangkatnya Soeharto sebagai presiden, juga menghapuskan dualisme penafsiran tentang Pancasila dan UUD 1945. Tahap keempat, mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan. Pembangunan dilakukan pada semua bidang, terutama ekonomi dan pendidikan. Pembangunan ekonomi menunjukkan prestasi yang membanggakan. Pertumbuhan ekonomi selama Orde Baru rata-rata sebesar 6,8 per tahun. Pendapatan perkapita meningkat secara mencolok. Kemajuan sektor pendidikan juga tampil dengan mengesankan. Selama PJP Pembangunan Jangka Panjang I tahun 1969-1991, sekolah, guru dan murid SD meningkat secara mencolok, lebih dari 3,5 kali lipat. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama secara kelembagaan mengalami peningkatan lebih dari 4 kali lipat. Sekolah lanjutan tingkat atas meningkat lebih dari 5,5 kali lipat. Jumlah murid dan guru SLTA meningkat lebih dari 8 kali lipat. Jumlah perguruan tinggi secara 171 kelembagaan meningkat 3,5 kali lipat. Jumlah dosen dan mahasiswa meningkat 9 kali lipat. Semua peningkatan itu dicapai tahun 1991, bila dibandingkan awal Repelita I, 1969. Sekretariat Jenderal DPP Golkar, 1992: 7. Data di atas adalah sebuah prestasi. Akan tetapi, prioritas pembangunan ekonomi berjalan tidak seimbang dengan demokrasi. Konsentrasi pembangunan ekonomi menyebabkan kehidupan demokrasi agak terlantar. Pemilu dilaksanakan tanpa sistem multi partai sebagaimana Pemilu 1955, bahkan sejak 1973 jumlah partai disederhanakan menjadi 3 saja. Menurut William Liddle: Pada tahun 1984 semua partai diharuskan berasas tunggal, yakni Pancasila Kebebasan pers dan kebebasan mimbar diawasi secara ketat. Dari tahun 1960 hingga tahun 1980, terjadi banyak insiden kekerasan yang diklaim oleh pemerintah sebagai ekstrim kanan, dan dijadikan alasan pemerintah Orde Baru untuk mewaspadai gerakan Islam militan. William Liddle, 1996: 5. Ketimpangan antara pembangunan ekonomi dengan demokratisasi menjadikan pembangunan bersifat semu, karena tampak di permukaan gedung- gedung menjulang tinggi, melambangkan keberhasilan ekonomi, sementara pada lapis bawah rakyat tidak merasakan adanya pemerataan hasil pembangunan. Alokasi dana pendidikan juga relatif kecil, bila dibandingkan dengan alokasi dana bidang pembangunan dan industri. Produk kebijakan pendidikan pada era Orde Baru tercermin dalam GBHN, Undang-undang sistem pendidikan nasional No. 2 Tahun 1989, berbagai Peraturan Pemerintah, serta berbagai Surat Keputusan Menteri, dan lain-lainnya. Berikut ini adalah uraian singkat mengenai pola isi dan tema pokok GBHN yang menunjukkan adanya perubahan kebijakan pendidikan nasional. GBHN 1973, 1978, 1983, 1988, dan 1993 memiliki pola isi dan tema yang tidak jauh berbeda, 172 sebagai berikut: a Dasar dan tujuan pendidikan nasional; b Pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila P-4; c Pendidikan Moral Pancasila PMP; d Pendidikan sejarah perjuangan bangsa PSPB; e Wajib belajar; f Kesempatan belajar; g Sistem pendidikan nasional; h Pendidikan umum dan kejuruan; i Pendidikan luar sekolah; j Perguruan swasta; k Perguruan tinggi; l Tenaga pendidik; m Sarana dan prasarana; n Pendidikan olah raga; o Pendidikan bahasa Indonesia; p Perpustakaan. Berikut ini kutipan GBHN 1978 yang terkait dengan pendidikan: 1 Bahwa pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia- manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama- sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa. 2 Dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional perlu diambil langkah-langkah yang memungkinkan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat. 3 Pendidikan Pancasila termasuk Pendidikan Moral Pancasila dan unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah- sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai universitas, baik negeri maupun swasta. 4 Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. 5 Perguruan swasta mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam usaha melaksanakan pendidikan nasional. untuk itu perlu dikembangkan pertumbuhan sesuai kemampuan yang ada berdasarkan pola pendidikan nasional yang mantap, dengan tetap mengindahkan ciri-ciri khas perguruan yang bersangkutan. 6 Pendidikan juga menjangkau program- program luar sekolah yaitu pendidikan yang bersifat kemasyarakatan, termasuk kepramukaan, latihan-latihan keterampilan dan pemberantasan buta huruf dengan mendayagunakan sarana dan prasarana yang ada. 7 Mutu pendidikan ditingkatkan untuk mengejar ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutlak diperlukan untuk mempercepat pembangunan. 8 Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan segala bidang yang memerlukan segala jenis keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus meningkatkan produktivitas mutu dan efisiensi kerja . TAP MPR No. IVMPR1978. 173 Kebijakan politik di Indonesia selalu berpengaruh besar dan langsung bagi pendidikan nasional. Perubahan politik selalu menimbulkan perubahan kebijakan pendidikan. Pada masa kolonial, kebijakan pendidikan dilaksanakan menurut kepentingan penjajah. Setelah merdeka, orientasi pendidikan untuk kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara. Perkembangan politik selalu lebih cepat daripada perubahan pendidikan. Keputusan politik yang diambil oleh individu kelompok dalam pemerintahan tertentu memiliki implikasi luas bagi masyarakat. Oleh karena itu membenahi praktik pendidikan haruslah disertai dengan pembenahan dan pembaharuan kebijakannya. Berikut ini hasil wawancara dengan Husain Haikal: Menguatnya peran pemerintah Orde Baru secara fisik dan finansial dijadikan titik pijak untuk melakukan intervensi ke dalam pendidikan secara lebih jauh. Sampai pertengahan dekade 1970-an atau sepuluh tahun pertama Orde Baru, sebetulnya masih ada yang disebut sebagai otonomi guru dan otonomi pendidikan. Tapi selepas tahun tersebut, bersamaan dengan makin menguatnya peran politik penguasa Orde Baru, maka otonomi guru dan otonomi pendidikan itu makin berkurang dan lama-lama menghilang. wawancara, 7 Juli 2011. Pelita II dan III menjadi titik awal penggarapan sistem pendidikan nasional oleh rezim Orde Baru, karena pada saat itu politik Orde Baru sudah memperoleh basis ekonomi dan politiknya yang cukup kuat. Secara ekonomis, Rezim Orde Baru diuntungkan oleh meningkatnya harga minyak di pasaran dunia yang begitu tajam, sehingga negara memiliki banyak uang. Uang minyak itu kemudian dipakai untuk mendirikan SD Inpres baru di seluruh wilayah Indonesia; dan sekaligus pengangkatan guru baru. Pendirian SD Inpres yang diikuti dengan pengangkatan guru baru itu telah menjadi titik awal menguatnya peran pemerintah dalam sektor pendidikan. Menurut Darmaningtyas: 174 Memasuki Pelita II, penguasa Orde Baru semakin percaya diri karena secara ekonomis Rezim Orde Baru sudah semakin kuat. Secara ekonomis Rezim Orde Baru sudah mampu melahirkan calon-calon konglomerat baru, sedangkan secara politik dukungan dari ABRI dan Golkar semakin menguat melalui birokrasinya yang sangat efektif. Dengan dua modal tersebut, intervensi yang dilakukan Rezim Orde Baru ke dalam sistem pendidikan nasional semakin intensif. Rezim Orde Baru menyadari sepenuhnya bahwa institusi pendidikan dapat menjadi mekanisme kontrol yang efektif terhadap pikiran-pikiran liar yang ada di masyarakat. Oleh karena itu berbagai mekanisme kontrol fisik dan pikiran melalui pendidikan terus dilakukan oleh rezim Orde Baru. Pertama-tama melalui seragam sekolah, kemudian berlanjut pada isi materi pelajaran, dan dilanjutkan pada yang lebih detail lagi, yaitu pengawasan perilaku individu-individu yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan. Sebenarnya akar masalah pendidikan bukan hanya masalah terbatasnya anggaran tetapi juga kuatnya intervensi penguasa Orde Baru yang menjadikan beban ideologis dan politik yang dipikul oleh pendidikan nasional itu teramat berat, sedangkan proses pencerdasan itu sendiri semakin berkurang. Darmaningtyas, 2004: 9.

a. Indoktrinasi Ideologi

Beban politik dalam pendidikan mulai terasa ketika adanya pergantian pelajaran dari Civic atau Kewarganegaraan menjadi pelajaran PMP Pendidikan Moral Pancasila sejak tahun 1976. Penggantian pelajaran Civic menjadi PMP itu memiliki implikasi politik yang cukup besar. Menurut Darmaningtyas: Dalam pelajaran Civic yang dipelajari adalah mengenal hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan juga kewajiban negara terhadap warganya. Dengan demikian sejak kecil setiap murid sudah diajarkan untuk bersikap kritis terhadap hak-haknya sebagai warga negara dan kewajiban negara terhadap warganya. Dengan kata lain, pelajaran Civic itu akan menumbuhkan sikap kritis kepada setiap murid. Hal itu jelas kurang menguntungkan bagi penguasa. Sebab bila setiap lulusan sekolah menjadi sangat kritis, maka penguasa akan kebingungan memberikan jawaban kepada setiap tuntutan warganya. Sedangkan pada mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada ideologi negara saja, tapi kurang dikenalkan dengan hak-haknya. Maka wajar bila kemudian produk pendidikan yang lahir dari mata pelajaran PMP ini adalah orang-orang yang taat, dan tidak kritis. Darmaningtyas, 2004: 10. 175 Setelah hadirnya Tap MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P-4, Husain Haikal menyatakan bahwa: Beban politik pada pendidikan nasional itu makin terasa berat ketika pelajaran PMP itu tidak hanya berhenti di situ saja. Tapi berlanjut pada bentuk penataran P-4 yang harus diikuti oleh setiap murid dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, dan juga para gurunya. Sejak tahun 1983-1997 penataran P-4 menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh setiap murid baru. Penataran P-4 pun kemudian menjadi proyek baru bagi para pengampu mata pelajaran Pancasila. wawancara, 7 Juli 2011. Selain mata pelajaran PMP, mata pelajaran Sejarah juga banyak dimanfaatkan oleh penguasa untuk mendukung kepentingannya. Sebagai contohnya adalah mata pelajaran Sejarah Nasional yang sangat menonjolkan materi peristiwa 1965-1966 yang menampilkan penguasa Orde Baru sebagai Hero. Lebih lanjut Husain Haikal menyatakan: Buku-buku Sejarah Nasional sejak masa awal Orde Baru lebih banyak bersifat sebagai kampanye anti PKI. Oleh sebab itu, dalam seluruh materi sejarah, terutama peristiwa 1965-1966 ditekankan pada kekejaman Partai Komunis Indonesia PKI dan heroiknya Angkatan Darat dalam menyelamatkan Pancasila sebagai dasar negara sehingga kemudian memunculkan peringatan ”Hari Kesaktian Pancasila” yang selalu diperingati setiap tahunnya. Namun sejak Gur Dur menjadi Presiden peringatan tersebut diganti istilah dengan nama ”peringatan 1 Oktober. wawancara, 7 Juli 2011. Selain pergantian pelajaran yang lebih memiliki beban politis daripada pencerdasan itu, pada Pelita III juga ditandai dengan adanya ketentuan seragam secara nasional, yaitu Merah-Putih untuk SD, Biru-Putih untuk SLTP, dan Abu-abu- Putih untuk SMTA. Sebelumnya seragam pelajar itu ditentukan oleh masing-masing sekolah dan fungsinya hanya untuk menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat saja. Ketentuan seragam secara nasional itu baru mulai diberlakukan sejak 176 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Daoed Josoef dari CSIS 1987- 1993, sebelumnya seragam sekolah itu amat berwarna-warni. Mulai saat itu sebetulnya telah terjadi penguasaan institusi pendidikan nasional baik secara fisik maupun mental melalui politik penyeragaman. Secara fisik melalui ketentuan pakaian seragam nasional dari tingkat SD, SMTA, sedangkan secara mental melalui penggantian pelajaran Civic dengan PMP dan Penataran P-4 bagi murid baru, serta materi pelajaran Sejarah yang ditekankan sebagai kampanye anti PKI. Penguasa Orde Baru menyadari betul, bahwa pendidikan merupakan wahana yang strategis untuk melakukan indoktrinasi ideologi yang efektif, oleh karena itu pendidikan harus dikuasai. Pada perkembangan berikutnya, upaya menambah beban politik pada institusi pendidikan nasional itu dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto 1983-1985 dengan menambah mata pelajaran PSPB Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa pada Kurikulum 1984. Jika sebelumnya kampanye anti-PKI di satu pihak dan heroisme Angkatan Darat itu hanya masuk ke dalam materi pelajaran Sejarah saja, maka oleh Menteri Nugroho Notosusanto diformalkan dalam bentuk pelajaran PSPB yang dinilai tumpang tindih dengan materi Sejarah Nasional itu sendiri. Oleh para sejarawan yang kritis, seperti Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan G. Moedjanto ditolak. Bahkan Prof. Dr. Sartono Guru Besar Fakultas Sastra UGM tidak mau terlibat dalam penyusunan materi PSPB. Karena materi ini dinilai lebih bermuatan politis daripada proses pencerdasan bangsa, karena fokus perjuangan yang ditunjukkan hanya pada perjuangan bersenjata dan itu pun secara waktu hanya terfokus pada peran Angkatan Darat dalam menghadapi PKI tahun 1965-1966. Perjuangan kaum cendekiawan melalui diplomasi tidak ditempatkan sebagai bagian dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, penambahan pelajaran PSPB itu sebetulnya lebih dimaksudkan untuk menyenangkan kekuatan politik dominan pada saat itu, yaitu ABRI khususnya Angkatan Darat. Melalui pelajaran PSPB itu diharapkan secara evolutif para lulusan pendidikan formal memiliki apresiasi yang tinggi terhadap ABRI, khususnya Angkatan Darat. Keputusan Menteri 177 Nugroho Notosusanto itu ditengarahi sebagai upaya untuk mencari muka di hadapan militer, karena ia dikenal sebagai sastrawan dan rektor UI yang dekat dengan militer. Sebelum menjadi rektor UI tahun 1982, Nugroho Notosusanto adalah bekerja di Pusat Kajian Sejarah Militer, Angkatan Darat. Setelah Nugroho Notosusanto meninggal dunia Juni 1985 dan Menteri P dan K dijabat oleh Fuad Hassan sejak 31 Juli 1985, mata pelajaran PSPB itu kemudian dihapuskan dan diintegrasikan kembali ke materi Sejarah Nasional dan PMP. Darmaningtyas, 2004: 13. Penguasaan institusi pendidikan sebagai wahana indoktrinasi ideologi dan politik Orde Baru tidak hanya berhenti pada penggantian desain materi pelajaran Civic menjadi PMP, mengubah substansi pelajaran Sejarah Nasional, menambahkan pelajaran PSBP, atau penyeragaman pakaian secara nasional saja, tapi juga penguasaan guru. Organisasi guru, yang kemudian dikenal dengan nama PGRI yang pada saat didirikan pada 25 November 1945 berbentuk Serikat Pekerja pada Konggresnya tanggal 23-25 Novenber 1973 di Jakarta berubah status menjadi Organisasi Profesi. Bersamaan dengan perubahan status itu juga terjadi perubahan afiliasi politik. Selama masa Orde Baru PGRI dikenal sebagai salah satu organisasi profesi yang menjadi basis pendukung Golongan Karya Golkar sehingga anggota PGRI diidentikkan dengan Golkar. Darmaningtyas, 2004: 17. Adanya perubahan status itu jelas mempengaruhi ruang gerak organisasi guru, yaitu Serikat Pekerja yang bertujuan memperjuangkan hak-hak guru menjadi organisasi yang diikat oleh kode etik profesi tertentu. Apalagi perannya sebagai pendukung Golkar, jelas dapat melupakan nasib anggotanya sekiranya anggota itu tidak sejalan dengan tuntutan Golkar. Menurut Husain Haikal: Begitu besarnya cengkeraman birokrasi yang diperkuat oleh organisasi guru, menyebabkan guru kehilangan otonominya. Guru kemudian sangat terbiasa bekerja atas dasar petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis saja. Semua perintah akan dijalankan bila sudah ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, karena mereka takut disalahkan. wawancara, 7 Juli 2011. 178 Penguasaan guru sebagai media untuk melaksanakan indoktrinasi ideologi dan politik Orde Baru itu berlangsung sangat efektif, sehingga dalam waktu dua dekade terakhir masa Orde Baru, institusi pendidikan telah menjadi sarana yang efektif untuk mendukung status quo. Institusi pendidikan menjadi institusi yang paling konservatif untuk melakukan perubahan sama sekali. Ini jelas sebagai dampak dari pengkerdilan jiwa dan penghilangan otonomi guru. Dalam pengertian ini, jelas bahwa pendidikan sejak masa Orde Baru cenderung sebagai proses pemiskinan ideologi dan politik masyarakat.

b. Pembangunan Pendidikan

Jika pada era Orde Lama pendidikan dikuasai oleh politik Manipol USDEK serta peraturan perundangan yang didasarkan kepada arah politik yang berbau Manipol dan USDEK. Maka Orde Baru berupaya meluruskan kembali arah pendidikan nasional supaya sejalan dengan cita-cita nasional. Berikut ini adalah uraian dari Tilaar: Repelita pertama dicanangkan mulai berlaku pada tanggal 1 April 1969, maka pada tanggal 28-30 April 1969 pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar pemikir pendidikan di Cipayung untuk mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional. Di dalam pertemuan para pakar tersebut diambil kesimpulan bahwa perkembangan pendidikan ditentukan oleh faktor-faktor luar seperti politik, ekonomi, sosial budaya, serta faktor-faktor intern. Kedua faktor tersebut harus diidentifikasi secara cermat baru kemudian disusun suatu strategi serta program penanggulangannya. Disadari pada waktu itu bahwa pemerintah belum mempunyai strategi umum yang menyeluruh dan jelas yang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, badan-badan pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan tidak mempunyai otoritas yang jelas. Artinya, tanggungjawab dan fungsi badan-badan tersebut simpangsiur sehingga arahnya kurang jelas dan efisien. Kedua, para penyelenggara pendidikan belum profesional. Artinya, tingkat kemampuan dari para penyelenggara pendidikan belum sanggup untuk melaksanakan proses pendidikan secara profesional, bukan hanya jumlahnya yang masih kurang tetapi banyak dicampuri oleh unsur-unsur politik. Ketiga, 179 pelaksanaan pendidikan terlalu dibawah pengaruh politik. Keempat, badan- badan penyelenggara pendidikan yang kurang profesional, serta tidak diperkuat oleh tim-tim peneliti. Pada saat itu politik adalah panglima sedangkan profesionalisme berada di nomor dua. Jumlah pakar pendidikan pada saat itu juga masih sangat terbatas. Tilaar, 1995: 113. Konferensi Cipayung mempunyai tiga tujuan. Pertama, mengidentifikasi semua persoalan di bidang pendidikan. Kedua, meyusun prioritas berbagai persoalan untuk dipecahkan sesuai arah pembangunan nasional. Ketiga, mencari alternatif pemecahan. Dalam konferensi yang terkenal itu sudah dengan lugas dinyatakan bahwa strategi dasar pembangunan pendidikan nasional ialah bukan hanya sekedar merumuskan untuk mencapai target kuantitatif, tetapi juga merumuskan isi sistem pendidikan seperti struktur, kurikulum, dan metodologi pendidikan. Masalah pendidikan bukan hanya ditentukan masalah-masalah intern tetapi juga tergantung kepada masalah-masalah ekstern, seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya. Selanjutnya, ada dua hal yang ditonjolkan di dalam konferensi tersebut ialah pentingnya “hubungan” dan “inovasi”. Lebih lanjut Tilaar 1995: 114 menjelaskan: Konferensi juga memberikan perhatian kepada lima krisis pendidikan yang dikemukakan oleh Philip Coombs, sebagai berikut: 1 Terjadi ledakan jumlah anak yang ingin mendapatkan pendidikan. 2 Tidak adanya keserasian antara kebutuhan masyarakat dengan apa yang diajarkan di sekolah. 3 Sumber pembiayaan pendidikan yang serba terbatas. 4 Mutu pendidikan perlu ditingkatkan. 5 Belum adanya efisiensi kerja. Kelima faktor krisis pendidikan menurut pemikiran Philip Coombs tersebut di atas, masih perlu dilengkapi lagi dengan faktor kurang jelasnya arah pendidikan nasional. Memang UU No. 4 Tahun 1950 tentang Pendidikan, tidak memadai lagi dalam pembangunan masyarakat yang mulai berubah. Demikian pula UU yang mengatur pendidikan tinggi masih didasarkan ideologi Orde Lama, begitu juga 180 pendidikan untuk sekolah dasar dan menengah masih didasarkan kepada Pantja Wardhana yang tidak lain merupakan cerminan dari Manipol USDEK. Dalam konferensi Cipayung para pakar minta perhatian mengenai rumusan arah pendidikan nasional. Meskipun lambat tetapi pasti harapan para pakar tersebut baru dapat terpenuhi setelah duapuluh tahun dengan keluarnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tilaar, 1995: 115.

c. Produk MPR Berkaitan Pendidikan

Politik pendidikan suatu rezim dapat dilihat dari produk lembaga tertingginya yakni MPR. Berikut ini adalah ketetapan MPR yang ada kaitannya dengan pendidikan pada era Orde Baru: Pertama, TAP MPRS No. XXVIIMPRS1966 Tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Dasar Pendidikan Pasal 2: Dasar pendidikan adalah falsafah Negara Pancasila. Tujuan Pendidikan Pasal 3: Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Isi Pendidikan Pasal 4: Untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah sebagai berikut: 1 Mempertinggi mental dan budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama; 2 Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan; 3 Membina mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kedua, TAP MPR No. IVMPR1973 Tentang GBHN. Menyatakan bahwa: Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu maka pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dengan mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945. Untuk mencapai 181 cita-cita tersebut maka kurikulum di semua tingkat pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta harus berisikan pendidikan Moral Pancasila dan unsur-unsur yang cukup untuk meneruskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Ketiga, TAP MPR No. IVMPR1978 Tentang GBHN. Menyatakan bahwa: Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia- manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama- sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional perlu diambil langkah-langkah yang memungkinkan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan Pancasila termasuk Pendidikan Moral Pancasila dan unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah- sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai universitas, baik negeri maupun swasta. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, mayarakat, dan pemerintah. Perguruan swasta mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam usaha melaksanakan pendidikan nasional. Untuk itu perlu dikembangkan pertumbuhannya sesuai dengan kemampuan yang ada berdasarkan pola pendidikan nasional yang mantap, dengan tetap mengindahkan ciri-ciri khas perguruan yang bersangkutan. Pendidikan juga menjangkau program-program luar sekolah yaitu pendidikan yang bersifat kemasayarakatan, termasuk kepramukaan, latihan-latihan keterampilan dan pemberantasan buta huruf dengan mendayagunakan sarana dan prasarana yang ada. Mutu pendidikan ditingkatkan untuk mengejar ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutlak diperlukan untuk mempercepat pembangunan. Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan segala bidang yang memerlukan jenis-jenis keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus meningkatkan produktivitas, mutu dan efisiensi kerja. Titik berat program pendidikan diletakkan pada peluasan pendidikan dasar dalam rangka mewujudkan pelaksanaan wajib belajar yang sekaligus memberikan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan lingkungannya serta peningkatan pendidikan teknik dan kejuruan pada semua tingkat untuk dapat menghasilkan anggota-anggota masyarakat yang memiliki kecakapan sebagai tenaga-tenaga pembangunan. 182 Dari berbagai produk MPR tersebut dapat disimpulkan bahwa Orde Baru ingin membentuk manusia pembangunan yang Pancasilais. Ini agak berbeda dengan Orde Lama yang ingin membentuk manusia sosialis yang mendukung revolusi.

d. Pandangan Soeharto tentang Pendidikan

Pokok-pokok pikiran Presiden Soeharto tentang pendidikan terungkap dalam pidato-pidato yang diucapkan pada berbagai kesempatan. Dari pidato-pidato tersebut dapat ditemukan pandangannya mengenai pendidikan nasional. Amanat Presiden Soeharto pada Rapat Kerja Kepala Kantor Wilayah P dan K, se Indonesia tanggal 12 Juli 1976 di Jakarta, dalam Onny S. Prijono dan Pranarka, 1980: 21. Sasaran pembangunan yang berdasarkan Pancasila adalah pembangunan manusia secara utuh. Pembangunan itu mengejar kemajuan lahir dan selaras dengan kesejahteraan batin, sehingga manusia benar-benar menjadi manusia dengan segala martabat dan harkatnya yang terhormat. Manusia bukan hanya ‘alat mati’ dalam pembangunan, melainkan adalah pelaku dan tujuan pembangunan itu sendiri. Inilah yang saya maksud jika saya sering mengatakan bahwa pembangunan untuk manusia, dan bukan sebaliknya, manusia untuk pembangunan. Sambutan Presiden soeharto dalam Dies Natalis ke-20 IKIP, Bandung, 5 Desember 1974, dalam Onny S. Prijono dan Pranarka, 1980: 21. Karena itu tujuan untuk membangun, dorongan untuk membangun, dan cara- cara bagaimana pembangunan itu dilaksanakan sesungguhnya berpangkal pada cita-cita agar manusia hidup lebih baik sesuai dengan martabatnya. Ini berarti bahwa pusat perhatian dalam segala gerak pada hakikatnya adalah masalah manusia itu sendiri. Manusialah yang akan menentukan berhasil atau tidak berhasilnya pembangunan. Karena itu manusia adalah pelaksana pembangunan dan bersamaan dengan itu manusia harus dibangun agar mampu membangun. Membangun manusia pembangunan itulah hakikat pendidikan. 183 Pidato Presiden Soeharto pada peresmian berdirinya “universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret, 11 Maret 1976 di Surakarta, dalam Onny S. Prijono dan Pranarka, 1980: 21. Untuk melaksanakan pembangunan yang demikian, sangatlah perlu membangun manusia-manusia pembangunan, ialah manusia-manusia yang sadar akan perlunya membangun hari esok yang lebih baik dari hari ini, yang percaya pada dirinya sendiri bahwa ia dapat memperbaiki kehidupannya itu dan yang benar-benar mempunyai kemampuan untuk mengubah nasibnya. Amanat Presiden Soeharto di hadapan para lurahkepala desa, para guru teladan, dan para teladan yang lain di Istana Negara, 19 Agustus 1975, dalam Onny S. Prijono dan Pranarka, 1980: 22. Ini jelas merupakan syarat mutlak, karena pada akhirnya manusia-manusialah yang melaksanakan pembangunan itu. dan manusia-manusia pembangunan ini juga tidak muncul begitu saja. Manusia-manusia pembangunan itu sendiri harus dibangun, harus dididik. Pendidikan ini tidak ada henti-hentinya, mulai dari kanak-kanak hingga dewasa, baik di dalam lingkungan rumah tangga, dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat. Ya, saya tekankan pada kata-kata pendidikan, bukan pengajaran. Karena pengajaran biasanya hanya menyangkut ilmu pengetahuan, menyangkut kecerdasan pikiran. Sedangkan yang kita perlukan bukan hanya pengetahuan atau kecerdasan pikiran saja, akan tetapi juga budi pekerti yang luhur. Karena itu tujuan pendidikan kita adalah luas bagaimana mencerdaskan pikiran yang selaras dengan ketinggian budi pekerti tadi, bagaimana mengembangkan kebebasan yang selaras dengan tanggung jawab, bagaimana mempertinggi keterampilan yang selaras dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bagaimana membuat kita percaya pada diri sendiri selaras dengan kesadaran kita untuk hidup bergotong royong dalam masyarakat, bagaimana kita cinta kepada diri sendiri selaras dengan kecintaan kita pada sesama manusia dan kepada bangsanya sendiri, bagaimana kita terus menggali ilmu pengetahuan yang sedalam-dalamnya dengan tetap meyadari kebenaran Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pandangan Soeharto, pendidikan harus mampu mencetak manusia Indonesia seutuhnya, manusia pembangunan, dan manusia Pancasilais sejati. Dengan demikian, dasar dan arah pendidikan itu haruslah berkembangnya warga negara yang 184 meresapi dasar negaranya Pancasila, yang sehat badan dan cerdas pikirannya, yang memiliki inisiatif dan demokratis, yang bermoral tinggi, dan berwatak kuat, yang bertanggungjawab kepada bangsa dan pembangunan selanjutnya. Secara konkrit sistem pendidikan dan hasil pendidikan haruslah berisi dan menyiapkan kemampuan bagi anak didik untuk hidup dalam masyarakat yang kompleks itu, sehingga menjadi anggota yang berguna bagi masyarakat dan dapat turut serta aktif dalam kegitan pembangunan. Menurut Soeharto, pendidikan harus diarahkan untuk tujuan pembangunan nasional. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya lahir dan batin. Dalam pandangan Soeharto, manusia Indonesia adalah sebagai pelaku pembangunan nasional, oleh karena itu harus dipersiapkan dengan baik lewat pendidikan. Lebih lanjut menurut Soeharto, tujuan pembangunan nasional adalah untuk peningkatan martabat manusia. Secara konsep apa yang dicanangkan oleh Soeharto ini sebenarnya sangat baik, dan tepat untuk menjawab tantangan zamannya. Akan tetapi dalam implementasinya, pendidikan sering dijadikan alat bagi penguasa untuk mendukung kekuasaannya.

3. Politik Pendidikan Era Reformasi

Pada era Habibie dilakukan pencabutan P-4 sebagai upaya menghindari indoktrinasi pengamalan Pancasila. Pencabutan P-4 sebagai substansi kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn merupakan sebuah berkah, karena membebaskan beban ideologis-indoktrinatif dalam pembentukan warga negara yang baik. Dengan demikian, kajian PPKn harus dikembalikan kepada nilai- nilai dasar Pancasila yang awal sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. 185 Di bagian lain, P-4 sebagai sebuah produk politik untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila semestinya dipahami sebagai sebuah instrumen belaka. Ketika instrumen P- 4 dianggap tidak memadai lagi, kemudian dicabut, maka seharusnya pencabutan Tap MPR tentang P-4 tidak dipahami sebagai mencabut Pancasila itu sendiri dari dasar negara Indonesia Samsuri, 2010: 15. Langkah politik dalam reformasi pendidikan yang menonjol juga diperankan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi pada tahun 2002 ialah amandemen terhadap Pasal 31 UUD 1945. Pada proses amandemen keempat terhadap UUD 1945, pembahasan dimulai pada tingkat rapat Badan Pekerja MPR, rapat Panitia Ad Hoc II yang antara lain mengkaji amandemen Pasal 31 UUD 1945 hingga rapat paripurna Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, ada argumentasi dan rasionalisasi terhadap perlunya perubahan Pasal 31 UUD 1945 sebagai landasan politik pendidikan di Indonesia. Dalam pembahasan-pembahasan secara langsung maupun tidak langsung terhadap rencana perubahan Pasal 31 UUD 1945, fraksi-fraksi di MPR selalu akan mengkaitkan dengan Pasal 32 UUD 1945 tentang kebudayaan Samsuri, 2010: 15. Menurut Amien Rais, perubahan keempat UUD 1945 yang menetapkan sistem pendidikan nasional dengan tujuan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sangatlah sesuai dengan jati diri sebagai bangsa yang religius. Artinya menurut Amien Rais, bangsa Indonesia menghendaki pendidikan tidak hanya mempunyai sisi material belaka tetapi lebih dari itu pendidikan mengandung napas keagamaan dan nilai spiritual. Namun hal penting lainnya dari amandemen Pasal 31 UUD 1945 tersebut ialah keharusan jumlah anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran 186 Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah. Menurut Amien Rais, ketentuan itu diharapkan mampu mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia Risalah Rapat Paripurna ke-7 Sidang Tahunan MPR 11 Agustus 2002. Beberapa langkah strategis yang terkait reformasi pendidikan juga telah dilakukan, langkah- langkah strategis itu antara lain:

a. Paradigma Baru Pendidikan

Untuk meraih peluang sekaligus menghadapi tantangan di era global, pendidikan di Indonesia pada era Reformasi memerlukan paradigma baru yang cocok dan sesuai dengan tuntutan, perubahan, dan perkembangan zaman. Menurut Tilaar paradigma baru politik pendidikan pada era Reformasi harus mengacu hal-hal berikut ini: pertama, pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis. Kedua, untuk mencapai masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis. Ketiga, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat menjawab tantangan internal sekaligus tantangan global. Keempat, pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis. Kelima, di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengarahkan kemampuan berkompetisi di dalam rangka kerjasama. Keenam, pendidikan harus mampu mengembangkan kebinekaan menuju pada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebinekaan masyarakat. Ketujuh, pendidikan harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi insan Indonesia Sam M. Chan, 2005: 114. 187 Pengalaman masa lalu telah mengajarkan kepada kita bahwa, politik pendidikan Orde Lama dan Orde Baru, menjadikan pendidikan sebagai sarana indoktrinasi untuk menciptakan keuntungan bagi kekuasaan rezim yang sedang berkuasa. Pendidikan diarahkan untuk menciptakan ketaatan warganegara terhadap negara. Ketika muncul tokoh-tokoh kritis dan vokal justru harus berhadapan dengan penguasa yang anti kritik. Tak jarang beberapa aktivis dan politisi kritis menjadi sasaran pencekalan, dipenjara, bahkan dibunuh dengan alasan demi menjaga kemananan dan stabilitas nasional. Rezim yang berkuasa sering menyamakan antara kepentingan penguasa dengan kepentingan negara. Jatuhnya Soeharto dari kekuasaan pada Mei 1998, berikut dengan krisis moneter, ekonomi dan politik, telah mendorong reformasi bukan hanya dalam bidang politik dan ekonomi, namun juga dalam bidang pendidikan. Reformasi dalam bidang pendidikan pada dasarnya merupakan reposisi dan bahkan rekonstruksi pendidikan secara keseluruhan. Reformasi, reposisi, dan rekonstruksi pendidikan jelas harus melibatkan penilaian kembali secara kritis pencapaian dan masalah-masalah yang dihadapi pendidikan nasional Azyumardi Azra, 2006: xiii.

b. Peran Negara dalam Pendidikan

Era reformasi ditandai adanya perubahan kebijakan pendidikan sentralistik ke desentralistik yang ditandai dengan perubahan peran negara dalam pendidikan. Sebagaimana diuraikan H.A.R. Tilaar tentang perubahan peran negara dalam pendidikan, sebagai berikut: 188 Tabel 11 Perubahan Peran Negara dalam Pendidikan Peran Masa Lalu Sekarang dan Masa Depan Pemerataan Pendidikan Berorientasi target Berorientasi kualitas Kualitas Dicapai melalui evaluasi dan standarisasi semu melalui ujian terpusat dan kurikulum baku yang bersifat nasional Sebagai prioritas utama yang sesuai dengan kebutuhan daerah Proses Tidak dipentingkan, yang penting ialah tercapainya target kuantitatif Sangat penting karena yang dipentingkan ialah perubahan tingkah laku dan “outcome” pendidikan Metode Indoktrinasi Dialogis Manajemen Negara dan birokrasinya memegang peranan sentral Manajemen berpusat pada institusi sekolah Pelaksanaan pendidikan Pemerintah sebagai pelaku utama Pemerintah sebagai partner yang cukup menetapkan arah Perubahan sosial Terarah dan opresif Demokratis dan grass-root Perkembangan demokrasi Menentukan bingkai kehidupan berdemokrasi terbatas pada prosedur Mengembangkan perubahan tingkah laku demokratis secara substantive Perkembangan sosial-ekonomi masyarakat setempat Tidak menjadi bahan pertimbangan penyusunan kurikulum Dijadikan salah satu komponen pokok penyusunan kurikulum Perkembangan nilai- nilai moral dan agama Ditentukan oleh pemerintah pusat Berakar dari budaya dan agama setempat Nasionalisme Pemaksaan dari atas dan bersifat formalistis. Mengabaikan identitas daerah Pendekatan multicultural Pendanaan Dana dijadikan alat bagi pelestarian kekuasaan pemerintah Pemerintah pusat menanggung sebagian dana pendidikan dalam rangka pemerataan, kualitas, dan pemersatu nasional Pelaksanaan wajib belajar 9-12 tahun Ditentukan secara terpusat oleh pemerintah pusat Sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah. Pelaksanaannya secara bertahap sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi daerah Sumber: Tilaar, H.A.R. 2003: 268. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Penerbit Indonesia Tera. Pada era Reformasi ini model peningkatan mutu pendidikan juga mengalami pergeseran. Pada era sebelumnya cenderung patuh pada kebijakan serta resep yang diberikan oleh Bank Dunia, dan Unesco. Pada era Reformasi sekarang ini sudah 189 mulai menerapkan prinsip demokratisasi yang mengembalikan hak-hak, wewenang, dan tanggung jawab ke tangan guru sebagai pengelola utama proses pendidikan. Tabel 12 Model Peningkatan Mutu Pendidikan Model Diskripsi Unesco Mendorong peningkatan mutu sekolah di banyak negara, khususnya negara- negara berkembang. Setiap tahun Unesco Kantor Asia dan Pasific secara bergantian menyelenggarakan seminar inovasi yang difokuskan pada peningkatan mutu sekolah. Resep yang ditawarkan antara lain: 1 Sekolah siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset menanggalkan problem solving yang menekankan pada masa lalu, berubah menuju change anticipating yang berorientasi pada haw can we do things differently; 2 Pilar kualitas sekolah: learning how to learn, learning to do, learning to be, learning to live together; 3 Menetapkan standar dengan indikator yang jelas; 4 Memperbaiki kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat; 5 Meningkatkan ICT dalam proses pembelajaran dan pengelolaan. 6 Menekankan pengembangan sistem peningkatan profesional guru; 7 Pengembangan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu; 8 Meningkatkan partisipasi orang tua; 9 melaksanakan Quality Assurance. Bank Dunia Fokus pada pendekatan fungsi produksi, yang menekankan pada fungsi dari input, baik raw input maupun instrumental input peningkatan kualitas guru. Resep yang disiapkan: 1 Peningkatan mutu harus dilakukan dengan peningkatan kualitas input; 2 Peningkatan kualitas pembelajaran ditentukan oleh kualitas guru dan keberadaan teknologi informasi dan komunikasi modern dalam pembelajaran; 3 Kurikulum dipersiapkan dan distandarisasi; 4 Reformasi manajemen dan peningkatan kualitas sekolah. Orde Baru Cenderung patuh pada kebijakan Bank Dunia. Resep yang dilakukan adalah: 1 Merombak kurikulum IKIP yang menekankan pada materi pembelajaran dan mengurangi materi bidang studi; 2 Meningkatkan kualitas guru lewat proyek peningkatan mutu dan model pelatihan guru yang sangat terencana mulai dari teori, praktik, sampai on the job training di sekolah-sekolah untuk profesional; 3 Menekankan ketersediaan fasilitas: gedung, laboratorium, dan buku-buku teks. Era Reformasi Prinsip demokratisasi yang mengembalikan hak-hak, wewenang, dan tanggung jawab ke tangan guru sebagai pengelola utama proses pendidikan. Resep: 1 Menetapkan metode MPMBS, yang kemudian menjadi MBS; 2 Mengemangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK yang selanjutnya berkembang menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP; 3 Deklarasi Mendiknas tidak ada lagi perbedaan sekolah negeri dan sekolah swasta, kecuali menyangkut gaji pokok; 4 Mengembangkan manajemen sekolah dan mengembangkan kultur sekolah; 5 Menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan mencerdaskan; 6 Pengelolaan dan pengadaan buku yang murah dan merata. Sumber: disarikan dari Zamroni 2009. Model mutu pendidikan: Profesionalitas terpadu. Prosiding seminar nasional: Paradigma mutu pendidikan di Indonesia, Lembaga Penelitian UNY. 190 Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dinamika politik pendidikan di Indonesia secara garis besar dapat digambarkan dalam tabel berikut ini: Tabel 13 Dinamika Politik Pendidikan Sejak Orde Lama hingga Era Reformasi Orde Lama Orde Baru Era Reformasi Periode 1945-1950 diwarnai oleh semangat revolusi. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menanamkan semangat dan jiwa patriotisme. Pembubaran PKI menimbulkan penutupan sekolah-sekolah yang bernaung di bawahnya dan organisasi yang ada di bawahnya. Politik pendidikan pada era Reformasi didasarkan pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Periode 1950-1959 diwarnai oleh demokrasi liberal. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Tujuan pendidikan nasional berubah menjadi membentuk manusia Pancasilais sejati. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Periode 1959-1966 diwarnai oleh Manipol USDEK. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan warganegara sosialis Indonesia yang susila. Penataran P-4 wajib diberikan kepada setiap siswa yang diterima di sekolah, di samping masih adanya mata pelajaran Pancasila. Mata pelajaran PMP dan PPKn sangat didominasi materi P-4. Diolah dari berbagai sumber Politik pendidikan era Soekarno dapat dibagi dalam tiga periode seiring dinamika politik yang mempengaruhinya. 1 Periode 1945-1950, diwarnai oleh semangat revolusi, pendidikan bertujuan untuk menanamkan semangat dan jiwa patriotisme. 2 Periode 1950-1959, diwarnai oleh demokrasi liberal, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang 191 demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. 3 Periode 1959-1966, diwarnai oleh Manipol USDEK, pendidikan bertujuan melahirkan warganegara sosialis Indonesia yang susila. Pendidikan nasional pada era Orde Lama yang berlangsung sejak 1945 hingga 1966, tetap berlandaskan Pancasila. Meskipun selama periode ini Indonesia menggunakan tiga UUD. Tahun 1966-1998 Indonesia diperintah oleh Soeharto Orde Baru. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan politik pendidikan nasional. Implikasi dari pembubaran PKI, menimbulkan penutupan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah PKI dan organisasi yang ada di bawahnya. Era Orde Baru, ketika PKI dibubarkan, serta dilakukan pemurnian Pancasila, tujuan pendidikan nasional berubah menjadi ”membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945”. Perubahan mendasar tersebut menunjukkan bahwa ideologi Manipol USDEK telah diganti secara tegas menjadi falsafah Pancasila. Orde Baru diwarnai semangat serba Pancasila. Semangat itu selalu ditekankan dalam pendidikan. Penataran P-4 wajib diberikan kepada setiap siswa yang diterima di sekolah, di samping masih adanya mata pelajaran Pancasila. Mata pelajaran PMP dan PPKn sangat didominasi materi P- 4. PMP termasuk yang mempengaruhi kenaikan kelas dan kelulusan sekolah. Setelah EBTANAS diberlakukan, PMP menjadi komponen bidang studi yang mempengaruhi nilai komulatif DANEM Daftar Nilai EBTANAS Murni. DANEM berfungsi sebagai standar memasuki jenjang pendidikan di atasnya. Era Reformasi dimulai sejak 1998. Reformasi adalah pembaharuan, perubahan paradigma lama ke dalam paradigma baru, sebagai langkah perbaikan 192 terhadap kondisi sebelumnya. Politik pendidikan pada era Reformasi didasarkan pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk, mengembangkan kemampuam dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. C. Dinamika Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi

1. Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Era Orde Lama

Apabila kita berbicara mengenai kurikulum maka kita tidak terlepas dari politik. Memang kurikulum tidak lain dari sarana yang mengatur berbagai kegiatan untuk mencapi tujuan pendidikan. Betapa pentingnya pendidikan untuk kehidupan suatu bangsa tampak dengan jelas ketika Republik Indonesia baru berumur sekitar 4 bulan yaitu pada tangga 29 Desember 1945 BP-KNIP mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan untuk selekas mungkin mengadakan perubahan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar negara Republik Indonesia yang baru lahir itu. Dalam surat BP-KNIP tersebut diberikan beberapa pedoman di dalam penyusunan kurikulum antara lain: 1 Agar disusun jenis-jenis persekolahan dan rencana pelajaran yang sesuai dengan dasar negara Republik Indonesia. 2 Agar disusun satu macam sekolah untuk semua rakyat tanpa membeda-bedakannya sehingga sesuai dengan keadilan sosial. 3 Metodik yang digunakan adalah metodik sekolah kerja. 4 Pengajaran agama diperhatikan tanpa mengurangi hak bagi warga negara yang mempunyai keyakinan lain. 5 Wajib belajar 6 tahun agar dilaksanakan secara berangsur dalam waktu 10 tahun. 6 Di sekolah rendah tidak dipungut uang sekolah. Wardiman Djojonegoro, 1995: 12. 193 Sejalan dengan itu BP-KNIP menyarankan suatu susunan persekolahan sebagai berikut: Tingkat sekolah dasar dibedakan antara 3 tahun sekolah pertama dan 3 tahun sekolah rakyat selanjutnya dan pada tiap sekolah rakyat dibentuk kelas masyarakat yang bertujuan untuk memberikan bekal kepada tamatan sekolah rakyat memasuki hidup bermasyarakat. Di atas sekolah rakyat adalah sekolah menengah yang terdiri atas Bagian A Alam dan Bagian B Budaya. Selanjutnya terdapat sekolah menengah tinggi 3 tahun juga terbagi atas Bagian A Alam dan Bagian B Budaya. Akhirnya terdapat sekolah tinggi. Berdasarkan permintaan BP-KNIP tersebut dibentuklah Panitia Penyelidik Pengajaran. Panitia tersebut dapat melaksanakan tugasnya antara lain menyusun sistem persekolahan pada tahun 1947. Perbedaan antara usul BP- KNIP dengan hasil karya Panitia Penyelidik Pengajaran ialah adanya sekolah rakyat 6 tahun. Wardiman Djojonegoro, 1995: 14. Pada era demokrasi terpimpin telah terbit buku yang berjudul “Civics, Masyarakat dan Manusia Indonesia Baru”, karangan Mr. Soepardo, dan kawan- kawan. Materi buku itu berisi tentang: 1 Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia; 2 Pancasila; 3 UUD 1945; 4 Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin; 5 Konferensi Asia-Afrika; 6 Hak dan Kewajiban Warga Negara; 7 Manifesto Politik; 8 Laksana Malaikat; 9 Lampiran-lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959; 10 Pidato Lahirnya Pancasila; 11 Panca Wardana; 10 Declaration of Human Rights; serta 11 Pidato-pidato lainnya dari Presiden Soekarno dalam “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” Tubapi serta kebijakan Panca Wardhana dari Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Prijono Jakarta: Balai Pustaka, 1962, cet. 2. Buku tersebut kemudian menjadi sumber utama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah pada saat itu Samsuri, 2010: 116. 194 Buku Civics, Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia tersebut memuat penjelasan idealitas masyarakat yang dibentuk, yakni masyarakat sosialis Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Udin S. Winataputra: “Buku ini lahir sesuai konteks kebutuhan politik pada jamannya yang mengusung secara besar-besaran gagasan-gagasan Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia” wawancara, 6 Agustus 2011 . Pendidikan Kewarganegaraan pada masa Orde Lama mengalami dinamika sebagai berikut: Kewarganegaraan 1957, dan Civics 1961. Mata pelajaran Kewarganegaraan 1957 materinya masih sangat sederhana yakni membahas cara memperoleh kewarganegaraan bagi seseorang dan hal-hal yang menyebabkan seseorang kehilangan kewarganegaraan. Mata pelajaran Civics yang mulai diperkenalkan tahun 1961 lebih banyak membahas sejarah kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama untuk “nation and character building” bagi bangsa Indonesia, mirip pelajaran Civics di Amerika Serikat pada tahun-tahun setelah Deklarasi Kemerdekaan Amerika Samsuri, 2010: 116.

a. Kurikulum Awal Kemerdekaan 1945-1950

Salah satu upaya penting untuk mengembangkan pendidikan nasional dilakukan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada saat itu Mr. Soewandi yaitu mengubah sistem pendidikan dan pengajaran sehingga lebih sesuai dengan keinginan dan cita-cita bangsa Indonesia. Pembentukan Panitia Penyelidik Pengajaran sebagaimana diuraikan di atas adalah dalam rangka mengubah sistem pendidikan kolonial ke dalam sistem pendidikan nasional Wardiman Djojonegoro, 1995: 14. 195 Sebagai konsekuensi perubahan sistem, kurikulum pada semua tingkat pendidikan mengalami perubahan pula. Kurikulum yang semula diorientasikan pada kepentingan kolonial kini diubah selaras dengan kebutuhan bangsa yang merdeka. Salah satu hasil panitia tersebut yang menyangkut kurikulum adalah bahwa setiap rencana pelajaran pada setiap jenjang pendidikan sekolah harus memperhatikan hal- hal sebagai berikut: 1 Mengurangi pendidikan pikiran. 2 Menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. 3 Memberikan perhatian terhadap kesenian. 4 Meningkatkan pendidikan watak. 5 Meningkatkan pendidikan jasmani. 6 Meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Sejalan dengan itu, pada tahun 1946 Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan mengeluarkan pedoman bagi guru-guru yang memuat sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan sebagai dasar pengajaran dan pendidikan di Republik Indonesia.Wardiman Djojonegoro, 1995: 14. Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat SR 1947, susunannya amat sederhana, yaitu hanya memuat dua unsur pokok. Adapun kedua unsur pokok tersebut adalah: 1 Daftar jam pelajaran atau struktur program, dan 2 Garis-garis besar program pengajaran. Dalam Rencana Pelajaran ini tidak ditemukan dasar, tujuan, dan asas pendidikan sehingga para pemakai buku Rencana Pelajaran itu hanya menemukan bahan-bahan pengajaran yang harus diajarkan dan petunjuk singkat tentang cara mengajarkan kepada murid. Rencana Pelajaran 1947 membedakan tiga macam struktur program, yaitu: pertama, untuk sekolah yang mempergunakan pengantar bahasa Daerah Jawa, Sunda, dan Madura pada kelas-kelas yang lebih rendah; kedua, untuk sekolah yang berbahasa pengantar Bahasa Indonesia mulai kelas 1; ketiga, untuk sekolah yang diselenggarakan sore hari karena terpaksa oleh keadaan terbatas sampai kelas IV, sedangkan kelas V dan VI harus diselenggarakan pagi hari. Wardiman Djojonegoro, 1995: 16. 1 Kurikulum SR dengan Pengantar Bahasa Daerah 1947 Dalam Rencana Pelajaran 1947, sebagaimana tabel di bawah ini belum dikenal mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Yang ada adalah mata pelajaran Budi Pekerti. Mata pelajaran ini berisi pendidikan nilai dan moral. Suatu hal yang juga merupakan bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan. 196 Tabel 14 Susunan Mata Pelajaran pada Rencana Pelajaran 1947 Sekolah Dasar Berbahasa Pengantar Bahasa Daerah Sampai Kelas III N0 Mata Pelajaran Kelas I Kelas II Kelas III KelasIV KelasV KelasVI 1 Bahasa Indonesia - - 8 8 8 8 2 Bahasa Daerah 10 10 5 4 4 4 3 Berhitung 6 6 7 7 7 7 4 Ilmu Alam - - - - 1 1 5 Ilmu Hayat - - - 2 2 2 6 Ilmu Bumi - - 1 1 2 2 7 Sejarah - - - 1 2 2 8 Menggambar - - - - 2 2 9 Menulis 4 4 4 3 - - 10 Seni Suara 2 2 2 2 2 2 11 Pekerjaan Tangan 1 1 2 2 2 2 12 Pekerjaan Keputrian - - - 1 2 2 13 Gerak Badan 3 3 3 3 3 3 14 Kebersihan dan Kesehatan 1 1 1 1 1 1 15 Didikan Budi Pekerti 1 1 2 2 2 3 Sub Jumlah 28 28 35 37 40 41 16 Pendidikan Agama - - - 2 2 2 Jumlah 28 28 35 39 42 43 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992. 2 Kurikulum SR dengan Pengantar Bahasa Indonesia 1947 Sebagaimana Sekolah Rakyat dengan pengantar bahasa daerah, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan belum dikenal dalam kurikulum ini, yang ada adalah mata pelajaran Budi Pekerti, masing-masing 1 jam pelajaran perminggu untuk kelas I dan II, 2 jam untuk kelas III, IV, dan V, serta 3 jam untuk kelas VI. 197 Tabel 15 Susunan Mata Pelajaran pada Rencana Pelajaran 1947 Sekolah Dasar Berbahasa Pengantar Bahasa Indonesia Mulai Kelas I N0 Mata Pelajaran Kelas I Kelas II Kelas III KelasIV KelasV KelasVI 1 Bahasa Indonesia 10 10 8 8 8 8 2 Bahasa Daerah - - 6 7 7 7 3 Berhitung 6 6 7 7 7 7 4 Ilmu Alam - - - - 1 1 5 Ilmu Hayat - - - 2 2 2 6 Ilmu Bumi - - 1 1 2 2 7 Sejarah - - - 1 2 2 8 Menggambar - - - - 2 2 9 Menulis 4 4 4 4 - - 10 Seni Suara 2 2 2 2 2 2 11 Pekerjaan Tangan 1 1 2 2 2 2 12 Pekerjaan Keputrian - - - 1 2 2 13 Gerak Badan 3 3 3 3 3 3 14 Kebersihan dan Kesehatan 1 1 1 1 1 1 15 Didikan Budi Pekerti 1 1 2 2 2 3 Sub Jumlah 28 28 36 41 43 44 16 Pendidikan Agama - - - 2 2 2 Jumlah 28 28 36 43 45 46 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992. 3 Kurikulum SMP Awal Kemerdekaan Pendidikan Kewarganegaraan belum diberikan dalam kurikulum ini. Kurikulum Sekolah Menengah Pertama SMP yang berlaku sesudah kemerdekaan disebut “Daftar Pelajaran SMP” yang digunakan pada kurun waktu 1945-1962. Adapun Struktur Program SMP sebelum tahun 1962 meliputi sembilan kelompok mata pelajaran yaitu kelompok bahasa, ilmu pasti, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, pelajaran ekonomi, pelajaran ekspresi, pendidikan jasmani, budi pekerti, dan agama terdapat dalam tabel berikut: 198 Tabel 16 Susunan Mata Pelajaran Kurikulum SMP Sebelum Tahun 1962 Kel Mata Pelajaran Kelas I Kelas II Kelas IIIA Kelas IIIB I Kelompok Bahasa 1. Bahasa Indonesia 5 5 6 5 2. Bahasa Inggris 4 4 4 4 3. Bahasa Daerah 2 2 2 1 Sub Jumlah 11 11 12 10 II Kelompok Ilmu Pasti 1. Berhitung dan Aljabar 4 3 2 4 2. Ilmu Ukur 4 3 - 4 Sub Jumlah 8 6 2 8 III Kelompok Pengetahuan Alam 1. Ilmu AlamKimia 2 3 2 2 2. Ilmu Hayat 2 2 2 2 IV Kelompok Pengetahuan sosial 1. Ilmu Bumi 2 2 3 3 2. Sejarah 2 2 2 2 Sub Jumlah 4 4 5 5 V Kelompok Pelajaran Ekonomi 1. Hitung Dagang - 1 2 - 2. Pengetahuan Dagang - - 2 - Sub Jumlah - 1 4 - VI Kelompok Pelajaran Ekspresi 1. Seni Suara 1 1 1 1 2. Menggambar 2 2 2 2 3. Pek. TanganKer. Wanita 2 2 2 2 Sub Jumlah 5 5 5 5 VII Pendidikan Jasmani 3 3 3 3 VIII Budi Pekerti 2 2 2 2 IX Agama 2 2 2 2 Jumlah 37 37 37 37 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen. Dikdasmen, Depdikbud, 1992. 4 Kurikulum SMA Awal Kemerdekaan Mata pelajaran Tata Negara mulai diberikan dalam kurikulum ini, akan tetapi Didikan Budi Pekerti justru tidak ada. Kurikulum Sekolah Menengah Atas SMA yang digunakan dalam kurun waktu 1945-1950 tidak jauh berbeda dengan kurikulum AMS. Perbedaannya hanya pada mata pelajaran Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia. Kurikulum AMS bagian B memberikan pelajaran Bahasa Belanda dan tidak memberikan Bahasa Indonesia. Sebaliknya, kurikulum SMA jurusan B 199 memberikan pelajaran Bahasa Indonesia dan tidak memberikan Bahasa Belanda. Sebagai perbandingan, kurikulum AMS bagian B dan SMA jurusan B disajikan dalam Tabel berikut: Tabel 17 Perbandingan Susunan Mata Pelajaran antara AMS Afdeling B 19391940 dengan SMA Jurusan B 19501951 No Mata Pelajaran AMS Kelas I AMS Kelas II AMS Kelas III SMA Kelas I SMA Kelas II SMA Kelas III 1 Ilmu Pasti 6 5 4 7 5 5 2 Ilmu Pesawat - - 2 - - 2 3 Ilmu Alam 3 4 4 4 4 5 4 Ilmu Kimia 3 3 5 3 3 5 5 Ilmu Hayat 2 1 2 2 2 1 6 Ilmu Falak - - 1 - 1 1 7 Bahasa Belanda 4 4 4 - - - 8 Bahasa Indonesia - - - 3 3 3 9 Bahasa Inggris 2 2 2 3 3 3 10 Tata Negara 1 1 - - 1 1 11 Ekonomi - 1 1 1 1 1 12 Tata Buku - 1 2 - 2 1 13 Sejarah 3 2 2 2 2 1 14 Ilmu Bumi 2 2 1 1 1 1 15 Bahasa Jerman 3 3 3 4 2 2 16 Bahasa Perancis 4 4 2 2 2 2 17 Menggambar Tangan 2 1 2 1 1 - 18 Menggambar Mistar - 2 1 - 2 2 19 Pendidikan Jasmani 2 2 1 3 3 3 Jumlah 33 34 32 34 36 37 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992.

b. Kurikulum SR 1964

Mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Kemasyarakatan sebagai embrio Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Agama digabung dengan Budi Pekerti. Kurikulum 1964 lebih populer dengan sebutan Rencana Pendidikan 1964. Kurikulum 1964 membedakan antara Rencana Pendidikan Sekolah Rakyat untuk sekolah berbahasa pengantar bahasa daerah di kelas I sampai III dan Rencana 200 Pendidikan Sekolah Rakyat untuk sekolah berbahasa pengantar bahasa Indonesia mulai kelas I. Berikut ini adalah Rencana Pendidikan Sekolah Rakyat 1964. Tabel 18 Rencana Pendidikan Sekolah Rakyat 1964 Susunan Mata Pelajaran untuk Sekolah Berbahasa Pengantar Bahasa Daerah di Kelas I sampai Kelas III No Bidang Studi Kel. I Kel. II Kel. III Kel. IV Kel. V Kel. VI I Perkembangan Moral

1. Pendidikan Kemasyarakatan

1 2 3 3 3 3 2. AgamaBudi Pekerti 1 2 2 2 2 2 Sub Jumlah 2 4 5 5 5 5 II Perkembangan Kecerdasan 3. Bahasa Daerah 9 8 5 3 3 3 4. Bahasa Indonesia - - 6 8 8 8 5. Berhitung 6 6 6 6 6 6 6. Pengetahuan Alamiah 1 1 2 2 2 2 Sub Jumlah 16 15 19 19 19 19 III Perkembangan Emosional 7. Pendidikan Kesenian 2 2 4 4 4 4 IV Perkembangan Keprigelan 8. Pendidikan Keprigelan 2 2 4 4 4 4 V Perkembangan Jasmani 9. Pendidikan Jasmani 3 3 4 4 4 4 Jumlah 25 26 36 36 36 36 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992. c. Kurikulum SMP 1962 Menurut Udin S. Winataputra: Pendidikan Kewargaan Negara Civics untuk pertama kalinya diberikan di SMP. Kurikulum SMP 1962 disebut juga “Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru”. Dalam Konferensi Pengawas SMP seluruh Indonesia, bulan Juli 1962 di Tugu Bogor, Rencana Pelajaran SMP diubah dan disesuaikan dengan Sistem Pendidikan Pancawardhana. wawancara, 6 Agustus 2011. Perubahan penting yang dilakukan pada waktu itu ialah sebagai berikut. Pertama, penghapusan bagian A dan B pada kelas III SMP yang dimaksudkan untuk 201 menghilangkan rasa rendah diri pada siswa bagian A, dan sebaliknya menghilangkan rasa lebih tinggi pada siswa bagian B. Dengan demikian, semua siswa SMP menerima pelajaran yang sama dari kelas I sampai kelas III. Kedua, penambahan dua mata pelajaran baru ke dalam Rencana Pelajaran SMP, yaitu Ilmu Administrasi dan Kesejahteraan Keluarga. Dengan penambahan dua mata pelajaran tersebut diharapkan para siswa yang tidak dapat melanjutkan pelajaran ke tingkat yang lebih tinggi, mendapat bekal untuk terjun ke masyarakat. Pendidikan Kesejahteraan Keluarga ialah pendidikan ke arah keselamatan, ketenteraman, serta kemakmuran lahir dan batin dalam kehidupan keluarga. Ketiga, dimasukkannya jam krida dengan maksud memberikan kesempatan yang luas bagi para siswa untuk menemukan atau memupuk bakat dan minat mereka masing-masing di bawah bimbingan yang teratur dari guru, dan selanjutnya untuk mengembangkan karya yang berguna bagi siswa kelak dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, jam krida juga dimaksudkan untuk menanamkan penghargaan terhadap pekerja kasar karena pada jam krida diajarkan juga keterampilan yang sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari, seperti perbengkelan sepeda, pertukangan, atau mencukur. Keempat, pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan yang dimaksudkan untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang diri para siswa kecuali melalui krida. Melalui bimbingan dan penyuluhan guidance and conseling minat, dan bakat siswa dapat dipupuk dan dikembangkan untuk keperluan pembangunan nasional. Pengelompokan mata pelajaran dalam Rencana Pelajaran yang disusun dibagi menjadi empat kelompok, sebagai berikut: 1 “Kelompok Dasar” adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan untuk melahirkan warga negara Indonesia yang 202 berjiwa Pancasila dan berjiwa patriot paripurna serta sehat dan kuat jasmaniah dan rohaniah. 2 “Kelompok Cipta” adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan untuk memberikan dasar-dasar pengetahuan sehingga dapat mewujudkan tenaga kejuruan yang ahli. 3 “Kelompok RasaKarsa” adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan membiasakan anak didik memenuhi tuntutan sosial masyarakat Indonesia, supaya anak didik cinta kepada keindahan. 4 “Krida” adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan untuk memupuk minat, bakat, dan kemampuan. Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru berlaku mulai 1 Agustus 1962, yaitu permulaan tahun ajaran 19621963. Daftar Pelajaran SMP Gaya Baru serta Struktur Program pada Kurikulum 1962 SMP disajikan pada Tabel 10. Pada bulan Desember 1967, Dinas SMP bersama Urusan SMP seluruh Indonesia dan beberapa tenaga ahli dari Lembaga Bahasa Nasional, Lembaga Sejarah dan Antropologi, serta Proyek Bahasa Inggris menyelenggarakan Musyawarah Kerja untuk mengadakan penyempurnaan Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru yang disesuaikan dengan tuntutan Orde Baru. Penyempurnaan kurikulum antara lain mengenai penggantian nama “Rencana Pelajaran” menjadi “Rencana Pendidikan”. Hal ini dilakukan agar lebih sesuai dengan tujuan pelaksanaannya. Selain itu, nama-nama kelompok mata pelajaran diganti dan diseragamkan dengan “Rencana Pendidikan” untuk jenis sekolah menengah lain yang berada dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. 203 Tabel 19 Susunan Mata Pelajaran SMP Gaya Baru Tahun 1962 Kelp. Mata Pelajaran Kelas I Kelas II Kelas III A Kelompok Dasar

1. Civics Kewargaan Negara 2

2 2 2. Bahasa Indonesia 5 5 5 3. Sejarah Kebangsaan 1 1 1 4. Ilmu Bumi Indonesia 1 1 1 5. Pend. AgamaBudi Pekerti 2 2 2 6. Pend. Jasmani Kesehatan 2 2 2 Sub Jumlah 13 13 13 B Kelompok Cipta 1. Bahasa Daerah 2 2 2 2. Bahasa Inggris 4 4 4 3. Ilmu Aljabar 3 3 3 4. Ilmu Ukur 3 3 3 5. Ilmu Alam 2 2 2 6. Ilmu Hayat 2 2 2 7. Imu Bumi Dunia 1 1 1 8. Sejarah Dunia 1 1 1 9. Ilmu Administrasi 1 1 1 Sub Jumlah 19 19 19 C Kelompok RasaKarsa 1. Menggambar 2 2 2 2. Kesenian 1 1 1 3. Prakarya 2 2 2 4. Kesejahteraan Keluarga 1 1 1 Sub Jumlah 6 6 6 D Krida 2 2 2 Jumlah 40 40 40 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992.

d. Kurikulum SMA 1952

Untuk pertama kalinya mata pelajaran Tata Negara dan Kewarganegaraan diberikan di SMA. Status mata pelajaran tersebut masuk dalam kategori penting untuk SMA Bagian A, pelengkap untuk SMA Bagian B, dan pokok untuk SMA Bagian C. Kurikulum SMA 1952 dikembangkan dalam Konferensi Direktur SMA mengenai Rencana Pelajaran yang dilaksanakan pada tanggal 30 Januari sampai 6 204 Februari 1952 di Bogor. Dalam konferensi tersebut di antaranya dinyatakan bahwa kurikulum yang digunakan, yaitu kurikulum 19501951, bersifat terlalu akademik dan kurang memperhatikan keterampilan dan moral siswa sehingga kurikulum tersebut tidak sesuai dengan tujuan SMA yang mempersiapkan murid masuk ke perguruan tinggi dan ke masyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, perlu diadakan perbaikan terhadap kurikulum yang ada. Perbaikan kurikulum tersebut mengacu pada tujuan SMA yang telah ditetapkan berdasarkan hasil keputusan konferensi tersebut. Kurikulum SMA 1952 mulai diberlakukan pada tahun 1952 dengan rincian mata pelajaran sebagaimana tercantum pada tabel berikut ini: Tabel 20 Susunan Mata Pelajaran SMA Bagian A Tahun 1952 Golongan Mata Pelajaran Kelas I Kelas II Kelas III Pokok 1. Bhs Kesusasteraan Indonesia 4 4 5 2. Bahasa Daerah 2 2 - 3. Jawa Kuno 2 2 - 4. Bahasa Inggris 4 4 6 5. Bahasa Perancis 3 3 3 6. Bahasa Jerman 3 3 3 7. Sejarah 3 3 3 8. Ilmu Bumi 2 2 2 Sub Jumlah 20 20 19 Penting 9. Sejarah Kesenian 1 1 1 10. Sejarah Kebudayaan 2 2 2 11. Ilmu Bangsa-bangsa 1 1 1 12. Ekonomi 2 2 2 13.Tata Neg Kewarganeg. 2 2 3 Sub Jumlah 8 8 9 Pelengkap 14. Aljabar 1 1 - 15 Ilmu Kesehatan 1 1 - 16. Menggambar 2 2 2 17. Pendidikan Jasmani 3 3 2 18. Pendidikan Agama 2 2 2 Sub Jumlah 9 9 6 Jumlah 37 37 34 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992. 205 SMA bagian A Budaya mata pelajaran Tata Negara dan Kewarganegaraan masuk dalam kelompok “penting”. Tabel 21 Susunan Mata Pelajaran SMA Bagian B Tahun 1952 Golongan Mata Pelajaran Kelas I Kelas II Kelas III Pokok 1. Aljabar 2 2 3 2. Ilmu Ukur sudut 2 2 2 3. Ilmu Ukur Ruang 2 2 2 4. Ilmu Ukur Melukis 1 1 1 5. Ilmu Alam 4 5 5 6. Mekanika 1 1 1 7. Ilmu Kimia 4 5 5 8. Ilmu Hayat dan Kesehatan 2 2 2 Sub Jumlah 18 20 21 Penting 9. Bahasa Indonesia 2 2 2 10. Bahasa Inggris 3 3 4 Sub Jumlah 18 20 21 Pelengkap 11. Bahasa Jerman 2 2 1 12. Bahasa Perancis 2 2 1 13 Bumi Alam dan Falak 2 1 - 14. Sejarah 2 1 - 15.Tata Neg Kewarganeg. 1 1 - 16. Ekonomi 1 1 - 17. Tata Buku 2 2 2 18. Menggambar 2 2 2 19. Pendidikan Jasmani 2 2 2 20. Pendidikan Agama 2 2 2 Sub Jumlah 14 12 7 Jumlah 37 37 34 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992. SMA bagian B Ilmu Alam mata pelajaran Tata Negara dan Kewarganegaraan masuk dalam kelompok “pelengkap”. 206 Tabel 22 Susunan Mata Pelajaran SMA Bagian C Tahun 1952 Golongan Mata Pelajaran Kelas I Kelas II Kelas III Pokok 1. Tata Neg Kewarganeg. 2 2 2 2. Tata Hukum 1 1 1 3. Ekonomi 3 3 3 4. Ilmu Bumi Sosial dan Ekonomi 3 3 3 5. Ilmu Bangsa-bangsa 1 1 1 6. Sejarah 2 2 2 Sub Jumlah 12 12 12 Penting 7. Pengetahuan dan Hitung 2 2 2 8. Tata Buku 2 2 2 9. Sejarah Perekonomian - 2 2 10. Bahasa Indonesia 3 3 3 11. Bahasa Inggris 4 4 4 Sub Jumlah 11 13 13 12. Bahasa Jerman 2 2 2 13. Bahasa Perancis 2 2 2 Pelengkap 14. Ilmu Kimia dan Peng. Bahan 2 1 1 15. Aljabar 2 2 - 16. Ilmu Kesehatan 1 1 - 17. Menggambar 2 2 2 18. Pendidikan Jasmani 2 2 2 19. Pendidikan Agama 2 2 2 Sub Jumlah 13 13 9 Jumlah 36 38 34 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992. Sedangkan untuk SMA bagian C Ilmu Sosial mata pelajaran Tata Negara dan Kewarganegaraan masuk dalam kelompok “pokok”.

e. Kurikulum SMA 1961

Mata pelajaran Tata Negara dan Kewarganegaraan diganti menjadi “Kewarganegaraan”. Kewarganegaraan berdiri sendiri sebagai mata pelajaran dan termasuk dalam kategori mata pelajaran “Kelompok Dasar”. Kurikulum SMA 1961, dikembangan pada tanggal 6 sampai 13 November 1961 melalui pertemuan antara SMA Teladan di Surakarta yang bertujuan untuk 207 melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap usaha pembaharuan kurikulum yang telah dilakukan. Dalam pertemuan tersebut antara lain dihasilkan kesimpulan- kesimpulan sebagai berikut. Pertama, rumusan yang tepat mengenai tujuan SMA ialah mengembangkan cita-cita hidup serta mengembangkan kemampuan dan kesanggupan sebagai anggota masyarakat dan mendidik tenaga ahli dalam berbagai lapangan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing serta keperluan masyarakat sehingga tamatannya mempunyai dasar-dasar ilmu dan kecakapan seperlunya untuk mengembangkan diri terutama pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi dan lembaga masyarakat. Kedua, penggolongan mata pelajaan di SMA dibagi menjadi empat kelompok yang berkaitan satu dengan lainnya, yaitu: 1 Kelompok dasar enam mata pelajaran yaitu mata pelajaran yang diperlukan bagi seluruh siswa dalam rangka pembentukan warga negara: kewarganegaraan, agama, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi, dan pendidikan jasmani dan kesehatan; 2 Kelompok khusus tujuh mata pelajaan yaitu mata pelajaran yang sesuai dengan bakat siswa dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi; 3 Kelompok penyerta tiga mata pelajaran yang dianggap perlu untuk memperluas mata pelajaran kelompok khusus; dan 4 Kelompok prakarya dan krida; krida adalah kegiatan bidang kebudayaan, kesenian, olahraga dan permainan yang harus diselenggarakan di setiap sekolah berdasarkan instruksi Menteri P dan K tahun 1961. Ketiga, penjurusan di SMA mulai dilakukan di kelas II dan menghapus jurusan A, B, dan C dengan mengganti jurusan Budaya, Sosial, Ilmu Pasti, dan Ilmu Pengetahuan Alam. 208 Keempat, kurikulum SMA tahun 1961 disebut “Kurikulum Gaya Baru” atau “Kurikulum SMA Gaya Baru”. Kurikulum SMA 1964 dikembangkan, karena pengaruh kehidupan politik pada waktu itu, dan kurikulum SMA 1961 berubah menjadi kurikulum SMA 1964 atau yang terkenal dengan sebutan Kurikulum Pancawardhana. Perubahan ini menunjukkan bahwa tujuan SMA semakin kompleks, tidak hanya untuk meneruskan ke perguruan tinggi tetapi juga terjun ke semua bidang kehidupan yang ada di masyarakat. Hal ini membawa konsekuensi yang sangat besar terhadap pelaksanaan dan pengelolaan sekolah. Periode ini ditandai dengan kuatnya pengaruh politik dalam kurikulum SMA. Kurikulum Pancawardhana hanya berlangsung sampai tahun 1967, hal ini disebabkan adanya kritik dari berbagai pihak bahwa kurikulum SMA 1964 kurang memiliki bobot akademis yang memadai. Kurikulum Gaya Baru dan Pancawardhana sebenarnya dapat berjalan dengan baik bila ditunjang oleh ketersediaan guru untuk semua mata pelajaran; kondisi sekolah dan fasilitas cukup baik; dan kadaan ekonomi negara stabil dan mantap. Pelaksanaan kurikulum SMA Pancawardhana ditandai pula dengan peristiwa G-30- SPKI pada tahun 1965.

2. Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Era Orde Baru

Penanaman nilai-nilai moral yang cenderung hegemonik dari negara melalui proses pendidikan pada era Orde Baru mulai menampakkan kekuatannya ketika secara formal Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN tahun 1973 menyebut perlunya kurikulum di semua tingkat pendidikan berisikan Pendidikan Moral Pancasila PMP. Meskipun sebutan Moral Pancasila dilekatkan untuk Pendidikan 209 Kewarganegaraan di jenjang pendidikan dasar dan menengah, namun materi-materi dalam masing-masing pokok bahasan, nampak bernuansa Civics seperti Kurikulum 1968 Samsuri, 2010: 117. Sejak GBHN 1973 sampai dengan GBHN 1998 pada era Orde Baru, pendidikan untuk membentuk karakter warga negara yang baik dibebankan terutama pada Pendidikan Kewarganegaraan, serta sejumlah mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Pendidikan Pendahuluan Bela Negara, serta P4. Semua mata pelajaran tersebut bersifat top-down. Menurut Udin S. Winataputra: GBHN 1973 mengamanatkan bahwa kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila, dan unsur-unsur yang cukup untuk meneruskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. wawancara, 6 Agustus 2011. Pendidikan Pancasila termasuk Pendidikan Moral Pancasila dan unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai universitas, baik negeri maupun swasta GBHN 1978. Pendidikan Pancasila termasuk Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4, Pendidikan Moral Pancasila, dan unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda harus makin ditingkatkan dalam kurikulum sekolah-sekolah dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dan di lingkungan masyarakat GBHN 1983. 210 Pendidikan Pancasila termasuk Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 1945 kepada generasi muda, dilanjutkan dan makin ditingkatkan di semua jenis dan jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta GBHN 1988. Pendidikan Pancasila termasuk Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai kejuangan, khususnya nilai-nilai 1945, dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan termasuk prasekolah GBHN 1993. Pendidikan Pancasila termasuk Pendidikan Pedoman dan Penghayatan Pancasila P4, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan termasuk prasekolah sehingga terbentuk watak bangsa yang kokoh GBHN 1998. Selama Orde Baru telah terjadi pergantian kurikulum sampai empat kali, yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994.

a. Kurikulum 1968

Departeman P dan K pada tahun 1968 menerbitkan buku Pedoman Kurikulum Sekolah Dasar yang dinamakan Kurikulum SD, sebagai reaksi terhadap Rencana Pendidikan TK dan SD yang di dalamnya berbau politik ORLA Orde Lama. 211 Perubahan-perubahan terletak pada landasan pendidikannya yang berdasarkan Falsafah Negara Pancasila. Ketetapan MPRS No. XXVIIMPRS1966 memberikan arah pada reformasi pendidikan, berikut ini beberapa ketentuan yang terdapat di dalamnya: …1 Dasar pendidikan nasional adalah Pancasila Ketetapan MPRS No. XXVIMPRS1966 Bab II Pasal 2. 2 Tujuan pendidikan nasional ialah membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 dan Isi UUD 1945 Ketetapan MPRS No. XXVIIMPRS1966 Bab II Pasal 3. 3 Isi pendidikan nasional adalah: a Mempertinggi mental budi pekerti dan memperkuat keyakinan agama. b Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. c Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Ketetapan MPRS No. XXVIIMPRS1966 Bab II Pasal 4. Kurikulum Sekolah Dasar 1968 dibagi menjadi 3 kelompok besar: 1 Kelompok Pembinaan Pancasila: Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Olahraga. 2 Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar: Berhitung, Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, dan Kesehatan. 3 Kelompok Kecakapan Khusus: Kejuruan Agraria Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kejuruan Teknik Pekerjaan Tangan, Perbengkelan, Kejuruan KetatalaksanaanJasa Kurikulum 1968. Dengan berakhirnya rezim Orde Lama dan lahirnya Orde Baru, sesuai dengan TAP MPRS No. XXVIIMPRS1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, maka dirumuskan mengenai tujuan pendidikan sebagai “membentuk manusia Pancasilais sejati” berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 dan Isi UUD 1945. Isi pendidikan adalah mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi 212 kecerdasan dan keterampilan, membina memperkembangkan fisik yang kuat dan sehat. Inilah isi dari kurikulum 1968. Selanjutnya TAP MPRS tersebut juga menegaskan mengenai kebebasan mimbarilmiah seluas-luasnya di perguruan tinggi yang tidak menyimpang dari UUD 1945 dan falsafah negara Pancasila. Semua sekolah asing dilarang di seluruh Indonesia. Demikian pula pemerintah memperhatikan perkembangan gerakan Pramuka. Mengenai lembaga pendidikan disederhanakan baik mengenai jumlah maupun strukturnya. Yang menarik antara lain, di dalam TAP MPRS tersebut ialah karena kekurangan tenaga mengajar perlu diadakan langkah-langkah untuk mengatasinya antara lain dengan undang-undang wajib mengajar. Abd. Rachman Assegaf 2005: 141, menyatakan: Dengan dibubarkannya PKI pada tahun 1965, ide Manipol diganti dengan upaya pemurnian Pancasila, dimana hal ini mengakibatkan seluruh pembagian mata pelajaran ke dalam kelompok-kelompok yang menjabarkan ide Manipol, seperti Pancawardhana dan Sapta Usaha Tama, atau kelompok mata pelajaran RasaKarya yang bertujuan membentuk Sosialisme Indonesia, diganti menjadi tiga kelompok mata pelajaran, yaitu: 1 Kelompok pembinaan jiwa Pancasila. 2 Kelompok pembinaan pengetahuan dasar. 3 Kelompok pembinaan kecakapan khusus. Kelompok pembinaan jiwa Pancasila terdiri dari mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan termasuk Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan Civics, Pendidikan Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Olah Raga. Kurikulum 1968 telah menyebutkan rincian bahan, tujuan, dedaktikmetodik serta petunjuk bagi guru yang mengajar Pendidikan Kewarganegaraan. Berikut ini adalah susunan mata pelajaran Kurikulum Sekolah Dasar 1968, untuk Sekolah Berbahasa Pengantar Bahasa Daerah Sampai Kelas III, dan untuk Sekolah Berbahasa Pengantar Bahasa Indonesia Mulai Kelas I: 213 Tabel 23 Susunan Mata Pelajaran Kurikulum Sekolah Dasar 1968 untuk Sekolah Berbahasa Pengantar Bahasa Daerah Sampai Kelas III No Bidang Studi Kel. I Kel. II Kel. III Kel. IV Kel. V Kel. VI I Pembinaan Jiwa Pancasila 1. Pendidikan Agama 2 2 3 4 4 4

2. Pend. Kewargaan Negara.

2 2 4 4 4 4 3. Pend. Bhs. Indonesia - - 6 6 6 6 4. Bahasa Daerah 8 8 2 2 2 2 5. Pend. Olahraga 2 2 3 3 3 3 Sub Jumlah 14 14 18 19 19 19 II Pembinaan Penget. Dasar 6. Berhitung 7 7 7 6 6 6 7. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 4 4 4 4 8. Pendidikan Kesenian 2 2 4 4 4 4 9. Pend. Kesejahteraan Keluarga 1 1 2 2 2 2 Sub Jumlah 12 12 17 16 16 16 III Pemb. Kecakapan Khusus 10. Pendidikan Khusus 2 2 2 5 5 5 5 Jumlah 28 28 40 40 40 40 Sumber:Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992. Pendidikan Kewargaan Negara masuk dalam kelompok “Pembinaan Jiwa Pancasila”, diberikan 4 jam perminggu untuk kelas III sampai dengan kelas VI, dan 2 jam untuk kelas I dan II. 214 Tabel 24 Susunan Mata Pelajaran Kurikulum Sekolah Dasar 1968 untuk Sekolah Berbahasa Pengantar Bahasa Indonesia Mulai Kelas I No Bidang Studi Kel. I Kel. II Kel. III Kel. IV Kel. V Kel. VI I Pembinaan Jiwa Pancasila 1. Pendidikan Agama 2 2 4 4 4 4

2. Pend. Kewargaan Neg.

2 2 4 4 4 4 3. Pend. Bhs. Indonesia 4 4 6 6 6 6 4. Bahasa Daerah 4 4 2 2 2 2 5. Pend. Olahraga 2 2 3 3 3 3 Sub Jumlah 14 14 19 19 19 19 II Pembinaan Penget. Dasar 6. Berhitung 7 7 7 7 7 7 7. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 4 4 4 4 8. Pendidikan Kesenian 2 2 3 3 3 3 9. Pend. Kesejahteraan Keluarga 1 1 2 2 2 2 Sub Jumlah 12 12 16 16 16 16 III Pemb. Kecakapan Khusus 10. Pendidikan Khusus 2 2 2 5 5 5 5 Jumlah 28 28 40 40 40 40 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar tanggal 2 Agustus 1968 No. 342UKK68, Rencana Pendidikan SMP yang telah disempurnakan, maka Kurikulum SMP 1968 mulai berlaku pada awal tahun ajaran 1968. Faktor politis lebih berpengaruh dalam penyempurnaan Rencana Pendidikan tersebut dibandingkan dengan faktor-faktor lain. Penyusunan Rencana Pendidikan dikoordinasikan oleh Kantor Pusat, dalam hal ini Dinas SMP. Susunan program pengajaran dalam Rencana Pendidikan yang disempurnakan tahun 1967 dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu sebagai berikut. Pertama: Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila; kelompok ini berfungsi untuk membina dan 215 mempertinggi moral Pancasila, UUD 1945, serta membina jasmani yang sehat dan kuat. Usaha ini diarahkan pada pembentukan jiwa yang sehat dan kuat. Dengan jiwa yang sehat diharapkan dapat meningkatkan keyakinan beragama, keimanan, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, moral Pancasila sesuai dengan Ketetapan TAP MPRS No. XVIIMPRS1966, yaitu agar warga negara berbudi bahasa halus dan pandai menyesuaikan diri, berdisiplin, dan berwatak sportif. Demikian juga halnya dengan raga yang kuat diharapkan dapat meningkatkan kesehatan jasmani dan meningkatkan kecekatan bertindak. Rencana pelajaran dan kegiatan formal yang menunjang usaha tersebut ialah Pendidikan Agama, Kewargaan Negara, Bahasa Indonesia, dan Olahraga. Kedua: Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar; dasar pemikiran kelompok mata pelajaran ini ialah bahwa akal pikiran merupakan salah satu karunia Tuhan yang menempatkan kedudukan manusia di atas makhluk lain di dunia. Akal pikiran yang dibimbing dan dilatih dapat menjadikan manusia bersikap kritis dan selalu ingin mengetahui berbagai hal. Dengan sifat inilah maka manusia mampu mengetahui dan mengenal lingkungannya baik mengenai bentuk, sifat, maupun hukum-hukumnya sehingga dapat memanfaatkannya untuk mempertinggi kesejahteraan hidup. Dengan demikian semua pengetahuan dan pengertian yang diperoleh dapat mendorong manusia untuk mengakui dan meyakini adanya kekuatan yang mengatur hukum alam, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kelompok mata pelajaran ini bertujuan memberikan berbagai pengetahuan dasar yang berguna bagi anak didik untuk melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi. Mata pelajaran yang termasuk kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar ialah Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur untuk 216 meningkatkan sikap kritis, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, dan Ilmu Bumi untuk mengetahui manfaat yang mungkin berguna bagi kehidupan manusia, Sejarah untuk mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan bangsa sehingga menimbulkan kesadaran dan keinginan untuk bersatu, Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris merupakan media untuk menemukan dan mengembangkan kebudayaan guna meningkatkan kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan kesempurnaan hidup sebagai makhluk tertinggi, dan menggambar merupakan mata pelajaran yang dapat mengembangkan daya cipta, rasa estetika, keterampilan, dan rasa realitas sehingga siswa kelak dapat menciptakan bentuk, warna, keindahan, keseimbagan, dan keharmonisan. Ketiga: Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus; dasar pemikiran diadakannya kelompok mata pelajaran ini ialah bahwa di SMP tidak cukup hanya diberikan pendidikan mental, spiritual, fisik dan kecerdasan saja, tetapi diperlukan juga pendidikan keterampilan yang praktis, pendidikan emosional, dan pendidikan artistik serta sosial. Kelompok ini bertujuan memberikan keterampilan praktis yang berguna bagi siswa untuk bekal hidup dalam masyarakat. Mata pelajaran yang termasuk dalam kelompok ini ialah Administrasi memberikan keterampilan untuk menyelenggarakan administrasi sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Prakaya memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan mengembangkan bakatnya masing-masing. Pendidikan Kesenian memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan bakat seni mereka, dengan harapan kesenian baik daerah maupun nasional dapat dipupuk dan dilestarikan. Selain itu pendidikan kesenian juga bertujuan untuk meningkatkan rasa haru dan rasa indah dalam kehidupan sehari-hari. 217 Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, dimaksudkan untuk memperdalam kesadaran siswa akan perlunya hidup rukun, damai, hemat, cermat, sehat, serta sejahtera dalam kehidupan keluarga. Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus memberikan kesempatan yang lebih luas lagi bagi siswa untuk bekerja dan berkarya serta lebih mengenal bakat masing-masing. Di SMP hal ini mungkin belum dapat menghasilkan penguasaan materi secara bulat dan lengkap, tetapi bagi siswa yang putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan pengetahuan dasar yang berguna bagi kehidupan siswa sehingga mereka dapat menjadi manusia yang produktif dalam pembangunan. Perlu dicatat bahwa semua mata pelajaran yang diberikan di atas tidak berdiri sendiri, tetapi saling menunjang dan melengkapi dalam mencapai tujuan pendidikan di SMP. Kesatuan semua mata pelajaran tersebut ditunjukkan dalam susunan program pengajaran dalam Kurikulum SMP 1968. Susunan mata pelajaran kurikulum SMP 1968 sebagai berikut: 218 Tabel 25 Susunan Mata Pelajaran SMP Tahun 1968 Kelp. Mata Pelajaran Kelas I Kelas II Kelas III A Kelompok Pemb. Jiwa Pancasila 1. Pendidikan Agama 3 3 3

2. Pend Kewargaan Negara 3

3 3 3. Bahasa Indonesia I 3 3 3 4. Olahraga 2 2 2 Sub Jumlah 11 11 11 B Klp. Pembinaan Pengetahuan Dasar 1. Bahasa Indonesia II 2 2 2 2. Bahasa Daerah 2 2 2 3. Ilmu Inggris 3 3 3 4. Ilmu Aljabar 3 3 3 5. Ilmu Ukur 3 3 3 6. Ilmu Alam 3 3 3 7. Imu Hayat 2 2 2 8. Sejarah Bumi 2 2 2 9. Sejarah 2 2 2 Sub Jumlah 24 24 24 C Klp. Pembinaan Kecakapan Khusus 1. Administrasi 1 1 1 2. Kesenian 2 2 2 3. Prakarya 2 2 2 4. Kesejahteraan Keluarga 1 1 1 Sub Jumlah 6 6 6 Jumlah 41 41 41 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992. Di SMP Pendidikan Kewargaan Negara masuk dalam kelompok “Pembinaan Jiwa Pancasila”, diberikan masing-masing 3 jam perminggu untuk kelas I sampai dengan kelas III .

b. Kurikulum PKn 1975

Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1975 tidak jauh berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1968. Perbedaan kecil hanya pada penambahan kajian tentang pembangunan nasional dan GBHN pada PMP dalam Kurikulum 1975. 219 Tujuan kurikuler PMP Kurikulum 1975 untuk Sekolah Dasar adalah sebagai berikut: 1 Murid mengerti arti ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 2 Murid mengerti prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal-pasal UUD 1945. 3 Murid dapat mengerti prinsip dasar hak-hak asasi manusia, serta tanggungjawab yang terjalin dengan hak-hak tersebut. 4 Murid mengerti prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945. 5 Murid mengerti arti kesatuan bangsa dan negara Indonesia. 6 Murid mengetahui, mengenal kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan rasa bhineka tunggal ika. 7 Murid mengetahui tentang hak dan kewajiban dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. 8 Murid mengetahui dan mampu melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, dan masyarakat. 9 Murid mengerti dan mampu menggunakan dasar-dasar hak kewargaan negaranya. 10 Murid memahami bentuk dan dasar negara RI,sehingga murid mampu berpartisipasi sebagai warga negara. 11 Murid mengetahui dan mempraktekan prinsip keadilan sosial dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah dan masyarakat. Diolah dari Depdikbud, 1976a: 3-11. Tujuan kurikuler PMP Kurikulum 1975 untuk SMP adalah sebagai berikut: 1 Siswa menyadari adanya bermacam-macam agama, dan saling menghargai antara para pemeluknya. 2 Siswa memahami dan mengamalkan ajaran ke- Tuhanan Yang Maha Esa. 3 Siswa mengetahui, memahami dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 4 Siswa mengetahui, memahami dan menghayati prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. 5 Siswa mengetahui perkembangan sejarah nasional Indonesia. 6 Siswa menunjukkan sikap dan tindakan yang mendukung kesatuan nasional. 7 Siswa mengerti, mentaati dan melaksanakan peraturan untuk memajukan kehidupan masyarakat. 8 Siswa mengetahui dan menyadari arti kesatuan nasional Indonesia demi kesejahteraan masyarakat. 9 Siswa mentaati peraturan-peraturan untuk memelihara dan meningkatkan keamanan masyarakat. 10 Siswa mengetahui dan menyadari pentingnya arti persatuan dan kesatuan nasional Indonesia, sehingga mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. 11 Siswa memahami dan menyadari pentingnya disiplin bagi ketertiban masyarakat. 12 Siswa memahami dan menghayati Pancasila dan UUD 1945. 13 Siswa memahami prinsip-prinsip kehidupan demokrasi. 14 Siswa mampu menggunakan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitarnya. 15 Siswa mengetahui bahwa GBHN adalah merupakan landasan pembangunan nasional. Diolah dari Depdikbud, 1976b: 2-7. 220 Sedangkan tujuan kurikuler PMP Kurikulum 1975 untuk SMA adalah sebagai berikut: 1 Siswa memahami Tuhan Yang Maha Esa adalah sebab pertama causa prima, sebagai asal dari segala kehidupan yang mengajarkan persamaan, keadilan, kasih sayang. 2 Siswa memahami prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam pasal 29 UUD 1945. 3 Siswa menghargai sesama manusia dan memiliki sikap saling menghormati dalam pergaulan antar bangsa. 4 Siswa memahami prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. 5 Siswa mengetahui dan memahami serta dapat melaksanakan kewajiban dan hak yang harus dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. 6 Siswa mengetahui dan memahami pentingnya arti kesatuan dan persatuan nasional. 7 Siswa mengerti sistem pertahanan dan keamanan nasional. 8 Siswa mengerti ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan untuk memajukan masyarakat dan keamanan nasional serta ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan. 9 Siswa mengetahui dan menyadari arti kesatuan nasional Indonesia demi kesejahteraan masyarakat. 10 Siswa memahami dan menyadari prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, supaya mampu untuk melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. 11 Siswa mengetahui dan mengerti sistem pemerintahan demokrasi Pancasila. 12 Siswa memahami dan menyadari pentingnya disiplin bagi ketertiban masyarakat. 13 Siswa memahami dan menghayati Pancasila dan UUD 1945. 14 Siswa memahami prinsip-prinsip kehidupan demokrasi. 15 Siswa mampu menggunakan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitarnya. 16 Siswa memahami dasar dan tujuan kehidupan sosial ekonomi Indonesia dan berusaha berpartisipasi untuk keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. 17 Siswa berusaha melaksanakan prinsip keadilan sosial. Diolah dari Depdikbud, 1978: 2-5. Usaha untuk memperbaiki kurikulum pendidikan sudah lama dirasakan kebutuhannya oleh pemerintah. Oleh sebab itu, berbagai percobaan misalnya untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah dasar banyak dilaksanakan. Antara lain yang terkenal ialah usaha Balai Penyelidikan dan Perancang Pendidikan dan Pengajaran BP4 dipimpin oleh H.S. Adam Bachtiar sejak tahun 1951 mengadakan sekolah- sekolah percobaan. Sekolah-sekolah tersebut yaitu sekolah rakyat percobaan di Jakarta mengenai pengelompokan murid berdasarkan prestasi belajar, di Denpasar 221 untuk sekolah masyarakat; Bandung untuk science teaching dan pendidikan agama Islam; Bukit Tinggi mengenai pertanian sebagai mata pelajaran. Usaha-usaha Adam Bachtiar ini kemudian dilanjutkan oleh IP Simanjuntak setelah terbentuknya Jawatan Pendidikan Umum tahun 1957. Sayang sekali usaha-usaha percobaan ini tidak pernah dievaluasi sehingga tidak pernah didesiminasikan Depdikbud, 1976: 14. Usaha yang kedua dimulai pada Pelita I yaitu Pengharusan Kurikulum dan Metode Mengajar PKMM. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan di Jakarta; bahasa Sunda di Bandung; kesenian di Yogyakarta; IPS di Surabaya; IPA di Malang; dan sekolah laboratorium IKIP Malang yang dipimpin oleh Prof. Dr. Supartinah Pakasi. Hasil sekolah laboratorium IKIP Malang inilah yang merupakan salah satu masukan kurikulum 1975 Depdikbud, 1976: 15. Dalam Pelita I Menteri Mashuri Depdikbud, 1976: 15, mengemukakan basic memorandum tentang pendidikan. Dalam dokumen tersebut digariskan mengenai syarat-syarat sekolah-sekolah di Indonesia sebagai berikut: ... 1 Sekolah itu hendaknya merupakan bagian integral dari masyarakat sekitarnya. Sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup, sekolah itu hendaknya mempunyai dwifungsi: mampu memberikan pendidikan formil dan juga pendidikan informil, baik untuk para pemuda maupun untuk orang dewasa pria wanita. 2 Sekolah itu hendaknya berorientasikan kepada pembangunan dan kemajuan, sehingga dapat menyiapkan tenaga kerja yang memiliki watak, pengetahuan dan keterampilan untuk pembangunan bangsa dan negara di berbagai bidang. 3 Sekolah itu hendaknya mempunyai kurikulum, metode mengajar dan program yang menyenangkan, menantang dan cocok dengan tujuannya. Dari kebijakan pendidikan inilah lahir apa yang disebut Proyek Perintis Sekolah Pembangunan PPSP. Seperti kita ketahui pada tahun 1973 lahirlah GBHN yang pertama sebagai Ketetapan MPR No. IIMPR1973. Berdasarkan TAP MPR 222 inilah disusun kurikulum 1975. Seperti kita ketahui kurikulum-kurikulum sebelumnya disusun berdasarkan Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, kemudian mendasarkannya kepada TAP MPRS No. II Tahun 1960 dan keputusan-keputusan lainnya. Dengan sendirinya di dalam masa Orde Baru kita memerlukan kurikulum yang sesuai dengan jiwa pembangunan pada masa itu. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru diiringi dengan perubahan-perubahan mendasar di bidang pendidikan. Beberapa faktor yang muncul sejak tahun 1969 dan yang mempengaruhi perubahan ke arah terbentuknya Kurikulum 1975 adalah sebagai berikut: 1 Kegiatan pembaharuan pendidikan selama Repelita I yang dimulai pada tahun 1969 telah melahirkan dan menghasilkan gagasan-gagasan baru yang sudah mulai memasuki pelaksanaan sistem pendidikan nasional. 2 Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan nasional yang digariskan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara menuntut implementasinya di lapangan. 3 Hasil analisis dan penilaian pendidikan nasional telah mendorong Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk meninjau kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan nasional. 4 Inovasi di dalam sistem belajar-mengajar yang dirasakan dan dinilai lebih efisien dan efektif telah memasuki dunia pendidikan Indonesia. 5 Keluhan-keluhan masyarakat tentang mutu lulusan pendidikan mendorong petugas-petugas pendidikan untuk meninjau sistem yang saat itu sedang berlaku. Kesemuanya ini merupakan faktor-faktor yang melatar belakangi perlunya dilakukan peninjauan kurikulum agar lebih sesuai dengan tuntutan perubahan dan lebih efisien di dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan Depdikbud, 1976: 16. Karena beberapa faktor di atas, maka Kurikulum 1975 223 muncul dengan berbagai pembaharuan fundamental, yang di masa berikutnya Kurikulum 1975 ini menjadi basis bagi upaya penyempurnaan kurikulum selanjutnya. Menurut Abd. Rachman Assegaf 2005: 143-144, aspek-aspek baru yang dijumpai dalam kurikulum ini antara lain adalah: Pertama, pembakuan Kurikulum 1975 dilakukan dengan menggunakan prinsip fleksibilitas program, yaitu dengan mempertimbangkan faktor ekosistem lingkungan, kemampuan pemerintah, masyarakat dan orang tua dalam menyediakan fasilitas yang memadai bagi berlangsungnya program tersebut, prinsip efisiensi dan efektifitas, yaitu menyangkut penggunaan waktu secara tepat dan pendayagunaan tenaga secara optimal. Prinsip berorientasi pada tujuan yakni agar tiap jam dan kegiatan pelajaran yang dilakukan oleh siswa dan guru benar-benar terarah kepada tercapainya tujuan pendidikan. Prinsip kontinuitas, yaitu agar penyusunan kegiatan belajar mengajar selalu memperhatikan hubungan fungsional dan hirarkhis sehingga tidak terjadi pengulangan yang membosankan atau pemberian pelajaran yang tak dapat dipahami oleh siswa karena mereka tidak memiliki dasar yang kokoh, dan prinsip pendidikan seumur hidup, yaitu bahwa masa sekolah bukanlah masa satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan hanya sebagian dari waktu belajar yang akan berlangsung seumur hidup. Kedua, sistem penyajian Kurikulum 1975 mulai memperkenalkan penggunaan pola PPSI Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional. Dalam realisasinya pola ini menghasilkan penerapan Satuan Pelajaran Satpel, unit lesson sebagai rencana atau persiapan mengajar guru sebelum masuk kelas. Di samping itu, Satpel ini memuat rincian mengenai Tujuan Instruksional Umum TIU, Tujuan Instruksional Khusus TIK, ringkasan materi pelajaran, proses kegiatan belajar mengajar, metode mengajar, alatsumber serta evaluasi. Dengan demikian Satpel mencerminkan makna kurikulum yang komprehensip karena meliputi tujuan, materi, metode dan evaluasi. Dengan Satpel pula dapat dihindarkan problem ketidak seragaman kurikulum pendidikan bagi guru yang mengajar di sekolah. Yang demikian ini tidak dijumpai dalam kurikulum 1968. Ketiga, Kurikulum 1975 dirancang untuk disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan nasional dalam Repelita II 1974-1979. Satu hal yang istimewa pada Repelita II atau dasawarsa 1970-an ini adalah terjadinya oil boom di Indonesia sehingga mampu menaikkan APBN bidang pendidikan sampai dua kali anggaran tahun 19741975. Pada dasawarsa ini pembangunan sektor pendidikan diarahkan pada aspek pemerataan pendidikan dasar dengan memperluas daya tampung sekolah di seluruh pelosok Nusantara. Abd. Rachman Assegaf, 2005: 143-144. 224 Menurut A. Ahmadi 1987: 270, latar belakang lahirnya Kurikulum 1975 adalah sebagai berikut: Sebelum diberlakukannya kurikulum 1975, telah diberlakukan kurikulum 1968. Namun karena pada saat dirumuskannya kurikulum 1968 belum dapat menghimpun segala keutuhan pendidikan, misalnya tentang tujuan nasional pendidikan yang berorientasi pada pembangunan bangsa tujuan nasional pendidikan yang demikian baru dirumuskan dalam GBHN hasil TAP MPR tahun 1973, maka kurikulum 1968 tidak berjalan seperti yang diharapkan. Pada tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, di samping berjalan kurikulum 1968, juga kurikulum menurut sistematik buku-buku hasil proyek pengadaan buku dan kurikulum sesuai dengan kemampuan masing- masing guru. Kondisi semacam itu sangat membingungkan guru, orang tua murid, dan masyarakat. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, dan dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektivitas, serta relevansi pendidikan, dimulailah proses pembakuan kurikulum pada tahun 1974, yang merupakan kelanjutan dari usaha-usaha yang telah dimulai sejak tahun 1969. Sebagai hasilnya lahirlah kurikulum 1975. Kurikulum 1975 disusun dengan berorientasi pada tujuan pendidikannya sebagai manusia pembangunan. Kurikulum 1975 adalah kurikulum pertama yang dikembangkan pada periode PJP I. Pengembangan kurikulum ini dilakukan dalam rangka menjawab tantangan peningkatan mutu pendidikan sebagai perimbangan dari perluasan persekolahan, khususnya di SD, yang mulai dilakukan sejak awal tahun 1970-an. Pembakuan kurikulum 1975, pada dasarnya dilakukan untuk penyempurnaan Kurikulum 1968, yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kemajuan zaman. Tujuan pendidikan berdasarkan Kurikulum 1975 dirumuskan berdasarkan Ketetapan MPR NO. IVMPR1973 tentang GBHN 1973 yaitu membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila, manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab. Sesuai dengan fungsi pembangunan nasional PJP I, maka Kurikulum 1975, pada waktu itu benar-benar dibutuhkan keberadaannya dalam 225 rangka membentuk manusia Indonesia untuk pembangunan nasional di berbagai bidang. 1 Kurikulum SD 1975 Dalam pengantar Kurikulum SD 1975 Depdikbud, 1975: 2, tujuan umum pendidikan Sekolah Dasar adalah: Membentuk lulusan yang memiliki sifat-sifat dasar sebagai warga negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, dan memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk melanjutkan pelajaran, mengembangkan diri sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup. Kurikulum SD 1975 berorientasi kepada tujuan dengan menganut prinsip- prinsip fleksibilitas program, efisiensi dan efektivitas, kontinuitas, dan pendidikan seumur hidup. Fleksibilitas program menunjukkan bahwa penyusunan program pengajaran pada setiap bidang studi disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah. Melalui prinsip pendidikan seumur hidup diharapkan agar materi dan proses belajar mengajar setiap bidang studi memiliki kesinambungan sehingga bahan-bahan pelajaran benar-benar dapat menyatu dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Prinsip efisiensi dan efektivits dimaksudkan agar mata pelajaran diorganisasikan secara terpadu dalam bidang-bidang studi sehingga demarkasi antara mata pelajaran yang terpisah tidak terlalu kentara. Hal ini tercermin dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran GBPP bahwa program pengajaran disusun sesuai dengan masing-masing bidang studi. Bidang studi agama terdiri dari lima macam program yaitu Agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. Bidang studi kesenian terdiri dari tiga unsur yaitu seni rupa termasuk menggambar, seni musik, dan seni tari. 226 Bidang studi keterampilan meliputi tujuh bidang yaitu jasa, kerajinan, teknik, pendidikan kesejahteraan keluarga, pertanian, peternakan, dan perikanan. Bidang studi IPA meliputi materi pelajaran fisika dan biologi, dan bidang studi IPS terdiri dari ilmu bumi, kewarganegaraan, ekonomi, dan sejarah. Struktur Program Kurikulum SD 1975 berbeda dengan Kurikulum SD 1968, yang membedakan struktur program menjadi dua yaitu sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia dan yang menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah. Kurikulum SD 1975 hanya mempunyai satu struktur program yang mencakup sembilan bidang studi, yaitu: 1 Agama; 2 Pendidikan Moral Pancasila; 3 Bahasa Indonesia; 4 Ilmu Pengetahuan Sosial; 5 Matematika; 6 Ilmu Pengetahuan Alam; 7 Olahraga dan Kesehatan; 8 Kesenian; dan 9 Keterampilan Khusus. Struktur program Kurikulum dan pembagian jam pelajaran setiap bidang studi untuk masing- masing kelas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 26 Susunan Program Pengajaran pada Kurikulum Sekolah Dasar Tahun 1975 No Bidang Studi Kl. I Kl. II Kl. III Kl. IV Kl. V Kl. VI Jumlah 1 Agama 2 2 2 3 3 3 15 2 Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2 12 3 Bahasa Indonesia 8 8 8 8 8 8 48 4 Ilmu Pengetahuan Sosial - - 2 2 2 2 8 5 Matematika 6 6 6 6 6 6 36 6 Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 3 4 4 4 19 7 Olahraga dan Kesehatan 2 2 3 4 4 4 19 8 Kesenian 2 2 3 4 4 4 19 9 Keterampilan Khusus 2 2 4 4 4 4 20 Jumlah 26 26 33 37 37 37 196 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1999, Dikdasmen, Depdikbud, 1992. 227 Di SD Pendidikan Moral Pancasila diberikan masing-masing 2 jam perminggu dari kelas I sampai dengan kelas VI. 2 Kurikulum SMP 1975 Sebagaimana di SD mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila PMP juga diberikan di SMP. Sejalan dengan perubahan-perubahan tersebut, maka dilakukan penyusunan kurikulum SMP yang disebut Kurikulum SMP 1975, yang merupakan Kurikulum SMP 1968 yang disempurnakan. Istilah SMP yang disempurnakan ini lahir dari gagasan untuk mengintegrasikan sekolah-sekolah menengah kejuruan tingkat pertama SMKTP, secara berangsur-angsur dengan SMP. Proses integrasi SMP dengan SMKTP menjadi SMP yang disempurnakan diatur oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 084U1975. Agar kurikulum yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut dapat dipahami dan dilaksanakan oleh para pelaksana sesuai dengan kurikulum maka dalam Kurikulum 1975 disusun Penjelasan Umum dan Penjelasan Khusus. Penjelasan Umum dimaksudkan untuk menjelaskan kepada pelaksana guru, tenaga administrasi, dan supervisi tentang beberapa pengertian yang menyangkut kurikulum SMP 1975 khususnya mengenai sistematika, struktur program, garis-garis besar program pengajaran, sistem penyajian yang akan digunakan, dan sistem evaluasi yang akan digunakan. Penjelasan khusus merupakan pedoman bagi setiap bidang studi, ruang lingkup, dan tata urutan bahan pengajaran, pendekatan, metode penyampaian, kelengkapan pengajaran, penilaian, dan alokasi waktu. Dalam pengantarnya Depdikbud, 1975 dijelaskan bahwa: Kurikulum SMP 1975, meliputi tiga program pendidikan, yaitu pendidikan umum, pendidikan akademis, dan pendidikan keterampilan. Program pendidikan umum wajib diikuti oleh semua siswa dan meliputi empat bidang studi, yaitu: 1 Pendidikan Agama; 2 Pendidikan Moral Pancasila; 3 Pendidikan Olahraga dan Kesehatan dan 4 Pendidikan Kesenian. Program pendidikan akademis wajib diikuti oleh semua siswa yang meliputi enam bidang studi, yaitu: 1 Bahasa Indonesia; 2 Bahasa Daerah khususnya bagi sekolah di daerah yang masih memerlukan pelajaan Bahasa Daerah; 3 Bahasa Inggris; 4 IPS; 5 Matematika; dan 6 IPA. Program pendidikan keterampilan terdiri dari pendidikan keterampilan terikat yang dapat dipilih di antara bidang-bidang pendidikan kesejahteraan keluarga, teknik, jasa, agraria, maritim, dan kerajinan, serta pendidikan keterampilan pilihan bebas yang 228 dapat dipilih di antara praktikum ilmu alam, ilmu hayat, konservasi, olahraga prestasi, kesenian, dan usaha kesehatan sekolah UKS. Dalam Kurikulum SMP 1975, pendidikan kependudukan diintegrasikan ke dalam bidang studi yang relevan, yaitu IPS. Kurikulum SMP 1975 dilaksanakan secara bertahap dan mulai berlaku pada tahun ajaran 1976 di kelas I. Pada tahun ajaran 1977 dilaksanakan di kelas I dan II, dan pada tahun ajaran 1978 berlaku dari kelas I sampai III, sehingga pada tahun ajaran 1979 berlaku sepenuhnya dari kelas I sampai kelas III untuk semua SMP. Tahap pelaksanaan tersebut dilakukan secara nasional dengan memberikan kemungkinan bahwa SMP yang menurut penilaian Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setempat secara teknis dan administratif telah mampu, dapat melaksanakan Kurikulum SMP 1975 mulai tahun ajaran 1976. Tabel 27 Susunan Program Pengajaran Kurikulum SMP Tahun 1975 Program Pendidikan Bidang Studi Kl I Kl I Kl II Kl II Kl III Kl III Pendidikan Umum 1. Pend Agama 2 2 2 2 2 2

2. PMP 2

2 2 2 2 2 3. Olahraga 3 3 3 3 3 3 4. Pen.Kesenian 2 2 2 2 2 2 Sub Jumlah 9 9 9 9 9 9 Pendidikan Akademis 5. Bhs Indonesia 5 5 5 5 4 4 6. Bhs Daerah 2 2 2 2 - - 7. Bhs Inggris 4 4 4 4 4 4 8. IPS 4 4 4 4 4 4 9. Matematika 5 5 5 5 5 5 10. IPA 4 4 4 4 4 4 Sub Jumlah 22 22 22 22 22 22 24 24 24 24 24 24 Pendidikan Keterampilan 11. Pilihan Terikat 6 - 6 - 6 - 12. Pilihan Bebas - 6 - 6 - 6 Jumlah 37 37 37 37 37 37 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1999, Dikdasmen, Depdikbud, 1992. 229 Di SMP Pendidikan Moral Pancasila masuk dalam program “Pendidikan Umum” diberikan masing-masing 2 jam perminggu dari kelas I sampai dengan kelas III. 3 Kurikulum SMA 1975 Sebagaimana di SD dan SMP Pendidikan Kewargaan Negara di SMA juga diganti menjadi Pendidikan Moral Pancasila PMP. Kurikulum SMA 1975 dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berlanjut yang menuntut perubahan isi dan pendekatan. Proyek Perintisan Sekolah Pembangunan PPSP dan beberapa studi pengembangan lainnya telah mempengaruhi arah pembinaan pendidikan secara nasional sehingga mengarah pada adanya tuntutan untuk menyempurnakan kurikulum SMA. Lebih dari itu, GBHN 1973 telah menggariskan bahwa pada bulan Mei 1974 dilakukan penyusunan kurikulum baru SMA atau yang dikenal dengan sebutan Kurikulum SMA 1975. Kurikulum ini diberlakukan atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 008dU1975 dan Nomor 008cU1075 tanggal 17 Januari 1975. Tujuan umum pendidikan SMA menurut Kurikulum 1975 Dep. P dan K, 1975 adalah: Menghasilkan lulusan sebagai warga negara yang baik, sebagai manusia yang utuh, sehat, kuat lahir dan batin; menguasai hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari pendidikan SMP; memiliki bekal untuk melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi dengan menempuh progam umum yang sama bagi semua siswa dan program pilihan bagi yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi; dan memiliki bekal untuk terjun ke masyarakat dengan mengambil bidang studi keterampilan untuk bekerja yang dapat dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat. 230 Seperti halnya kurikulum SD dan SMP, ciri penting dari Kurikulum SMA 1975 adalah menganut pendekatan yang berorientasi pada tujuan, dengan pendekatan integral. Pendidikan tentang moral yang sesuai dengan pelaksanaan sila-sila dari Pancasila tidak dibebankan pada mata pelajaran PMP; melainkan pada IPS dan pendidikan agama, dan menganut asas efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan dana, daya, dan waktu. Kurikulum SMA 1975 disusun berdasarkan atas program pendidikan yang meliputi Program Pendidikan Umum, Program Pendidikan Akademis, dan Program Pendidikan Keterampilan. Penjurusan SMA dibagi menjadi tiga, taitu IPA Ilmu Pengetahuan Alam, IPS Ilmu Pengetahuan sosial, dan Bahasa. Tabel 28 Susunan Program Pengajaran Kurikulum SMA Tahun 1975 Jurusan IPA Mata Pelajaran Masa Orient Sifat Mapel Jurusan Kl I Sem 2 Kl II Sem 1 Kl II Sem 2 Kl III Sem 1 Kl III Sem 2 Pend Agama 2 2 2 2 2 2 PMP 2 2 2 2 2 2 Olah raga 2 2 2 2 2 2 Kesenian 2 2 2 2 - - Matematika 6 Wajib Matematika 6 6 6 5 5 Bhs Indo. 5 Bhs Indo. 4 3 3 3 3 Bhs Inggris 4 Bhs Inggris 4 3 3 3 3 IPA 7 Mayor Fisika 2 3 3 4 4 Kimia 2 3 3 4 4 Biologi 2 2 2 4 4 Minor Menggambar - - - - - Bumi Antariksa 2 2 2 2 2 Bahasa Asing - - - - - Pilihan Pra Vokasional 4 4 4 - - Pilihan Penunjang 3 3 3 7 7 37 JamMinggu 37 37 37 36 36 9 Juml Mapel 13 13 13 10 10 Sumber: Depdikbud. 1976. Kurikulum SMA 1975 Buku I: Ketentuan-ketentuan pokok. Jakarta: Balai Pustaka. 231 Di SMA jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa, Pendidikan Moral Pancasila diberikan masing-masing 2 jam perminggu dari kelas I sampai dengan kelas III. c. Kurikulum PKn 1984 Pada tahun 1978 lahir Ketetapan MPR 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4. P4 semula ditujukan sebagai materi penataran untuk para pegawai negeri sipil PNS, di samping materi UUD 1945 dan GBHN. Namun kepentingan politik rezim ketika itu akhirnya diperluas cakupan sasarannya untuk masyarakat secara luas. Pada akhirnya, kurikulum PMP Pasca lahirnya P4 diwajibkan memasukkan materi P4. Oleh pembuat kebijakan pendidikan dasar dan menengah ketika itu Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Darji Darmodiharjo dikatakan bahwa materi penataran P4 untuk PNS pada hakekatnya sama dengan materi PMP untuk para siswa. Perbedaannya, PMP adalah “penataran P4” untuk peserta jenjang pendidikan formal, sedangkan penataran P4 itu sendiri untuk masyarakat luas termasuk PNS. Perkembangan berikutnya, materi PMP disesuaikan dengan Ketetapan MPR RI No. IIMPR1978 tentang P4. Samsuri, 2010: 123. Kurikulum 1984 adalah merupakan Kurikulum 1975 yang disempurnakan. Mata pelajaran PMP tetap muncul dalam kurikulum 1984. Asumsi yang mendasari pengembangan Kurikulum 1984 ialah bahwa kurikulum merupakan wahana belajar mengajar yang dinamis sehingga perlu dievaluasi dan dikembangkan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat, secara periodik kurikulum akan berubah disesuaikan dengan kondisi, walaupun perubahannya tidak selalu mendasar. Kurikulum 1984 lahir 232 didasarkan pada amanat GBHN 1983 yakni Ketetapan MPR No. IIMPR1983 yang menegaskan bahwa: “...Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan di segala bidang, yang memerlukan beberapa jenis keahlian dan keterampilan serta sekaligus meningkatkan kreativitas, mutu dan efisiensi kerja”. Ketetapan MPR No. IIMPR1983. Kurikulum 1984 mengacu pada empat aspek perkembangan murid yang dijabarkan di dalam kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0461U1983. Keempat aspek penyempurnaan tersebut meliputi: 1 Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri; 2 Penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum; 3 Pemilihan kemampuan dasar serta keterpaduan dan keserasian antara ranah kognitif, afektif dan psikomotorik; 4 Pelaksanaan pelajaran yang mengarah pada ketuntasan belajar dan disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing anak didik. 1 Kurikulum SD 1984 Mata pelajaran PMP diberikan 2 jam perminggu, sejak dari kelas I sampai dengan kelas VI. Dalam pengantar Kurikulum SD 1984 Depdikbud, 1984 kita temukan tujuan pendidikan di SD sebagai berikut: Tujuan SD adalah mendidik murid agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila yang mampu membangun dirinya sendiri dan ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa; memberi bekal kemampuan yang diperlukan oleh murid untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi; dan memberi bekal kemampuan dasar untuk hidup di masyaraakat dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungan. Program pendidikan SD dilaksanakan selama enam tahun dan setiap tahunnya terdiri dari tiga catur wulan. Tema pembenahan dan pengembangan kurikulum yang dianut ialah perubahan pola, penyederhanaan bahan kurikulum dan pendekatan yang lebih sesuai 233 dengan kondisi pembangunan pendidikan. Sesuai dengan pembakuan kurikulum Sekolah Dasar tersebut, pembagian struktur program mencakup 11 bidang studi yaitu, Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Olahraga dan Kesehatan, Pendidikan Kesenian, Keterampilan Khusus, dan Bahasa Daerah. Tabel 29 Susunan Program Pengajaran Kurikulum Sekolah Dasar Tahun 1984 No Bidang Studi Kl I Kl II Kl III Kl IV KL V Kl VI Jml 1 Pend. Agama 2 2 2 3 3 3 15 2 PMP 2 2 2 2 2 2 12 3 PSPB 1 1 1 1 1 1 6 4 Bhs. Indonesia 87 87 87 87 87 87 4842 5 IPS - - 2 3 3 3 11 6 Matematika 6 6 6 6 6 6 36 7 IPA 2 2 3 4 4 4 19 8 Olahraga dan Kesehatan 2 2 3 3 3 3 16 9 Kesenian 2 2 3 3 3 3 16 10 Keteramp Khusus 2 2 4 4 4 4 20 11 Bhs. Daerah 2 2 2 2 2 2 12 Jumlah 2627 2627 3333 3337 3637 3637 193199 Sumber: Depdikbud. 1984. Susunan program pengajaran kurikulum sekolah dasar tahun 1975 yang disempurnakan menjadi kurikulum 1984. Di SD Pendidikan Moral Pancasila diberikan masing-masing 2 jam perminggu dari kelas I sampai dengan kelas VI. 2 Kurikulum SMP 1984 Di SMP mata pelajaran PMP diberikan 2 jam perminggu, sejak dari kelas I sampai dengan kelas III. Dalam pengantar Kurikulum SMP 1984 Depdikbud, 1984 kita temukan tujuan pendidikan di SMP sebagai berikut: 234 Kurikulum SMP 1984 diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan SMP untuk mendidik siswa menjadi manusia pembangunan dan warga negara Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945; memberikan bekal kemampuan yang diperlukan siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan bekal keterampilam dasar untuk memasuki kehidupan di masyarakat sesuai dengan minat, kemampuan, dan lingkungannya. Dalam Kurikulum 1984 dikenal istilah tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional, sebagaimana dalam kurikulum sekolah 1975. Lama pendidikan di SMP adalah tiga tahun, dan setiap tahunnya terdiri dari dua semester sehingga seluruhnya berjumlah enam semester. Program pendidikan pada Kurikulum SMP 1984 terdiri atas tiga kelompok besar, yaitu: Program Pendidikan Umum, Program Pendidikan Akademis, dan Program pendidikan Keterampilan yang diartikan sama dengan Kurikulum SMP 1975 tetapi komposisi mata pelajaran yang sedikit berbeda. Program Pendidikan Umum terutama dimaksudkan untuk memenuhi tujuan SMP yang pertama, yaitu mendidik manusia pembangunan, sebagai warga negara Indonesia yang ber-Pancasila dan UUD 1945. Program ini terdiri dari lima bidang studi yaitu: 1 Pendidikan Agama; 2 Pendidikan Moral Pancasila; 3 Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa; 4 Pendidikan Jasmani; dan 5 Pendidikan Keseniaan. Program pendidikan umum wajib diikuti oleh semua siswa dan lebih ditekankan pada penanaman sikap. Program Pendidikan Akademis terutama dimaksudkan untuk memenuhi tujuan SMP yang kedua, yaitu memberikan bekal kemampuan yang diperlukan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke lembaga yang lebih tinggi. Program pendidikan akademis terdiri atas enam bidang studi yaitu: 1 Bahasa Indonesia; 2 Bahasa Inggris; 3 Bahasa Daerah; 4 Ilmu Pengetahuan Sosial; 5 Matematika; dan 6 Ilmu pengetahuan Alam. Program pendidikan akademis wajib 235 diikuti oleh semua siswa dan lebih diarahkan pada pemahaman kemampuan akademis. Jumlah jam per minggu pendidikan akademis untuk setiap kelas adalah 25 jam untuk semester ganjil dan 23 jam untuk semester genap dan ditambah 2 jam bila sekolah memberikan pelajaran Bahasa Daerah. Tabel 30 Susunan Program Pengajaran Kurikulum SMP Tahun 1984 No Bidang Studi Kl I Sm 1 Kl I Sm 2 Kl II Sm 2 Kl II Sm 2 Kl III Sm 1 Kl III Sm 2 Jml Pendidikan Umum 1 Pend. Agama 2 2 2 2 2 2 12 2 PMP 2 2 2 2 2 2 12 3 PSPB - 2 - 2 - 2 6 4 Pend Jasmani 3 3 3 3 3 3 18 5 Pend Kesenian 2 2 2 2 2 2 12 Sub Jumlah 9 11 9 11 9 11 60 Pend Akademis 6 Bhs Indonesia 5 5 5 5 5 5 30 7 Bhs Inggris 4 4 4 4 4 4 24 8 Bhs Daerah 2 2 2 2 2 2 12 9 IPS 4 4 4 4 4 4 24 10 Matematika 6 4 6 4 6 4 30 11 IPA a. Biologi 3 3 3 3 3 3 18 b. Fisika 3 3 3 3 3 3 18 Sub Jumlah 25 23 25 23 25 23 144 27 25 27 25 27 25 156 Pend Keterampilan 12 Pend Keteramp 4 4 4 4 4 4 24 Juml JamMinggu 38 38 38 38 38 38 228 40 40 40 40 40 40 240 Sumber: Depdikbud. 1984. Susunan program pengajaran kurikulum SMP tahun 1975 yang disempurnakan menjadi kurikulum 1984. 3 Kurikulum SMA 1984 Mata pelajaran PMP diberikan 2 jam perminggu, sejak dari kelas I sampai dengan kelas III. Kurikulum SMA 1984 mempunyi tiga hal penting yaitu, ciri-ciri, tujuan pendidikan, dan struktur program. Ciri-ciri kurikulum SMA 1984 adalah 236 menganut asas keluwesan dalam pengelolaan program, menggunakan sistem kredit semester, dan menerapkan bimbingan karier siswa. Sedangkan tujuan pendidikan SMA adalah mendidik para siswa untuk menjadi manusia pembangunan dan warga negara Indonesia yang setia pada Pancasila dan UUD 1945, memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi terutama di universitas dan institut, memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi, akademi, politeknik, program diploma atau program lainnya yang setingkat, dan memberi bekal kemampuan bagi siswa yang akan terjun ke dunia kerja setelah menyelesaikan pendidikannya. Struktur program pendidikan dipersiapkan untuk pendidikan SMA tiga tahun dan setiap tahun pelajaran terbagi menjadi dua semester. Lingkup program SMA terdiri dari program inti dan program pilihan. Program inti, wajib diikuti oleh semua siswa, sedangkan program pilihan disediakan untuk siswa berdasarkan pilihannya sesuai dengan minat dan kemampuannya masing-masing. Program inti mencakup 60 persen atau 134 kredit dan program pilihan 40 persen atau 88 kredit dari keseluruhan program SMA sebanyak 222 kredit. Program inti terdiri dari 15 mata pelajaran dan program pilihan bervariasi menurut program masing-masing. Program pilihan terdiri dari Program Pilihan A yang diarahkan untuk kepentingan melanjutkan ke perguruan tinggi, yaitu program A1 Ilmu Fisika, A2 Ilmu Biologi, A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya, dan A5 Ilmu Agama. Program Pilihan B disajikan dalam bentuk progam-program yang disesuaikan dengan bidang kehidupan yang ada di masyarakat, yaitu teknologi industri, komputer, pertanian, kehutanan, jasa, kesejahteraan keluarga, 237 maritim, budaya, dan pengetahuan agama. Struktur program berdasarkan program pendidikan di SMA dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 31 Susunan Program Pengajaran Kurikulum SMA Tahun 1984 Progam Inti dan Program Ilmu-Ilmu Fisik Prog No Mapel Kl.1 Sem1 Kl.1 Sem 2 Kl. 2 Sem 1 Kl. 2 Sem 2 Kl. 3 Sem 1 Kl. 3 Sem2 Jml Inti 1 P. Agama 2 2 2 2 2 2 12 2 PMP 2 2 2 2 2 2 12 3 PSPB 2 - 2 - 2 - 6 4 Bhs Indo 4 4 3 3 2 2 18 5 Sejarah 3 3 2 2 2 2 14 6 Ekonomi 3 3 - - - - 6 7 Geografi - - 2 2 3 3 10 8 P. Jasmani 2 2 2 2 - - 8 9 P. Seni 3 3 2 2 - - 10 10 P. Keteramp 2 4 2 2 - - 10 11 Matematika 4 4 - - - - 8 12 Biologi 3 3 - - - - 6 13 Fisika 2 2 - - - - 4 14 Kimia 2 2 - - - - 4 15 Bhs Inggris 3 3 - - - - 6 Sub Jml 37 37 19 17 13 11 134 60 Piliha n 16 Matematika - - 6 6 8 6 26 17 Biologi - - 2 2 3 3 10 18 Fisika - - 4 6 6 6 22 19 Kimia - - 4 4 5 5 18 20 Bhs Inggris - - 3 3 3 3 12 Sub Jml - - 19 21 25 23 88 40 Jumlah 37 37 38 38 38 34 222 100 Sumber: Depdikbud. 1984. Susunan program pengajaran kurikulum SMA tahun 1975 yang disempurnakan menjadi kurikulum 1984. PMP masuk dalam “Program Inti” diberikan 2 jam perminggu dari kelas I sampai dengan kelas III, di SMA program A1 Ilmu Fisika, A2 Ilmu Biologi, A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya, maupun A5 Ilmu Agama. 238 Lajunya pembangunan nasional, telah melahirkan dimensi-dimensi baru dalam pembangunan juga di dalam pendidikan nasional. Menurut Abd. Rachman Assegaf 2005: 144. Ketika Dr. Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan digariskanlah kebijakan pendidikan sistem pendidikan nasional yang mempunyai tiga ciri: 1 Semesta, artinya meliputi semua unsur kebudayaan yaitu logika, etika, estetika, keterampilan, nilai-nilai moral dan spiritual. 2 Menyeluruh, artinya pendidikan untuk seumur hidup, meliputi pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. 3 Terpadu, artinya baik pendidikan sekolah dan luar sekolah juga madrasah merupakan suatu keterpaduan di dalam sistem pendidikan nasional. Kebijakan ini menghendaki satu sistem dan pengelola tunggal terhadap sistem tersebut. Sementara itu, telah lahir pula GBHN 1978 dan 1983. Tentunya ketetapan- ketetapan MPR tersebut memberikan masukan yang sangat berharga di dalam penyempurnaan kurikulum nasional. Perlu dicatat bahwa menteri Daoed Josoef mempunyai suatu konsep pemikiran yang brilian mengenai pendidikan nasional. Baginya pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan. Oleh sebab itu, semua nilai kebudayaan perlu mendapatkan tempat yang layak di dalam kurikulum pendidikan. Dalam rangka inilah muncul konsep mengenai pendidikan humaniora dan kebudayaan yaitu pendidikan yang dapat mengembangkan unsur-unsur kepribadian manusia secara menyeluruh dan utuh, sehingga terdapat keseimbangan antara pendidikan intelektual dengan pendidikan moral dan estetika. Pendidikan bukan hanya akan melahirkan tenaga-tenaga kerja yang terampil. Keinginan Menteri Daoed Josoef untuk meningkatkan pendidikan nasional diikuti dengan pembentukan Komisi Pembahuruan Pendidikan Nasional KPPN yang diketuai Prof Dr. Slamet Imam Santoso dan Wakil ketuanya Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Hasil karya komisi 239 tersebut yang selesai dengan laporannya pada tahun 1980, merupakan masukan sangat berarti di dalam usaha penyusunan Undang-Undang Pendikan Nasional yang baru untuk menggantikan UU no. 4 Tahun 1950 Abd. Rachman Assegaf, 2005: 145. Kurikulum 1984 merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Dengan masukan yang sangat berarti dari hasil Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional, begitu pula dengan TAP MPR No. IV1983, maka lahirlah Kurikulum 1984 dengan ciri-ciri menonjol menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut: 1 Apa yang akan diajarkan? 2 Mengapa diajarkan? 3 Bagaimana diajarkan? Pertanyaan-pertanyaan fundamental ini lebih mengarahkan Kurikulum 1984 sebab di dalam kurikulum baru ini harus jelas dirumuskan mengapa sesuatu diajarkan dan bagaimana diajarkannya agar berhasil. Di dalam kaitan ini hasil-hasil eksperimen yang dilaksanakan di Kabupaten Cianjur yang terkenal dengan “Cara Belajar Siswa Aktif” CBSA, lebih memantapkan penyusunan kurikulum tersebut. Pada dasarnya kurikulum tersebut terbagi atas program inti dan program pilihan pada tingkat SMA. Juga dibedakan antara program A untuk jalur akademik dan program B untuk siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi sehingga memperoleh program-program latihan kekaryaan. Sayang sekali kurikulum yang sangat baik dipersiapkan itu tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya seperti program B yang tidak sempat dilaksanakan karena kekurangan tenaga pelatih, peralatan dan para instruktur. Sebagaimana halnya dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, menurut Abd. Rachman Assegaf 2005: 146. Kurikulum 1984 mempunyai kelemahan-kelemahan umum sebagai berikut: 240 Terlalu sentralistik sehingga memerlukan penyesuaian-penyesuaian di daerah- daerah. Sayang sekali kemampuan daerah untuk melengkapi kurikulum tersebut sangat terbatas, demikian pula para guru, para penilik dan pejabat- pejabat lainnya tidak dipersiapkan secara menyeluruh dan matang untuk melaksanakan kurikulum tersebut. Demikian pula keterbatasan dana untuk melaksanakan kurikulum tersebut merupakan kendala-kendala klasik yang telah membatasi keberhasilannya antara lain mutu para guru tidak sesuai dengan yang diharapkan. Para guru tingkat SMA misalnya mempunyai kualifikasi yang berbeda dengan apa yang diajarkannya. Dalam suatu penelitian yang diselenggarakan oleh Konsorsium Ilmu Pendidikan mengenai pemanfaatan guru sekolah menengah tahun 1990-1991 misalnya ditemukan bahwa sekitar 40 guru SMP dan 33 guru SMA mengajarkan mata pelajaran di luar bidang keahliannya. Sebagai contoh, guru mata pelajaran agama, sosiologi, antropologi, dan bahasa Indonesia terpaksa mengajar matematika. Demikian pula kurikulum yang baru itu tidak didesiminasikan ke LPTK-LPTK. Dalam pandangan T. Raka Joni 1984: 1-19, perbedaan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984 adalah sebagai berikut: Kurikulum 1984 adalah kurikulum 1975 yang disempurnakan, sedang Kurikulum 1994 merupakan Kurikulum 1984 yang disempurnakan. Jadi, antara Kurikulum 1984 dengan Kurikulum 1994 tidak terdapat perubahan yang mendasar, atau dengan kata lain yang ada hanyalah penyempurnaan. Salah satu perbedaan Kurikulum 1975 dengan Kurikulum 1984 adalah masalah keikutsertaan peserta didik untuk aktif dalam proses memperoleh hasil belajar serta mengolah perolehan tersebut. Acuan keaktifan itu dicantumkan pada kolom tujuan instruksional dan uraian. Kegiatan belajar mengajar yang mengutamakan kesertaan siswa student centered dalam memperoleh hasil belajar dan mengolah hasil tersebut dinamakan “keterampilan proses”. Kegiatan belajar mengajar ini dikembangkan melalui “Cara Belajar Siswa Aktif” CBSA, Student Active Learning. Kurikulum 1984 mulai memperkenalkan sistem semester untuk tingkat SMP dan SMA, sementara di tingkat SD tetap menggunakan sistem Catur Wulan Cawu. Mulai Kurikulum 1984 wajib diajarkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa PSPB sejak di SD sampai SMA pada tiap tingkatkelas, masing- masing selama satu semester SMP dan SMA dengan beban seluruhnya 6 kredit, atau selama 2 jam pelajaran perminggu per Catur Wulan pada tiap kelas dari kelas I 241 sampai kelas VI Sekolah Dasar di samping telah diberikannya mata pelajaran PMP Pendidikan Moral Pancasila dan penataran P-4 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila bagi siswa baru pada tingkat SMTP, SMTA, maupun Perguruan Tinggi Depdikbud, 1985: 143-144. Penerapan pola PPSI Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional dikembangkan lebih luwes, dimana guru diberi kesempatan mengembangkan alternatif buku acuan mengajar, metode penyajian, serta memperluas sarana pendidikan yang ada seperti laboratorium dan perpustakaan. Sistem evaluasi ditingkatkan tidak hanya dalam bentuk tes tulis atau tes lisan, melainkan juga tes perbuatan dan observasi, mengingat bahwa komponen tingkah laku merupakan salah satu bagian dari keterampilan proses. Mulai Repelita IV diberlakukan EBTANAS untuk pendidikan dasar dan menengah Depdikbud, 1985: 142. Hasil dari sistem evaluasi berskala nasional ini yakni berupa Daftar Nilai EBTANAS Murni DANEM dipakai sebagai prasarat bagi keikutsertaan murid pada jenjang pendidikan selanjutnya. Setelah berlaku selama hampir dua dasawarsa, pada 2001, EBTANAS untuk tingkat SD ditiadakan, dan sebagai gantinya murid yang hendak melanjutkan ke jenjang SLTP mengikuti test masuk. Sementara untuk tingkat SLTP dan SMU masih diberlakukan EBTANAS. Pengelompokan bidang studi hanya pada dua bagian: Program Inti core program, dan program pilihan alternative program. Program inti merupakan program pendidikan yang wajib diikuti oleh semua siswa, yang diarahkan pada kepentingan pencapaian tujuan pendidikan nasional dan penguasaan pengetahuan, 242 sikap, dan keterampilan minimal. Di sini Pendidikan Kewarganegaraan masuk dalam kelompok inti Abd. Rachman Assegaf, 2005: 148.

d. Kurikulum PKn 1994

Profil PPKn dalam Kurikulum 1994 sebagai perluasan kajian P4 di sekolah tampak dari ruang lingkup materinya mulai dari SD hingga SMA yang mencakup nilai, moral, dan norma serta nilai-nilai spiritual bangsa Indonesia dan perilaku yang diharapkan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana dimaksud dalam P4 Samsuri, 2010: 127. Menyadari akan kebutuhan pembangunan nasional, demikian pula dengan lahirnya Undang-undang Pokok Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka dirasa perlu menyusun suatu kurikulum baru sebagai penyempurnaan dari Kurikulum 1984. Usaha yang besar ini yaitu memiliki suatu kurikulum yang berdasarkan UU baru yang dilahirkan dalam Orde Baru merupakan suatu prestasi yang besar. Kurikulum baru tersebut untuk SD sampai sekolah menengah telah dapat dirampungkan dan diberlakukan mulai tahun ajaran 19941995 secara bertahap. Dimulai pada tahun ajaran 19941995 Kuriklum 1994 diberlakukan untuk kelas 1 dan kelas 4 SD, kelas 1 SMP, dan kelas 1 SMA. Dengan demikian di dalam jangka waktu tiga tahun seluruh Kurikulum 1994 itu telah dilaksanakan. Menurut Wardiman Djojonegoro 1996: 269, pengembangan kurikulum 1994 meliputi beberapa aspek fundamental, antara lain: Pertama, Kurikulum 1994 menerapkan pelajaran muatan lokal, yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar 243 mengajar yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing. Pengertian lokal tidak dibatasi oleh wilayah pemerintahan tertentu tetapi tergantung dari tujuan yang dipelajari atau yang ditunjukkan oleh ruang lingkup wilayah tempat suatu bahan kajian dapat diberlakukan. Muatan lokal meliputi: Pendidikan budaya lokal seperti bahasa daerah, kesenian daerah, adat istiadat dan lainnya. Pendidikan Keterampilan, seperti elektronika, komputer, kerajinan kayuukir, tata boga, tata busana dan lainnya. Pendidikan Lingkungan, seperti wawasan lingkungan, pendidikan budi pekerti, dan permasalahan sosial. Kedua, ditingkatkannya wajib belajar wajar yang semula pada 2 Mei 1984 mewajibkan setiap anak usia 7-12 tahun untuk masuk ke Sekolah Dasar, menjadi wajib belajar sembilan tahun sejak 2 Mei 1994, yakni wajib menempuh pendidikan selama enam tahun di SD ditambah tiga tahun di SLTP. Pendidikan dasar 9 tahun secara hukum merupakan kaidah yang bermaksud mengintegrasikan SD dan SLTP secara konsepsional, dalam arti tanpa pemisah dan merupakan satu kesatuan pendidikan, pada jenjang yang terendah. Kedua bentuknya tidak diintegrasikan secara fisik, tetapi tetap berbentuk dua lembaga terpisah. Ketiga, pada Kurikulum 1994 dilakukan beberapa perubahan nama dari SMP menjadi SLTP, dari SMA menjadi SMU. Perubahan juga dilakukan terhadap penamaan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA menjadi jurusan A1 Ilmu Fisika, A2 Ilmu Biologi, A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya dan A5 Ilmu Agama di SMU. Lalu kembali lagi menjadi jurusan IPA, IPS dan Bahasa seperti pada kurikulum sebelumnya. Juga terjadi perubahan masa sekolah di SLTP dan SMU yang sebelumnya, yakni Kurikulum 1984, mengikuti pola semester, menjadi sama dengan di SD yang mengikuti pola Catur Wulan, sehingga mulai SD sampai SMU seluruhnya mengikuti pola Catur Wulan. Perkembangan berikutnya, pada tahun ajaran 2002, seluruh jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMU ditetapkan kembali mengikuti pola Semester, sama seperti ketika diberlakukan Kurikulum 1984. Dengan demikian saat ini mulai pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi, semuanya menganut satu pola yang seragam, yakni sistem semester. Salah satu dampak positif berlakunya sistem semester ini adalah terjadinya penyederhanaan pelaksanaan evaluasi belajar, yang semula tiga kali dalam setahun, menjadi dua kali. Selain itu, hari efektif belajar makin banyak. Wardiman Djojonegoro, 1996: 269. Mata pelajaran PMP berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn. Kurikulum ini mulai berlaku secara bertahap pada tahun pelajaran 19941995. Sebagai pelaksanaan UU No. 2, Tahun 1989 dan peraturan pemerintah sebagai pedoman pelaksanaannya, kurikulum perlu disesuaikan dengan 244 peraturan perundang-undangan tersebut. Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan prndidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Landasan pendidikan nasional berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 Kurikulum 1994, Depdikbud, 1993. Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060U1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar. Penetapan ini tertuang dalam tiga lampiran, yaitu Lampiran I berisi tentang Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar, Lampiran II berisi tentang Garis-Garis Besar Program Pengajaran Pendidikan Dasar, dan Lampiran III berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Dasar. Penyebutan SLTP dilaksanakan mulai tahun 1994 sejak berlakunya kurikulum 1994 sebagai pengganti SMP dan SLTP Kejuruan yang telah terintegrasi habis menjadi SMP Kurikulum 1994, Depdikbud, 1993. 1 Kurikulum SD 1994 Program pengajaran pada pendidikan dasar terdiri dari isi program pengajaran, lama pendidikan, dan susunan program pengajaran. Berdasarkan Pasal 39, Ayat 3 UU Nomor 2, tahun 1989 dan Pasal 14, Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28, Tahun 1990, ditegaskan bahwa isi kurikulum memuat sekurang- kurangnya 13 bahan kajian yang meliputi: 1 Pendidikan Pancasila; 2 Pendidikan Agama; 3 Pendidikan Kewarganegaraan; 4 Bahasa Indonesia; 5 Membaca dan 245 Menulis; 6 Matematika termasuk berhitung; 7 Pengantar Sains dan Teknologi; 8 Ilmu Bumi; 9 Sejarah Nasional dan Sejarah Umum; 10 Kerajinan Tangan dan Kesenian; 11 Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; 12 Menggambar; dan 13 Bahasa Inggris. Berdasarkan pasal tersebut, bahan kajian tersebut bukan merupakan nama mata pelajaran melainkan sebutan yang mengacu pada pembentukan kepribadian dan unsur kemampuan yang diajarkan dan dikembangkan melalui pendidikan dasar. Lebih dari satu bahan kajian dapat digabung dalam satu mata pelajaran atau sebaliknya, satu bahan kajian dibagi menjadi lebih dari satu mata pelajaran. Dalam penjelasan Kurikulum 1994 Depdikbud, 1993, dinyatakan bahwa: Mata pelajaran adalah satu atau sekumpulan bahan kajian dan bahan pelajaran yang memperkenalkan konsep, pokok bahasan, tema, dan nilai, yang dihimpun dalam satu kesatuan disiplin pengetahuan. Program Pengajaran pada pendidikan dasar mencakup susunan mata pelajaran, penjatahan waktu, dan penyebarannya di setiap kelas dan satuan pendidikan. Susunan program pengajaran terdiri dari program kurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler berupa kegiatan pengayaan dan kegiatan perbaikan terhadap program kurikuler. Kegiatan untuk lebih memantapkan pembentukan kepribadian seperti kepramukaan, usaha kesehatan sekolah, olahraga, palang merah, kesenian, dan kegiatan lainnya diselenggarakan juga dengan menggunakan waktu di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program. Depdikbud, 1993. 246 Tabel 32 Susunan Progam Pengajaran Kurikulum 1994 Sekolah Dasar No Mata pelajaran Kel. 1 Kel. 2 Kel. 3 Kel. 4 Kel. 5 Kel. 6 1 PPKn 2 2 2 2 2 2 2 Pend. Agama 2 2 2 2 2 3 Bhs Indonesia 10 10 10 8 8 8 4 Matematika 10 10 10 8 8 8 5 IPA - - 3 6 6 6 6 IPS - - 3 5 5 5 7 Kerajinan 2 2 2 2 2 2 8 Pend. Jasmani 2 2 2 2 2 2 9 Bhs. Inggris - - - 4 4 4 10 Muatan Lokal 2 2 4 5 7 7 Jumlah 30 30 38 40 42 42 Sumber: Kurikulum Pendidikan Dasar, Depdikbud, 1993. Dalam Kurikulum 1994, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila PMP berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn. Di SD PPKn, diberikan 2 jam permimggu dari kelas I sampai dengan kelas VI. 2 Kurikulum SMP 1994 Tabel 33 Susunan Progam Pengajaran Kurikulum 1994 SLTP No Mata pelajaran Kel. 1 Kel. 2 Kel. 3 1 PPKn 2 2 2 2 Pend. Agama 2 2 2 3 Bhs Indonesia 6 6 6 4 Matematika 6 6 6 5 IPA 6 6 6 6 IPS 6 6 6 7 Kerajinan 2 2 2 8 Pend. Jasmani 2 2 2 9 Bhs. Inggris 4 4 4 10 Muatan Lokal 6 6 6 Jumlah 42 42 42 Sumber: Kurikulum Pendidikan Dasar, Depdikbud, 1993. 247 Sama halnya di SD, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila PMP di SMP berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn. Di SMP PPKn, diberikan 2 jam permimggu dari kelas I sampai dengan kelas III. 3 Kurikulum SMU 1994 Kurikulum Sekolah Menengah Umum SMU 1994 ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 061U93, tanggal 25 Febuari 1993 tentang kurikulum SMU. Penetapan ini tercantum dalam tiga lampiran, yaitu Lampiran I tentang Landasan, Progam dan Pengembangan Kurikulum SMU, Lampiran II tentang Garis-garis Besar Program Pengajaran SMU dan Lampiran III tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum SMU. Penyebutan SMU dilaksanakan mulai tahun 1994 sejak berlakunya kurikulum 1994 sebagai pengganti SMA. Tujuan pendidikan SMU adalah menyiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi. Kurikulum SMU merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di SMU. Program pengajaran SMU terdiri dari program pengajaran umum dan program pengajaran khusus. Program pengajaran umum diselenggarakan di kelas I dan II, sedangkan program pengajaran khusus mulai diadakan di kelas III. Program pengajaran umum yang wajib diikuti oleh semua siswa kelas I dan kelas II ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya serta meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan minat siswa sebagai dasar untuk memilih program pengajaran khusus yang sesuai di 248 kelas III. Program pengajaran umum mencakup bahan kajian dan pelajaran yang disusun dalam 10 mata pelajaran, yaitu: 1 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan; 2 Pendidikan agama; 3 Bahasa dan Sastra Indonesia; 4 Sejarah Nasional dan Sejarah Umum; 5 Bahasa Inggris; 6 Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; 7 Matematika; 8 Ilmu Pengetahuan Alam, Fisika, Biologi, Kimia; 9 Ilmu Pengetahuan Sosial, Ekonomi, Sosiologi, Geografi; dan 10 Pendidikan Seni. Jika program umum diselenggarakan di kelas I dan II, maka Program Pengajaran Khusus diselenggarakan di kelas III dan dapat dipilih oleh siswa sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Program ini dimaksudan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dalam bidang pendidikan akademis maupun profesional dan mempersiapkan siswa secara langsung atau tidak langsung untuk bekerja di masyarakat. Program pengajaran khusus terdiri dari tiga jenis yaitu Program Bahasa, Program Ilmu Pengetahuan Alam, dan Program Ilmu Pengetahuan Sosial. 249 Tabel 34 Susunan Progam Pengajaran Kurikulum 1994 Sekolah Menengah Umum No Mata Pelajaran Kelas I Kelas II Kelas III Bahasa Kelas III IPA Kelas III IPS A Umum 1 PPKn 2 2 2 2 2 2 Pend. Agama 2 2 2 2 2 3 Bhs Sast. Indo 5 5 3 3 3 4 Sej Nas Umum 2 2 2 2 2 5 Bhs. Inggris 4 4 5 5 5 6 Pend. Jasmani 2 2 2 2 2 7 Matematika 6 6 - - - 8 IPA a. Fisika 5 5 - - - b. Biologi 4 4 - - - c. Kimia 3 3 - - - 9 IPS a. Ekonomi 3 3 - - - b. Sosiologi - 2 - - - c. Geografi 2 2 - - - 10 Pend. Seni 2 - - - - Sub Jumlah 42 42 14 16 14 16 14 16 B Khusus Program Bahasa 1 Bhs Sast. Indo. - - 8 - - 2 BHs. Inggris - - 6 - - 3 Bhs. Asing - - 9 - - 4 Sejarah Budaya - - 5 - - Program IPA 1 Fisika - - - 7 - 2 Biologi - - - 7 - 3 Kimia - - - 6 - 4 Matematila - - - 8 - Program IPS 1 Ekonomi - - - - 10 2 Sosiologi - - - - 6 3 Tata Negara - - - - 6 4 Antropologi - - - - 6 Sub Jumlah 28 28 28 Jumlah 42 42 42 42 42 Sumber: Kurikulum Sekolah Menengah Umum, Depdikbud, 1993. Seperti halnya di SD, dan SMP mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila PMP di SMU berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 250 PPKn. Di SMU PPKn, diberikan 2 jam permimggu dari kelas I sampai dengan kelas III.

3. Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Era Reformasi

a. Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK 2004 Sejak Orde Baru menghasilkan kebijakan Kurikulum 1975 hingga 4 tahun setelah Reformasi atau sekitar 27 tahun, kurikulum pendidikan nasional tidak mengalami perubahan yang berarti. Abd. Rachman Assegaf, 2005: 163. Setelah hampir satu dekade, Kurikulum 1994 menuai banyak penilaian dari masyarakat sebagai kurikulum yang terlalu sarat materi, tumpang tindih overlapping, terlalu banyak hafalan, sentralistik, dan kurang mencerminkan sifat desentralistik. Sementara siswa lebih cenderung untuk diajar sebagai obyek bukan belajar sebagai subyek. Maka dengan maksud untuk menyesuaikan perubahan zaman, baik akibat desakan internal maupun eksternal, kurikulum 1994 dikembangkan ke arah Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK, Competency Based Curriculum. Menurut Abd. Rachman Assegaf 2005: 165, perbedaan pokok antara kurikulum konvensional Kurikulum 1994 dan sebelumnya dengan KBK nampak dalam beberapa hal sebagai berikut: Pertama, kurikulum konvensional menekankan pada isi content based sebagaimana terlihat dalam penguasaan materi pelajaran dan pencapaian target kurikulum yang harus diselesaikan baik oleh guru maupun murid, sedang KBK mengutamakan kemampuan competency based. Kedua, karena kurikulum konvensional berbasis pada isi content based, maka proses pembelajarannya berorientasi pada buku teks textbook oriented dimana dalam prakteknya sangat tergantung pada guru teacher centered, sedang pada KBK bahan ajar yang dipilih menggunakan bantuan multimedia. Dari sini KBK diharapkan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang lebih efektif dan efisien sekaligus menyenangkan karena 251 berupaya memadukan antara pendidikan education dengan hiburan entertainment. Peran guru dalam KBK adalah sebagai fasilitatornara sumber, guru memberi bimbingan seperlunya pada siswa yang aktif terlibat dalam proses pembelajaran active learning. Ketiga, evaluasi pada kurikulum konvensional didasarkan pada kecepatan kelompok, sementara KBK melihat kecepatan individual. Itu sebabnya, kemajuan siswa dalam KBK berprinsip pada penghargaan atas kemajemukan siswa dalam satu kelas, bukan upaya penyeragaman perlakuan. Keempat, feed back atau umpan balik dalam kurikulum konvensional dilakukan tidak secara langsung setelah satu unit pembelajaran selesai dilaksanakan, melainkan ditunda dalam tahapan waktu tertentu, seperti dalam satu catur wulan, semester atau tingkat. Berbeda dengan itu, KBK menerapkan umpan balik seketika setelah satu unit pembelajaran selesai dilakukan. Kelima, kurikulum konvensional berbasis waktu, sedangkan KBK menerapkan kurikulum berbasis kinerja. Keenam, kurikulum konvensional berorientasi pada mata pelajaran, sementara KBK pada moduler yang menekankan pada belajar tuntas mastery learning dan belajar berkelanjutan continous learning, dimana sebelum satu modul mampu dikuasai, seorang siswa belum bisa pindah ke modul berikutnya. Ketujuh, kurikulum konvensional menjabarkan tujuan pembelajaran secara umum dan khusus dalam TIUTPU dan TIKTPK, yang dalam praktiknya seringkali dilaksanakan secara subyektif dan mengabaikan pentingnya proses dan produk pembelajaran. Tidak seperti itu, KBK menjabarkan kompetensi dasarnya melalui hasil belajar beserta indikatornya learning outcomes yang dibuat secara obyektif melalui acuan kriteria penilaian yang jelas. Betapapun di atas kertas, konsep KBK dipandang memberi alternatif atas kelemahan kurikulum konvensional, dalam realisasinya belum tentu menampakkan hasil yang sama antara satu lembaga dengan lainnya. Menurut Muchson: Kurikulum merupakan salah satu faktor dari berbagai faktor pendidikan yang mempengaruhi keseluruhan proses pendidikan. Munculnya KBK sejalan dengan upaya reformasi pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Tap. MPR No. IIGBHN1999 yang isinya merekomendasikan bahwa kurikulum sekarang perlu dikembangkan, secara desentalistik. Lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana keduanya efektif berlaku sejak 2001, telah berimbas pada otonomi pendidikan. KBK, School and Community Based Manajement, penilaian 252 berbasis kelas dan lain sebagainya adalah bukti dari otonomi pendidikan wawancara, 15 Desember, 2010. Kurikulum yang dirancang berdasarkan kompetensi ini dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum ini ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya bangsanya. Hal ini diharapkan dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas sosial serta mewujudkan karakter nasional Pusat Kurikulum, 2002: 2. Dalam pandangan Udin S. Winataputra: Guru tetap menjadi kunci keberhasilan pengimplementasian sebuah kurikulum. Sebagai salah satu stakeholder, guru tetap menjadi sorotan. Hal- hal yang menjadi perhatian para pengamat bidang pendidikan yang berhubungan dengan guru ini adalah a mindset guru sulit berubah; b kemampuan guru selalu menjadi pertanyaan; c komitmen guru terhadap tugas akademiknya acap kali dipermasalahkan; d kreativitas guru kurang mendapatkan pembinaan; e kesejahteraan guru kurang diperhatikan wawancara, 6 Agustus, 2011. Senada dengan Muchson dan Udin S. Winataputra, menurut Cholisin perubahan sikap para guru tidak berbanding lurus dengan perubahan kurikulum. Lebih lanjut beliau menyatakan: Sering kita mendengar para pakar dan pengamat mengatakan bahwa guru kita mengalami stagnasi. Mereka cenderung mengalami kemadegan dalam merspon perkembangan, sehingga malas memperbarui dirinya sendiri. Dalam mengelola kelas, guru juga cenderung melakukan mismanajemen. Guru terbiasa menganggap bahwa proses belajar itu hanyalah upaya guru memasuki ranah kognisi siswanya. Kurikulum dapat saja berubah dalam waktu tertentu, namun tetap saja dalam pelaksanaannya tidak berubah dari waktu ke waktu wawancara, 1 Desember 2010. 253 Kemampuan guru dalam menjalankan profesinya sering kali dinilai kurang profesional. Selalu menjadi pertanyaan banyak orang, apakah dalam menghadapi perubahan kurikulum ini para guru kita memiliki kemampuan menjalankan kurikulum baru ini?. Para guru di lapangan terkesan belum maksimal dalam mengembangkan kemampuannya. Para guru harus diberi kesempatan membaca, menulis, menuntut ilmu yang lebih tinggi, serta menghadiri rapat-rapat MGMP, kelompok kerja guru, seminar, lokakarya, dan sebagainya. Tantangan bagi terlaksananya kurikulum berbasis kompetensi ini adalah masalah implementasi. Perencanaan yang baik belum tentu akan menghasilkan produk yang baik. Hal tersebut tergantung pada implementasinya, di mana harus didukung dari semua pihak. Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam mewujudkan pendidikan nasional, khususnya penerapan kurikulum berbasis kompetensi harus ada political will dan good will dari semua pihak yang berkaitan dengan kebijakan ini. Menurut Samsuri 2010: 138, fungsi Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK 2004 adalah: ”Untuk membentuk warganegara yang cerdas, terampil, dan berkarakter baik, serta setia kepada bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945” . Sedangkan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Samsuri, 2010: 138, adalah, untuk membentuk kemampuan: 1 Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. 2 Berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 3 Pembentukan diri yang didasarkan pada karakter positif masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia yang demokratis. 254 Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006, standar kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan dari tingkat SD hingga SMA ditetapkan sebagai berikut: Tabel 35 Standar Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan SD SMP SMA • Menerapkan hidup rukun dalam perbedaan • Memahami dan menerpakan hidup rukun di rumah dan di sekolah • Memahami kewajiban sebagai warga dalam keluarga dan sekolah • Memahami hidup tertib dan gotong royong • Menampilkan sikap cinta lingkungan dan demokratis • Menampilkan perilaku jujur, disiplin, senang bekerja, dan anti korupsi dalam kehidupan sehari- hari, sesuai dengan nilai- nilai Pancasila • Memahami sistem pemerintahan, baik pada tingkat daerah maupun pusat • Memahami makna keutuhan NKRI, dengan kepatuhan terhadap UU, peraturan, kebiasaan adat istiadat, dan menghargai keputusan bersama • Memahami dan menghargai makna nilai- nilai kejuangan bangsa • Memahami hubungan Indonesia dengan negara tetangga dan politik luar negeri • Memahami dan menunjukkan sikap positif terhadap norma- norma kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara • Menjelaskan makna proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia • Menghargai perbedaan dan kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat dengan bertanggungjawab • Menampilkan perilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 • Menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi dan kedaulatan rakyat • Menjelaskan makna otonomi derah, dan hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah • Menunjukkan sikap kritis dan apresiatif terhadap dampak globalisasi • Memahami prestasi diri untuk berprestasi sesuai dengan keindividuannya • Memahami hakekat bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia • Menganalisis sikap positif terhadap penegakan hukum, peradilan nasional, dan tindakan anti korupsi • Menganalisis pola-pola dan partisipasi aktif dalam pemajuan, penghormatan, serta penegakkan HAM • Menganalisis peran dan hak warganegara dan sistem hukum internasional • Mnegevaluasi sikap berpolitik dan bermasyarakat madani sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 • Menganalisis peran Indonesia dalam politik dan hubungan internasional, regional, dan kerjasama global lainnya. • Menganalisis sistem hukum internasional, timbulnya konflik internasional, dan mahkamah internasional Sumber: Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 dalam Samsuri 2010: 187. 255

b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP 2006

Sejak 2006 pemerintah menerapkan kurikulum yang mekanismenya ditekankan pada peran satuan pendidikan, yakni dengan KTSP. KTSP pada dasarnya adalah KBK yang diotonomikan kepada masing-masing tingkat satuan pendidikan. KTSP adalah KBK yang didelegasikan pada sekolah. Secara substansi KTSP sama dengan KBK. KTSP terkait dengan otonomi manajemen sekolah, yaitu manajemen berbasis sekolah MBS. KTSP sebagai konsekuensi pelaksanaan MBS. Kurikulum menjadi otonomi sekolah, artinya sekolah harus aktif mengembangkan kurikulum bukan menunggu kurikulum pusat. MBS adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi dalam bidang pendidikan. Sebagai wujud dari reformasi pendidikan, MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. Model ini dimaksudkan untuk menjamin semakin rendahnya kontrol pemerintah pusat, dan di pihak lain semakin meningkatnya otonomi sekolah untuk menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. Dalam MBS, kepala sekolah dan guru memiliki kebebasan yang luas dalam mengelola sekolah tanpa mengabaikan kebijakan dan priorotas pemerintah. Lahirnya KBK dan KTSP sebenarnya didasarkan pada: 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2 PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; 3 Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi; 4 Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan; 5 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23 256 tahun 2006. Dasar hukum di atas yang menjadi landasan bagi sekolah untuk menerapkan KTSP. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.

c. KTSP 2006 Pendidikan Kewarganegaraan SD, SMP, dan SMA

Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme, yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998. Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia perlu ditularkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis, negara Indonesia telah diciptakan sebagai Negara Kesatuan dengan bentuk Republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi 257 seluruh rakyat Indonesia Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pengantar KBK PKn, Departemen Pendidikan Nasional, 2004: 2 menyatakan bahwa: Dalam perkembangannya sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa yang mengancam persatuannya. Untuk itulah pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya generasi muda sebagai penerus bangsa. Indonesia di masa depan diharapkan tidak akan mengulang lagi sistem pemerintahan otoriter yang membungkam hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu dikenal, dimulai, diinternalisasi, dan diterapkan demi kejayaan bangsa dan negara Indonesia. Demokrasi dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warga negara yang demokratis. Warga negara yang demokratis bukan hanya dapat menikmati hak kebebasan individu, tetapi juga harus memikul tanggung jawab secara bersama-sama dengan orang lain untuk membentuk masa depan yang cerah. Sesungguhnya, kehidupan yang demokratis adalah cita-cita yang dicerminkan dan diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan negara ketika mereka pertama kali membahas dan merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Berkenaan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, sekolah memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat penting dalam mempersiapkan warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan adalah menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan 258 berbagai kemampuan sebagai seorang warga negara melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Lebih lanjut dalam Pengantar KBK PKn, Departemen Pendidikan Nasional, 2004: 3 dijelaskan bahwa: Tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut: 1 Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; 2 Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 3 Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; 4 Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dikelompokkan ke dalam aspek dan sub aspek bahan pelajaran yaitu: 259 Tabel 36 Ruang Lingkup Isi Pendidikan Kewarganegaraan No Dimensi Keilmuan Materi 1. Politik 1. Manusia sebagai zoon politicon makhluk sosial 2. Proses terbentuknya masyarakat politik 3. Proses terbentuknya bangsa 4. Asal usul negara 5. Unsur-unsur negara, tujuan negara, dan bentuk- bentuk negara 6. Kewarganegaraan 7. Lembaga politik 8. Model-model sistem politik 9. Lembaga-lembaga negara 10. Demokrasi Pancasila 11. Globalisasi 2. Hukum 1. Rule of law negara hukum 2. Konstitusi 3. Sistem hukum 4. Sumber hukum 5. Subyek hukum, obyek hukum, peristiwa hukum, dan sanksi hukum 6. Pembidangan hukum 7. Proses hukum 8. Peradilan 3. Moral 1. Pengertian nilai, norma, dan moral 2. Hubungan antara nilai, norma, dan moral 3. Sumber-sumber ajaran moral 4. Norma-norma dalam masyarakat 5. Implementasi nilai-nilai moral Pancasila Sumber: Departemen Pendidikan Nasional. 2004. KBK PKn. D. Dinamika Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pada Era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi 1. Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pada Era Orde Lama a. PKn Zaman Pergerakan Sebelum memaparkan Pendidikan Kewarganegaraan era Orde Lama, akan dipaparkan lebih dulu Pelajaran Civics di zaman pergerakan sebagai embrio dan latar belakangnya. Pelajaran Civics sebelum kemerdekaan atau pada jaman kolonial Hindia 260 Belanda dikenal dengan nama Burgerkunde. Pada waktu itu ada dua buku resmi yang digunakan yaitu Indische Burgerschapkunde serta Rech en Plich. Menurut Bambang Daroeso “Indische Burgerschapkunde, yang ditulis oleh P. Tromp dengan penerbitnya J.B Wolter Maatschappij N.V. Groningen, Den Haag, Batavia tahun 1934. Isi buku tersebut adalah: Masyarakat pribumi; Pengaruh Barat; Bidang sosial; Ekonomi; Hukum; Ketatanegaraan dan kebudayaan; Hindia Belanda dan rumah tangga dunia; Masalah pertanian; Masalah perburuan; Masalah kaum menengah dalam industri dan perdagangan; Masalah kewanitaan; Ketatanegaraan Hindia Belanda: Masalah pendidikan; Masalah kesehatan masyarakat; Masalah pajak; Tentara dan angkatan laut. Bambang Daroeso, 1986: 8. Selanjutnya Rech en Plicht Indische Burgerschapkunde Vooriedereen yang ditulis oleh J.B. Vortman dengan penerbitnya G.C.T.Van Dorp Co N.V Derde, Herziene en Vermeerderdruk, Semarang- Surabaya- Bandung, tahun 1940. Isi buku tersebut mencakup: Masyarakat dimana kita hidup dari lahir sampai dewasa; Pernikahan dan keluarga serta setelah badan pribadi itu tiada; Masalah bezit dari obyek hukum dimana dibicarakan antara lain: Eigendom Eropa dan hak-hak atas tanah; Hak- hak agraris atas tanah; Masalah kedaulatan raja dan kewajibhan-kewajiban warganegara dalam pemerintahan Hindia Belanda; Masalah perundang- undangan; Sejarah alat pembayaran dan kesejahteraan. Bambang Daroeso, 1986: 9. Lewat pengajaran Burgerkunde tentunya dimaksudkan oleh pemerintah Hindia Belanda agar rakyat jajahan lebih memahami hak dan kewajibannya terhadap pemerintah Hindia Belanda, sehingga diharapkan tidak menganggap pemerintah Belanda sebagai musuh tetapi justru memberikan dukungan dengan penuh kesadaran dalam jangka waktu yang panjang. Menurut Sarino Mangunpranoto hal ini sesuai dengan ciri-ciri pendidikan penjajah yang bersifat: 261 1 Sistem pendidikannya diarahkan sebagai usaha membantu kelestarian penjajahannya. 2 Sifat pendidikannya adalah eksploitasi demi keuntungan penjajah yang berakibat kebodohan dan kemelaratan pihak yang dijajah. 3 Metode pendidikannya dijalankan untuk menciptakan “tertib semu”, tidak memberi peluang untuk tumbuh bebas. 4 Sistem mengajarnya dengan metode menghafal dan membeo tanpa diberi kesempatan untuk bersaksi dan beraksi. Sarino Mangunpranoto, 1976: 16.

b. PKn Awal Kemerekaan 1945-1949.

Menurut Udin S. Winataputra: Pada awal kemerdekaan belum ada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdiri sendiri dan diajarkan pada pendidikan formal. Pendidikan Kewarganegaraan dititipkan pada Pendidikan Moral, yakni lewat Pendidikan Agama dan Pendidikan Budi Pekerti, yang berisi nilai-nilai kemasyarakatan, adat, dan agama. Pelajaran Kewarganegaraan baru diperkenalkan pertama kali pada tahun 1957. wawancara, 6 Agustus 2011.

c. PKn Era Demokrasi Parlementer 1950-1959

Pada tahun 1957 mulai diperkenalkan mata pelajaran Kewarganegaraan, yang isi pokoknya meliputi: 1 Cara memperoleh kewarganegaraan; 2 Hak dan kewajiban warga negara; 3 Tata Negara dan Tata Hukum. Ketiga hal tersebut semata-mata beraspek kognitif Soenarjati dan Cholisin, 1989: 17. Makna Pendidikan Kewarganegaraan pada masa ini adalah pemahaman hak warga negara, cara memperoleh kewarganegaraan, dan tata negara.

d. PKn Era Demokrasi Terpimpin 1959-1966

Pada tahun 1959 terjadi perubahan arah politik di negara Indonesia. UUDS 1950, dinyatakan tidak berlaku oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan berlaku kembali UUD 1945. Dengan berlakunya kembali UUD 1945, nampak dalam bidang pendidikan diadakan perubahan arah. Perubahan ini tampak dengan diperkenalkannya 262 mata pelajaran Civics pada tahun 1961 sebagai pengganti mata pelajaran Kewarganegaraan. Mata pelajaran Civics berisi: ”1 Sejarah kebangkitan nasional; 2 UUD; 3 Pidato-pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk nation and character building bagi bangsa Indonesia”. Muchson dkk., 2001: 16. Istilah Civics ini mengingatkan pada istilah zaman Yunani “Civics”, yaitu penduduk sipil yang mempraktekkan demokrasi langsung dalam negara kota Polis. Menurut Numan Somantri: Istilah ini kemudian diambil alih oleh Amerika Serikat untuk dipergunakan sebagai istilah pengajaran demokrasi politik di sekolah-sekolah. Dipergunakannya istilah Civics ini juga dimaksudkan untuk membedakan dengan pelajaran ilmu politik di universitas-universitas. Numan Somantri, 1976: 46. Pelajaran Civics mulai diperkenalkan pada tahun 1790 di Amerika Serikat dalam rangka “meng-Amerikakan bangsa Amerika”. Pada tahun 1907 ada Gerakan Community Civics yang dipelopori oleh W.A. Dunn bertujuan agar pelajaran Civics lebih fungsional bagi pelajar. Yakni dengan memperluas bahan sehingga mencakup: “1 Kehidupan sehari-hari baik yang ruang lingkupnya lokal maupun internasional; 2 Prinsip-prinsip ekonomi dalam pemerintahan; 3 Usaha- usaha swasta dan masalah pekerjaan warga negara”. Muchson dkk., 2001: 17. Dalam kurikulum Civics di SMP dan SMA isinya meliputi: 1 Sejarah nasional; 2 Sejarah proklamasi; 3 UUD 1945; 4 Pancasila; 5 Pidato-pidato kenegaraan presiden; 6 Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Buku sumber yang dipergunakan adalah “Civics Manusia Indonesia Baru” dan “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” yang lebih dikenal dengan singkatan TUBAPI. Metode pengajarannya lebih bersifat indoktrinatif. Buku pegangan untuk murid belum ada 263 Soenarjati dan Cholisin, 1989: 17-18. TUBAPI isinya meliputi: 1 Lahirnya Pancasila; 2 UUD 1945; 3 Manipol, merupakan pidato presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang intinya ditegaskan pada pidato presiden pada tanggal 17 agustus 1960 meliputi caturlogi, yakni: semanagt nasional, konsepsi nasional, keamanan nasional, dan perbuatan nasional; 4 Jalannya Revolusi Kita Jarek; 5 Pidato presiden RI di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1960 yang berjudul “Membangun Dunia Baru” dinilai sebagai salah satu tonggak sejarah bagi berdirinya Gerakan Non Blok; 6 Manipol USDEK; 7 Amanat presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana di depan DEPERNAS, tanggal 9 Januari 1960. Pada tahun 1962 istilah Civics diganti dengan istilah Kewargaan Negara, atas anjuran Dr. Sahardjo, SH, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Perubahan itu didasarkan atas tujuan yang ingin dicapainya, yaitu membentuk warga negara yang baik.

e. Makna PKn Orde Lama

Pendidikan Kewarganegaraan era Orde Lama memiliki visi untuk menanamkan semangat dan jiwa patriotisme. Misi PKn ditujukan untuk membentuk warga negara yang baik, yakni warga negara sosialis Indonesia yang susila. Strategi pembelajarannya menggunakan metode indoktrinasi. Memiliki ciri-ciri kurang jelas akar keilmuannya, ada intervensi dari rezim yang sedang berkuasa sehingga kepentingan rezim banyak mewarnai materi PKn. Kondisi yang demikian itu mengakibatkan makna PKn lebih ditujukan untuk mendukung penguatan negara, membentuk kepatuhan warga negara kepada rezim yang sedang berkuasa dan menjadikan rakyat sebagai pendukung setia status quo. Substansi materi PKn era ini 264 didominasi oleh Manipol USDEK. Pada era Orde Lama Pendidikan Kewarganegaraan beberapa kali berganti nama: Kewarganegaraan 1957, Civics

1962, dan Pendidikan Kewargaan Negara 1968.

Banyak tuduhan dialamatkan kepada sosok Pendidikan Kewarganegaraan pada era Orde Lama, dan tuduhan itu barangkali juga ada benarnya. Beberapa tuduhan itu antara lain, Pendidikan Kewarganegaraan sering bersifat politis dari pada akademis, lemah landasan keilmuannya, tidak tampak sosok keilmiahannya. Akibat lebih lanjut mata pelajaran ini kurang menantang, sehingga kurang diminati oleh siswa. Kepentingan politik penguasa terhadap Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dapat dirunut dalam sejarah perkembangan mata pelajaran ini, sejak munculnya dalam sistem pendidikan nasional. Mata pelajaran ini muncul pertama kali pada tahun 1957 dengan nama Kewarganegaraan, yang isinya sebatas tentang hak dan kewajiban warga negara, serta cara-cara memperoleh kewarganegaraan bagi yang kehilangan status kewarganegaraan. Isi Pendidikan Kewarganegaraan ini sebenarnya sangat baik bagi pengembangan pengetahuan warga negara akan ketatanegaraan, hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan cara-cara memperoleh kewarganegaraan. Tetapi setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Pendidikan Kewarganegaraan berubah menjadi pendukung pemikiran presiden sebagai pemimpin revolusi untuk membangun msyarakat sosialisme Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Menteri PP dan K mengeluarkan Surat Keputusan No.122274S tanggal 10 Desember 1959 tentang pembentukan panitia penyusunan buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban dan 265 hak-hak warga negara Indonesia dan hal-hal yang menginsyafkan warga negara tentang sebab-sebab sejarah dan tujuan Revolusi Indonesia. Panitia tersebut berhasil menyusun buku Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia pada tahun 1962 yang menjadi acuan mata pelajaran Civics yang telah muncul pada tahun 1961. Buku tersebut berisi tentang 1 Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, 2 Pancasila, 3 UUD 1945, 4 Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, 5 Konferensi Asia Afrika, 6 Hak dan kewajiban warga negara, 7 Manifesto Politik, 8 Lampiran Dekrit Presiden, pidato Presiden, Declaration of Human Rights dan lain-lain yang dipaketkan dalan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi Muchson AR, 2003:4. Pendidikan Kewarganegaraan telah muncul dengan berbagai nama dan program pada masa Orde Lama. Menurut Numan Somantri, dalam perkembangannya nama Civic dan Civic Education telah muncul masing-masing dengan nama: 1 Kewarganegaraan 1957, 2 Civics 1962, 3 Pendidikan Kewargaan Negara 1968. Materi Pendidikan Kewarganegaraan yang muncul dengan berbagai nama tersebut selanjutnya dikemukakan oleh Numan Somantri bahwa: Isi Kewarganegaraan 1957 membahas cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan, sedang Civics 1962 lebih banyak membahas tentang sejarah kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato kenegaraan Presiden Soekarno, terutama yang diarahkan untuk ‘Nation and Character Building’ bagi bangsa Indonesia. Hal ini mirip dengan Civics di Amerika Serikat pada tahun-tahun setelah lahirnya ‘Declaration of Independence America’. Abdul Azis Wahab, 2007: 700. Pidato-pidato politik kenegaraan itu dikemas dengan nama Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi TUBAPI yang berisi pidato-pidato politik kenegaraan Presiden Soekarno ditambah dengan Manifesto Politik Manipol dan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia USDEK. Perjalanan sejarah banga Indonesia menunjukkan betapa pendidikan formal secara tradisional telah disiapkan melalui salah satu tugasnya yaitu mempersiapkan 266 warganegara yang sesuai dengan cita-cita nasional. Upaya itu nampak dari lahirnya berbagai nama untuk Pendidikan Kewarganegaraan PKn sejalan dengan perkembangan dan pasang surutnya perjalanan politik bangsa Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan lahirnya berbagai kebijakan di bidang pendidikan khususnya tentang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 1959 untuk kembali ke UUD 1945, diantaranya dengan instruksi pembaharuan buku-buku di sekolah-sekolah. Untuk itu Departemen P dan K mengeluarkan surat keputusan No. 122274S tanggal 10 Desember 1959 membentuk panitia yang terdiri dari 7 orang untuk membuat buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban dan hak-hak warganegara Indonesia disertai dengan hal-hal yang akan menginsyafkan mereka tentang sebab-sebab sejarah dan tujuan Revolusi Kemerdekaan Indonesia Abdul Azis Wahab, 2007: 698. Panitia tersebut berhasil menyusun buku berjudul: “Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia” pada tahun 1962, yang menurut para penulisnya Supardo dan kawan- kawan dinyatakan : Buku ini barangkali dapat disebut dengan istilah Jerman ‘Staatsburgerkunde’, dengan istilah Inggris ‘Civics’, atau dengan istilah Indonesia ‘Kewarganegaraan’. Akan tetapi oleh karena isi buku ini agak luas maka, nama ‘Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia’ agaknya lebih tepat. Abdul Azis Wahab, 2007: 698. Buku pedoman Pendidikan Kewarganegaraan tersebut berisi: 1 Sejarah pergerakan dan perjuangan rakyat Indonesia, 2 Pancasila, 3 UUD 1945, 4 Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, 5 Konperensi Asia Afrika, 6 Kewajiban dan hak warganegara, 7 Manifesto politik, 8 Laksana malaikat, 9 Serta berbagai lampiran tentang Dekrit Presiden, Lahirnya Pancasila, Pidato Presiden Soekarno, Declaration of human rights dan Panca Wardhana Lima Perkembangan. Pada dasarnya bahan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan telah digunakan sejak 1959 sampai dengan pecahnya pemberontakan PKI pada tanggal 30 September1965. Atas usul menteri 267 Kehakiman Mr. Sahardjo, bahan pelajaran Pendikan Kewarganegaraan yang disiapkan tahun 1959 tersebut diubah namanya menjadi “Pendidikan Kewargaan Negara” dan perubahan nama ini digunakan hingga munculnya Kurikulum 1968. Berikut ini dipaparkan dinamika posisi Pendidikan Kewarganegaraan pada era Orde Lama: Tabel 37 Perubahan Posisi Pendidikan Kewarganegaraan di SMP dan SMA pada era Orde Lama Kuri- Kulum Sekolah Kelompok Mata Pelajaran 1952 SMA Bagian A Pokok Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, Bahasa Daerah, Jawa Kuno, Bahasa Inggris, Bahasa Perancis, Bahasa Jerman, Sejarah, Ilmu Bumi Penting Sejarah Kesenian, Sejarah Kebudayaan, Ilmu Bangsa-bangsa, Ekonomi, Tata Negara dan Kewarganegaraan Pelengkap Aljabar, Ilmu Kesehatan, Menggambar, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Agama SMA Bagian B Pokok Aljabar, Ilmu Ukur Sudut, Ilmu Ukur Ruang, Ilmu Ukur Melukis, Ilmu Alam, Mekanika, Ilmu Kimia, Ilmu Hayat dan Kesehatan Penting Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris Pelengkap Bahasa Jerman, Bahasa Perancis, Bumi Alam dan Falak, Sejarah, Tata Negara dan Kewarganegaraan , Ekonomi, Tata Buku, Menggambar, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Agama SMA Bagian C Pokok Tata Negara dan Kewarganegaraan , Tata Hukum, Ekonomi, Ilmu Bumi Sosial dan Ekonomi, Ilmu Bangsa-bangsa, Sejarah Penting Pengetahuan dan Hitung, Tata Buku, Sejarah Perekonomian, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris Pelengkap Bahasa Jerman, Bahasa Perancis, Ilmu Kimia dan Pengetahuan Bahan, Aljabar, Ilmu Kesehatan, Menggambar, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Agama 1961 SMA Kurikulum SMA Gaya Baru Dasar Pendidikan Kewarganegaraan , Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Sejarah, Ilmu Bumi, Pendidikan JasmaniKesehatan Khusus sesuai Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, 268 jurusan Sejarah, Ilmu Bumi, Antropologi, Budaya, Bahasa Kawi, Bahasa Inggris, Ekonomi dan Koperasi, Menggambar, Bahasa Asing lainnya, Bahasa Daerah, Pengetahuan Alam Prakarya Prakarya 1962 SMP Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru Dasar Civics, Bahasa Indonesia, Sejarah Kebangsaan, Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan AgamaBudi Pekerti, Pendidikan JasmaniKesehatan Cipta Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi Dunia, Sejarah Dunia, Ilmu Administrasi RasaKarsa Menggambar, Kesenian, Prakarya, Kesejahteraan Keluarga 1964 SMP Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru Dasar Civics Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Sejarah Kebangsaan, Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan AgamaBudi Pekerti, Pendidikan JasmaniKesehatan Cipta Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi Dunia, Sejarah Dunia, Ilmu Administrasi RasaKarya Menggambar, Kesehatan, Prakarya, Kesejahteraan Keluarga 1964 SMA Rencana Pelajaran SMA Gaya Baru Kelas I Dasar Kewarganegaraan, Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan AgamaBudi Pekerti, Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Kesehatan Khusus Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Ilmu Kimia, Ilmu Hayat, Sejarah, Bahasa Inggris, Bahasa Asing lainnya, Ekonomi dan Koperasi, Menggambar Prakarya Prakarya Krida Krida Diolah dari berbagai sumber: Kurikulum 1952 sampai dengan Kurikulum 1964 Abd. Rachman Assegaf, 2005: 154-160. Makna Pendidikan Kewarganegaraan bagi pembangunan karakter bangsa negara berubah-ubah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa: pertama, pengelompokan mata pelajaran berubah-ubah pada tiap kurikulum yang diberlakukan. Pada Kurikulum SMA 1952, misalnya, pengelompokan mata pelajaran dibagi dalam tiga bagian: pokok, penting, dan 269 pelengkap. Setelah tahun 1960-an, komposisi mata pelajaran dikategorikan ke dalam kelompok dasar, khusus, penyerta, prakarya, dan krida. Ketika pengaruh PKI menguat maka penjabarannya mengikuti Instruksi Menteri menyangkut Kurukulum Pancawardana, sebagaimana yang berlaku di SD, meliputi kelompok perkembangan moral, perkembangan intelektual, perkembangan emosionalartistik, perkembangan keprigelan, dan perkembangan jasmani. Setelah PKI dibubarkan, pendidikan diarahkan kepada pemurnian Pancasila, maka mata pelajarannya pun dirubah berdasarkan pengelompokan pembinaan jiwa Pancasila, pembinaan pengetahuan dasar, dan pembinaan kecakapan khusus. Perubahan pola pengelompokan mata pelajaran masih terus berlanjut pada kurikulum 1975. Pada kurikulum ini mata pelajaran dikelompokkan dalam tiga bagian: pendidikan umum, pendidikan akademis, dan pendidikan keterampilan, dan hal ini berlaku sampai dengan Kurikulum 1984 untuk SDMI dan SMPMTs.

2. Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pada Era Orde Baru

a. PKn Awal Orde Baru Pada tahun 1965 terjadi pemberontakan G 30 SPKI, yang kemudian diikuti dengan pembaharuan tatanan dalam pemerintahan. Pembaharuan tatanan inilah yang kemudian dijadikan tonggak pemerintahan Orde Baru, untuk memurnikan pelaksanaan UUD 1945. Perubahan rezim ini kemudian diikuti dengan perubahan kebijakan pendidikan, yaitu dengan keluarnya Keputusan Menteri P dan K No. 31 Tahun 1967 yang menetapkan bahwa pelajaran Civics isinya terdiri atas: 1 270 Pancasila; 2 UUD 1945; 3 Ketetapan-ketetapan MPRS; 4 Pengetahuan tentang PBB Soenarjati Cholisin, 1989: 18. Dengan Keputusan Menteri P K tersebut, maka isi materi Civics yang berupa “Pidato Presiden” dihilangkan. Alasannya karena dinilai kurang sesuai bagi upaya untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Seperti dikemukakan oleh Ali Murtopo Alfian, 1970: 31: “Pada era Orde Lama Pancasila dan UUD 1945 telah diselewengkan, sehingga Pancasila akhirnya hanya dijadikan semboyan kosong belaka, dan sebagai gantinya diisi dengan Nasakom”. Sedangkan Herbert Feith menyatakan: “Demokrasi Terpimpin ditandai oleh pemaksaan penerimaan ide-ide politik almarhum bekas Presiden Soekarno seperti Sosialisme Indonesia ala Nasakom Alfian, 1970: 31. Sejak munculnya Orde Baru pada tahun 1966, isi mata pelajaran Civics versi Orde Lama hampir seluruhnya dibuang, karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan yang sedang berkembang. Pada kurikulum 1968, mata pelajaran ini muncul dengan nama Kewargaan Negara, yang isinya di samping Pancasila dan UUD 1945, adalah ketetapan-ketetapan MPRS 1966, 1967, dan 1968, termasuk GBHN, HAM, serta beberapa materi yang beraspek sejarah, geografi, dan ekonomi Wawancara dengan Muchson. Perkembangan berikutnya, mata pelajaran “Civics” yang kemudian diganti menjadi “Kewargaan Negara” pada 1962, pada Kurikulum 1968 ditetapkan secara resmi menjadi “Pendidikan Kewargaan Negara.” Di dalam kurikulum ini, penjabaran ideologi Pancasila sebagai pokok bahasan dianggap mengedepankan kajian tata negara dan sejarah perjuangan bangsa, sedangkan aspek moralnya belum nampak 271 Aman, dkk., 1982: 11. Makna Pendidikan Kewarganegaraan adalah bagi pembangunan manusia Indonesia dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.

b. PKn dalam Kurikulum 1968

Kurikulum 1968 bertujuan untuk mengembalikan posisi pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila setelah terjadinya peristiwa G-30-SPKI pada tahun 1965. Berdasarkan kurikulum ini, tujuan pendidikan adalah sebagai berikut: “1 Membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti dikehendaki oleh Pembukaan dan Isi UUD 1945. 2 Mempersiapkan anak didik untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 3 Memberikan dasar keahlian umum kepada anak didik sesuai dengan bakat dan minat masing-masing dalam berbagai lapangan sehingga tamatannya dapat mengembangkan dirinya pada lembaga-lembaga pendidikan lain dan lembaga masyarakat. Menurut Abdul Azis Wahab 2007: 699: Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1968 berada dalam kelompok “Pembinaan Jiwa Pancasila”, baik di sekolah dasar maupun sekolah menengah. Bedanya di sekolah dasar kelompok mata pelajaran terdiri dari Pendidikan Agama, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah dan Olah Raga. Sedangkan di SMA tanpa Bahasa Daerah. Bahan-bahan pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan menurut Kurikulum 1968 tersebut digunakan sampai dengan ditetapkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1975 dengan nama “Pendidikan Moral Pancasila” PMP sebagai nama bidang studi untuk Pendidikan Kewarganegaraan yang tujuannya adalah membentuk warganegara Pancasilais yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR No. IIMPR1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4 maka materi bidang studi Pendidikan Moral Pancasila dilengkapi atau bahkan didominasi oleh materi dan bahan-bahan P4. Dampak selanjutnya P4 cenderung sebagai bahan indoktrinasi untuk pendidikan dan pelatihan warganegara, sebagai produk formal yang dihasilkan oleh lembaga legislatif dan oleh lembaga eksekutif dijadikan instrumen yang birokratik untuk digunakan baik di lingkungan sekolah, pendidikan tinggi maupun di masyarakat. 272 Pada masa pemerintahan Orde Baru bahan-bahan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berbau Orde Lama dihilangkan sama sekali melalui Kurikulum SD 1968 dengan melakukan perubahan-perubahan materi dan metode penyampaian. Adapun mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran untuk Pendidikan Kewarganegaraan tersebut adalah Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila seperti diuraikan dalam Kurikulum SD 1968 sebagai berikut: Kelompok pembinaan jiwa Pancasila ialah kelompok segi pendidikan yang terutama ditujukan kepada pembentukan mental dan moral Pancasila serta pengembangan manusia yang sehat dan kuat fisiknya dalam rangka pembinaan bangsa. Abdul Azis Wahab, 2007: 700. Pendidikan Kewarganegaraan yang mencakup Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi dan Pengetahuan Kewarganegaraan, selama masa pendidikan yang enam tahun itu diberikan terus menerus. Sedangkan Bahasa Indonesia dalam kelompok ini mendapat tempat yang penting, sebagai alat pembina cara berpikir dan kesadaran nasional. Sedangkan Bahasa Daerah digunakan sebagai langkah pertama bagi sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa tersebut, sebagai bahasa pengantar sampai kelas III dalam membina jiwa dan moral Pancasila. Olahraga yang berfungsi sebagai pembentuk manusia Indonesia yang sehat rohani dan jasmaninya diberikan secara teratur semenjak anak-anak menduduki bangku sekolah. Sama halnya dengan Kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama 1968, Rencana Pendidikan dan Pelajaran Sekolah Menengah Atas Tahun 1968, menurut Abdul Azis Wahab 2007: 701, juga dibagi kedalam tiga kelompok besar masing-masing yakni: 273 Kelompok Pembina Jiwa Pancasila, Kelompok Pembina Kewargaan Dasar, dan Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Pendidikan Kewargaan Negara termasuk dalam Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila bersama dengan Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Olahraga. Mata pelajaran Kewargaan Negara di Sekolah Menengah Atas berintikan: 1 Pancasila dan UUD 1945, 2 Ketetapan-ketetapan MPRS 1966, 3 Pengetahuan umum tentang PBB. Tujuan diajarkannya adalah agar tiap-tiap warganegara Indonesia berkewajiban mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta merealisasikan isi dan jiwa UUD 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPRSMPR serta ketentuan-ketentuan pelaksanaannya. Dengan demikian Kewargaan Negara tidak saja wajib dipelajari tetapi lebih-lebih lagi merupakan bentuk sikap hidup. Karena komunikasi modern yang mendekatkan bangsa yang satu dengan lainnya maka Indonesia yang tergabung dalam PBB berkewajiban menyelami dan mempelajari bentuk organisasi PBB. Salah satu hal penting dalam Kurikulum SMA 1968 tersebut adalah mata pelajaran Kewargaan Negara yang pengajarannya senantiasa dikorelasikan dengan pelajaran lain seperti Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Azasi Manusia dan Ekonomi, sehingga mata pelajaran Kewargaan Negara tersebut menjadi lebih hidup dan menantang dan lebih bermakna. Menurut Numan Somantri 1976: 35, pada tahun 1968 mata pelajaran Civics yang telah diperbarui isinya tersebut diganti dengan nama mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara PKN. Isi PKN menurut Kurikulum 1968 adalah sebagai berikut: 1 PKN SD isinya meliputi, Sejarah Indonesia, Civics, dan Ilmu Bumi. 2 PKN SMP Isinya meliputi, Sejarah Kebangsaan, Kejadian Setelah Indonesia Merdeka, dan UUD 1945. 3 PKN SMA isinya meliputi, Uraian Pasal-pasal UUD 1945 dikaitkan dengan Tata Negara. Numan Somantri, 1976: 35. Sebagai bahan perbandingan dalam versi lain menurut Ali Emran 1976: 4, PKN 1968 meliputi: 1 Untuk SD meliputi, Pengetahuan Kewargaan Negara, Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi. 2 Untuk SMP meliputi, Sejarah Kebangsaan, Kejadian Setelah kemerdekaan, UUD 1945, Pancasila, Ketetapan-ketetapan MPRS. 3 Untuk SMA berisi, Uraian pasal-pasal UUD 1945 yang dihubungkan dengan Tata Negara, Sejarah, Ilmu Bumi dan Ekonomi. Pada tahun 1970 PKN difusikan ke dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial IPS. IPS saat itu meliputi: PKN, Sejarah, Ilmu Bumi, Ekonomi, Antropologi Budaya, Sosiologi dan Hukum. 274 Tabel 38 Susunan Mata Pelajaran SMA Tahun 1968 Mata Pelajaran Kl I Sastra Sosial Budaya Kl II Kl III Ilmu Pasti Ilmu Alam Kl II Kl III Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila 1. Pend. Agama 3 3 3 3 3

2. PKn 2

2 2 2 2 3. Bhs. Indo 3 3 3 3 3 4.Pend.Olahraga 3 3 3 3 3 Sub Jumlah 11 11 11 11 11 Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar 1. Sejarah 3 1. Bhs dan Sastra Indo. 4 4 1. Aljabar 3 3 2. Geografi 2 2. Sejarah 3 3 2. Ukur Sudut 1 1 3. Ilmu Pasti 5 3. Geografi 3 3 3. UkurRuang 2 2 4. Fisika 4 4. Eko Koperasi 3 3 4. Fisika 4 4 5. Kimia 3 5. Menggambar 2 2 5. Matemaika 2 2 6. Biologi 3 6. Bhs Inggris 4 4 6. Kimia 3 5 7. Eko Kop. 2 7. Ilmu Budaya 2 2 7. Biologi 3 3 8. Menggambar 2 Sadaya Sastrasos 8. Geografi 2 2 9. Bhs Inggris 3 8. Bhs Ilmu Pasti Daerah 2 2 9. Menggambar 2 2 9. Sej Keb. Peng Dag. 1 2 10. Bhs Inggris 3 3 10. Ilmu Tata Buku Pasti 2 3 Sub Jumlah 27 26 28 25 27 Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus 1. PKK 2 2 - 2 - 2. Prakarya a. Kesenian 1 1 - 1 - b. Bahasa - - - - - c. ketrampilan - - - - - d. Lain-lain 2 2 3 2 3 Sub Jumlah 5 5 3 5 3 Jumlah 43 42 42 41 41 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan menengah Tahun 1945-1989, Ditjend. Dikdasmen, Depdikbud, 1992. Makna Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1968 lebih menekankan untuk memahami Pancasila, UUD 1945, sejarah kebangsaan, serta tatanegara, dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya. 275

c. PKn dalam Kurikulum 1975

Menurut Abdul Azis Wahab 2007: 701, perubahan Kurikulum 1968 menjadi Kurikulum 1975, berdampak sebagai berikut: Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atas dasar Keputusan MPR 1978 diganti dengan nama baru yang dikenal dengan “Pendidikan Moral Pancasila” PMP. Pendidikan Moral Pancasila merupakan mata pelajaran yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945 dipisahkan dari mata pelajaran yang bersangkut paut diantaranya mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi. Sedangkan gabungan mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi menjadi bidang studi “Ilmu Pengetahuan Sosial”, dan saat ini diberi nama “Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial”. Hal yang sama masih tetap berlaku saat diberlakukannya Kurikulum 1984 sebagai penyesuaian Kurikulum 1975. Mengenai bidang studi Pendidikan Moral Pancasila, Depdikbud telah mengeluarkan Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila sebagai berikut: Pendidikan Moral Pancasila PMP secara konstitusional mulai dikenal dengan adanya Ketetapan MPR No. IVMPR1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan adanya Ketetapan MPR No. IIMPR1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P-4, maka materi PMP didasarkan pada isi P-4 tersebut. Oleh karena Ketetapan MPR No. IIMPR1978 merupakan penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara, maka dijadikanlah sumber, dan tempat berpijak, isi, dan evaluasi PMP. Dengan demikian hakekat PMP tiada lain adalah pelaksanaan P-4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah- sekolah di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P-4 lewat berbagai penataran. Dalam rangka menyesuaikan Kurikulum 1975 dengan P-4 dan GBHN 1978, mengusahakan adanya buku pegangan bagi murid dan guru Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Tingkat Pertama, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas. Usaha tersebut telah menghasilkan Buku Paket Pendidikan Moral Pancasila. Dikbud, 1982: 12. Dengan penjelasan ringkas di atas dapat disimpulkan bahwa 1 P-4 merupakan sumber, dan tempat berpijak, isi, dan cara evaluasi PMP melalui pembakuan Kurikulum 1975. 2 Dengan dihasilkannya Buku Paket PMP untuk 276 semua tingkat pendidikan di sekolah, maka buku pedoman Pendidikan Kewarganegaraan yang berjudul “Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia” dinyatakan tidak berlaku lagi. 3 P-4 tidak hanya diberlakukan di sekolah tetapi juga masyarakat pada umumnya melalui berbagai penataran. 4 Bidang studi PMP materinya didominasi P-4. Berikut ini adalah tujuan kurikuler PMP SD, SMP, dan SMA dalam Kurikulum 1975. Tabel 39 Tujuan Kurikuler PMP Kurikulum 1975 SD SMP SMA 1. Murid mengerti arti ke- Tuhanan Yang Maha Esa. 1. Siswa menyadari adanya bermacam-macam agama, dan saling menghargai antara para pemeluknya. 1. Siswa memahami Tuhan Yang Maha Esa adalah sebab pertama causa prima sebagai asal dari segala kehidupan yang mengajarkan persamaan, keadilan, kasih sayang. 2. Murid mengerti prinsip- prinsip dasar yang terkandung dalam pasal- pasal UUD 1945. 2. Siswa memahami dan mengamalkan ajaran ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 2. Siswa memahami prinsip- prinsip dasar yang terkandung dalam pasal 29 UUD1945. 3. Murid mengerti prinsip dasar hak-hak asasi manusia, serta tanggung jawab yang terjalin dengan hak-hak tersebut. 3. Siswa mengetahui, memahami dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 3. Siswa menghargai sesama manusia dan memiliki sikap saling menghormati dalam pergaulan antar bangsa. 4. Murid mengerti prinsip- prinsip dasar yang terkandung dalam alenia pertama Pembukaan UUD 1945. 4. Siswa mengetahui, memahami dan menghayati prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. 4. Sisiwa memahami prinsip- prinsip dasar hak asasi manusia. 5. Murid mengerti arti kesatuan bangsa dan negara Indonesia. 5. Siswa mengetahui perkembangan sejarah nasional Indonesia. 5. Siswa mengetahui dan memahami serta dapat melaksanakan kewajiban dan hak yang harus dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. 6. Murid mengetahui, mengenal, kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan rasa Bhineka Tunggal Ika. 6. Siswa menunjukkan sikap dan tindakan yang mendukung kesatuan nasional. 6. Siswa mengetahui dan memahami pentingnya arti kesatuan dan persatuan nasional. 7. Murid mengetahui 7. Siswa mengerti, mentaati dan 7. Siswa mengerti sistem 277 tentang hak dan kewajiban dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. melaksanakan peraturan untuk memajukan kehidupan masyarakat pertahanan dan keamanan nasional. 8. Murid mengetahui dan mampu melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, dan masyarakat. 8. Siswa mengetahui dan menyadari arti kesatuan nasional Indonesia demi kesejahteraan masyarakat. 8. Siswa mengerti ketenuan dan peraturan yang telah ditetapkan untuk memajukan masyarakat dan keamanan nasional serta ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan. 9. Murid mengerti dan mampu menggunakan dasar- dasar hak kewargaan negaranya 9. Siswa mentaati peraturan untuk memelihara dan meningkatkan keamanan masyarakat. 9. Siswa mengetahui dan menyadari arti kesatuan nasional Indonesia demi kesejahteraan masyarakat. 10. Murid memahami bentuk dan dasar negara RI, sehingga mampu berpartisipasi sebagai warga negara. 10. Siswa mengetahui dan menyadari pentingnya arti persatuan dan kesatuan nasional Indonesia, sehingga mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. 10. Siswa memahami dan menyadari prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, supaya mampu melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. 11. Murid mengetahui dan mempraktekan prinsip keadilan sosial dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, dan masyarakat. 11. Siswa memahami dan menyadari pentingnya disiplin bagi ketertiban masyarakat. 11. Siswa mengetahui dan mengerti sistem pemerintahan demokrasi Pancasila. 12. Siswa memahami dan menghayati Pancasila dan UUD 1945. 12. Siswa memahami dan menyadari pentingnya disiplin bagi ketertiban masyarakat. 13. Siswa memahami dan menghayati prinsip-prinsip kehidupan demokrasi. 13. Siswa memahami dan menghayati Pancasila dan UUD 1945. 14. Siswa mampu menggunakan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitarnya. 14. Siswa memahami dan menghayati prinsip-prinsip kehidupan demokarsi. 15. Siswa mengetahui bahwa GBHN adalah merupakan landasan pembangunan Indonesia. 15. Siswa mampu menggunakan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah dan masyarakat sekitarnya. 16. Siswa memahami dasar dan tujuan kehidupan sosial ekonomi Indonesia dan berusaha berpartisipasi untuk keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. 17. siswa berusaha melaksanakan prinsip keadilan sosial. 18. Siswa berusaha melaksanakan prinsip keadilan sosial. Sumber:Samsuri 2010: 122. 278 Makna Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1975 lebih menekankan untuk memahami Pancasila dan UUD 1945, dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1975 menggunakan pendekatan tujuan. Itu artinya masih sama dengan Kurikulum 1968, perbedaannya hanya ada penambahan topik tentang pembangunan nasional dan GBHN pada PMP Kurikulum 1975. Dalam perkembangan selanjutnya Abdul Azis Wahab 2007: 702, menyatakan bahwa: Nama mata pelajaran PMP, dengan berbagai pertimbangan setelah dikeluarkannya Kurikulum 1994 diubah menjadi mata pelajaran “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” PPKn. Perubahan tersebut didasarkan pada UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang di dalamnya mengamanatkan bahwa: Isi kurikulum pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat: a Pendidikan Pancasila; b Pendidikan Agama; serta c Pendidikan Kewarganegara. Sebagai perbandingan dari sisi tujuan, pada era Orde Baru, mata pelajaran PMP bertujuan membentuk manusia Pancasilais yang menurut Kurikulum Sekolah Dasar 1975 tersebut seluruh mata pelajaran berperan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Dengan demikian yang berkewajiban membentuk manusia Pancasilais bukan hanya menjadi tanggungjawab mata pelajaran PMP semata. Selanjutnya muncul Kurikulum 1984, yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975, maka tujuan membentuk manusia Indonesia yang Pancasilais tetap merupakan tema utamanya Abdul Azis Wahab, 2007: 702. Selama masa Orde Baru kurikulum telah berubah beberapa kali yang berakibat berubahnya pula kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan. Di awali Kurikulum 1962, Kemudian Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, disempurnakan menjadi Kurikulum 1984, dan terakhir 279 Kurikulum 1994 sebagai kelanjutan dari Kurikulum 1984. Perubahan Pendidikan Kewarganegaraan yang bernama Pendidikan Moral Pancasila PMP menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn juga terjadi dalam era Orde Baru. Baik Orde Lama maupun Orde Baru sesungguhnya memiliki tujuan yang sama yaitu: Mendidik, membentuk, dan mempersiapkan warganegara yang baik menurut apa yang dianggap baik menurut pandangan “rezim” yang berkuasa pada masa itu. Orde Lama lebih menekankan pada “nation and character building” sedangkan periode Orde Baru lebih menekankan pada “Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya” yang masing-masing telah diketahui kekuatan dan ksaelemahannya. Orde Lama berakhir dengan lahirnya Gerakan 30 September PKI, dan Orde Baru berakhir dengan situasi pemerintahan yang korup, serta merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme KKN yang dibangun di atas legitimasi politik dengan nilai-nilai kultur feodalisme dan primordialisme. Selama Orde Baru materi PPKn didominasi oleh materi P4, menyebabkan pembelajaran PPKn di kelas berlangsung dengan sangat kaku tanpa improvisasi dan bersifat indoktrinatif. Akibatnya siswa lebih terbiasa menghafalkan nilai-nilai dan moral Pancasila dan bukan mengamalkannya. Abdul Azis Wahab, 2007: 703. Tetapi apa yang penting PPKn pada masa Orde Baru lebih menekankan pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, manusia pembangunan dengan dijiwai Pancasila dan UUD 1945.

d. PKn yang didominasi P-4

Muchson dalam wawancara dengan peneliti menguraikan dominannya P-4 dalam PMP sebagai berikut: Sesuai dengan amanat Ketetapan MPR No. IVMPR1973, mata pelajaran ini berubah nama menjadi Pendidikan Moral Pancasila PMP pada kurikulum 1975. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR No. IIMPR1978 tentang P-4, maka terjadilah perkembangan yang cukup substantif mengenai materi pelajaran ini, yakni sangat dominannya materi P-4 dalam PMP. wawancara, 15 Desember 2010. 280 Menurut Armaidy Armawi: Tafsir ideologis negara dalam bidang pendidikan pada era Orde Baru mulai menampakkan kekuatannya ketika secara formal, GBHN 1973 menyebut perlunya: Kurikulum di semua tingkat pendidikan, berisikan Pendidikan Moral Pancasila. Apabila dicermati, nampak jelas bahwa Pancasila ditafsirkan dalam masing-masing pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan bahan pengajaran. wawancara, 8 Juli 2011. PMP makin indoktrinatif ketika MPR telah menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P-4. Tap MPR tentang P-4 ini akhirnya dicabut dalam Sidang Istimewa MPR pada bulan November 1998. Dalam pandangan Prof. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, pelaksanaan P4 sebagai ketimpangan “antara laku dan kata.” Pada sisi lain, kelompok masyarakat yang kecewa dengan pencabutan Tap itu menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila dalam P-4 itu sebenarnya tak ada yang salah. Tabel 40 Butir-Butir Pengamalan Pancasila Sila Ketuhanan Yang Maha Esa 1. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar keamanusiaan yang adil dan beradab. 2. Hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup. 3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. 4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Sila Kemanu- siaan yang adil dan beradab 5. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. 6. Saling mencintai sesama manusia. 7. Mengembangkan sikap tenggang rasa. 8. Tidak semena-mena terhadap orang lain. 9. Menjunjung tingi nilai kemanusiaan. 10. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. 11. Berani membela kebenaran dan keadilan. 12. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain. Sila Persatuan Indonesia 13. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. 14. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. 15. Cinta Tanah Air dan Bangsa. 16. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia. 17. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber- Bhinneka Tunggal Ika. 281 Sila Kerak- yatan yang dipimpin oleh hikmat kebijak- sanaan dalam permu- syawara- tanperwakila n 18. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. 19. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. 20. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. 21. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. 22. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. 23. Menghayati arti musyawarah yang dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. 24. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia 25. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan. 26. Bersikap adil. 27. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. 28. Menghormati hak-hak orang lain. 29. Suka memberi pertolongan kepada orang lain. 30. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain. 31. Tidak bersikap boros. 32. Tidak bergaya hidup mewah. 33. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum. 34. Suka bekerja keras. 35. Menghargai hasil karya orang lain. 36. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Sumber: Tap MPR No. IIMPR 1978 dalam Samsuri, 2010: 121. Menurut Armaidy Armawi: Rezim Orde Baru tidak memanfaatkan PKn secara benar, karena terjebak kepentingan jangka pendek. Pesan-pesan konstitusi tidak tersampaikan dengan baik. Seharusnya PKn tidak terpengaruh kepentingan rezim. PKn terkait dengan state dan citizen. Di negara maju pengajar PKn punya kebanggaan, sementara di Indonesia masih termarjinalkan, belum dianggap penting oleh masyarakat. wawancara 8 Juli 2011.

e. PKn dalam Kurikulum 1984

Menurut Darmaningtyas 2004: 72, Kurikulum 1975 belum genap berusia sepuluh tahun sudah diubah ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Nugroho Notosusanto diganti dengan Kurikulum 1984. Salah satu hal yang menonjol dari Kurikulum 1984 itu adalah dimasukkannya pelajaran PSPB Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai pelajaran wajib dari TK-SMTA, baik sekolah umum maupun kejuruan. Ide dasar Menteri Nugroho mengadakan pelajaran PSPB itu adalah 282 agar murid mengenal bangsanya sendiri dengan lebih baik, dan mengambil pelajaran dari sejarah tersebut. Oleh sebab itu, pelajaran sejarah tidak hanya dihapal, melainkan dibuat yang menarik agar bisa menumbuhkan semangat kebangsaan. Berikut ini pendapat Husain Haikal mengenai munculnya PSPB: Materi baru itu menimbulkan kontroversi karena dinilai tumpang tindih dengan pelajaran IPS, Sejarah Nasional, dan PMP yang kesemuanya bicara soal kepahlawanan nasional. Dan tentu pahlawan nasional disana lebih banyak didominasi oleh orang-orang bersenjata, bukan oleh para pemikir yang juga menjadi founding fathers negeri ini. wawancara, 7 Juli 2011. Fuad Hassan yang diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 30 Juli 1985 menggantikan Menteri Nugroho Notosusanto yang meninggal dunia tanggal 3 Juni 1985 dan selama masa kosong itu Menteri P dan K dijabat oleh JB Sumarlin yang pada saat itu menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, mengakui adanya tumpang tindih antara PSPB, Sejarah Nasional, dan PMP. Kepada Pers ia mengatakan: Terus terang saya katakan, saat ini terjadi tumpang tindih antara P4, PSPB, PMP, dan Sejarah Nasional. Tumpang tindih tersebut akan mengakibatkan hilangnya waktu yang bisa dipakai untuk keperluan lain, atau mendesak mata pelajaran lain. Masalah yang timbul kemudian adalah, bagaimana menjabarkan itu secara kurikuler agar tidak tumpang tindih, baik horisontal maupun vertikal. Tumpang tindih horisantal adalah pemberian materi yang sama pada satu jenjang pendidikan. Jadi bahan yang sama terus diulang-ulang pada empat pelajaran yang berlainan. Tumpang tindih vertikal adalah pemberian bahan atau materi yang sama pada jenjang yang tidak sama. Baik pengulangan horisontal maupun vertikal mempunyai dampak yang kurang baik. Kompas, 209 1985 dalam Darmaningtyas, 2004: 74 Tampilnya Fuad Hassan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu sedikit mengurangi ketegangan antara sejarawan yang pro kekuasaan dan sejarawan yang kritis, karena Menteri Fuad Hassan berupaya menggabungkan materi PSPB dengan materi Sejarah Nasional dan PMP itu merupakan bentuk jalan tengah yang 283 dapat ditempuh oleh Menteri Fuad Hassan untuk mengurangi kontroversi yang ada di masyarakat Darmaningtyas, 2004: 74. Hasil wawancara dengan Ekram Pawiroputro menyatakan adanya kecenderungan sebagai berikut: “Buku-buku teks wajib mata pelajaran PPKn dalam Kurikulum 1984, sangat dominan materi P-4nya, peran BP-7 juga sangat menonjol. Secara substansial baik PMP maupun PPKn menjadikan P-4 sebagai materi pokoknya”. wawancara, 20 Desember 2010. Pokok-pokok bahasan buku teks wajib PPKn secara umum dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai gambaran dapat dilihat pada perbandingan dalam tabel berikut ini: Tabel 41 Pokok Bahasan dalam Buku Teks Wajib PMP untuk SLTA Kelas Bab Buku Teks PMP sebagai Pokok Bahasan I I. Membina Kehidupan Berketuhanan Yang Maha Esa II. Membina Persahabatan Antar Bangsa III. Menggalang Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia IV. Memupuk Semangat Proklamasi dan Nilai-nilai 45 V. Ujian dan Kesaktian Pancasila VI. Kebangkitan Orde Baru VII. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia VIII.Sistem Pemerintahan di Indonesia IX. Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia X. Mewujudkan Kemajuan yang Merata dan Kewajiban Sosial II I. Pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa II. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Asasi Manusia Menurut UUD 1945 III. Menggalang Persahabatan Antar Bangsa 284 IV. Pengamalan Sila Persatuan Indonesia V. Pengamalan Demokrasi Pancasila VI. Pancasila Sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum VII. Pengamalan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia VIII. Teknologi dan Pembangunan IX. Kelestarian Hidup Bangsa Indonesia Sumber: Sofyan Aman, dkk. 1982. Pedoman Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila. Jakarta: PN Balai Pustaka. Halaman: 24-25.

f. PKn dalam Kurikulum 1994

Menurut Kosasih Djahiri 1997:2, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn Kurikulum 1994 adalah merupakan: ”Wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku melalui kehidupan sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, warganegara, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku-perilaku yang dimaksud di atas adalah perilaku seperti yang tercantum di dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 39 Ayat 2, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dalam masyarakat yang beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan dapat di atasi melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Kosasih Djahiri, 1997: 2. Di samping hal-hal di atas, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga dimaksudkan sebagai usaha untuk membekali siswa dengan budi pekerti, pengetahuan, dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara sesama warganegara, serta antara warga negara dan negara. 285 Lebih lanjut Kosasih Djahiri 1997: 4, menyatakan bahwa fungsi PPKn dalam Kurikukum 1994 adalah sebagai berikut: ”Pertama, melestarikan dan mengembangkan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka, yaitu bahwa nilai moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Kedua, mengembangkan dan membina siswa menuju manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik, hukum, dan konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antara sesama warga negara, antara warganegara dan negara, dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warganegara. Membekali siswa dengan sikap dan perilaku yang berdasarkan nilai-nilai moral Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari” Kosasih Djahiri, 1997: 4. Selanjutnya tujuan PPKn dalam Kurikulum 1994 dirumuskan sebagai berikut: ”Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan mengahayati nilai-nilai Pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan perilaku sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga negara yang bertanggungjawab, serta memberi bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di jenjang pendidikan berikutnya yang lebih tinggi. Siswa diharapkan memiliki: 1 Kemampuan memperhitungkan berbagai kemungkinan keadaan, kejadian dan atau sikap perilaku berlandaskan kelayakan nilai moral dan norma Pancasila dan UUD 1945. 2 Kemampuan menghayati dan menyadari perlunya nilai moral dan norma Pancasila dan UUD 1945 yang dijadikan dasar pertimbangan dari setiap kegiatan terhadap sesuatu. 3 Peningkatan pengamalan sejumlah sikap, perilaku terpuji serta sesuai dengan nilai moral dan norma Pancasila dan UUD 1945”. Kosasih Djahiri, 1997: 4. Menurut Samsuri 2010: 133, setelah dilakukan identifikasi terhadap topik- topik materi PPKn dalam Kurikulum 1994, maka hasilnya adalah sebagai berikut: 286 Tabel 42 Materi PPKn Kurikulum 1994 1. Kerapihan 27. Tenggang rasa 53. Pengendalian diri 2. Kasih sayang 28. Ketekunan 54. Lapang dada 3. Kebanggaan 29. Kerjasama 55. Persatuan dan kesatuan 4. Ketertiban 30. Persamaan derajat 56. Kebijaksanaan 5. Tolong menolong 31. Musyawarah 57. Berjiwa besar 6. Kerukunan 32. Keikhlasan 58. Kepedulian 7. Keberanian 33. Pengabdian 59. Cinta tanah air 8. Kebersihankesehatan 34. Kecermatan 60. Harga menghargai 9. Hidup hemat 35. Keserasian 61. Ketakwaan 10. Keadilan 36. Percaya diri 62. Bekerja keras 11. Ketaatan 37. Kebebasan 63. Kesadaran 12. Belas kasih 38. Saling menghormati 64. Kekerabatan 13. Kesetiaan 39. Kemanusiaan 65. Harga diri 14. Kepatuhan 40. Tanggung jawab 66. Martabat dan harga diri 15. Hormat menghormati 41. Kepentingan umum 67. Kedaulatan 16. Keyakinan 42. Keindahan 68. Kesanggupan 17. Berterus terang 43. Keingin-tahuan 69. Kesatuan 18. Kepuasan hati 44. Kesiap-siagaan 70. Pengaturan 19. Keimanan 45. Kejujuran 71. Toleransi 20. Kesederhanaan 46. Persamaan hak Kewajiban 72. Patriotisme 21. Rela berkorban 47. Keteguhan hati 73. Keselarasan 22. Kedisiplinan 48. Tata krama 74. Kewaspadaan 23. Kekeluargaan 49. Ketahanan 75. Keramah-tamahan 24. Menghargai 50. Kerajinan 76. Demokrasi Pancasila 25. Kemurahan hati 51. Ketulusan 77. Kecintaan 26. Gotong royong 52. Kepahlawanan 78. Kebulatan tekad Sumber: Boediono dalam Samsuri, 2010: 133. PPKn berupaya membina keutuhan, kebulatan, dan kesinambungan dalam wujud pembinaan konsep nilai dan moral Pancasila sehingga terbentuk manusia Indonesia seutuhnya yang serasi, selaras, dan seimbang dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai yang dikembangkan didasarkan atas nilai-nilai dasar Pancasila yang termuat dalam butir-butir P4, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam nilai-nilai instrumental yang dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap, yang mengiringi perkembangan perilaku siswa. Nilai-nilai dasar 287 yang dimaksud adalah keimanan dan ketakwaan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan dan kesatuan, serta keadilan sosial. Materi pelajaran PMP juga mengalami perubahan sedikit menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Di sini unsur Pendidikan Kewarganegaraan mulai dimasukkan. Materi PSPB yang dalam Kurikulum 1984 menjadi mata pelajaran tersendiri, juga resmi dihapuskan dan tidak ada lagi. Menteri Pendidikan Wardiman Djajonegoro juga mengubah sistem semester menjadi catur wulan, dan mengganti sebutan SMP menjadi SLTP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dengan alasan dalam konsep Wajib Belajar Sembilan Tahun, SMP bukan bagian dari sekolah menengah, tapi masuk dalam kategori pendidikan dasar. Selain mengubah nama SMP menjadi SLTP, juga mengubah sebutan untuk jenis pendidikan menengah menjadi dua saja, yaitu SMU Sekolah Menengah Umum sebagai pengganti SMA dan SMK Sekolah Menengah Kejuruan untuk mengganti STM, SMEA, SMKK, SPMA, SMIK, dan sebagainya. Dibawah ini dilampirkan tabel susunan program pengajaran Kurikulum 1994 dari SD-SMA. Tabel 43 Susunan Program Pengajaran pada Kurikulum SD 1994 No MATA PELAJARAN KL I KL II KL III KL IV KL V KL VI 1 PPKn 2 2 2 2 2 2 2 Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2 3 Bahasa Indonesia 10 10 10 8 8 8 4 Matematika 10 10 10 8 8 8 5 Ilmu Pengetahuan Alam - - 3 6 6 6 6 Ilmu Pengetahuan Sosial - - 3 5 5 5 7 Kerajinan dan Kesenian 2 2 2 2 2 2 8 Pendidikan Jasmani 2 2 2 2 2 2 9 Bahasa Inggris - - - - - - 10 Muatan Lokal 2 2 4 5 7 7 JUMLAH 30 30 38 40 42 42 Sumber Darmaningtyas, 2004: 79. Darmaningtyas. 2004. Pendidikan yang memiskinkan. Yogyakarta: Penerbit Galang Press. 288 PPKn hanya mendapat alokasi waktu 2 jam setiap minggu. Berdasarkan tabel di atas, kita dapat melihat ketimpangan dalam distribusi alokasi waktu untuk masing- masing pelajaran. Tabel 44 Susunan Program Pengajaran pada Kurikulum SMP 1994 No MATA PELAJARAN KL I KL II KL III 1 PPKn 2 2 2 2 Pendidikan Agama 2 2 2 3 Bahasa Indonesia 6 6 6 4 Matematika 6 6 6 5 Ilmu Pengetahuan Alam 6 6 6 6 Ilmu Pengetahuan Sosial 6 6 6 7 Kerajinan dan Kesenian 2 2 2 8 Pendidikan Jasmani 2 2 2 9 Bahasa Inggris 4 4 4 10 Muatan Lokal 6 6 6 JUMLAH 42 42 42 Sumber Darmaningtyas, 2004: 80. Darmaningtyas. 2004. Pendidikan yang memiskinkan. Yogyakarta: Penerbit Galang Press. Untuk SMP dan SMA, PPKn juga hanya mendapat alokasi waktu 2 jam setiap minggu. Di tingkat SMP dan SMA mata pelajaran yang memperoleh jam cukup banyak adalah mata pelajaran keilmuan, seperti Matematika, IPA, dan IPS. Sedangkan Pendidikan Agama, dan PPKn masing-masing hanya 2 jam pelajaran per minggu. Tabel 45 Susunan Program Pengajaran pada Kurikulum SMA 1994 Kelas I dan Kelas II No MATA PELAJARAN KL I KL II 1 PPKn 2 2 2 Pendidikan Agama 2 2 3 Bahasa Indonesia 6 6 4 Matematika 6 6 5 Ilmu Pengetahuan Alam 6 6 6 Ilmu Pengetahuan Sosial 6 6 7 Kerajinan dan Kesenian 2 2 8 Pendidikan Jasmani 2 2 9 Bahasa Inggris 4 4 10 Muatan Lokal 6 6 JUMLAH 42 42 Sumber: Darmaningtyas, 2004: 80. 289 Menurut Muchson belum ada perubahan yang signifikan antara Kurikulum 1994 dengan Suplemen GBPP 1999 PPKn: Materi PPKn dalam Kurikulum 1994 maupun Suplemen GBPP 1999 Pendidikan Kewarganegaraan, masih nampak sebagai pelajaran budi pekerti, jika dilihat dari topik-topik pokok bahasannya. Konsep keilmuan yang hendak dibangun dari PPKn sebagai Pendidikan Kewarganegaraan menjadi tidak tampak. wawancara, 15 Desember 2010. Tabel 46 Konsep Nilai, Moral, dan Norma Pancasila dalam GBPP PPKn SMA dan Pola Penyebaran serta Acuan Pengembangannya Sila-Sila Pancasila Pokok Bahasan Kelas I Pokok Bahasan Kelas II Pokok Bahasan Kelas III Sila kesatu 1. Toleransi 4. Ketaqwaan 7. Kerukunan 2. Kerukunan 5. Saling menghormati 8. Nilai luhur 3. Keselarasan 6. Kerjasama 9. Keyakinan Sila Kedua 10. Menghargai 13. Keramah tamahan 16. Keadilan dan kebenaran 11. Persamaan derajat dan martabat 14. Keserasian hidup 17. Kecintaan 12. Kasih sayang 15. Martabat dan harga Diri 18. Tenggang rasa Sila Ketiga 19. Cinta tanah air 22. Kesatuan 25. Kebanggaan 20. Patriotisme 23. Kesetiaan 26. Kebulatan tekad 21. Kewaspadaan 24. Kesatuan dan Persatuan 27. Kesetiaan Sila Keempat 28. Kebijaksanaan 31. Keikhlasan dan Kejujuran 34. Ketaatan 29. Musyawarah 32. Tanggung jawab 35. Keikhlasan 30. Ketertiban 33. Nilai lebih demokrasi Pancasila 36. Pengendalian diri Sila Kelima 37. Pengabdian 40. Kedisiplinan 43. Keadilan sosial 38. Kegotong Royongan 41. Kesederhanaan 44. Bekerja sama 39. Kepentingan Umum 42. Kecermatan dan hidup hemat 45. Tolong Menolong Sumber: Kosasih Djahiri dan A. Azis Wahab. 1996. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral. Jakarta: Depdikbud. Ditjen Dikti Proyek Pendidikan Tenaga Akademik, halaman 85. 290 Akibat dari model Pendidikan Kewarganegaraan yang menonjolkan kepentingan rezim ialah mata pelajaran PMP atau PPKn menjadi sangat tidak menarik, fomalistik, proses pembelajaran tidak banyak melahirkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis terhadap sistem politik pemerintahnya.

f. Dinamika PKn Orde Baru

Berikut ini adalah tabel dinamika posisi Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah pada Era Orde Baru: Tabel 47 Perubahan Posisi Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah pada Era Orde Baru Kuri- Kulum Sekolah Kelompok Mata Pelajaran 1968 SMA Kelas II dan III jurusan Budaya Dasar Kewarganegaraan , Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan AgamaBudi Pekerti, Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Kesehatan Khusus Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, Sejarah, Ilmu Bumi, Antropologi Budaya, Bahasa Kawi, Bahasa Inggris, Ekonomi dan Koperasi Penyerta Prakarya Krida Krida 1968 SD Pembinaan Jiwa Pancasila Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Bahasa Indonesia I, Bahasa Daerah, Pendidikan Olah Raga Pembinaan Pengetahuan Dasar Berhitung, Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Pembinaan Kecakapan Khusus Pendidikan Khusus Agraria, Teknik, dan KetatalaksanaanJasa 1968 Rencana Pendidikan SMP Pembinaan Jiwa Pancasila Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Bahasa Indonesia I, Pendidikan Olah Raga Pembinaan Pengetahuan Dasar Bahasa Indonesia II, Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar Pembinaan Kecakapan Khusus Administrasi, Kesenian, Prakarya, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga 1975 SMA Pembinaan Jiwa Pancasila Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara, Bahasa Indonesia I, Pendidikan Olah Raga Pembinaan Pengetahuan Dasar Sejarah, Geografi, Ilmu Pasti, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi dan Koperasi, Menggambar, Bahasa Inggris Pembinaan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Prakarya 291 Kecakapan Khusus Pilihan: Kesenian, Bahasa, Keterampilan dan lain- lain 1975 SDMI Pembinaan Jiwa Pancasila Pendidikan Agama, PMP, Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Pendidikan Olah Raga Pembinaan Pengetahuan Dasar Berhitung, IPA, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Pembinaan Kecakapan Khusus Pendidikan Kejuruan Agraria, Teknik, dan KetatalaksanaanJasa 1975 SMPMTs Pendidikan Umum Pendidikan Agama, PMP, Olah RagaKesehatan, Pendidikan Kesenian Pendidikan Akademis Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPS, Matematika, IPA Pendidikan Ketramp. Pilihan Pra-Vokasional, Pilihan Penunjang 1984 SMAMA Pendidikan Umum Pendidikan Agama, PMP, Olah RagaKesehatan, Pendidikan Kesenian Pendidikan Akademis Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, IPS Pendidikan Keterampilan Pendidikan Keterampilan 1984 SDMI Pendidikan Umum Pendidikan Agama, PMP, PSPB, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Kesenian Pendidikan Akademis Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, IPS, Matematika, IPA Pendidikan Ketramp. Pendidikan Keterampilan 1984 SMPMTs Pendidikan Umum Pendidikan Agama, PMP, PSPB, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Kesenian Pendidikan Akademis Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, IPS, Matematika, IPA, Biologi, Fisika Pendidikan Ketramp. Pendidikan Keterampilan 1994 SMAMA Jurusan A1 atau Fisika Program Inti Pendidikan Agama, PMP, PSPB, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia dan Sejarah Dunia, Ekonomi, Geografi, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Bahasa Inggris Program Pilihan Metematika, Biologi, Fisika, Kimia, Bhs. Inggris 1994 SD dan SLTP MI dan MTs Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris dan Muatan Lokal SMAMA Umum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan , Pendidikan Agama, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA: Fisika, Kimia, Biologi. IPS: Ekonomi, Sosiologi, Geografi, dan Seni Khusus: Program Bahasa Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Asing lain, Sejarah Budaya Program IPA Fisika, Biologi, Kimia, Matematika Program IPS Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Antropologi Diolah dari berbagai sumber Kurikulum 1952 sampai dengan Kurikulum 1994 Abd. Rachman Assegaf, 2005: 154-160. 292 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa: pertama, pengelompokan mata pelajaran berubah-ubah pada tiap kurikulum yang diberlakukan. Pada era Orde Baru setelah PKI dibubarkan, pendidikan diarahkan kepada pemurnian Pancasila, maka mata pelajarannya pun dirubah berdasarkan pengelompokan pembinaan jiwa Pancasila, pembinaan pengetahuan dasar, dan pembinaan kecakapan khusus. Perubahan pola pengelompokan mata pelajaran masih terus berlanjut pada kurikulum 1975, pada saat dimana status madrasah sejajar dengan sekolah. Pada kurikulum ini mata pelajaran dikelompokkan dalam tiga bagian: pendidikan umum, pendidikan akademis, dan pendidikan keterampilan, dan hal ini berlaku sampai dengan Kurikulum 1984 untuk SDMI dan SMPMTs. Akan tetapi, di SMAMA mata pelajarannya dikelompokkan dalam bagian program inti dan program pilihan dengan pola penjurusan A1, A2, A3, A4, dan A5. Perubahan selanjutnya dilakukan lagi pada kurikulum 1994, dimana pengelompokan mata pelajaran didasarkan pada dua bagian, umum dan khusus, sementara pola penjurusan di SMUMA kembali mengikuti Kurikulum 1975, yakni Bahasa, IPA, dan IPS.

g. Makna PKn Orde Baru

Makna Pendidikan Kewarganegaraan pada era Orde Baru adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya, manusia pembangunan, manusia yang berjiwa Pancasila dan UUD 1945. Ekonomi Indonesia pada era Orde Baru mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, ditunjang oleh stabilitas nasional yang mantap. Trilogi pembangunan dicanangkan, yakni pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan stabilitas nasional. Namun sayang dalam implementasinya aspek 293 pemerataan agak terabaikan. Dampaknya ekonomi tumbuh pesat, stabilitas mantap, tapi kesenjangan untuk menikmati hasil pembangunan terjadi, ditambah korupsi juga merajalela. Pendidikan Kewarganegaraan pada era Orde Baru memiliki visi untuk mendukung penguatan negara. Adapun misinya adalah membentuk warga negara yang baik dengan ciri, patuh kepada rezim, pendukung setia status quo. Substansi materi didominasi oleh nilai-nilai moral P-4 sebagai tafsiran tunggal rezim. Strategi pembelajarannya menggunakan motode indoktrinasi dan hegemoni. Memiliki ciri- ciri kurang jelas akar keilmuannya, ada intervensi rezim untuk menitipkan kepentingannya, cenderung mengikuti kepentingan rezim, tampak jelas adanya indoktrinasi, ada kesenjangan antara yang diajarkan dengan yang terjadi di masyarakat. 3. Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Era Reformasi Reformasi bertujuan untuk membangun masyarakat madani, masyarakat Indonesia yang demokratis dan religius, yang tidak otoriter dan hegemonik. Orde Lama dan Orde Baru telah memberi pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia untuk tidak lagi mengulangi pemerintahan yang otoriter dan hegemonik bagi rakyatnya. Pendidikan Kewarganegaraan memiliki kontribusi yang cukup besar dalam membentuk masyarakat madani yang demokratis. Seiring dengan hal itu, maka kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan harus disesuaikan dengan era yang sedang berubah, yakni era reformasi. 294

a. PKn dalam Kurikulum Suplemen 1999

Reformasi tahun 1998 membawa dampak bagi Pendidikan Kewarganegaraan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Menurut Ekram Pawiroputro GBPP PPKn 1994 sudah dilaksanakan hampir 5 tahun, maka perlu direvisi. Pada era Reformasi, GBPP PPKn 1994 banyak mendapat kritik, dan komentar yang dilontarkan oleh para ahli, praktisi, dan masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan penyempurnaan terhadap GBPP PPKn 1994 tersebut. Penyempurnaan GBPP PPKn dilakukan dengan maksud untuk: 1 meningkatkan efektifitas dan kualitas pembelajaran dan 2 meningkatkan hasil belajar siswa. wawancara, 20 Desember 2010. Perwujudan dari prinsip itu di dalam GBPP ditampakkan dalam pemunculan butir-butir dalam ungkapan yang sama atau serupa. Keadaaan ini kelihatannya belum sepenuhnya dipahami oleh para pelaksana kurikulum di lapangan. Selain itu juga ternyata pembahasan materi tersebut dalam buku pelajaran belum mencerminkan artikulasi materi yang sesungguhnya. Dampaknya bagi pelaksanaan di lapangan ternyata banyak para guru yang merasakan adanya kesulitan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk mengkaji seberapa jauh GBPP PPKn mengandung masalah-masalah yang berkenaan dengan pengorganisasian isi dan pengalaman belajar. Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengadakan serangkaian kegiatan untuk mengkaji GBPP PPKn. Kegiatan ini melibatkan para ahli Mata Pelajaran PPKn, pengembang kurikulum, dan guru-guru PPKn. Menurut Ekram Pawiroputro pengkajian GBPP dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: 295 “1 Menelaah hasil pengkajian kurikulum pendidikan dasar dan menengah sebagai dasar untuk melihat permasalahan dalam dokumen dan pelaksanaan kurikulum PPKn. 2 Mengkaji GBPP PPKn dalam rangka merumuskan perbaikan GBPP dengan menggunakan format suplemen perbaikan GBPP yang didalamnya memuat hasil pengkajian. 3 Membahas usulan perbaikan GBPP tersebut dengan cara mendiskusikan masing-masing perbaikan guna mendapatkan kesepakatan mengenai isi suplemen GBPP tersebut. 4 Memfinalisasi usulan suplemen penyempurnaanpenyesuaian GBPP PPKn untuk masing-masing jenjang persekolahan”, wawancara, 20 Desember 2010. Lebih lanjut menurut Ekram Pawiroputro, dari kegiatan pengkajian tersebut diperoleh GBPP PPKn yang disempurnakan sebagai berikut: 1 Untuk pokok bahasan yang mirip atau sama diperbaiki dengan cara menggabungkan pokok bahasan tersebut beserta uraian materinya pada kelas yang lebih tinggi atau yang rendah. 2 Untuk pokok bahasan yang tidak relevan dengan perkembangan jaman ditunda pelaksanaannya sampai dengan adanya keputusan lebih lanjut dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Menyadari begitu cepatnya perkembangan masyarakat di satu pihak sifat GBPP serta Buku Teks yang cenderung lambat berubah memungkinkan terjadinya kesenjangan antara apa yang tertulis dalam GBPP atau Buku Teks dengan tuntutan perubahan dalam masyarakat. Untuk menjaga agar pembelajaran PPKn menarik dan menantang perlu diperkenalkan materi- materi dan proses pembelajaran yang berdimensi konflik atau kontroversial sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis”, wawancara, 20 Desember 2010. Dengan berkurangnya beberapa pokok bahasan pada catur wulan dan kelas-kelas tertentu maka PPKn tidak lagi hanya diajarkan bentuk hafalankognitif tetapi dikerjakan pembiasaan. Oleh karena itu guru perlu berupaya membangun lingkungan dan iklim belajar yang demokratis sebagai miniatur kehidupan masyarakat demokratis sehingga memungkinkan konsep, prinsip, dan nilai-nilai demokrasi dapat dipelajari, dicerna, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Untuk mendukung pembelajaran PPKn digunakan aneka ragam sumber belajar yang memungkinkan guru dan siswa dapat memilih secara kritis dan menggunakan 296 secara kreatif sumber informasi yang relevan. Pengkajian GBPP PPKn menghasilkan kesepakatan sebagai berikut: Tabel 48 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SMU Kelas I KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN I1 1. Toleransi 2. Menghargai 3. Cinta tanah air 4. Kebijaksanaan 5. Pengabdian Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Ditunda sampai dengan adanya rujukan. I2 1. Kerukunan 2. Persamaan derajat 3. Patriotisme 4. Musyawarah 5. Gotong royong Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas II1 Ditunda sampai dengan adanya rujukan. I3 1. Keselarasan 2. Kasih sayang 3. Kewaspadaan 4. Ketertiban 5. Kepentingan umum Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Materi tidak cocok untuk siswa SMU Ditunda samapai dengan adanya rujukan. Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada lima pokok bahasan yang tidak diajarkan di SMA kelas I yaitu: Kebijaksanaan, Kerukunan, Musyawarah, Kasih Sayang, dan Kewaspadaan. Kelima pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan materi sudah tidak cocok lagi, serta ditunda sampai adanya rujukan. 297 Tabel 49 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SMU Kelas II KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN II1 1. Ketaqwaan 2. Keramah-tamahan 3. Kesatuan 4. Keikhlasan 5. Kedisiplinan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan II2 1. Saling menghormati 2. Keserasian 3. Kesetiaan 4. Tanggung jawab 5. Kesederhanaan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan II3 1. Kerjasama 2. Martabat dan harga diri 3. Persatuan dan kesatuan 4. Demokrasi Pancasila 5. Kecermatan dan hidup Hemat Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tidak diajarkan Tidak diajarkan Ditunda sampai adanya rujukan. Ditunda sampai adanya rujukan. Ditunda sampai adanya rujukan. Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada tiga pokok bahasan yang tidak diajarkan di SMA kelas II yaitu: Persatuan dan Kesatuan, Demokrasi Pancasila, Kecermatan dan Hidup Hemat. Ketiga pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ditunda sampai adanya rujukan. 298 Tabel 50 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SMU Kelas III KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN III1 1. Kerukunan 2. Keadilan dan kebenaran 3. Kebanggaan 4. Ketaatan 5. Keadilan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas I2 dan III2. Ditunda sampai adanya rujukan III2 1. Kerukunan 2. Kecintaan 3. Kebulatan tekad 4. Keikhlasan 5. Bekerjasa Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas III1 Ditunda sampai adanya rujukan Ditunda sampai adanya rujukan III3 1. Keyakinan 2. Tenggang rasa 3. Kesetiaan 4. Pengendalian diri 5. Tolong menolong Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Dipindah ke kelas III2 Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada empat pokok bahasan yang tidak diajarkan di SMA kelas III yaitu: Keadilan dan Kebenaran, Kerukunan, Kebulatan Tekad, dan Keikhlasan. Keempat pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas III dan ada yang ditunda sampai adanya rujukan. 299 Tabel 51 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SLTP Kelas I KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN I1 1. Ketaqwaan 2. Persamaan derajat 3. Cinta tanah air 4. Musyawarah 5. Bekerja keras 6. Pengabdian Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas I3 Penggabungan dari kelas I2 Ditunda samapi adanya rujukan. I2 1. Tenggang rasa 2. Kesadaran 3. Cinta tanah air 4. Musyawarah 5. Gotong royong Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tidak diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas II1 Digabung dengan kelas I1 Ditunda sampai adanya rujukan. I3 1. Keyakinan 2. Persamaan derajad 3.Persatuan dan kesatuan 4. Rela berkorban 5. Keadilan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Digabung dengan kelas III1 Digabung dengan kelas III1 Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada tujuh pokok bahasan yang tidak diajarkan di SLTP kelas I yaitu: Persamaan Derajat, Musyawarah, Kesadaran, Cinta Tanah Air, Musyawarah, Keyakinan, dan Rela Berkorban. Ketujuh pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas I, II, dan III, serta ada yang ditunda sampai adanya rujukan. 300 Tabel 52 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SLTP Kelas II KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN II1 1. Keyakinan 2. Kesadaran 3.Persatuan dan kesatuan 4. Musyawarah Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan II2 1. Kerja sama 2. Kekerabatan 3. Kesetiaan 4. Tanggung Jawab 5. Kesederhanaan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Ditunda sampai adanya rujukan. Digabung dengan kelas II1 II3 1. Kebersihan 2.Saling menghargai 3. Rela berkorban 4. Kedisiplinan 5. Pengendalian diri Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada satu pokok bahasan yang tidak diajarkan di SLTP kelas II yaitu: Tanggung Jawab. Satu pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999, dengan alasan ditunda sampai adanya rujukan. 301 Tabel 53 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SLTP Kelas III KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN III1 1. Ketaatan 2. Kepedulian 3. Kesadaran 4. Kepatuhan 5. Keadilan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas III2 Penggabungan dari kelas I3 III2 1. Kerukunan 2. Persamaan derajat 3. Kedaulatan 4. Kesadaran 5. Kesanggupan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas III1 III3 1. Ketaatan 2. Kesadaran 3. Kesatuan 4. Pengaturan 5. Hormat menghormati Tidak diajarkan Tidak diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas III1 Digabung dengan kelas II1 Ditunda sampai adanya rujukan. Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada empat pokok bahasan yang tidak diajarkan di SLTP kelas III yaitu: Persamaan Derajat, Ketaatan, Kesadaran, Kesatuan. Keempat pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas II, dan III, serta ada yang ditunda sampai adanya rujukan. 302 Tabel 54 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas I KELASC AWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN I1 1. Kerapihan 2. Kasih sayang 3. Kebanggaan 4. Ketertiban 5. Tolong menolong Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Digabung dengan kelas II1 Penggabungan dari kelas III1 dan V2 Digabung dengan kelas V3 Ditunda sampai adanya rujukan. I2 1. Kerukunan 2. Keberanian 3. Kebersihan 4. Hidup hemat 5. Keadilan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas VI3 I3 1. Ketaatan 2. Belas kasih 3. Kesetiaan 4. Kepatuhan 5.Hormatmenghormati Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas V1 Penggabungan dari kelas II3 Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada empat pokok bahasan yang tidak diajarkan di SD kelas I yaitu: Kasih Sayang, Tolong Menolong, Kerukunan, dan Ketaatan. Keempat pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas II, V, dan VI, serta ada yang ditunda sampai adanya rujukan. 303 Tabel 55 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas II KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN II1 1. Keyakinan 2. Kasih sayang 3. Berterus terang 4. Kepuasan hati 5. Ketertiban Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan Kelas III1 Penggabungan dari kelas I1 Digabung dengan kelas III2 II2 1. Keimanan 2. Kesederhanaan 3. Rela berkorban 4. Kedisiplinan 5. Kekeluargaan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Digabung dengan kelas III1 Digabung dengan kelas III2 II3 1. Menghargai 2. Kemurahan hati 3. Kerukunan 4. Kepatuhan 5. Gotong royong 6. Kerjasama Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas I3 Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada lima pokok bahasan yang tidak diajarkan di SD kelas II yaitu: Keyakinan, Berterus Terang, Rela Berkorban, Kekeluargaan, dan Gotong Royong. Kelima pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas III. 304 Tabel 56 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas III KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN III1 1. Keyakinan 2. Tenggang rasa 3. Rela berkorban 4. Ketertiban 5. Ketekunan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas II1 Digabung dengan kelas IV1 Penggabungan dari kelas II2 Digabung dengan kelas I1 Penggabungan dari kelas IV3 dan VI1 III2 1. Kerja sama 2. Persamaan derajat 3. Berterus terang 4. Musyawarah 5. Kekeluargaan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas II1 Ditunda sampai adanya rujukan. Penggabungan dari kelas II2 III3 1. Tenggang rasa 2. Keikhlasan 3. Keberanian 4. Pengabdian 5. Kecermatan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas V2 Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada tiga pokok bahasan yang tidak diajarkan di SD kelas III yaitu: Tenggang Rasa, Ketertiban, dan Musyawarah. Ketiga pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas I, dan IV, serta ada yang ditunda sampai adanya rujukan. 305 Tabel 57 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas IV KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN IV1 1. Keserasian 2. Tenggang rasa 3. Percaya diri 4. Kebebasan 5. Kedisiplinan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas VI2 Penggabungan dari kelas III1 dan VI2 Digabung dengan kelas V1 IV2 1. Saling menghormati 2. Kemanusiaan 3. Kepuasan hati 4. Tanggung jawab 5. Kepentingan umum Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas VI IV3 1. Keindahan 2. Keinginan 3. Kesiapsiagaan 4. Kejujuran 5. Ketekunan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Digabung dengan kelas VI1 Digabung dengan kelas III1 Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada empat pokok bahasan yang tidak diajarkan di SD kelas IV yaitu: Keserasian, Kebebasan, Keindahan dan Ketekunan. Keempat pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas III, V, dan VI. 306 Tabel 58 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas V KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN V1 1. Ketaatan 2. Persamaan hak dan kewajiban 3. Keteguhan hati 4. Kebebasan 5. Tata krama Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas I3 Penggabungan dari kelas IV1 V2 1. Tenggang rasa 2. Percaya diri 3. Ketahanan 4. Ketertiban 5. Kerajinan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas III1 Digabung dengan kelas I1 V3 1. Kebersihan 2. Ketulusan 3. Kepahlawanan 4. Pengendalian diri 5. Tolong menolong Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Digabung dengan kelas VI2 Penggabungan dari kelas I1 Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada dua pokok bahasan yang tidak diajarkan di SD kelas V yaitu: Ketertiban, dan Pengendalian Diri. Kedua pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas I, dan VI. 307 Tabel 59 Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas VI KELAS CAWU PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS KETERANGAN VI1 1. Keindahan 2. Lapang dada 3. Persatuan dan kesatuan 4. Kebijaksanaan 5. Ketekunan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Penggabungan dari kelas IV3 Digabung dengan kelas IV2 VI2 1. Keserasihan 2. Tenggang rasa 3. Berjiwa besar 4. Pengendalian diri 5. Pengabdian Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas IV1 Digabung dengan kelas IV2 Penggabungan dari kelas V3 VI3 1. Kerukunan 2. Kepedulian 3. Cinta Tanah Air 4. Tanggung jawab 5. Harga menghargai Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tetap diajarkan Tidak diajarkan Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas I2 Digabung dengan kelas IV2 Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud. Ada tiga pokok bahasan yang tidak diajarkan di SD kelas VI yaitu: Ketekunan, Tenggang Rasa, dan Tanggung Jawab. Ketiga pokok bahasan tersebut tidak diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas IV.

b. PKn dalam KBK 2004

Tumbangnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, menyebabkan isi dan visi PKn perlu disesuaikan dengan semangat reformasi. Idealnya Pendidikan Kewarganegaraan untuk membentuk warga negara yang baik seharusnya bebas dari kepentingan politik yang sedang berlangsung. Dengan kata lain, bagaimana upaya 308 yang harus dilakukan agar kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan tidak tergantung kepada setiap perubahan politik rezim, tetapi mendasarkan diri pada politik negara. Dengan demikian, siapapun yang memerintah atau apapun program pemerintah, idealnya substansi kajian Pendidikan Kewarganegaraan tidak semata-mata mengikuti perubahan haluan politik yang ada. Center for Indonesian Civic Education CICED pada akhir tahun 1999 melakukan survey nasional untuk menggali pendapat dari kalangan pengajar PKn untuk menginventarisir arah perubahan PKn. Hasil survey nasional CICED menginventarisir pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dikembangkan dalam Civic Education adalah yang mengandung konsistensi dengan hal-hal berikut: 1 Principle of democracy; 2 Comprehend of state constitution; 3 Citizen’s right and responsibility; 4 State’s rule of law; 5 Good government; 6 Citizenship; 7 People sovereignity; 8 Free and fair tribune; 9 Equality and equity; 10 Justice; 11 Human rights; 12 Civilization; 13 Cultural difference; 14 Democratic process; 15 Citizenship activities; 16 Nation identity; 17 Civil society; 18 Free market economy; 19 Political process; 20 Separation\ distribution of power CICED, 1999: 12. Sebelum diperkenalkannya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada KBK 2004, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila PMP ataupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn didominasi oleh materi nilai-nilai moral Pancasila.Lebih lanjut menurut Samsuri, orientasi kajian dan tujuan PMP maupun PPKn lebih mirip sebagai pendidikan budi pekerti dari pada Pendidikan Kewarganegaraan yang sesungguhnya. Pendidikan Kewarganegaraan sering diidentikkan dengan pendidikan budi pekerti. Padahal semestinya kompetensi yang diharapkan dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah membentuk warga negara yang baik good citizen yakni sebagai warga negara demokratis yang bertanggung jawab dan 309 berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik negaranya. Pendidikan Kewarganegaraan pada era Orde Lama dan Orde Baru akhirnya hanya direduksi menjadi pelajaran untuk menghafalkan nilai-nilai moral, bagaimana harus berbuat baik, dan tidak berbuat buruk”. Samsuri, 2010: 6. Pendidikan Kewarganegaraan era Reformasi berdasar KBK 2004 ternyata juga menuai kritikan. Adapun kritik itu antara lain sebagai berikut: Oleh banyak kalangan Pendidikan Kewarganegaraan ini dinilai sangat kering dengan muatan nilai moral, khususnya nilai moral Pancasila, namun sarat dengan kajian konsep-konsep politik dan hukum. Sementara itu, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di lembaga pendidikan formal cenderung tercerabut dari akar konteks kehidupan siswa sebagai warga negara. Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan pada masa Orde Baru, terjebak sebagai alat kepentingan rezim, pengagungan harmoni selaras, serasi, dan seimbang, dengan menolak pengakuan terhadap perbedaan dan konflik. Ketika reformasi politik dan hukum nasional bergulir, paradigma Pendidikan Kewarganegaraan yang masih bercorak hegemonik cenderung menjadi tidak manarik dan termarjinalkan Samsuri, 2010: 6.

c. PKn dalam KTSP 2006

Secara substansial standar kompetensi dan kompetensi dasar Pendidikan Kewarganegaraan PKn dalam Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan KTSP 2006 tidak berbeda dengan isi dari PKn menurut KBK 2004. KTSP PKn disusun berdasar Standar Isi SK-KD PKn sebagai standar minimal yang bisa dikembangkan lagi oleh tiap satuan pendidikan. Dalam naskah lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi disebutkan bahwa: Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan rumusan dalam naskah Kurikulum 2004 menyatakan bahwa Kewarganegaraan Citizenship merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warganegara 310 Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Tujuan pendidikan Kewarganegaraan adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1 Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. 2 Berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi. 3 Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya. 4 Berinteraksi dengan bangsa- bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Misi dari Pendidikan Kewarganegaraan persekolahan dewasa ini dapat disimpulkan dari bagian pendahuluan pada naskah Standar Isi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai berikut: 1 Sebagai pendidikan wawasan kebangsaan, yang menyiapkan peserta didik agar memiliki pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat serta konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2 Sebagai pendidikan demokrasi, yang berusaha menyiapkan peserta didik agar memiliki dan mampu menjalankan hak-hak sebagai warga negara untuk menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 3 Berusaha menyiapkan peserta didik agar menjadi warga negara yang memiliki kesadaran bela negara, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, tanggungjawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, serta sikap dan perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Adapun ruang lingkup materi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam KTSP 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 311 1 Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan; Cinta lingkungan; Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia; Partisipasi dalam pembelaan negara; Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia; Keterbukaan dan jaminan keadilan. 2 Norma, hukum, dan peraturan meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga; Tata tertib sekolah; Norma yang berlaku di masyarakat; Peraturan-peraturan daerah; Norma- norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; Sistem hukum dan peradilan nasional; Hukum dan peradilan internasional. 3 Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak; Hak dan kewajiban anggota masyarakat; Instrumen nasional dan internasional HAM; Pemajuan dan penghormatan serta perlindungan HAM. 4 Kebutuhan warganegara meliputi: Hidup gotong royong; Harga diri sebagai warga masyarakat; Kebebasan berorganisasi; Kemerdekaan mengeluarkan pendapat; Menghargai keputusan bersama; Prestasi diri; Persamaan kedudukan warganegara. 5 Konstitusi negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama; Konstitusi- konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia; Hubungan dasar negara dengan konstitusi. 6 Kekuasaan dan politik meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan; Pemerintahan daerah dan otonomi; Pemerintahan pusat; Demokrasi dan sistem politik; Budaya politik; Budaya demokrasi menuju masyarakat madani; Sistem pemerintahan; Pers dalam masyarakat demokrasi. 7 Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara; Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara; Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari; Pancasila sebagai ideologi terbuka. 8 Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi; Hubungan internasional dan organisasi internasional; dan Mengevaluasi globalisasi. Winarno, 2006: 30. Ruang lingkup materi selanjutnya dituangkan dan dijabarkan dalam rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar SK-KD mata pelajaran PKn menurut jenjang, tingkat, dan semester. Suatu lingkup materi PKn akan terdapat dalam semua jenjang pendidikan yaitu SD, SMP dan SMA namun dengan rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berbeda. Misalnya, lingkup materi mengenai Pancasila akan terdapat baik pada jenjang SD, SMP, dan SMA dengan rumusan SK- KD yang berbeda. Standar kompetensi dan kompetensi dasar sebagai standar isi mata pelajaran PKn jenjang SD, SMP, SMA dan SMK terdapat dalam lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006. 312 Berdasarkan standar isi maka pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ini nantinya akan berlaku pada jenjang SD dan MI, SMP dan MTs, SMA dan MA serta jenjang SMK dan MAK. Hal demikian berbeda dengan Kurikulum 2004 yang memberlakukan Pendidikan Kewarganegaraan di SD dan SMP sebagai bagian dari Pengetahuan Sosial dengan nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial PKPS. Sedangkan pada jenjang SMKMAK diberlakukan mata diklat Kewarganegaraan dan Sejarah Winarno, 2006: 30.

d. Makna PKn Era Reformasi

Makna Pendidikan Kewarganegaraan era Reformasi adalah untuk membentuk manusia beriman dan bertaqwa, cerdas, mandiri, terampil dan demokratis serta religius. Pendidikan Kewarganegaraan pada era Reformasi memiliki visi untuk memberdayaan warga negara. Dengan misi untuk membentuk warganegara yang baik dengan ciri, aktif berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbudaya politik kewargaan, berpikir kritis dan kreatif. Substansi materi terdiri dari politik, hukum, dan moral. Strategi pembelajaran dialog kritis. Cirinya yang menonjol adalah, akar keilmuannya jelas, intervensi rezim sangat minim, memiliki otonomi keilmuan, berfungsi sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan hukum, dan pendidikan moral. Pada era reformasi ini Pendidikan Kewarganegaraan juga sedang dalam proses reformasi ke arah Pendidikan Kewarganegaraan dengan paradigma baru. Reformasi itu mulai dari aspek yang mendasar, yaitu reorientasi visi dan misi, revitalisasi fungsi dan peranan, hingga restrukturisasi isi kurikulum dan meteri pembelajaran.

e. Dinamika PKn Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi

313 Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinamika Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia sejak Orde Lama hingga era Reformasi adalah sebagai berikut: Tabel 60 Dinamika PKn Sejak Orde Lama hingga Era Reformasi Orde Lama Orde Baru Era Reformasi 1. Kurikulum 1947: mata pelajaran Civics belum dikenal. 1. Kurikulum 1968: Civics berubah nama menjadi Kewargaan Negara. 1. Kurikulum Suplemen 1999: materi P-4 dihilangkan dari PPKn. 2. Kurikulum SMP dan SMA 1957: terdapat mata pelajaran Tata Negara dan Tata Hukum yang di dalamnya dibahas konsep Kewarganegaraan. 2. Kurikulum 1975: Pendidikan Kewargaan Negara diganti nama menjadi Pendidikan Moral Pancasila PMP. 2. KBK 2004 : PPKn diganti nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan PKn. 3. Kurikulum SMA 1962: mata pelajaran Civics muncul untuk yang pertamakalinya. 4. Tahun 1978 lahir TAP MPR tentang P-4, materi PMP diberi tambahan P- 4. 3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP 2006: namanya tetap Pendidikan Kewarganegaraan PKn hingga sekarang. 5. Kurikulum 1984: PMP diganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn. 6. Kurikulum 1994: nama PPKn tetap dipertahankan dengan materi P-4 yang tetap dominan. Diolah dari berbagai sumber. Dinamika Pendidikan Kewarganegaraan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dapat diringkas sebagai berikut: 1 Kurikulum 1947 terdapat 314 mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan pengetahuan mengenai pemerintahan, namun mata pelajaran Civics belum dikenal. 2 Kurikulum untuk SMP dan SMA tahun 1957 terdapat mata pelajaran Tata Negara dan Tata Hukum yang di dalamnya dibahas konsep Kewarganegaraan khususnya mengenai status legal warganegara dan syarat-syarat kewarganegaraan. 3 Mata pelajaran Civics muncul pertamakali dalam kurikulum SMA 1962. 4 Tahun 1968 lahir Kurikulum 1968, Civics berubah nama menjadi Kewargaan Negara; 5 Tahun 1975 lahir Kurikulum 1975, Pendidikan Kewargaan Negara diganti nama menjadi Pendidikan Moral Pancasila PMP; 6 Tahun 1978 lahir TAP MPR tentang P-4, materi PMP diberi tambahan P-4 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. 7 Tahun 1984 lahir Kurikulum 1984, PMP diganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn, materi P-4 masih mendominasi. 8 Tahun 1994 lahir Kurikulum 1994, nama PPKn tetap dipertahankan dengan materi P-4 yang tetap dominan. 9 Tahun 1999, setelah reformasi TAP MPR tentang P-4 dicabut, keluar Kurikulum Suplemen 1999, materi P-4 dihilangkan dari PPKn. 10 Tahun 2004 lahir KBK, PPKn diganti nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan PKn. 11 Tahun 2006 KBK diadopsi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP namanya tetap Pendidikan Kewarganegaraan PKn hingga sekarang. 315

E. Pembahasan 1. Dinamika PKn Refleksi Politik Pendidikan dan Kurikulum

Setiap masyarakat di belahan bumi manapun sangat mendambakan generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat dan negaranya. Anak adalah warganegara yang sedang dalam proses, karena masih harus dididik menjadi warganegara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu masyarakat sangat mendambakan generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya. Tidak ada tugas yang lebih penting dari pengembangan warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Warga negara berakhlak mulia, berkarakter, bertanggung jawab, dan demokratis. Karena itu Pendidikan Kewarganegaraan menjadi penting. Ibarat pedang bermata dua menurut Dawson dan Cogan Samsuri, 2010: 18 Pendidikan Kewarganegaraan menjadi sarana penting untuk memelihara dan mentransformasikan nilai-nilai politik dari suatu sistem politik melalui proses pendidikan di sekolah. Namun Pendidikan Kewarganegaraan sering juga digunakan sebagai alat untuk memelihara kepentingan kekuasaan rezim dalam bentuk indoktrinasi serta hegemoni. Orde Lama, dan Orde Baru memiliki perhatian yang besar terhadap mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai kebijakan pendidikan, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan yang amat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan situasi politik dan kenegaraan pada era masing-masing. Jika dicermati setiap rezim sering menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai 316 “alat politik” bukan sebagai “alat pendidikan politik” yang didasari oleh nilai-nilai demokrasi, tetapi justru untuk mengarahkan dan mendominasi nilai-nilai yang memungkinkan sebuah rezim untuk mempertahankan kekuasaannya. Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga- lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga politik dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan M. Sirozi, 2001: 3. Adalah suatu fakta bahwa dalam praktek penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat dilatarbelakangi oleh filosofi, nilai, norma, ataupun suatu prinsip- prinsip yang dipilih oleh masyarakat atau pihak-pihak yang berkuasa di suatu negara. Negara yang merupakan institusi hasil kontrak sosial memiliki tugas memberi pelayanan terhadap warga negara, bekerja atas dasar filosofi, nilai ataupun prinsip- prinsip yang terpilih tersebut. Hal ini terjadi sebab proses dan praktek pendidikan merupakan bagian dari bentuk aktualisasi atas keinginan-keinginan masyarakat dalam mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan social ideals. Untuk mewujudkan “social ideals” tersebut maka pihak penyelenggara 317 pendidikan pada prinsipnya mempunyai dua peran penting. Pertama, proses pendidikan sebagai lembaga yang mentransmisikan nilai-nilai, sistem sosial, maupun struktur sosial yang ada. Kedua, tujuan yang sebenarnya dari pendidikan adalah berperan untuk membangun atau merubah tatanan yang ada ke arah yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih adil. Kedua peran inilah yang selalu menjadi permasalahan di dunia pendidikan, sebab keduanya relatif sering bertentangan. Pada satu sisi lembaga pendidikan dianggap alat dan tempat yang sangat strategis untuk mempertahakan nilai-nilai, budaya atau kebijakan-kebijakan yang telah terpola, di sisi lain lembaga ini pun mempunyai misi untuk perubahan, kebebasan, dan keadilan. Adanya perbedaan ini sebenarnya merupakan refleksi dan kehendak cita-cita sosial yang berbeda dari suatu masyarakat. Dalam teori hegemoni dari Gramsci Nezar dan Andi, 1999: 50 dikemukakan selama negara dengan kekuatan represif, negara sesungguhnya juga menjalankan kekuatan hegemonik melalui ideologi yang mampu melanggengkan kekuasaannya. Salah satunya adalah melalui lembaga pendidikan. Lembaga ini dianggap sangat strategis karena memiliki fungsi utama dalam mentransformasikan segenap pengetahuan kognitif cognitive knowledge, nilai-nilai values, dan keterampilan skill, kepada pada peserta didik. Muatan-muatan kognitif dan nilai-nilai inilah sesungguhnya dapat dimasuki dan diisi muatan ideologis oleh kelompok dominan penguasa negara yang selanjutnya lembaga pendidikan dipaksa untuk bersedia menanamkan muatan ideologi dan kepentingan negara. 318 Gramsci mengakui bahwa dalam masyarakat memang selalu ada yang memerintah dan yang diperintah. Bertolak dari kondisi ini, beliau melihat, jika pemimpin akan memerintah dengan efektif, maka jalan yang dipilih adalah meminimalisasi resistensi rakyat dan bersamaan dengan itu pemimpin harus menciptakan ketaatan yang spontan dari yang diperintah. Secara ringkas Gramsci memformulasikan sebuah kalimat, “bagaimana caranya menciptakan hegemoni”. Ketika penguasa menggunakan idologi untuk membentuk kepatuhan masyarakat, maka ideologi tersebut telah berubah menjadi hegemoni. Hegemoni merupakan bentuk penguasaan kepada masyarakat melalui cara-cara yang tidak disadari oleh masyarakat. Kepatuhan itu dibangun melalui nilai-nilai moral yang diciptakan negara penguasa dan ditanamkan dengan cara-cara intelektual, sehingga masyarakat tanpa sadar mematuhi sebagai bentuk konsensus atau kontrak sosial demi kehidupan bersama. Menurut Gramsci pendidikan dan mekanisme kelembagaan seperti sekolah, partai-partai politik, media massa menjadi “tangan-tangan” kelompok elite yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang dominan yang menjadikan masyarakat terhegemoni. Di Indonesia lembaga pendidikan telah cukup lama merasakan hegemoni negara tersebut, terutama pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Banyak cara dilakukan negara, mulai dari diberlakukannya suatu undang-undang, kurikulum yang tersentralisasi dan dibuat ahli yang dipilih negara, membina dan mendisiplinkan guru agar loyal pada negara, sampai peran negara mengawasi kegiatan dan aktivitas di lembaga pendidikan. Walaupun reformasi telah berlangsung ternyata sulit untuk 319 merubah hegemoni tersebut dengan cepat. Pembaharuan kurikulum merupakan keharusan dalam suatu sistem pendidikan agar pendidikan tetap relevan dengan tuntuan zaman. Sedemikian pentingnya pembaharuan kurikulum, sehingga ada pemeo mengatakan bahwa suatu kurikulum disusun untuk diubah dan terus disempurnakan. Hanya dengan demikian, maka kurikulum akan selalu dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia, telah dilakukan beberapa kali pembaharuan kurikulum sekolah, yaitu tahun 1947, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006. Dalam sejarah penerapan kurikulum pendidikan di Indonesia, model perubahan atau pembaharuan kurikulum yang terjadi lebih banyak bersifat komprehensif dan berskala luas. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa Pemerintah dan sistem pendidikan secara keseluruhan amat mudah tergoda untuk mengubah dan memperbaharui kurikulum dalam skala luas, dengan kurang memperhitungkan apa akibat dan dampaknya bagi peserta didik, sekolah, dan masyarakat. Dari pengalaman selama ini yang terungkap bahwa letak kelemahan kurikulum di Indonesia terutama pada bagaimana kurikulum tersebut diimplementasikan secara sungguh-sungguh sehingga memberikan nilai tambah yang nyata bagi peningkatan mutu pendidikan. Hal ini berlaku pada semua tingkatan mulai SD hingga SLTA. Persoalan kurikulum tidak hanya bersifat teknis, karena dalam kurikulum selalu tersembunyi ide serta nilai-nilai yang sebenarnya dipaksakan oleh penguasa. Perkembangan dan perubahan kurikulum biasanya tidak terlepas dari keinginan penguasa dan juga ditentukan hegemoni yang ada dalam masyarakat pada saat 320 kurikulum itu lahir. Hal ini juga disebut hidden curriculum di mana kurikulum yang berlaku ditentukan oleh birokrasi pemerintahan yang dikuasai oleh golongan elit. Mata pelajaran yang paling dinamis dan sering berubah seiring perubahan rezim adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Berikut ini adalah contohnya. Pendidikan Kewarganegaraan sebelum kemerdekaan atau pada jaman Hindia Belanda dikenal dengan nama Burgerkunde. Pada waktu itu ada dua buku resmi yang digunakan yaitu Indische Burgerschapkunde serta Rech en Plich. Menurut Bambang Daroeso “Indische Burgerschapkunde, yang ditulis oleh P. Tromp dengan penerbitnya J.B Wolter Maatschappij N.V. Groningen, Den Haag, Batavia tahun 1934. Lewat pengajaran Burgerkunde tentunya dimaksudkan oleh pemerintah Hindia Belanda agar rakyat jajahan lebih memahami hak dan kewajibannya terhadap pemerintah Hindia Belanda, sehingga diharapkan tidak menganggap pemerintah Belanda sebagai musuh tetapi justru memberikan dukungan dengan penuh kesadaran dalam jangka waktu yang panjang. Pada awal kemerdekaan belum ada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdiri sendiri dan diajarkan pada pendidikan formal. Yang ada pada saat itu adalah Pendidikan Budi Pekerti, yang berisi nilai-nilai kemasyarakatan, adat, dan agama. Belum ada Pendidikan Kewarganegaraan yang bersifat eksplisit. Tahun 1957 mulai diperkenalkan mata pelajaran Kewarganegaraan, yang isi pokoknya meliputi: 1 Cara memperoleh kewarganegaraan; 2 Hak dan kewajiban warga negara; 3 Tata Negara dan Tata Hukum. Ketiga hal tersebut semata-mata beraspek kognitif Soenarjati dan Cholisin, 1989: 17. 321 Tahun 1959 terjadi perubahan arah politik di negara Indonesia. UUDS 1950, dinyatakan tidak berlaku oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan berlaku kembali UUD 1945. Dengan berlakunya kembali UUD 1945, nampak dalam bidang pendidikan diadakan perubahan arah. Perubahan ini tampak dengan diperkenalkannya mata pelajaran Civics pada tahun 1961 sebagai pengganti mata pelajaran Kewarganegaraan. Mata pelajaran Civics berisi: 1 Sejarah kebangkitan nasional; 2 UUD; 3 Pidato-pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk nation and character building bagi bangsa Indonesia”. Muchson dkk., 2001: 16. Dalam kurikulum Civics di SMP dan SMA isinya meliputi: 1 Sejarah nasional; 2 Sejarah proklamasi; 3 UUD 1945; 4 Pancasila; 5 Pidato-pidato kenegaraan presiden; 6 Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Buku sumber yang dipergunakan adalah “Civics Manusia Indonesia Baru” dan “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” yang lebih dikenal dengan singkatan TUBAPI. Metode pengajarannya lebih bersifat indoktrinatif. Buku pegangan untuk murid belum ada Soenarjati dan Cholisin, 1989: 17-18. TUBAPI isinya meliputi: 1 Lahirnya Pancasila; 2 UUD 1945; 3 Manipol, merupakan pidato presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang intinya ditegaskan pada pidato presiden pada tanggal 17 agustus 1960 meliputi caturlogi, yakni: semanagt nasional, konsepsi nasional, keamanan nasional, dan perbuatan nasional; 4 Jalannya Revolusi Kita Jarek; 5 Pidato presiden RI di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1960 yang berjudul “Membangun Dunia Baru” dinilai sebagai salah satu tonggak sejarah bagi berdirinya Gerakan Non Blok; 6 Manipol USDEK; 7 Amanat presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana di depan 322 DEPERNAS, tanggal 9 Januari 1960. Pada tahun 1962 istilah Civics diganti dengan istilah Kewargaan Negara, atas anjuran Dr. Sahardjo, SH, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Perubahan itu didasarkan atas tujuan yang ingin dicapainya, yaitu membentuk warga negara yang baik. Pengelompokan mata pelajaran berubah-ubah pada tiap kurikulum yang diberlakukan. Pada Kurikulum SMA 1952, misalnya, pengelompokan mata pelajaran dibagi dalam tiga bagian: pokok, penting, dan pelengkap. Setelah tahun 1960-an, komposisi mata pelajaran dikategorikan ke dalam kelompok dasar, khusus, penyerta, prakarya, dan krida. Ketika pengaruh PKI menguat maka penjabarannya mengikuti Instruksi Menteri menyangkut Kurukulum Pancawardana, sebagaimana yang berlaku di SD, meliputi kelompok perkembangan moral, perkembangan intelektual, perkembangan emosional artistik, perkembangan keprigelan, dan perkembangan jasmani. Setelah PKI dibubarkan, pendidikan diarahkan kepada pemurnian Pancasila, maka mata pelajarannya pun dirubah berdasarkan pengelompokan pembinaan jiwa Pancasila, pembinaan pengetahuan dasar, dan pembinaan kecakapan khusus. Perubahan pola pengelompokan mata pelajaran masih terus berlanjut pada kurikulum 1975. Pada kurikulum ini mata pelajaran dikelompokkan dalam tiga bagian: pendidikan umum, pendidikan akademis, dan pendidikan keterampilan, dan hal ini berlaku sampai dengan Kurikulum 1984 untuk SDMI dan SMPMTs. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1968 berada dalam kelompok “Pembinaan Jiwa Pancasila”, baik di sekolah dasar maupun sekolah menengah. Bedanya di sekolah dasar kelompok mata pelajaran terdiri dari Pendidikan Agama, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah dan Olah Raga. Sedangkan di 323 SMA tanpa Bahasa Daerah. Bahan-bahan pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan menurut Kurikulum 1968 tersebut digunakan sampai dengan ditetapkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1975 dengan nama “Pendidikan Moral Pancasila” PMP sebagai nama bidang studi untuk Pendidikan Kewarganegaraan yang tujuannya adalah membentuk warganegara Pancasilais yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR No. IIMPR1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4 maka materi bidang studi Pendidikan Moral Pancasila dilengkapi atau bahkan didominasi oleh materi dan bahan-bahan P4. Dampak selanjutnya P4 cenderung sebagai bahan indoktrinasi untuk pendidikan dan pelatihan warganegara, sebagai produk formal yang dihasilkan oleh lembaga legislatif dan oleh lembaga eksekutif dijadikan instrumen yang birokratik untuk digunakan baik di lingkungan sekolah, pendidikan tinggi maupun di masyarakat Abdul Azis Wahab, 2007: 699. Perubahan Kurikulum 1968 menjadi Kurikulum 1975, berdampak sebagai berikut: Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atas dasar Keputusan MPR 1978 diganti dengan nama baru yang dikenal dengan Pendidikan Moral Pancasila PMP. Pendidikan Moral Pancasila merupakan mata pelajaran yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945 dipisahkan dari mata pelajaran yang bersangkut paut diantaranya mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi. Sedangkan gabungan mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi menjadi bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial, dan saat ini diberi nama Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Hal yang sama masih tetap berlaku saat diberlakukannya Kurikulum 1984 sebagai penyesuaian Kurikulum 1975 Abdul Azis Wahab, 2007: 701. 324 Sesuai dengan amanat Ketetapan MPR No. IVMPR1973, mata pelajaran ini berubah nama menjadi Pendidikan Moral Pancasila PMP pada kurikulum 1975. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR No. IIMPR1978 tentang P-4, maka terjadilah perkembangan yang cukup substantif mengenai materi pelajaran ini, yakni sangat dominannya materi P-4 dalam PMP. Bahkan dalam penjelasan ringkas tentang PMP oleh Depdikbud 1982 dinyatakan bahwa: Hakikat PMP tidak lain adalah pelaksanaan P-4 melalui jalur pendidikan formal. Hal ini tetap berlangsung hingga berlakunya Kurikulum 1984 maupun Kurikulum1994, dimana PMP telah berubah nama menjadi PPKn. Dalam perkembangannya yang terakhir, materi P-4 secara resmi tidak lagi dipakai dalam Kurikulum Suplemen 1999, apalagi Ketetapan MPR No.IIMPR1978 tentang P-4 telah dicabut dengan Ketetapan MPR No. XVIIIMPR1998. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn Kurikulum 1994 adalah merupakan: Wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku melalui kehidupan sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, warganegara, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku-perilaku yang dimaksud di atas adalah perilaku seperti yang tercantum di dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 39 Ayat 2, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dalam masyarakat yang beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung 325 kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan dapat di atasi melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Kosasih Djahiri, 1997: 2. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, menyebabkan isi dan visi Pendidikan Kewarganegaraan perlu disesuaikan dengan semangat reformasi. Pendidikan Kewarganegaraan era Reformasi berdasar KBK 2004 dan KTSP 2006 ternyata juga menuai kritikan. Oleh banyak kalangan Pendidikan Kewarganegaraan ini dinilai sangat kering dengan muatan nilai moral, khususnya nilai moral Pancasila, namun sarat dengan kajian konsep-konsep politik dan hukum. Idealnya Pendidikan Kewarganegaraan untuk membentuk warga negara yang baik seharusnya bebas dari kepentingan politik jangka pendek dari rezim yang sedang berkuasa. Dengan demikian, siapapun yang memerintah atau apapun program pemerintah, idealnya substansi kajian Pendidikan Kewarganegaraan tidak semata- mata mengikuti perubahan haluan politik yang ada, tetapi ditujukan untuk memperkuat basis nilai-nilai dalam sebuah sistem politik yang disepakati dalam konstitusi. Dari hasil pembahasan yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Dinamika Politik Pendidikan era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi Tahun 1945-1966 Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno Orde Lama. Politik pendidikan era Orde Lama dapat dibagi dalam tiga periode seiring dinamika politik yang mempengaruhinya. 1 Periode 1945-1950, diwarnai oleh semangat 326 revolusi, pendidikan bertujuan untuk menanamkan semangat dan jiwa patriotisme. 2 Periode 1950-1959, diwarnai oleh demokrasi liberal, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. 3 Periode 1959- 1966, diwarnai oleh Manipol USDEK, pendidikan bertujuan melahirkan warganegara sosialis Indonesia yang susila. Pendidikan nasional pada era Orde Lama yang berlangsung sejak 1945 hingga 1966, tetap berlandaskan Pancasila. Meskipun selama periode ini Indonesia menggunakan tiga UUD, tetapi dalam perjalanannya megarah pada bentuk demokrasi terpimpin dengan kepemimpinan revolusioner untuk membangun masyarakat sosialis. Tahun 1966-1998 Indonesia diperintah oleh Soeharto Orde Baru. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan politik pendidikan nasional. Implikasi dari pembubaran PKI, menimbulkan penutupan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah PKI dan organisasi yang ada di bawahnya. Ketika PKI dibubarkan, serta dilakukan pemurnian Pancasila, tujuan pendidikan nasional berubah menjadi ”membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945”. Perubahan mendasar tersebut menunjukkan bahwa ideologi Manipol USDEK telah diganti secara tegas menjadi falsafah Pancasila. Orde Baru diwarnai semangat pembangunan ekonomi di satu sisi dan di sisi lain meletakkan kembali Pancasila sebagai dasar negara. Semangat itu selalu ditekankan dalam pendidikan. Penataran P-4 wajib diberikan kepada setiap siswa yang diterima di sekolah, di samping masih adanya mata pelajaran Pancasila. Mata pelajaran PMP dan PPKn sangat didominasi materi P-4. PMP termasuk yang 327 mempengaruhi kenaikan kelas dan kelulusan sekolah. Setelah EBTANAS diberlakukan, PMP menjadi komponen bidang studi yang mempengaruhi nilai komulatif DANEM Daftar Nilai EBTANAS Murni. DANEM berfungsi sebagai standar memasuki jenjang pendidikan di atasnya. Tujuan pendidikan diarahkan untuk menyiapkan para siswa menjadi manusia pembangunan yang memiliki jiwa Pancasila. Era Reformasi dimulai sejak 1998. Reformasi adalah pembaharuan, perubahan paradigma lama ke dalam paradigma baru, sebagai langkah perbaikan terhadap kondisi sebelumnya. Politik pendidikan pada era Reformasi didasarkan pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Politik pendidikan pada masa ini lebih diwarai upaya membangun kehidupan sekolah yang demokratis, religius, berakhlak, cerdas, kreatif, dan mandiri. b. Dinamika Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan era Orde Lama: 1 Tujuan menanamkan semangat dan jiwa patriotisme, dalam rangka membentuk warga negara yang baik, yakni warga negara sosialis Indonesia yang susila. 2 Materi isi pelajaran didominasi oleh Manipol USDEK sehingga akar keilmuannya menjadi 328 tidak jelas. Dirancang untuk mendukung penguatan negara, patuh kepada rezim, serta pendukung setia status quo. 3 Metode pembelajarannya menggunakan indoktrinasi dan hegemoni. Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan era Orde Baru: 1 Tujuan membentuk manusia pembangunan yang berjiwa Pancasila serta manusia Indonesia seutuhnya. Materi isi pelajaran mencakup P-4 sangat dominan, UUD 1945, GBHN, dan Sejarah Kebangsaan. Sebagaimana Orde Lama, PKn Orde Baru juga dirancang untuk mendukung penguatan negara, patuh kepada rezim, serta pendukung setia status quo. Metode indoktrinasi melalui penataran P-4 dilakukan kepada seluruh siswa dan mahasiswa, bahkan PNS, Korpri, birokrat, guru, dan tokoh masyarakat. Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan pada era Reformasi: 1 Tujuan memberdayaan warga negara, yakni membentuk warganegara yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbudaya politik kewargaan, berpikir kritis dan kreatif. 2 Materiisi pelajaran terdiri dari politik, hukum, dan moral. PKn pada era ini akar keilmuannya jelas, intervensi rezim sangat minim, berfungsi sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan hukum, dan pendidikan moral. 3 Metode pembelajarannya menggunakan dialog kritis. c. Dinamika Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi Makna PKn pada masa Orde Lama sesuai dengan tujuan pendidikan nasional waktu itu, yaitu menanamkan jiwa patriotisme dan nasionalisme, semangat melakukan revolusi untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia. 329 Makna PKn pada masa Orde Baru sesuai dengan tujuan pendidikan nasional waktu itu, yaitu membentuk manusia pembangunan yang berjiwa Pancasila untuk mendukung kemajuan ekonomi dan moral Pancasila. Makna PKn pada era Reformasi sesuai dengan tujuan pendidikan nasional pada saat ini, yaitu untuk pemberdayaan warga negara, mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis dalam kemajemukan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, taat pada hukum, dan berwawasan global.

2. Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan ke Depan

Secara konseptual Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk menyiapkan generasi muda menjadi warga negara yang baik, warga negara yang memiliki pengetahuan, kecakapan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakatnya. Pendidikan Kewarganegaraan tidak boleh semata-mata menjadi alat kepentingan kekuasaan rezim, tetapi harus mendasarkan diri pada politik negara sebagaimana dimuat dalam konstitusi nasional. Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya menjadi perhatian semua pihak, pemerintah, LPTK yang memiliki Prodi PKn, Komunitas PKn, maupun para guru PKn di lapangan. Tidak ada tugas yang lebih penting bagi sebuah bangsa selain mengembangkan warganegara yang bertanggungjawab, dan terdidik. Demokrasi dipelihara oleh warganegara yang memiliki pengetahuan, kemampuan, dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari warganegara terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud. Oleh karena itu tugas dari para pendidik, pembuat kebijakan, 330 dan angota civil society lainnya, adalah mengkampanyekan pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi dan jajaran pemerintahan. Saat ini Pendidikan Kewarganegaraan sudah menjadi bagian dari instrumen pendidikan nasional. Mata pelajaran ini dibangun dengan paradigma sebagai berikut: Pertama, secara kurikuler dirancang sebagai pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warganegara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab. Kedua, secara teoritik dirancang sebagai pembelajaran yang memuat dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terintegrasi dengan nilai-nilai Pancasila, demokrasi, dan bela negara. Ketiga, secara pragmatik dirancang sebagai pembelajaran yang bertujuan mewujudkan perilaku sehari-hari warganegara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar sesuai dengan moral Pancasila. Akan tetapi sejak diimplementasikan pada berbagai jenis dan jenjang, Pendidikan Kewarganegaraan belum sesuai dengan harapan. Indikasi dari terjadinya salah arah tersebut antara lain sebagai berikut: 1 Pembelajaran dan penilaian Pendidikan Kewarganegaraan lebih menekankan pada dimensi kognitif saja. Pengembangan dimensi-dimensi lainnya belum mendapat perhatian yang memadai. 2 Pengelolan kelas belum kondusif untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna dalam mengembangkan perilaku siswa. Hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan yang belum mencapai keseluruhan dimensi secara optimal menunjukkan bahwa tujuan kurikulernya belum dapat tercapai sepenuhnya. Selain 331 kendala internal, Pendidikan Kewarganegaraan juga menghadapi kendala eksternal yaitu tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat berkaitan dengan semangat demokratisasi yang semakin meningkat dengan segala eksesnya. Pendidikan Kewarganegaraan yang seharusnya sarat dengan muatan afektif namun dilaksanakan secara kognitif. Pendidikan Kewarganegaraan dianggap obat mujarab panacea untuk mengatasi persoalan kehidupan para siswa khususnya yang menyangkut perilaku dan moral. Namun demikian, kritikan dan tuntutan tersebut sudah seharusnya direspon dan diakomodasikan secara proporsional karena memang pendidikan secara umum dan Pendidikan Kewarganegaraan secara khusus bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja tetapi juga tanggungjawab seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Tanggungjawab bersama untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas pada hakikatnya merupakan perwujudan dari amanat nasional. Kendala eksternal lainnya yaitu pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan dan situasi global yang berkembang cepat setiap waktu baik yang bermuatan positif maupun yang bermuatan negatif. Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam merancang program pendidikan yang mengakomodasikan kecenderungan dan persoalan global tersebut berarti akan menghilangkan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan untuk secara bertahap dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah maju dalam bidang pendidikannya. Untuk menjawab berbagai persoalan tersebut di atas, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran di sekolah formal, yang berperan sebagai wahana pemuliaan dan pemberdayaan anak dan pemuda sesuai dengan potensinya 332 agar menjadi warganegara yang cerdas dan baik. Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa untuk mendidik anak menjadi warganegara yang cerdas dan baik harus dilakukan secara sadar dan terencana dalam suatu proses pembelajaran agar mereka secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Kewarganegaraan ke depan harus berupaya memberdayakan warganegara agar mampu berperan aktif dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Pendidikan demokrasi menjadi strategis dan mutlak bagi perwujudan masyarakat dan negara demokrasi. Hal ini sejalan dengan adagium yang menyatakan bahwa demokrasi dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warganegara yang demokratis. Warganegara yang demokratis hanya bisa dibentuk melalui pendidikan demokrasi. Visi bahwa Pendidikan Kewarganegaraan ke depan bertujuan mewujudkan masyarakat demokratis merupakan reaksi atas kesalahan masa lalu paradigma lama yang ketika itu berlabel Pendidikan Moral Pancasila PMP ataupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn. Baik PMP maupun PPKn Orde Baru lebih dimaksudkan untuk menciptakan warga negara yang patuh. PMP dan PPKn pada masa itu sesungguhnya merupakan Pendidikan Kewarganegaraan yang berfungsi sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Berdasar fakta tersebut tidak aneh bila muncul penilaian bahwa PMP dan PPKn merupakan pelajaran yang bersifat politis daripada akademis. Akibat lebih lanjut mata pelajaran ini kurang diminati siswa. 333 Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan ke depan memerlukan restrukturisasi kurikulum dan substansi materinya. Jika pada masa Orde Lama dan Orde Baru PMP dan PPKn seakan tidak memiliki vitalitas, kurang berdaya, dan tidak dapat berfungsi baik dalam meningkatkan kompetensi kewarganegaraan para peserta didik. Para siswa tidak banyak menyukai pelajaran ini bahkan merasakan bosan. Para guru sendiri tidak jarang bingung dengan pembelajaran yang dilakukan karena tidak mantapnya arah, tujuan, dan isi mata pelajaran PMP serta PPKn. Salah satu kelemahan mendasar dari PMP dan PPKn adalah materi yang diajarkan tidak memiliki batang keilmuan yang jelas. Materi yang diajarkan bukan ilmu tetapi nilai, seperti keadilan, kejujuran, gotong royong, dan sebagainya. Maka yang terjadi, PMP dan PPKn bukanlah mata pelajaran yang bersifat ilmiah, atau lemah dalam hal keilmuannya. Hal demikian justru menyusahkan para guru yang mengajarkan dan siswa yang menerimanya. Layaknya sebuah mata pelajaran, maka seharusnya memiliki landasan ilmu yang jelas. Restrukturisasi materi merupakan bagian yang penting bahkan umumnya dianggap terpenting dalam pembaharuan kurikulum. Pendidikan Kewarganegaraan ke depan harus terus dikembangkan substansi materinya. Materi Pendidikan Kewarganegaraan sebaiknya bersumber dari ilmu politik, ilmu hukum dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran ini nantinya akan memiliki batang ilmu yang jelas. Dengan memperhatikan konsep dan perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia, nampaknya para pengambil keputusan di bidang pendidikan khususnya di bidang kurikulum, harus dapat menggunakan pengalaman masa lalu itu untuk merancang masa depan Pendidikan Kewarganegaraan secara lebih 334 baik. Pengalaman masa lalu telah menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai alat kekuasaan semata karena itu bersifat mono vision, serta rentan terhadap perubahan-perubahan politik. Jika akan dilakukan perbaikan terhadap Pendidikan Kewarganegaraan lebih mengedepankan dan menempatkan warganegara sebagai subyek untuk dikembangkan agar menjadi warganegara yang lebih berpikir kritis dan kreatif, proaktif, inovatif, demokratis, menghargai sesama manusia, berbudaya serta mematuhi berbagai hukum dan peraturan yang berlaku bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Abdul Azis Wahab, 2007: 708. Bangsa Indonesia tidak boleh lagi mengulangi langkah-langkah politik yang keliru, yang cenderung lebih menekankan kepada kekuasaan dengan menomorduakan rakyat dan masyarakat dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengakuan terhadap hak-hak individu yang didasari rasa tanggung jawab harus terus ditumbuhkan, penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta pada kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus sudah mulai menjadi dasar-dasar kebijakan nasional dengan senantiasa membuka diri terhadap perubahan global dan dengan respon yang dilakukan secara cerdas. Paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan menuntut dilakukannya redefinisi dan revitalisasi implementasi konsep Pendidikan Kewarganegaraan sehingga benar-benar menjadi wadah yang dapat membangun dan mengembangkan berbagai kemampuan warganegara agar dapat lebih sensitif, proaktif, inovatif, kreatif, dan cerdas sehingga dapat berpartisipasi secara aktif dan efektif dalam kehidupannya sebagai warganegara dan warga masyarakat Abdul Azis Wahab, 2007: 709. Redefinisi dan revitalisasi pengertian serta tujuan Pendidikan Kewarganegaraan akan mendorong lahirnya 335 paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan. Paradigma baru tersebut harus disusun di atas pilar-pilar demokrasi, antara lain sebagai berikut: 1 Konstitusionalisme; 2 Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3 Warganegara yang cerdas; 4 Penghargaan terhadap hak-hak individu; 5 Pers yang bebas; 6 Supremasi hukum; 7 Hak asasi manusia; 8 Pembagian dan pembatasan kekuasaan; 9 Peradilan yang independen; 10 Desentralisasi dan otonomi; 11 Kesejahteraan sosial dan keadilan sosial; 12 Patriotisme dan nasionalisme. Paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan tersebut menuntut adanya perubahan dalam seluruh aspek pembelajaran mulai dari tujuan sampai pada pengembangan bahan ajar, metode mengajar dan penilaiannya. Dari sisi tujuan misalnya yang umumnya diketahui dari berbagai literatur bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membentuk warganegara yang baik. Yaitu warganegara yang mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Warganegara juga dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan serta nilai- nilai sosial dan budaya yang berubah. Warganegara yang tahu tentang hak dan kewajibannya, tetapi juga mampu melakukan yang lebih luas dari pada itu sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang cepat dalam era informasi dan globalisasi tersebut, yang oleh Cogan dan Derricott disebut warganegara yang “multidimensional.” Abdul Azis Wahab, 2007: 710. Pengalaman masa lalu mengajarkan kepada kita, bahwa Pedidikan Kewarganegaraan pada era Orde Lama dan Orde Baru sangat miskin konsep dan teori, sehingga lebih dominan unsur indoktrinasinya. Oleh karena itu Pendidikan Kewarganegaraan di era Reformasi ini harus diperjelas konsep dan teori keilmuannya 336 sehingga lebih bersifat ilmiah. Metode indoktrinasi harus diakhiri, metode dialogis yang ilmiah harus dikembangkan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah. Pendidikan Kewarganegaraan pada era Orde Lama dan Orde Baru saat itu dikembangkan berdasarkan teori hegemoni, yakni sosialisasi politik dari negara kepada warganegaranya untuk menguatkan rezim yang sedang berkuasa. Cara seperti itu harus ditinggalkan pada era Reformasi ini. Pendidikan Kewarganegaraan harus dijadikan sarana untuk memberdayakan warga negara dalam rangka membentuk masyarakat madani, suatu masyarakat dimana negara dan warga negara dalam posisi seimbang. Hegemoni negara yang terlalu kuat mengakibatkan otonomi guru dan otonomi pendidikan pada pada era Orde Lama dan Orde baru sangat minim dan bahkan hilang. Pada era Reformasi ini otonomi guru dan otonomi pendidikan dalam batas-batas tertentu harus segera dipulihkan, agar pendidikan tidak dijadikan alat bagi rezim yang sedang berkuasa untuk kepentingannya. Paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan harus memiliki struktur keilmuan yang jelas yakni berbasis pada ilmu politik, hukum dan filsafat moral filsafat Pancasila. Memiliki visi yang kuat mengenai: nation and character building, untuk pemberdayaan warga negara, dalam rangka mengembangkan masyarakat madani. Perlu cara pandang yang sama, dari berbagai komponen dalam mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan di era Reformasi saat ini, antara Dikdasmen, Pusat Kurikulum, Lemhannas, LPTK, serta berbagai komunitas Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Semua komponen tersebut perlu duduk 337 bersama untuk merumuskan Pendidikan Kewarganegaraan yang terbaik bagi Indonesia. Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian tetang dinamika Pendidikan Kewarganegaraan PKn yang terjadi sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, peneliti merekomendasikan, pengembangan PKn di masa depan yang ideal bagi Indonesia adalah sebagai berikut: 1 PKn yang memiliki akar keilmuan yang jelas, yakni politik, hukum, dan moral, sehingga bersifat ilmiah. 2 PKn yang bebas dari hegemoni, indoktrinasi, dan kepentingan pragmatis dari rezim yang sedang berkuasa. 3 PKn yang mengadopsi nilai-nilai universal, yang digunakan oleh negara-negara demokrasi. 4 PKn yang tidak lepas dari bingkai filosofi Pancasila. 5 PKn yang diwarnai identitas nasional, budaya Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, NKRI. 6 PKn yang berpedoman pada politik negara dan bangsa yang ada dalam konstitusi. 7 PKn yang mengembangkan civic knowledge, civic skill, dan civic dispotition secara proporsional. 8 PKn yang menghasilkan warga negara religius, yang menjadi pembeda dengan yang dikembangkan oleh negara-negara maju di Barat. 9 PKn yang memberdayakan warga negara, bukan PKn yang hanya membentuk kepatuhan tanpa daya kritis. 10 PKn yang mengantarkan menuju masyarakat madani. 338 BAB V KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan 1. Dinamika Politik Pendidikan Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi