119
F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Data  yang  telah  terkumpul  terlebih  dahulu  dilakukan  verifikasi.  Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data ditempuh melalui konfirmasi antar
dokumen,  komfirmasi  hasil  wawancara  antar  informan,  dan  konfirmasi  antara dokumen dengan hasil wawancara.
G.Teknik Analisis Data. 1. Reduksi Data
Data  yang  dihasilkan  dari  wawancara  dan  dokumentasi  merupakan  data mentah  yang  masih  bersifat  acak  dan  kompleks.  Untuk  itu  peneliti  melakukan
pemilihan  data  yang  relevan  dan  bermakna  serta  mampu  menjawab  permasalahan penelitian, selanjutnya data disederhanakan.
2. Unitisasi dan Kategorisasi
Data yang telah dipilih dan disederhanakan tersebut kemudian disusun secara sistematis  ke  dalam  suatu  unit-unit  sesuai  dengan  sifat  masing-masing  dengan
menonjolkan hal-hal yang bersifat pokok dan penting. Dari unit-unit data yang telah terkumpul dipilah-pilah kembali dan dikelompokkan sesuai dengan kategori yang ada
sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas dari hasil penelitian.
3. Display Data
Pada tahap ini peneliti menyajikan data yang telah direduksi ke dalam laporan secara sistematis. Data disajikan dalam bentuk narasi berupa informasi mengenai hal-
hal  yang  terkait  dengan  dinamika  Pendidikan  Kewarganegaraan  pada  jenjang
120 pendidikan  dasar  dan  menengah,  era  Orde  Lama,  Orde  Baru,  serta  era  Reformasi.
Pada setiap era akan ditinjau dari sudut politik pendidikan dan kurikulum.
4. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Data  yang  telah  diproses  dengan  langkah-langkah  seperti  di  atas,  kemudian ditarik  kesimpulan  secara  kritis  dengan  menggunakan  metode  induktif  yang
berangkat  dari  hal-hal  yang  khusus  untuk  memperoleh  kesimpulan  umum  yang objektif. Kesimpulan tersebut kemudian diverifikasikan dengan cara melihat kembali
pada  hasil  reduksi  dan  display  data  sehingga  kesimpulan  yang  diambil  tidak menyimpang dari permasalahan penelitian.
H. Sistematika Disertasi
Secara garis besar disertasi ini terdiri dari 5 bab. Bab 1  pendahuluan, berisi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta
definisi operasional. Bab  2  kajian  pustaka,  berisi:  kajian  teori,  kajian  penelitian  yang  relevan,
kerangka pikir penelitian, dan pertanyaan penelitian. Kajian teori meliputi 4 hal yaitu: pendidikan  nasional,  pendidikan  kewarganegaraan,  politik  pendidikan,  dan
kurikulum. Bab  3  metode  penelitian,  berisi:  tempat  dan  waktu  penelitian,  jenis  dan
pendekatan  penelitian,  subjek  penelitian,  metode  pengumpulan  data,  instrumen penelitian,  teknik  pemeriksaan  keabsahan  data,  teknik  analisis  data,  dan  sistematika
disertasi. Bab 4 hasil penelitian, berisi: 1 Setting kehidupan sosial politik Orde Lama,
Orde  Baru,  dan  era  Reformasi.  2  Dinamika  Politik  Pendidikan  di  Indonesia  sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. 3 Dinamika kurikulum pendidikan dasar
dan menengah dari Orde Lama, Orde Baru, sampai era Reformasi. 4 Dinamika PKn sejak Orde Lama, Orde Baru,  hingga Reformasi. 5 Pembahasan dinamika PKn dan
pengembangan pemikiran PKn ke depan. Bab 5 kesimpulan, berisi: 1 kesimpulan; 2  refleksi; 3 dan rekomendasi.
121
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Setting Kehidupan Sosial Politik Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi
1. Orde Lama
Tanggal  17  Agustus  1945  Indonesia  resmi  berdiri  sebagai  negara  merdeka. Pemerintah  Republik  Indonesia  segera  dibentuk  di  Jakarta  pada  tanggal  18  Agustus
sehari setelah proklamasi dilakukan. Soekarno diangkat sebagai presiden 1945-1967 dan Hatta sebagai wakil presiden 1945-1956. Sambil menantikan pemilihan umum,
yang  dalam  kenyataan  baru  terlaksana  tahun  1955,  maka  ditunjuklah  Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP untuk membantu Presiden.
Dengan  berdirinya  negara  kebangsaan  Indonesia  pada  17  Agustus  1945  dan berlakunya  Undang-undang  Dasar  Republik  Indonesia  tahun  1945,  satu  hari  setelah
proklamasi  kemerdekaan  maka  secara  resmi  sistem  pemerintahan  kolonial dihapuskan  dan  diganti  dengan  sistem  pemerintah  yang  ditentukan  oleh  bangsa
sendiri.  Antara  tahun  1945-1950  negara  Indonesia  yang  baru  berdiri  tersebut  masih menghadapi  perang  mempertahankan  kemerdekaan.  Perang  kemerdekaan  I  clash  I
terjadi  tahun  1947  dan  selanjutnya  perang  kemerdekaan  II  clash  II  terjadi  pada Desember 1948.  Pada tahun 1950 perang clash  I dan clash  II sudah berakhir, tetapi
perjalanan  negara  kebangsaan  Indonesia  juga  belum  mencapai  kestabilan.  Konflik politik dan ideologis yang sudah ada sejak berdirinya negara kebangsaan berkembang
menjadi  masalah  nasional  yang  mendorong  perpecahan  kesatuan  nasional.  Problem besar yang menjadi sumber konflik nasional menurut beberapa ahli adalah bersumber
122 dari  penentuan  arah  sistem  politik  macam  apa  yang  dipakai  sesudah  Indonesia
merdeka Shiraishi Takhasi, dalam Sodiq A Kuntoro, 2007: 158. Sebenarnya sejak berdirinya Republik Indonesia sudah ditetapkan satu sistem
politik  nasional  yaitu  negara  Republik  Indonesia  yang  didasarkan  pada  ideologi Pancasila.  Tetapi  pertentangan  terjadi  antara  kelompok  ideologi  yang  ingin
memasukkan  pengaruh  ideologinya  pada  sistem  politik  kenegaraan  tersebut. Kelompok  nasionalis,  agama,  dan  komunis  mempunyai  interpretasi  yang  berbeda
mengenai Pancasila
dan berusaha
membawa Pancasila
sesuai dengan
kepentingannya.
a. Kondisi Sosial Politik Indonesia Tahun 1945-1950
Sebulan setelah Indonesia diproklamasikan, sistem pemerintahan parlementer berlaku  di  Indonesia,  padahal  UUD  1945  tidak  menghendaki  demikian.  Menurut
Husain Haikal: Hal ini ditunjang dengan adanya pengumuman pemerintah yang memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik, yang mendapat sambutan  antusias  dari  rakyat.  Secara  politis  lembaga  legislatif  sebagai
pembawa aspirasi rakyat adalah Komite Nasional Indonesia Pusat. Dilihat dari segi historis, maka kehidupan partai-partai politik ini sebenarnya bermula dari
penjajahan  Belanda  dan  Jepang.  Namun  pada  awal  Indonesia  mengenyam kemerdekaan,  tampaknya  konsentrasi  seluruh  masyarakat  dihadapkan
sepenuhnya  terhadap  aksi-aksi  militer  dan  politik  Belanda  untuk  menguasai kembali  Indonesia,  sehingga  segenap  potensi  rakyat  dikerahkan  untuk
mensukseskan revolusi bersenjata ini. wawancara, 7 Juli 2011.
Sistem parlementer ini merupakan produk dari Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945. Pengumuman Badan Pekerja, 11 November 1945 dan Maklumat
Pemerintah  14  November  1945  menyatakan  bahwa  tanggung  jawab  politik  terletak
123 ditangan menteri. Hal ini dipertahankan praktis sampai dikeluarnya Dekrit Presiden 5
Juli 1959  yang  mencabut UUDS 1950 dan  menetapkan  kembali UUD 1945 sebagai UUD negara.
b. Kondisi Sosial Politik Indonesia Era Demokrasi Liberal 1950-1959
Pada  periode  demokrasi  liberal  berkembang  sistem  politik  yang mengutamakan  kebebasan  individu,  mengikuti  demokrasi  model  Barat.  Menurut
Armaidy Armawi: Sistem  pemerintahannya  mengikuti  pemerintahan  parlementer  yang
meletakkan  presiden  hanya  sebagai  kepala  negara  dan  bukan  sebagai  kepala pemerintahan.  Sedangkan  tanggung  jawab  pemerintahan  ada  di  tangan  para
menteri  yang  bertanggung  jawab  pada  parlemen.  Pelaksanaan  demokrasi liberal  menimbulkan  ketidakstabilan  politik,  keamanan,  dan  juga  ekonomi
sebab  kabinet  sering  berganti  sehingga  program-program  pemerintah  tidak dapat dilaksanakan secara baik. wawancara, 8 Juli 2011.
Persaingan secara terbuka antar partai sangat kentara dalam panggung politik
nasional,  masing-masing  berusaha  untuk  mencapai  cita-cita  politiknya.  Sehingga dalam  Pemilu  yang  pertama  sejak  Indonesia  diproklamirkan  sangat  banyak  partai
yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat kabinet baru yang akan berjalan, akan mantap bila di dalamnya terdapat koalisi Ukasah Martadisastra,
1987:144. Adanya koalisi antara berbagai partai yang besar ini dikarenakan tidak ada satupun  partai  yang  menang  secara  mayoritas  mutlak.  Sehingga  efek  negatifnya
dalam  kabinet  adalah  jatuh  bangunnya  kabinet  dalam  tempo  waktu  sesingkatnya, karena  partai  yang  berkuasa  kehilangan  dukungan  di  parlemen,  sehingga  bubarlah
kabinet.  Akibat  selanjutnya  program  kerja  kabinet  yang  bersangkutan  tidak dilaksanakan. Pemilu pertama dalam sejarah Indonesia tahun 1955,  diikuti lebih dari
124 39  juta  orang  memberikan  suara,  mewakili  91,5  dari  para  pemilih  yang  terdaftar.
Walaupun pasti banyak pemilih yang memberikan suara sesuai dengan apa yang telah diperintahkan  oleh  para  pemimpin  keagamaan,  para  kepala  desa,  para  pejabat,  para
tuan tanah, atau para atasan lainnya Ricklefs, 2008: 496. Bagaimanapun  juga,  ini  adalah  pemilihan  umum  nasional  yang  terpenting
dalam  sejarah  Indonesia  merdeka.  Pemilihan  umum  ini  menawarkan  pilihan  yang paling  bebas  di  kalangan  partai-partai  yang  tak  terbatas,  yang  kesemuanya
berkampanye dengan penuh semangat. Hasil-hasil yang paling penting adalah sebagai berikut:
Tabel 8 Perolehan Suara Pemilihan Umum 1955
Partai Suara yang sah
Suara yang sah
Kursi parlemen
Kursi parlemen PNI
8.434.653 22,3
57 22,2
Masyumi 7.903.886
20,9 57
22,2 NU
6.955.141 18,4
45 17,5
PKI 6.176.914
16,4 39
15,2 PSII
1.091.160 2,9
8 3,1
Parkindo 1.003.325
2,6 8
3,1 Partai Katholik
770.740 2,0
6 2,3
PSI 753.191
2,0 5
1,9 Murba
199.588 0,5
2 0,8
Lain-lain 4.496.701
12,0 30
11,7 Jumlah
37.785.299 100
257 100
Sumber, Ricklefs, 2008: 496.
Pemilihan  umum  tersebut  menimbulkan  beberapa  kekecewaan    dan  kejutan. Jumlah  partai  bertambah  banyak,  dengan  20  partai  mendapat  kursi.  Hanya  empat
partai yang mendapat lebih dari delapan kursi: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai  politik  dalam  negara  demokrasi  merupakan  keharusan  untuk
mewujudkan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Menurut Muchson:
125 Partai  yang  begitu  banyak  tanpa  adanya  mayoritas  mutlak  dalam  parlemen,
sering berakibat instabilitas dalam jalannya pemerintahan. Melihat kenyataan itu  pengaruh  terhadap  sistem  pemerintahan  yang  sangat  buruk,  bahkan
menimbulkan  perpecahan.  Padahal  UUDS  itu  sendiri  memberikan  landasan yang  cukup  bagi  terselenggaranya  pemerintahan  yang  baik,  dimana
didalamnya  memuat  pokok-pokok  bagi  pelaksanaan  demokrasi  politik, demokrasi  ekonomi  dan  sosial  serta  hak-hak  asasi  manusia.  Dalam
kenyataannya  Pancasila  hanyalah  merupakan  pemanis  pidato  saja.  Yang menonjol adalah individualisme dengan latar belakang kepentingan golongan
atau partai. wawancara, 15 Desember 2010.
Demokrasi  politik  dipakai  alasan  untuk  tumbuhnya  oposisi  yang  destruktif. Demokrasi  ekonomi  tidak  lagi  untuk  membebaskan  kemiskinan,  tetapi  malah
mengaburkan  tujuan  semula  dengan  tumbuh  suburnya  persaingan  bebas.  Demokrasi sosial  bukannya  menciptakan  tata  masyarakat  yang  bersih  dari  unsur-unsur
feodalisme,  malah  semakin  menutup  kemungkinan  rakyat  banyak  untuk  menikmati kemerdekaan. Inilah yang menyebabkan macetnya tugas-tugas pemerintahan.
Secara  politis  kondisi  demikian  sungguh  merupakan  hal  yang  merugikan. Salah  satu  buktinya  adalah  ketidak  mampuan  dari  Konstituante  untuk  menetapkan
UUD  yang  baru  sebagai  pengganti  UUDS  1950.  Yang  menonjol  adalah  persaingan antar partai politik dari golongannya. Sehingga kepentingan nasional yang lebih besar
terabaikan. Dilihat dari kepentingan nasional tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Sehingga
Presiden  Soekarno  selaku  Kepala  Negara  pada  waktu  itu  mengeluarkan  dekrit  yang menyatakan  bahwa  Konstituante  dibubarkan,  serta  kembalinya  ke  UUD  1945,  yang
kemudian menghendaki terbentuknya MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal  5  Juli  1959.  Sejak  itu  pula  dimulainya  babak  baru  pelaksanaan  demokrasi
terpimpin.
126
c. Kondisi Sosial Politik Indonesia Era Demokrasi Terpimpin
Periode  demokrasi  terpimpin  berangkat  dari  Dekrit  Presiden  tanggal  5  Juli 1959 tentang kembali kepada UUD 1945, tetapi dengan mengalami pergeseran arah.
Menurut Husain Haikal: Demokrasi  Pancasila  yang  seharusnya  dipimpin  oleh  hikmat  kebijaksanaan
dalam  permusyawaratan  perwakilan  bergeser  menjadi    konsep  demokrasi yang  dipimpin  oleh  presiden,  pemimpin  besar  revolusi.  Dalam  periode
demokrasi  terpimpin  suara  presiden  seolah-olah  diletakkan  sebagai  suara rakyat yang harus diterima begitu saja sehingga kekuasaan presiden melebihi
yang ditetapkan oleh UUD 1945. Lebih jauh ideologi komunis masuk sangat kuat melalui ideologi Nasakom. wawancara, 7 Juli 2011.
Konflik  politik  sangat  tajam  masuk  dalam  dunia  pendidikan,  di  perguruan tinggi  mahasiswa  terkotak-kotak  dalam  kelompok-kelompok  ideologi  politik  dan
saling  bertengkar  satu  dengan  lainnya  untuk  menduduki  kedudukan  dalam  lembaga kemahasiswaan  dan  untuk  mempengaruhi  opini  massa  mahasiswa  ke  arah
kepentingannya.  Begitu  juga  di  sekolah-sekolah  para  guru  terkotak-kotak  dalam kelompok  persatuan  guru  yang  bertentangan  satu  sama  lainnya  dan  para  siswa  juga
tidak  bebas  dari  pengkotakan  ke  dalam  ideologi  politik.  Pertengkaran  dalam masyarakat  sering  terjadi  dan  ini  mengakibatkan  memburuknya  keadaan  politik  dan
keamanan  masyarakat.  Akibatnya  kehidupan  ekonomi  masyarakat  merosot  sangat tajam. Menurut Moh. Mahfud MD:
Sejak dikeluarkan dekrit itu, dimulailah langgam otoritarian dalam  kehidupan politik  di  Indonesia  di  bawah  bendera  demokrasi  terpimpin.  Demokrasi
terpimpin akan mengolah proses pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat  dan  berdasarkan  semangat  gotong  royong.    Implikasi  sistem  ini
dijabarkan dalam amanat presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang diberi nama Manifesto Politik Manipol yang rinciannya secara sistematis dikenal dengan
akronim  USDEK  atau  UUD  1945,  Sosialisme  Indonesia,  Demokrasi
127 Terpimpin,  Ekonomi  Terpimpin,  Kepribadian  Indonesia.  Moh  Mahfud  MD,
2010: 139. Selama kurun waktu 1959-1965 Presiden Soekarno dengan sistem demokrasi
terpimpinnya menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter. Menurut Armaidy Armawi:
Partai-partai  yang  pernah  marak  pada  era  demokrasi  liberal  secara  praktis menjadi  lemah  dan  tak  berdaya,  kecuali  PKI  yang  dapat  memperluas
pengaruhnya  dengan  berlindung  di  bawah  kekuasaan  Soekarno,  sementara Angkatan  Darat  dapat  memperluas  peran  dan  kekuasaan  politiknya.
wawancara, 8 Juli 2011.
Pengertian  Demokrasi  Terpimpin  bisa  ditemukan  juga  dalam  pidato kenegaraan  Soekarno  tanggal  17  Agustus  1959  yang  berjudul  ”Penemuan  Kembali
Revolusi  Kita”.  Dikatakan  oleh  Soekarno,  butir-butir    pengertian  demokrasi terpimpin  terdiri  dari:  pertama,  tiap  orang  diwajibkan  untuk  berbakti  kepada
kepentingan  umum,  masyarakat,  dan  negara,  kedua,  tiap  orang  mendapat  kehidupan yang layak  dalam masyarakat, bangsa, dan negara Moh Mahfud MD, 2010: 140.
Sementara  menurut  Syafii  Maarif,  sebelumnya  Soekarno  memberikan berbagai  definisi  demokrasi  terpimpin  yang  seluruhnya  tidak  kurang  dari  duabelas
definisi, sebagai berikut: Salah satu formulasinya menyebutkan, demokrasi terpimpin adalah demokrasi
yang  dipimpin  oleh  hikmat  kebijaksanaan  dalam  permusyawaratan perwakilan.  Pada  kesempatan  lain,  Soekarno  mengemukakan,  demokrasi
terpimpin  adalah  demokrasi  kekeluargaan  yang    tanpa  anarki,  tanpa liberalisme,  dan  tanpa  otokrasi  diktator.  Demokrasi  kekeluargaan  yang
Soekarno  maksudkan  adalah,  demokrasi  yang  mendasarkan  sistem pemerintahan  kepada  musyawarah  dan  mufakat  dengan  pimpinan  serta
kekuasaan  sentral  ditangani  seorang  ”sesepuh”,  seorang  tetua  yang  tidak mendiktatori,  tetapi  memimpin  mengayomi.  Siapa  yang  beliau  maksudkan
dengan ”sesepuh” atau ”tetua” pada waktu itu, tidak lain adalah beliau sendiri sebagai penyambung lidah rakyat, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari
keluarga besar bangsa Indonesia. Syafii Maarif, 1988: 34.
128 Dalam  pandangan  Muchtar  Lubis,  betapapun  dari  sudut  definisi  gagasan
demokrasi  terpimpin  tidak  jelek,  tetapi  kehadirannya  tidak  serta  merta  mendapat dukungan  luas,  bahkan  banyak  yang  menolak.  Masyumi  dan  Partai  Katolik  serta
daerah-daerah  bergolak  menolaknya  dengan  tegas.  Sedangkan  PSI,  NU,  PSII,    dan Parkindo menolak secara berhati-hati, namun PKI memberikan dukungan kuat Moh
Mahfud MD, 2010: 141. Dari sela-sela pro-kontra itu, Soekarno berhasil membentuk Kabinet  Djuanda  setelah  Kabinet  Ali  Sastroamidjojo  jatuh  Maret  1957.  Kabinet
Djuanda  yang  dikenal  sebagai  Kabinet  Karya  kemudian  merealisasikan  keadaan darurat  perang  yang  telah  diumumkan  Sokarno  sebelum  pembentukan  kabinet  baru.
Soekarno  membentuk  Dewan  Nasional,  yang  ekstra  konstitusional,  serta berkedudukan  lebih  tinggi  daripada  kabinet,  karena  keanggotaan  dewan
mencerminkan  seluruh  bangsa.  Sedangkan  kabinet  hanya  mencerminkan  parlemen dan Soekarno menjadi ketua dewan yang lebih tinggi daripada kabinet itu.
Kritik  serta  penolakan  terhadap  demokrasi  terpimpin  didasarkan  pada keraguan:  apakah  dengan  kekuasaan  yang  terpusat  di  tangannya  itu,  Soekarno  bisa
konsisten dengan teorinya. Menurut Mahfud MD: ....bahwa  segala-galanya  akan  ada  di  dalam  demokrasi  terpimpin  itu,  kecuali
demokasi,  segala-galanya  mungkin  ada,  kecuali  kebebasan  jiwa...Dalam istilah  biasa  yang  semacam  itu  kita  namakan  diktator,  suatu  diktator
sewenang-wenang. Moh Mahfud MD, 2010: 141.
Menurut  Soempono  Djojowadono  Moh  Mahfud  MD,  2010:  141,  selain maksud-maksud  yang  tidak  pernah  diungkapkan,  reaksi-reaksi  penolakan  terhadap
demokrasi  terpimpin  didasarkan  pada  alasan,  bahwa  pengertian  terpimpin bertentangan  dengan  asas  demokrasi.  Syarat  mutlak  demokrasi  adalah  kebebasan,
129 sedangkan  istilah  terpimpin  sudah  menghilangkan  kebebasan.  Oleh  sebab  itu,
demokrasi terpimpin  disamakan dengan diktator, atau setidak-tidaknya pasti menuju ke kondisi  diktator.
Sejarah  membuktikan,  apa  yang  dikhawatirkan  para  penentang  demokrasi terpimpin benar, sebab dalam praktiknya, Soekarno melakukannya jauh dari apa yang
diteorikan.  Seperti  telah  dikemukakan  di  atas,  Dekrit  Presiden  5  Juli  1959,  telah menjadi  jalan  lurus  bagi  sistem    Demokrasi  Terpimpin  yang  realitasnya  tidak
demokratis, malahan   telah menjelmakan  Soekarno menjadi seorang  diktator. Deliar Noer 1966: 12 misalnya, menulis bahwa:
Demokrasi  terpimpin  justru  memperlihatkan  ”hilangnya  demokrasi  dan  yang tinggal
hanya terpimpinnya.
Soekarno benar-benar
melaksanakan keinginannya,  lebih  jauh  setelah  Hatta  mengundurkan  diri  dari  jabatannya
sebagai  wakil  presiden.  Konstituante  dan  DPR  yang  dibentuk  berdasarkan hasil  Pemilu  dibubarkannya,  kemudian  membentuk  Dewan  Nasional  yang
pada gilirannya dibubarkan sendiri juga.
Perilaku  Soekarno  semasa  demokrasi  terpimpin  jauh  menyimpang,  bahkan bertentangan dengan pemikiran politiknya sendiri. Di puncak kekuasaannya, presiden
memperlihatkan  tingkah  laku  yang  sewenang-wenang.  Itu  semua  menyebabkan timbulnya  penilaian  bahwa  tingkah  laku  politik  Soekarno    telah  menyeleweng  dari
Demokrasi  Pancasila  dan  lebih  dari  itu  mengandung  ciri  otoriter.  Upaya  Soekarno untuk  memperluas  wewenangnya  secara  melampaui  batas-batas  konstitusionalnya
tidak memperoleh  halangan. Dengan  demikiaan,  Soekarno  pribadi,  Soekarno  pada  dirinya  sendiri
berkembang  menjadi  suatu  kekuatan  politik  yang  setingkat  dengan  partai- partai  dan  merupakan  faktor  yang  menentukan  dalam  kehidupan  politik
Indonesia sejak akhir tahun lima puluhan. Nugroho Notosoesanto, 1975: 72.
130 Pada  akhirnya  gagasan    demokrasi  terpimpin  mendapat  dukungan  dari
lembaga-lembaga  negara  yang  telah  diatur  oleh  kekuasaan  Soekarno.  Pada  tahun 1965  MPRS  mengeluarkan  ketetapan  No.  VIIIMPRS1965,  yang  berisi  pedoman
pelaksanaan demokrasi terpimpin. Ketetapan ini memuat isi yang menentukan proses pengambilan  keputusan  yang  harus  dilakukan  dengan  musyawarah  mufakat,  tetapi
jika  musyawarah  mufakat  tidak  dapat  dicapai,  maka  keputusannya  diserahkan  pada pimpinan.  Mekanisme  yang  demikian  tentu  saja  akan  memberikan  peluang  pada
Soekarno  untuk  mnguasai  setiap  pengambilan  keputusan.  Sebab  sangat  sulit  jika setiap  musyawarah  harus  selalu  mufakat  bulat.  Akhirnya  pimpinanlah  yang  akan
menentukan segalanya. Tak  dapat  dibantah  memang,  jika  dibandingkan  dengan  masa  sebelumnya,
garis  politik  yang  ditempuh  Soekarno  dapat  memperlihatkan    stabilitas,  terutama setelah  dilakukannya  penyederhanaan  sistem  kepartaian  dan  dibentuknya  Front
Nasional. Tetapi stabilitas yang hidup waktu itu adalah stabilitas semu, sebab seperti ternyata  kemudian  ia  tidak  meletakkan  dasar  yang  kuat  dalam  proses  penggantian
kepemimpinan.  Stabilitas  yang  ada  waktu  itu  hanya  mengandalkan  pada  adanya tokoh politik yang dapat mengelola Front Nasional yang seolah-olah mewakili sistem
partai tunggal yang tak kentara. Melalui sistem satu partai tak kentara ini dibina suatu gaya  yang  berorientasi  pada  nilai  secara  mutlak  dengan  konsekuensi  bahwa
interpretasi dari pemerintah harus selalu dianggap benar tanpa ada tawaran dan tidak mengenal alternatif lain Rusadi Kartaprawira, 1977: 147.
Pada  era  Orde  Lama  ini  situasi  sosial  politik  didominasi  oleh  ideologi komunisme,  sehingga  politik  nasional  cenderung  diarahkan  ke  pembentukan
131 masyarakat  yang  berbau  sosialismekomunisme.  Puncak  kehidupan  politik  nasional
adalah  terjadinya  pemberontakan  Partai  Komunis  Indonesia  tahun  1965  yang  lebih dikenal dengan Gerakan 30 September PKI.
2. Orde Baru
Orde Baru dimaknai sebagai tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara Indonesia, yang diletakkan kembali kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan  UUD  1945.  Dengan  rumusan  ini  tampak  dengan  jelas  bahwa  apa  yang  disebut Orde  Baru  merupakan  orde  yang  ingin  mengoreksi    dan  mengadakan  introspeksi
secara mendasar dan menyeluruh atas praktek pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah disalaharahkan oleh Orde Lama. Usaha untuk kembali kepada kemurnian
Pancasila dan UUD 1945 terjadi setelah pemberontakan G 30 SPKI.  Menurut Tilaar: Tujuan  Orde  Baru  adalah  mencapai  masyarakat  yang  adil  dan  makmur
berdasarkan  Pancasila  dalam  wadah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia. Selain  itu  Orde  Baru  ikut  mewujudkan  ketertiban  dunia    yang  berdasar
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Secara lebih nyata Orde Baru  ingin  mencapai  dua  sasaran  pokok,  yaitu  pemilihan  umum  yang  akan
memilih  wakil-wakil  rakyat  serta  memilih  presiden  dan  pemerintahan  baru secara  konstitusional.  Selanjutnya,  menyediakan  bahan-bahan  pokok  yang
dibutuhkan  oleh  rakyat  dalam  volume  yang  cukup  dan  dengan  harga  yang terjangkau oleh daya beli rakyat. Tilaar, 1995: 111.
Orde  Baru  adalah  sebuah  rezim    di  bawah  pimpinan  Soeharto,  yang  tampil setelah  keruntuhan  Demokrasi  Terpimpin.  Pada  umumnya  diterima  kesepakatan
bahwa,  awal  kelahiran  Orde  Baru  adalah  pada  saat  diterimanya  Surat  Perintah Sebelas  Maret  1966  Supersemar  dari  Soekarno  oleh  Soeharto  yang  kemudian  si
penerima dalam  waktu sangat cepat membubarkan PKI BP-7 Pusat, 1990: 71. Orde  Baru  itu  sendiri  secara  resmi  didefinisikan  sebagai  ”tatanan  kehidupan
negara  dan  bangsa  yang  diletakkan  kembali  pada  pelaksanaan  kemurnian  Pancasila
132 dan  UUD  1945  Joeniarto,  1990:  149.  Masyarakat  Orde  Baru  adalah  masyarakat
Indonesia  yang  bertekad  melaksanakan  Pancasila  dan  UUD  1945  secara  murni  dan konsekuen.  Ada  baiknya  dikemukakan  di  sini  cuplikan  pengertian  Orde  Baru
sebagaimana dirumuskan dalam Seminar II Angkatan Darat: 1 Musuh utama Orde Baru adalah PKI dan pengikut-pengikutnya yaitu Orde
Lama. 2 Orde Baru adalah suatu sikap mental. 3 Tujuan Orde Baru adalah menciptakan  kehidupan  politik,  ekonomi,  dan  kultural  yang  dijiwai  oleh
moral  Pancasila,  khususnya  sila  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.  4  Orde  Baru menghendaki  pemikiran  yang  lebih  realistis  dan  pragmatis,  walaupun  tidak
meninggalkan  idealisme  perjuangan.  5  Orde  Baru  menghendaki diutamakannya  kepentingan  nasional,  walaupun  tidak  meninggalkan
komitmen  ideologi  perjuangan  anti  imperialisme  dan  kolonialisme.  6  Orde Baru  menginginkan  suatu  tata  susunan  yang  lebih  stabil,  berdasarkan
lembaga-lembaga, misalnya MPR, DPR,  Kabinet dan yang tidak dipengaruhi oleh  oknum-oknum  yang  dapat  menimbulkan  kultus  individu,  akan  tetapi
Orde  Baru  tidak  menolak  pimpinan  yang  kuat  dan  pemerintahan  yang  kuat, malahan menghendaki ciri-ciri yang demikian dalam masa pembangunan. 7
Orde Baru menghendaki pengutamaan konsolidasi ekonomi dan sosial dalam negeri.  8  Orde Baru  menghendaki pelaksanaan  yang sungguh-sungguh dari
cita-cita  demokrasi  politik  dan  demokrasi  ekonomi.  9  Orde  Baru menghendaki  suatu  tata  politik  dan  ekonomi  yang  berlandaskan  Pancasila,
UUD  1945,  dan  yang  mempunyai  prinsip  idiil,  operasional  dalam  ketetapan MPRS  IV1966.  10  Orde  Baru  adalah  suatu  tata  politik  dan  ekonomi  yang
belum  mempunyai  kenyataan,  yang  ada  baru    suatu  iklim  yang  cukup menguntungkan  bagi  pertumbuhan  Orde  Baru  ini.  11  Orde  Baru  adalah
suatu proses peralihan dari Orde Lama ke suatu susunan baru. 12 Orde Baru masih  menunggu  pelaksanaan  dari  segala  Ketetapan  MPRS  IV1966.  13
Orde Baru harus didukung oleh tokoh pimpinan yang berjiwa Orde Baru yang menduduki tempat-tempat yang strategis. 14 Orde Baru harus didukung oleh
suatu  imbangan  kekuatan  yang  dimenangkan  oleh  barisan  Orde  Baru. Joeniarto, 1990: 149.
Pemerintah Orde Baru  yang bersemboyan melaksanakan Pancasila dan UUD
1945  secara  murni  dan  konsekuen,  juga  melahirkan  sistem  pemerintahan  yang otoriter,  terutama  pelanggaran  terhadap  hak-hak  sipil  dan  hak-hak  politik  rakyat
sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. Menurut Moh. Mahfud MD:
133 Soeharto  membangun  sistem  politik    yang  korporatis  atau  rezim  militer
teknokratis. Kekerasan-kekerasan politik banyak dilakukan oleh pemerintahan Soeharto  melalui  pembatasan  dan  pengendalian  dengan  koersi  penekanan
terhadap  partai  politik,  ormas,  dan  berbagai  LSM.  Yang  membedakan atoriterisme  Soekarno  dan  otoriterisme  Soeharto  adalah  cara    membangun
sistem  tersebut.  Era  Soekarno  membangun  otoriterisme  dengan  terang- terangan  melanggar  konstitusi  sedangkan  pada  era  Soeharto  otoriterisme
dibangun  melalui formalisasi  pemuatan di dalam aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah yang sebenarnya  melanggar konstitusi, artinya, banyak
pelanggaran  konstitusi  dan  hukum  dilakukan,  tetapi  secara  prosedural  diberi bentuk    hukum  dijadikan  peraturan  perundang-undangan  dulu  sehingga
”seolah-olah” menjadi benar secara hukum. Moh. Mahfud MD, 2009: 136.
a. Konfigurasi Politik
Meskipun  para  pakar  mencoba  memberi  identifikasi  yang  satu  sama  lain berbeda, tetapi ada persamaan di antara mereka bahwa Indonesia di bawah Orde Baru
menampilkan  konfigurasi  politik  yang  tidak  demokratis.  Abdurrahman  Wahid dalam  Moh  Mahfud  MD,  2010:  229  menggambarkan  secara  lebih  lugas  bahwa
Indonesia di era Orde Baru ”...ini kan otoriter, belum sampai ke taraf tirani”. Di  samping  karena  logika  pembangunan  yang  tentu  berbeda,  konfigurasi
politik  pada  Orde  Baru  dapat  dibedakan  dari  Orde  Lama  dalam  hal  tumpuannya. Seperti dikatakan oleh Alfian:
Kalau  Soekarno  terutama  mengandalkan  kekuasaannya  pada    pengaruh karismanya  sebagai  seorang  pemimpin  dan  pada  kepandaiannya  memegang
kunci  keseimbangan  antara  kekuatan-kekuatan  politik  yang  saling  bersaing dan  bertentangan,  maka  Soeharto  terutama  mengandalkan  kekuasaannya
sebagai  kepala  eksekutif  pada  organ-organ  politik  yang  kuat,  militer  dan Golkar. Oleh karena itu, kalau kekuasaan politik Soekarno yang besar tampak
tidak  efektif  karena  tidak  adanya  organ  politik  yang  kuat  sebagai  landasan, maka  kekuasaan  politik  Soeharto  dengan  adanya  militer  dan  Golkar  yang
menjadi  landasan  dan  pendukung  utamanya  tampak  sangat  efektif.  Alfian, 1974: 53.
134
b. Partai dan DPR
Tekad  Orde  Baru  menjamin  stabilitas  politik  dalam  rangka  pembangunan ekonomi  mempunyai  implikasi  tersendiri  pada  kehidupan  partai-partai  dan  peran
lembaga  perwakilan  rakyat.  Sejak  awal  pemerintah  sudah  mempunyai  obsesi  untuk menghentikan  kericuhan-kericuhan  politik.  Untuk  itu  salah  satu  cara  yang  dapat
ditempuh adalah mengatur sistem kepartaian sedemikian rupa, agar partai-partai yang ada  tidak  melakukan  pertikaian  yang  dapat  mengganggu  ketenangan  pemerintah
dalam melaksanakan pembangunan.
Pada  saat  bersamaan  dengan  pengebirian  terhadap  partai-partai,  pemerintah telah  membina  dan  membangun  Golkar  menjadi  kuat  melalui  berbagai  fasilitas.
Menurut Afan Gaffar: Golkar tampil sebagai  partai hegemonik,  partai  yang  tidak tertandingi,  yang
menjadi  mesin  politik  pengontrol  seluruh  spektrum  dalam  proses  politik  di Indonesia,  sedangkan  partai-partai  lain  hanya  menjadi  partai  kelas  dua  atau
licenced  parties.  Hasil  Pemilu  1971  memberi  kemenangan  yang  luar  biasa bagi pemerintah karena Golkar meraup dukungan suara 62,8 dari kursi yang
diperebutkan.  Dengan  modal  itu,  pada  masa-masa  selanjutnya  pemerintah bersama  Golkar  mengambil  porsi  yang  dominan  dalam  semua  spektrum
proses politik dan  menjadikan Orde Baru sebagai negara  kuat. Afan  Gaffar, 1992: 186.
Komposisi  kekuatan  di  MPR  mengalami  hal  yang  sama:  fraksi  pemerintah tetap dominan. Sebab di samping seluruh anggota DPR adalah anggota MPR, masih
ada dua hal lagi yang mengokohkan dominasi itu: Pertama, keanggotaan MPR selain dari DPR diangkat pula oleh presiden. Kedua, utusan-utusan golongan setelah hasil
perimbangan  lebih  banyak  ditentukan  oleh  presiden.  Jadi,  dalam  komposisi  ini terjadi ketidakselarasan komposisi keanggotaan MPR dengan struktur masyarakat.
135 Sebagai  akibat  dari  lemahnya  lembaga  perwakilan  tersebut,  maka  hampir
semua  produk  legislasi  yang  disahkan  sebagai  perwakilan  berasal  dari  usulan pemerintah.  Menurut  Alfian  peranan  presiden  atau  pemerintah  dalam  mengambil
inisiatif mengajukan RUU amatlah dominan: ”Selama  Orde  Baru,  dan  bahkan  selama  ada  DPR  hasil  Pemilu  pada  Orde
Baru  tidak  ada  inisiatif  usul  RUU  yang  berasal  dari  kalangan  DPR  sehingga merisaukan berbagai kalangan dalam masyarakat”. Alfian, 1990: 48.
Pada  umumnya  DPR  hanya    melakukan  perbaikan  semantik  tidak  prinsip  atas rancangan-rancangan yang disampaikan oleh pemerintah.
c. Pemerintah yang Dominan
Upaya  teoritisasi  politik  Orde  Baru  yang  dilakukan  oleh  para  pakar menunjukkan  kesamaan  pandangan  dalam  satu  hal  bahwa:  ”peranan  pemerintah
dalam  rezim  Orde  Baru  sangatlah  besar,  intervensionis,  dan  berada  di  atas  berbagai kelompok  yang  hidup  di  tengah  masyarakat”.  Dalam  proses  pembuatan  keputusan
legislasi  tampak  dengan  jelas  betapa  dominasi  pemerintah  bukan  hanya  dalam pengelolaan  eksekutif,  tetapi  juga  dalam  kegiatan  legislatif.  Produk-produk  MPR
hampir seluruhnya berasal dari sumbangan pemerintah, termasuk GBHN yang sangat penting  itu.  Paling  tidak  sampai  dengan  Sidang  Umum  MPR  1988  bahan-bahan
GBHN dihimpun oleh Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional Wanhankamnas untuk kemudian disusun oleh tim dalam sistematika yang sudah hampir final. Kedua
”tim kerja” ini dibentuk oleh presiden. Sejak  tampilnya  anggota-anggota  DPR  hasil  Pemilu  1971  semua  produk
hukum  yang  berbentuk  UU  berasal  dari  rancangan  yang  diusulkan  oleh  pemerintah.
136 Perbedaan  para  sarjana  dalam  memandang  realita  kepolitikan  Orde  Baru  pada
dasarnya terletak pada upaya identifikasi saja. Menurut Moh Mahfud MD: Sistem  politik  Orde  Baru  bukanlah  sistem  yang  demokratis.  Benedict
Anderson,  Donald  K  Emerson,  R.  William  Liddle,  dan  Yahya  Muhaimin memandang  kenyataan  tersebut  sebagai    pemunculan  kembali  budaya
patrimonialisme  dalam  budaya  Jawa.  Ruth  T.  Mc.Vey  dan  Farchan  Bulkin menyebutkan  ”beamtenstaat”  pascakolonial.  Karl  D  Jackson  menyebutnya
”bureucratic  polity”  sebagai  identifikasi  yang  tepat.  Dwight  Y  King  juga menunjuk model ”bureaucratic authoritarian regime” yang berimplikasi pada
strategi  korporatisme  sebagai  penjelasannya.  Sedangkan  Abdul  Kadir  Besar, yang  didukung  oleh  Padmo  Wahjono,  memberikan  pembenaran  pada  realita
kepolitikan  Orde  Baru  dengan  menunjukkan  paham  integralistik  sebagai paham resmi yang dianut oleh UUD 1945. Dalam semua upaya teoritisasi itu
tersimpul  bahwa  kontestasi  dan  partisipasi  politik  dari  kekuatan-kekuatan  di luar  birokrasi  masih  sangat  lemah  sehingga  banyak  sarjana,  seperti  Afan
Gaffar,  mengualifikasikan  juga  sebagai  ”sistem  politik  hegemoni.  Moh Mahfud MD, 2010: 239.
d. Kebebasan Pers
Pada  awal  kelahiran  Orde  Baru,  kehidupan  pers  mendapat  angin  segar. Kebebasan  pers  diberi  harapan  untuk  berkembang  seperti  yang  diinginkan  oleh
kalangan pers sendiri, yakni keluar dari belenggu sistem politik otoriter, seperti  yang dialami pada era Orde Lama. Oleh sebab itu, kritik-kritik  yang pedas sering muncul
dalam  media pers pada  waktu itu, baik ditujukan rezim  yang baru jatuh Demokrasi Terpimpin maupun kepada rezim yang baru naik ke pentas politik. Pemerintah Orde
Baru  bersikap  toleran  terhadap  cara  penyajian  yang  kadangkala  ”panas”  itu.  Pers mahasiswa  kembali  meraih  puncak  kebesarannya,  dan  bersama  dengan  pers  umum
menikmati  keleluasaan  mengekspresikan  apa  saja.  Moh  Mahfud  MD,  2010:  233. Namun  gaya  libertarian  pada  era  Orde  Baru  hanyalah  bersifat  sementara,  yakni
selama pemerintah memantapkan pembuatan format politik baru di Indonesia. Segera
137 setelah  format  politik  baru  itu  terbentuk  melalui  UU  No.  151969  dan  UU  No.
161969  mulailah  gaya  libertarian  bergeser  ke  gaya  otoritarian  dan  pemberedelan terhadap pers tetap terjadi  secara terus  menerus.  Lebih lanjut menurut  Moh Mahfud
MD: Pada periode ini sudah ada UU yang mengatur kehidupan pers, yakni UU No.
11  Tahun  1966,  mengenai  Ketentuan-ketentuan  Pokok  Pers  UU  ini dikeluarkan pada  awal  Orde Baru, tetapi  ketika  itu Presiden  Soekarno  masih
menjadi presiden. Oleh karena itu UU ini dapat disebut UU yang dibuat pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Meskipun UU ini ditandatangani
oleh Soekarno pada 12 Desember 1966, tapi istilah demokasi terpimpin tidak tercantum di dalamnya. Pada waktu itu Soekarno secara resmi masih presiden,
tetapi kekuasaannya yang riil telah berpindah kepada Soeharto sejak 11 Maret 1966.  Dan  sebelum  UU  itu  diundangkan  Orde  Baru  telah  lahir  dengan
membawa perlawanan terhadap konsep Demokrasi Terpimpin. Moh Mahfud MD, 2010: 234.
Setelah peristiwa Malari 15 Januari 1974 pemerintah memberedel beberapa penerbitan pers umum, seperti Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, dan harian KAMI.
Begitu  juga  setelah  Pemilu  1977  atau  menjelang  sidang  umum  MPR  tahun  1978, beberapa  surat  kabar  umum  seperti  Kompas,  Sinar  Harapan,  Merdeka,  Indonesia
Timur,  Sinar Pagi, Pelita, Masa  Kini diberedel meskipun  kemudian boleh terbit lagi setelah  para  pimpinannya  membuat  pernyataan  tertentu.  Semula  pers  mahasiswa
dianggap sebagai cagar kebebasan pers, dan kerenanya, setelah beberapa pers umum terkekang  dengan  ancaman  pemberedelan,  pers  mahasiswa  menggantikan  peranan
pers  umum  untuk  menyampaikan  pemberitaan  secara  lugas.  Tetapi  pers  mahasiswa juga  dikenakan  larangan  terbit  diberedel  pada  waktu  itu  Daniel  Dhakidae,  1977:
73. Meskipun setelah enam bulan pers mahasiswa boleh terbit kembali, tetapi belum setahun setelah itu beberapa pers mahasiswa seperti Salemba UI, Gelora Mahasiswa
UGM,  Kampus  ITB,  diberhentikan  penerbitannya.  Setelah  itu  pers  mulai  bisa
138 menyesuaikan  diri,  tetapi  pemberedelan  sekali-kali  tetap  terjadi.  Pada  tahun  1982
Tempo  biberedel  sementara  karena  reportasenya  mengenai  peristiwa  ”Lapangan Banteng”  Peristiwa  ini  adalah  ”huru-hara”  yang  menimbulkan  kerusakan  di  Jakarta
ketika  ada  kampanye  Golkar  di  Lapangan  Banteng  yang  kemudian  bentrok  dengan simpatisan kontestan lain. Menuyusul harian Prioritas yang sebelumnya telah berkali-
kali  mendapat  peringatan    dari  Deppen  dan  Harian  Sinar  Harapan  1986  serta mingguan  tabloid  Monitor  yang  diberedel  pada  tahun  1990.  Akhirnya  pada  tahun
1994,  tiga  penerbitan  yang  sangat  berpengaruh  diberedel,  yaitu  Tempo,  Editor,  dan Detik. Di kalangan dunia pers Indonesia belakangan ini dikenal juga istilah ”lembaga
telepon”  yang  dianggap  bertendensi  penyensoran  secara  halus.    Dengan  melalui telepon,  biasanya  seorang  pejabat  minta  kepada  redaksi  untuk  tidak  memuat  berita-
berita tertentu. Moh Mahfud MD, 2010: 232.
e. Hegemoni Soeharto
Pemerintah  Orde  Baru  dengan  ketat  sebenarnya  menerapkan  sistem  satu partai.  Sejak  awal  tahun  1970-an  hingga  1998,  formalnya  hanya  tiga  partai  yang
boleh  hidup,  yakni  Golkar,  PPP,  dan  PDI.  Dua  partai  yang  disebut  belakangan  itu adalah hasil ”fusi paksa”  yang disponsori pemerintah terhadap sembilan  partai  yang
eksis    dalam  Pemilu  1971,  pemilihan  umum  pertama  di  bawah  Orde  Baru.  Kendati Golkar resminya bukan partai politik, melainkan hanya sebuah kelompok fungsional
semata, pada praktiknya, Golkar adalah satu-satunya  ”partai sejati” sepanjang  rezim Orde Baru.
Guna  memperkuat  kontrol  terhadap  partai  yang  ada,  Pasal  14  1  UU  No.  1 Tahun 1985 tentang Partai Politik:
139 Memberi kewenangan kepada Presiden untuk membubarkan partai  yang tidak
sesuai dengan tujuan negara. Lebih jauh lagi, masih  menurut  Pasal 2 1 UU yang sama, partai politik harus menerima Pancasila, falsafah negara, sebagai
satu-satunya  landasan,  alias  asas  tunggal.  Vatikiotis  berpendapat    bahwa kontrol  melalui  prinsip  asas  tunggal  ini  adalah  pembatasan    sangat  efektif
yang  dilakukan  Orde  Baru  terhadap  ruang  gerak  masyarakat.  Langkah  ini merupakan  pengebirian    terhadap  semua  partai  politik,  dengan  meletakkan
kekuatan  Islam  ke  dalam  cengkeraman  ketat  kontrol  negara.  Denny Indrayana, 2007: 142.
Pemerintah  Soeharto  jelas  bersikap  pilih  kasih,  dengan  membeda-bedakan bobot kontrolnya di antara ketiga partai yang ada. Terhadap PPP dan PDI, pemerintah
bersikap  jauh  lebih  ketat  dan  keras,  ketimbang  terhadap  Golkar.  Yang  terakhir  ini dengan  cepat  menjadi  partai  politik  negara  yang  intim  dengan  militer  Indonesia.
Pemerintah Soeharto membantu kinerja Golkar, hasilnya, seperti terlihat dalam Tabel 1, Golkar tak terkalahkan dalam semua Pemilu  yang digelar sepanjang sejarah Orde
Baru: 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Tabel  9
Hasil Pemilu Orde Baru 1971-1997 Tahun
Golkar total
jumlah kursi
Golkar total
jumlah suara
PPP total
jumlah kursi
PPP total
jumlah suara
PDI total
umlah kursi
PDI total
jumlah suara
1971 66
59 27
26 8
9 1977
64 56
28 27
8 8
1982 60
64 24
28 6
8 1987
75 73
15 16
10 11
1992 70
68 16
17 14
15 1997
76 75
21 22
3 3
Sumber:  Denny  Indrayana,  2007:  146.  Denny  Indrayana.  2007.  Amandemen  UUD  1945,  antara mitos dan pembongkaran. Bandung:  Penerbit Mizan.
Salah  satu  di  antara  mekanisme  yang  digunakan  untuk  membantu  Golkar, agar selalu menang dalam setiap Pemilu, adalah:
140 Kewajiban  bagi  para  pegawai  negeri  sipil  untuk  selalu  mendukung  Golkar.
Semua  PNS  secara  otomatis  menjadi  anggota  Korpri,  sebuah  lembaga  yang setali tiga uang dengan Golkar, dan sejak awal 1970-an semua anggota Korpri
diwajibkan  menandatangani  sebuah  surat  yang  menyatakan  “monoloyalitas” mereka  kepada  Golkar.  Mereka  yang  melanggarnya  dianggap  telah
melakukan tindak pengkianatan dan hal demikian sudah cukup untuk menjadi alasan pemecatan. Denny Indrayana, 2007: 144.
Lama-kelamaan program-program pemerintah Orde Baru tidak diperuntukkan bagi  kepentingan  rakyat.  Ambisi  penguasa  Orde  Baru  mulai  merambah  keseluruh
sendi-sendi  kehidupan  ketatanegaraan  Indonesia.  Kekuasaan  Orde  Baru  menjadi otoriter,  namun  seolah-olah  dilaksanakan  secara  demokratis.  Penafsiran  pasal-pasal
UUD 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan isi yang tertuang dalam UUD tersebut, melainkan dimanipulasi demi kepentingan sang penguasa. Bahkan Pancasila diperalat
demi  legitimasi  kekuasaan.  Hal  itu  terbukti  dengan  adanya  Ketetapan  MPR  No. IIMPR1978, tentang P4 yang dalam kenyataannya sebagai  media untuk propaganda
kekuasaan Orde Baru. Realisasi  UUD  1945  praktis  lebih  banyak  memberikan  porsi  pada  presiden,
walaupun  sesungguhnya  UUD  1945  memang  memberi  wewenang  yang  amat  besar pada  lembaga  kepresidenan,  akan  tetapi  presiden  hanyalah  mandataris  MPR  serta
dalam  menjalankan  pemerintahan  diawasi  oleh  DPR.  Dalam  kenyataan  di  lapangan posisi legislatif berada dibawah presiden. Seperti tampak dalam UU tentang Susunan
dan  Kedudukan  MPR,  DPR  dan  DPRD,  UU  tentang  Partai  Politik  dan  Golongan Karya,  serta  UU  tentang  Pemilihan  Umum,  posisi  presiden  terlihat  sangat  dominan.
Dengan  paket  UU  politik  tersebut  praktis  secara  politis  kekuasaan  legislatif  berada dibawah  presiden.  Selanjutnya  hak  asasi  rakyat  juga  sangat  dibatasi  serta  dikekang
demi  kekuasaan,  sehingga  amanat  pasal  28  UUD  1945  jauh  dari  kenyataan.  Akibat
141 kekuasaan  yang  nyaris  tanpa  kontrol  tersebut  akhirnya  penguasa  Orde  Baru
cenderung  melakukan  penyimpangan  hampir  di  semua  sendi  kehidupan  bernegara. Korupsi  kolusi  dan  nepotisme  KKN  merajalela  dan  membudaya,  pertumbuhan
ekonomi hanya dinikmati segelintir orang yang dekat dengan penguasa, kesenjangan semakin  melebar,  utang  luar  negeri  menjadi  menggunung,  akhirnya  badai  krisis
ekonomi  menjalar  menjadi  krisis  multi  dimensi.  Rakyat  yang  dipelopori  mahasiswa menuntut  dilakukannya  reformasi  di  segala  bidang.  Akhirnya  runtuhlah  Orde  Baru
bersamaan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
3. Era Reformasi
Era  reformasi  adalah  suatu  era  yang  dimulai  sejak  tumbangnya  rezim  Orde Baru  di  Indonesia  yang  telah  berkuasa  lebih  dari  tiga  dasawarsa.  Jatuhnya  Soeharto
dari  kekuasaan  digantikan  oleh  B.J.  Habibie.  Dengan  demikian  Era  Reformasi dimulai  sejak  pemerintahan  B.J.  Habibie.  Perubahan  politik  yang  diawali  dengan
krisis  multidimensi  sejak  pertengahan  1997  membawa  implikasi  signifikan  bagi proses  terciptanya  suatu  tatanan  politik  baru  yang  terbuka,  transparan,  dan
demokratis.  Krisis  ini  berlanjut  pada  berbagai  bidang  dan  sebagai  akibat  dari akumulasi  krisis  bangsa,  pada  21  Mei  1998  Soeharto  menyatakan  berhenti  dari
jabatannya  sebagai  Presiden.  Sejak    itu,  politik  Indonesia  mengalami  perubahan penting.  Kejatuhan  Soeharto  melalui  gerakan  reformasi  1998  merupakan  titik  awal
bagi  reformasi seluruh sistem politik dan birokrasi negara.  Oleh  karena sistem lama tidak  lagi  dapat  merespons  arus  deras  perubahan,  maka  diperlukan  sistem  baru  dan
aktor baru.
142 Dari  hasil  wawancara  dengan  Muchson  dapat    diambil  kesimpulan  sebagai
berikut: Gerakan  reformasi  semakin  menguat  ketika  krisis  moneter  yang  terjadi  pada
Juli  1997  tidak  dapat  segera  diatasi,  bahkan  berkembang  menjadi  krisis ekonomi  dan  krisis  multi  dimensional,  yang  akhirnya  gagal  ditangani  oleh
rezim  Orde  Baru.  Padahal  keberhasilan  pemerintah  Orde  Baru  dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi sejak lama dijadikan alat legitimasi
pemerintah,  terutama  dalam  menghadapi  tuntutan  kelompok-kelompok demokrasi,  untuk  segera  melakukan  proses  keterbukaan  politik.  Terjadinya
krisis  ekonomi  yang  gagal  ditangani  oleh  rezim  Soeharto  tersebut menyebabkan tidak validnya keberhasilan ekonomi ini sebagai alat legitimasi.
Kegagalan  dalam  menangani  krisis  moneter  dan  ekonomi  itu  membuat Soeharto dan rezim Orde Baru yang dipimpinnya menyerah pada tuntutan reformasi.
Mahasiswa  dan  masyarakat  berhasil  mendesak  pimpinan  DPRMPR  untuk  meminta Soeharto  presiden  yang  telah  berkuasa  lebih  dari  30  tahun  tersebut,  mundur  dari
jabatannya.  Akhirnya  Soeharto  mundur  dari  panggung  politik  pada  tanggal  21  Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa.
Posisi  Soeharto  segera  digantikan  oleh  Wakil  Presiden  BJ  Habibie,  yang dikenal  luas  sebagai  anak  didik  Soeharto.  Presiden  BJ  Habibie  langsung  memenuhi
tuntutan  rakyat  dan  kelompok  pro-demokrasi  untuk  menggelar  pemilu  demokratis pertama era reformasi 1999. Meski telah mengakomodasi tuntutan politik kelompok-
kelompok  pro-demokrasi  dan  reformasi,  pertanggungjawaban  BJ  Habibie  sebagai presiden  ternyata  ditolak  oleh  MPR.  Melihat  kenyataan  tersebut,  Habibie  kemudian
menyatakan  tidak  bersedia  untuk  dicalonkan  kembali  sebagai  presiden.  Menurut Akbar Tanjung 2008: 30:
Dalam kondisi politik yang masih labil, MPR akhirnya berhasil memilih dan mengangkat  Abdurrahman  Wahid  Ketua  Dewan  Syuro  Partai  Kebangkitan
Bangsa  PKB  sebagai  presiden,  menggantikan  BJ  Habibie.  Kurang  dari  dua
143 tahun  berkuasa,  Presiden  Abdurrahman  Wahid  jatuh  dari  kekuasaan,  setelah
terjadi  konflik  dengan  partai  politik  di  DPR.  Megawati  Soekarnoputri,  wakil presiden  dan  juga  Ketua  Umum  Partai  Demokrasi  Indonesia  Perjuangan
PDIP,  pemenang  Pemilu  1999,  pada  23  Juli  2001  oleh  MPR  diangkat menjadi presiden sampai 2004. Perubahan dan dinamika politik era reformasi
terjadi sangat cepat, sehingga antara 1998-2004 Indonesia telah memiliki tiga orang  presiden.  Lewat  Pemilu  Presiden  secara  langsung  oleh  rakyat  pada
tahun  2004  Presiden  Susilo  Bambang  Yudhoyono  menggantikan  Presiden Megawati dan berkuasa hingga saat ini. Akbar Tanjung, 2008: 29.
Reformasi politik 1998 membalikkan situasi politik di Indonesia. Kepolitikan
otoriter  era  Orde  Baru  digantikan  oleh  sistem  politik  yang  demokratis  pada  era reformasi.  Meskipun  Soeharto  berhasil  menyerahkan  jabatan  presiden  kepada  BJ
Habibie  namun  Soeharto  gagal  mewariskan  struktur  politik  Orde  Baru  secara  utuh kepada wakilnya itu. Menurut Akbar Tanjung 2008: 30.
Indonesia  pasca  Orde  Baru  berupaya  mencari  sebuah  bentuk  sistem kepolitikan  nasional  yang  demokratis.  Upaya  tersebut  dilakukan  dengan
menghilangkan  dan  menggantikan  berbagai  aturan  yang  tidak  demokratis, menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, serta berbagai
momentum demokrasi politik lainnya. Pemerintah  Presiden  Bacharuddin  Jusuf  Habibie,  telah  menunjukkan  tekad
yang kuat untuk melakukan reformasi nasional di semua aspek kehidupan berbangsa dan  bernegara.    Menurut    Samsuri  2010:  5  Presiden  Habibie  melakukan  langkah
sebagai berikut: Pada  7  Desember  1998  Presiden  Habibie  membentuk  sebuah  Tim  Nasional
Reformasi  Menuju  Masyarakat  Madani  melalui  Keputusan  Presiden  RI  No. 198  Tahun  1998.  Tim  ini  dipimpin  oleh  Adi  Sasono  sebagai  Ketua  Dewan
Penasehat  dan  Sofian  Effendi  sebagai  Ketua  Tim  Pelaksana.    Tim  reformasi meliputi  tujuh  kelompok  bidang  yaitu:  Kelompok  Reformasi  Ekonomi
Koordinator  M.  Dawam  Rahardjo;  Kelompok  Reformasi  Tekno-Industri Koordinator  Laode  M.  Kamaluddin;  Kelompok  Reformasi  Politik
Koordinator
Susilo Bambang
Yudhoyono; Kelompok
Reformasi Kelembagaan  Koordinator  Mustopadidjana  AR;  Kelompok  Reformasi
Sosial Budaya Koordinator Taufik Abdullah; Kelompok Reformasi Hukum dan  Perundang-undangan  Koordinator  Jimly  Ashshidiqi,  dan  Kelompok
144 Reformasi  Pendidikan  dan  Pengembangan  Sumber  Daya  Manusia
Koordinator  A.  Malik  Fadjar.  Tim  nasional  Reformasi  ini  berhasil menyusun  sebuah  laporan  tentang  dasar  pemikiran,  kerangka  strategi  dan
kebijakan  tentang  transformasi  masyarakat  madani  dari  perspektif  sosial- budaya,
ekonomi, politik,
hukum, kelembagaan,
pendidikan dan
pengembangan  sumber  daya  manusia,  serta  tekno-industri.  Masing-masing perspektif  tersebut  oleh  Tim  Nasional  Reformasi  dipandang  sebagai  satu
kesatuan  sistemik  yang  harus  diwujudkan  dalam  proses  transformasi  bangsa menuju masyarakat madani.
Guna mewujudkan tujuan reformasi tersebut, telah dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Sistem Multi Partai
Sekalipun menuai banyak kritik, UU Pemilu memberi landasan yang memadai bagi  terselenggaranya  Pemilu  1999.  Salah  satu  langkah  reformatif  adalah
diberlakukannya  sistem  multi  partai  berdasarkan  UU  tentang  partai  politik, menggantikan  sistem satu partai ala Orde Baru yang otoriter. Euforia politik periode
pasca-Soeharto  antara  lain  melahirkan  141  partai  politik,  yang  48  diantaranya dianggap  memenuhi  syarat  untuk  ikut  bertarung  di  ajang  Pemilu  1999.  Belakangan,
sistem  multi  partai  ini  ikut  berperan  kuat  dalam  menelurkan  perdebatan  kaya pemikiran  dan  lebih  terbuka  sebelum  keempat  perubahan  UUD  1945  disahkan
Denny Indrayana, 2007: 172.
b. Mewujudkan Kebebasn Pers
Pemerintah  Soeharto  menerapkan  sistem  sensor  yang  ketat  untuk  membatasi kebebasan pers. Menteri Penerangan kala itu mengeluarkan Peraturan Menteri No. 1
Tahun  1984  tentang  Izin  Penerbitan.  Peraturan  ini  memberi  kewenangan  kepada Menteri Penerangan untuk mencabut SIUPP, atau lisensi penerbitan milik perusahaan
media mana pun yang tidak mendukung kebijakan pemerintah. Pada bulan Juni 1998,
145 pemerintah  Habibie  mencabut  peraturan  ini  dan  menyederhanakan  prosedur
pemberian  surat  izin  bagi  dunia  penerbitan  Kebijakan  ini  melahirkan  ratusan penerbitan baru dan era baru dalam kebebasan pers Denny Indrayana, 2007: 172.
c. Pembebasan Tapol
Di  bawah  rezim  Soeharto,  setiap  pemimpin  oposisi  harus  siap  bila  sewaktu- waktu dicokok dan dijebloskan ke dalam penjara, menjadi tahanan politik. Menjelang
tumbangnya  rezim  Soeharto,  terdapat  lebih  dari  200  orang  tapol,  mulai  dari pemimpin  mahasiswa,  aktivis  muslim,  orang  Timor  Timur,  dan  kader  komunis
berusia  lanjut,    yang  beberapa  di  antaranya  bahkan  sudah  mendekam  di  penjara selama  lebih  dari  25  tahun.  Setelah  ambruknya  rezim  Soeharto,  tekanan-tekanan
internasional maupun domestik untuk membebaskan semua tahanan ini pun menguat. Menaggapi tekanan demikian, Habibie memerintahkan 179 orang tapol,  yang terdiri
dari  oang-orang  Indonesia  dan  Timor-Timur,  dibebaskan.  Muladi,  menteri Kehakiman  pada  kabinet  Habibie,  mengakui  bahwa  kebijakan  ini  merupakan  satu
upaya  pemerintah  untuk  mendongkrak  citranya  di  bidang  penegakkan  hak-hak  asasi manusia.  Apapun  tujuannya,  pembebasan  tapol  ini  adalah  salah  satu  proses  yang
menghilangkan  praktik  otoritarianisme  yang  umum  terjadi  selama  rezim  Soeharto berkuasa. Lagi pula, tindakan demikian memperkuat iklim politik yang lebih terbuka
yang dibutuhkan untuk membahas isu-isu penting seperti reformasi konstitusi Denny Indrayana, 2007: 173.
d. Pemilu yang Dipercepat 1999
Legitimasi  Habibie  dipersoalkan  bukan  hanya  oleh  kekuatan-kekuatan oposisi, melainkan juga oleh rakyat. Liddle mengatakan:
146 Habibie  memulai  sebagai  seorang  Presiden  yang  luar  biasa  lemah,  tidak
disukai  secara  pribadi  dan  diremehkan  secara  politik,  oleh  hampir  setiap kelompok  penting  dalam  masyarakat  Indonesia,  termasuk  elemen-elemen
penting di lingkungan Golkar, partainya sendiri. Liddle, 2000:10.
Seandainya  saja  Habibie  punya  legitimasi  yang  lebih  kuat,  sangat  mungkin  masa jabatannya  tidak  akan  tamat  sebelum  2003.  Sebab,  menurut  Pasal  8  UUD  1945,
seharusnya  Habibie  meneruskan  masa  jabatannya  sebagai  Presiden  hingga berakhirnya  masa  jabatan  Soeharto  1998-2003.  Jadi,  mestinya,  Pemilu  baru  akan
digelar satu  tahun sebelum masa jabatan itu berakhir, atau tepatnya pada tahun  2002. Tetapi  karena  kepresidenannya  miskin  legitimasi,  Habibie  pun  merasa  wajib
menggelar  Pemilu  lebih  dini,  yaitu  pada  tahun  1999.  Dewi  Fortuna  Anwar menjelaskan bahwa:
...kendati  secara  konstitusional  masa  jabatan  Habibie  berlangsung    hingga 2003,  jelas  bahwa  mandat  politik  pemerintahannya  yang  lemah  itu  membuat
opsi  semacam  ini  menjadi  mustahil....Untuk  membentuk  suatu  pemerintah yang memiliki legitimasi konstitusional dan politik yang kuat, sebuah pemilu
baru harus dilakukan sesegera mungkin. Dewi Fortuna Anwar, 1999: 34-35.
Dengan  melaksanakan  pemilihan  umum  selekas  mungkin  setelah  lengsernya Soeharto,  Indonesia  memulai  transisinya  dari  kekuasaan  otoriter  sebagaimana
mestinya. Menurut Liddle, Pemilu pasca Soeharto ini merupakan sebuah titik balik atau
momentum  yang  menentukan  dalam  transisi  Indonesia.  Baginya,  Pemilu  yang demokratis menjadi  indikasi bahwa  “ambang pintu peralihan  dari  otoritarianisme  ke
demokrasi sudah dilalui” oleh Indonesia Liddle, 2000: 373.
147 Dalam Pemilu 1999, dari empat puluh delapan partai kontestan Pemilu, hanya
21  yang  berhasil  meraih  kursi  di  DPR.  Tabel  berikut  menunjukkan  hasil  ini  dan distribusi kursi di DPR secara keseluruhan.
Tabel  10 Hasil-Hasil Pemilu 1999 dan Komposisi DPR
No Partai
Total Jumlah Suara
Jumlah Kursi Total
Jumlah Kursi 1
PDIP 33,73
153 30,6
2 Golkar
22,46 120
24 3
PPP 10,72
58 11,6
4 PKB
12,66 51
10,2 5
TNI-Polri 38
7,6 6
PAN 7,12
34 6,8
7 PBB
1,94 13
2.6 8
15 Partai lainnya 11,4
33 5,2
Total 100
500 100
Sumber: Wiliam Liddle, 2000: 373.
Tabel  tersebut  menunjukkan  bahwa  situasi,    konfigurasi  politik  masih didominasi  oleh  ketiga  partai  yang  eksis  di  bawah  rezim  otoriter  Soeharto,  dengan
PDIP, Golkar, dan  PPP  sebagai tiga   partai  terbesar di  DPR. Di sisi  yang lain, dari 500  anggota  DPR,  sebanyak  116  orang    atau    23  dari  jumlah  total  itu  adalah
anggota  lama.  Sedangkan  77    sisanya    adalah  anggota  baru.    Sebagian  besar anggota-anggota baru  itu adalah  wirausahawan, birokrat, dan guru. Ini menunjukkan
terjadinya    perubahan  radikal  dalam  latar  belakang  profesi  para  anggota  Dewan, dimana  jumlah  birokrat  dan  pensiunan  perwira-perwira  militer    merosot  tajam,
digantikan  oleh  mereka  yang  berlatarkan  wirausaha  National  Democratic  Institute, The 1999 Presidential Elections and Post-Elections Stament Number 4, Post Election
148 Developments  in  Indonesia,  the  Formation  of  the  DPR  and  the  MPR,  Jakarta,  26
Agustus 1999, h.8.
B. Dinamika Politik Pendidikan Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi 1. Politik Pendidikan Orde Lama
Pendidikan  di  Indonesia  pada  era  Orde  Lama  berlandaskan  Pancasila. Landasan pendidikan ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 1945 ketika bangsa
Indonesia  memproklamirkan  kemerdekaannya.  Meskipun  selama  periode  ini Indonesia sudah menggunakan tiga UUD, tetapi setiap UUD tersebut Pancasila tetap
dijadikan  falsafah  negara  dan  dengan  demikian  secara  otomatis  menjadi  landasan pendidikan di Indonesia.
Politik pendidikan pada era ini tercermin pada UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar  Pendidikan  dan  Pengajaran  di  Sekolah,  dengan  tujuan  pendidikan
sebagai berikut: “Tujuan  pendidikan  dan  pengajaran  ialah  membentuk  manusia  susila  yang
cakap  dan  warga  negara  yang  demokratis  serta  bertanggung  jawab  tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. UU No.4 Tahun 1950, Bab II, Pasal
3.
Pada tahun 1954 dikeluarkan UU No. 12 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran  di  Sekolah.  UU  ini  merupakan  pemberlakuan  kembali  UU  No.  4  Tahun
1950 untuk seluruh wilayah RI bekas RIS.  Ketetapan  yang tercantum di dalamnya sama dengan ketetapan yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun  1950. Demikian pula
mengenai  tujuan  pendidikan  yang  tercantum  dalam  Bab  II,  Pasal  3  pada  kedua undang-undang tersebut.
149 Sejak  tahun  1959  Indonesia  berada  di  bawah  gelora  Manipol-Usdek  yang
seolah-olah  menjadi  panglima  dalam  kehidupan  politik  Indonesia  dan  dalam  bidang kehidupan lain. Bidang  pendidikan pun tak luput dari pengaruh tersebut.  Keputusan
Presiden    No.  145  Tahun  1965  merumuskan  tujuan  nasional  pendidikan  Indonesia sesuai  dengan  Manipol-Usdek.  Manusia  sosialis  Indonesia  adalah  cita-cita  utama
setiap usaha pendidikan di Indonesia, sedangkan kepentingan kehidupan pribadi agar dinomorduakan Tilaar, 1995: 91.
Dalam  Keputusan  Presiden  RI,  No.  145  Tahun  1965  tentang  Nama  dan Rumusan  Induk  Sistem  Pendidikan  Nasional,  tujuan  pendidikan  ditetapkan  sebagai
berikut: Tujuan  Pendidikan  Nasional  baik  yang  diselenggarakan  oleh  pihak
pemerintah  maupun  oleh  pihak  swasta,  dari  pendidikan  Prasekolah  sampai Pendidikan  Tinggi,  supaya  melahirkan  Warga  Negara  Sosialis,  yang
bertanggungjawab  atas  terselenggaranya  Masyarakat  Sosialis  Indonesia,  adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila. Di era
pemerintahan  Soekarno  Orde  Lama,  pendidikan  nasional  memasuki  suatu masa  di  mana  pendidikan  betul-betul  merupakan  alat  politik  tertentu  untuk
mencapai  suatu  tujuan.  Periode  ini  merupakan  suatu  era  dimana  metode indoktrinasi  merupakan  sarana    untuk  mewujudkan  suatu  cita-cita  politik.
Tilaar, 1995: 92. Kegagalan  Konstituante  untuk  menyusun  undang-undang  dasar  baru
menyebabkan Indonesia  dalam keadaan yang tidak menentu. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Konstituante dibubarkan dan kembali kepada UUD 1945. Dengan
Dekrit  Presiden  tersebut  maka  terjadilah  suatu  perubahan  yang  luar  biasa  dalam kehidupan  masyarakat  dan  bangsa  Indonesia.  Era  kehidupan  pada  masa  itu  dikenal
dengan era “Manifesto Politik”.
150 Manifesto  Politik  Manipol  merupakan  keseluruhan  isi  pidato  Presiden
Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959. Pidato tersebut merupakan penjelasan resmi dari  Dekrit  Presiden  5  Juli  1959  ialah  pembubaran  Konstituante  dan  berlakunya
kembali  UUD  1945.  Manipol  mula-mula    diintrodusir  oleh  Menteri  Penerangan Maladi  dalam  rangka    mengantisipasi  pidato  Presiden  17  Agustus  1959.  Menurut
Tilaar: Dalam  pidato  tersebut  Presiden  memberikan  sejenis  pertangungjawaban
mengapa  Dekrit  5  Juli  tersebut  dikeluarkan.  Di  dalam  Manipol  tersebut dikemukakan  mengenai  persoalan-persoalan  pokok  revolusi  Indonesia,
program  umum,  dan  usaha-usaha  pokok  revolusi  tersebut.  Selanjutnya, Manipol dianggap sebagai garis-garis besar haluan negara, suatu konsep yang
tentunya  bertentangan  dengan  apa  yang  kita  kenal  sekarang  ini.  Seharusnya garis-garis besar haluan negara ditetapkan oleh MPR dan memberikan mandat
kepada  Presiden  untuk  melaksanakannya.  Oleh  sebab  itu,  Presiden  adalah mandataris  MPR.  Akan  tetapi  yang  terjadi  saat  itu  tidak  sesuai  dengan
ketentuan  UUD.  Bermula  dari  pidato  Presiden  dan  kemudian  MPRS mengukuhkannya sebagai garis-garis besar haluan negara. Manipol kemudian
dijadikan  sebagai  doktrin  negara  dan  setiap  warga  negara  wajib mengetahuinya.  Dalam  perkembangan  selanjutnya,  dirangkumkan  intisari
Manipol  yang  terkenal  dengan  kependekan  USDEK.  USDEK  adalah singkatan dari kata-kata Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme  Indonesia,
Demokrasi  Terpimpin,  Ekonomi  Terpimpin,  dan  Kepribadian  Indonesia. Istilah USDEK itu sendiri berasal dari Ketua DPRD Jawa Barat Kosasih, yang
menganjurkan untuk menghafalkan lima unsur Manipol dalam rangkaian kata USDEK. Tilaar, 1995: 94.
Secara ideologis,  Manipol memang bertentangan dengan Pancasila. Kita lihat misalnya  ungkapan  mengenai  kekuatan-kekuatan  sosial  revolusi  Indonesia  yang
dirumuskan sebagai berikut, seperti yang dipidatokan Presiden Soekarno pada waktu itu:
Jadi jelaslah bahwa kekuatan-kekuatan sosial revolusi Indonesia, yaitu seluruh rakyat  Indonesia  dengan  kaum  buruh  dan    kaum  tani  sebagai  kekuatan
pokoknya tanpa melupakan peranan penting dari golongan-golongan lain,
adalah sangat  besar  dan  meyakinkan  akan  menangnya  revolusi  Indonesia. Tilaar, 1995: 94.
151 Dengan menyebut secara jelas mengenai kekuatan kaum buruh dan kaum tani
sebagai  kekuatan  pokok,  maka  arahnya  ialah  sesuai  ajaran  komunisme  mengenai kelas-kelas  tani  dan  buruh  sebagai  tulang  punggung  revolusi.  Manipol  USDEK  ini
secara sistematis diindoktrinasikan pada seluruh lapisan rakyat Indonesia termasuk di semua  jenjang  dan  jenis  pendidikan.  Cara  penyampaiannya  adalah  dengan  cara
indoktrinasi  karena  tidak  dibenarkan  adanya  penafsiran-penafsiran  yang  lain  selain dari  yang  telah  dirinci  oleh  pemerintah,  yaitu  yang  telah  dirumuskan  oleh  Dewan
Pertimbangan  Agung  DPA  tentang  perincian  persoalan-persoalan  pokok  dan program  umum  revolusi  Indonesia  yang  diambil  dari  Manifesto  Politik  Republik
Indonesia  tanggal  17  Agustus  1959.  Di  dalam  rumusan  DPA  tersebut  dikatakan bahwa  Manipol  adalah  sangat  penting  karena  telah  menjawab  persoalan-persoalan
revolusi dan telah mengemukakan usaha-usaha pokok untuk menyelesaikan revolusi Indonesia.  Seperti  kita  ketahui,  Manipol sebagai  garis besar haluan negara di dalam
sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan ketapan TAP  MPRSXXII1967 ditinjau kembali Tilaar, 1995: 95.
Menurut  Abd.  Rachman  Assegaf,  politik  pendidikan  era  Orde  Lama  dapat dibagi  dalam  tiga  periode  seiring  dinamika  politik  yang  mempengaruhinya.  Periode
pertama:  sejak  proklamasi  kemerdekaan  sampai  terbentuknya  Undang-undang Pendidikan  No.  4  Tahun  1950.    Periode  kedua:  dari  akhir  periode  pertama  sampai
dikeluarkannya Dekrit Presiden tahun 1959. Periode  ini  dalam konteks politik saat itu  dikenal  sebagai  masa  Demokrasi  Liberal  atau  Parlementer  1951-1959.  Periode
ketiga:  dari  akhir  periode  kedua  sampai  berakhirnya  masa  Demokrasi  Terpimpin
152 1959-1965. Keseluruhan periode tersebut tergolong dalam Orde Lama 1945-1965.
Uraian  berikut  ini  mengikuti  spesifikasi  ketiga  periode  dimaksud  Abd.  Rachman Assegaf, 2005: 54.
a. Periode 1945-1950
Setelah merdeka,  pedoman  pelaksanaan pendidikan   berdasarkan UUD  1945. Atas usul dari Badan Pekerja KNIP, pada bulan Desember 1945 dibentuklah Panitia
Penyelidikan Pendidikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Abd. Rachman Assegaf, 2005: 55.
Pada  masa  pendudukan  Belanda  NICA,  Indonesia  dibagi  menjadi  negara- negara bagian RIS, sehingga perbedaan dalam pendidikan dari negara-negara itupun
terjadi.  Setelah  kembali  menjadi  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  yang diresmikan  pada  tanggal  17  Agustus  1950,  pendidikan  pun  disatukan  kembali  atau
seragam  kembali,  keadaan  ini  berlangsung  sampai  tahun  1952.  Setelah  proklamasi kemerdekaan,  bangsa  Indonesia  mengalami  banyak  perubahan  di  segala  bidang,
termasuk bidang pendidikan. Pemerintah Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri  Pendidikan,  Pengajaran,  dan  Kebudayaan.  Namun  karena  situasi  sosial-
politik  yang  belum  stabil,  perjuangan  kemerdekaan  belum  selesai,  dan  di  sana-sini terjadi  instabilitas,  maka  tidak  mengherankan  bila  selama  periode  ini  sering  terjadi
pergantian menteri. Sekedar diketahui, antara 1945 sampai 1959, kabinet di Indonesia rata-rata berumur antara 7-8 bulan Abd. Rachman Assegaf, 2005: 56.
Selama  periode  awal  kemerdekaan  1945-1950  telah  terjadi  serangkaian pergantian Menteri Pengajaran. Menurut Napitupulu:
153 Menteri  Pengajaran  yang  pertama  adalah  Ki  Hadjar  Dewantara  1889-1959,
menjabat  pada  masa  Kabinet  Presidentil  untuk  periode  19  Agustus  1945-14 Nopember  1945.  Menteri  Pengajaran  kedua  adalah  Dr.  Mr.T.S.G.  Mulia
1896-1969, menjabat pada masa Sjahrir I untuk periode 14 Nopember 1945- 12  Maret  1946.  Menteri  Pengajaran  ketiga  adalah  Muhammad  Sjafei  1896-
1966, menjabat pada masa Kabinet Sjahrir II untuk periode 12 Maret 1946- 2 Oktober  1946.  Menteri    Pengajaran  yang  keempat  adalah  Mr.  Suwandi,
menjabat  pada  masa  Sjahrir  III  untuk  periode  2  Oktober  1946-27  Juni  1947. Menteri  Pengajaran  kelima,  keenam  dan  ketujuh  adalah  Mr.  Ali
Sastroamidjojo,  menjabat  pada  masa  Kabinet  Amir  Sjarifuddin  I,  II  dan Kabinet Hatta I untuk periode 3 Juli 1947-11 Nopember 1947, 11 Nopember
1947-29 Januari 1948,  dan periode 29 Januari 1948-4 Agustus 1949. Jabatan menteri berikutnya menggunakan nama Menteri PP dan K, dengan Mr, Teuku
Mah. Hassan sebagai menteri kedelapan, menjabat pada masa Kabinet Darurat untuk periode 19 Desember 1948-13 Juli 1949. Menteri PP dan K kesembilan
adalah S. Mangunsarkoro, menjabat pada masa Kabinet Hatta II untuk periode 4  Agustus  1949-20  Desember  1949.  Menteri  PP  dan  K  kesepuluh  adalah  dr.
Abu  Hanifah,  M.D,  menjabat  pada  masa  Kabinet  RI  untuk  periode  20 Desember  1949-6  September  1950.  Selanjutnya,  menteri  kesebelas  dan
keduabelas dijabat oleh S. Mangunsarkoro pada masa Kabinet Peralihan untuk periode 20 Desember 1949-21 Januari 1950 dan 21 Januari 1950-6 September
1950. Napitupulu, 1976: 10. Menurut  Abd.  Rachman  Assegaf  2005:  56  semangat  revolusi  sangat
dominan  dalam  periode  ini.  Berbagai  gejolak  sosial  politik  muncul  mewarnai  awal kemerdekaan, sehingga operasionalisasi transisi pemerintahan belum stabil. Mengapa
pada  masa  tersebut  terjadi  instabilitas  politik  dan  belum  mapannya  sistem  serta undang-undang  pendidikan?  Hal  ini  dapat  dianalisis,  terutama  dengan  memahami
beberapa aspek sosial politik sebagai berikut: Pertama,  adanya  upaya  Belanda    untuk  menjajah  kembali  bangsa
Indonesia  sehingga  timbul  Agresi  Belanda  I  pada  21  Juli  1947  dan  Agresi Belanda  II  pada  19  Desember  1948.  Sebagian  besar  guru  dan  pelajar  terlibat
dalam  perjuangan  ini.  Sekolah  dan  tempat-tempat  pendidikan  lainnya dijadikan  sebagai  perlindungan.  Praktis,  kegiatan  belajar  mengajar  terhenti
untuk  sementara.  Setelah  gagal  dengan  upayanya  tersebut  Belanda  mencoba menerapkan  sistem  negara  federal  atau  Republik  Indonesia  serikat  RIS
dengan  Belanda  sebagai  sentral  pemerintahan.  Periode  1945-1949,  yang sering  dikenal    sebagai  era  revolusi  Indonesia,  ditandai  tidak  hanya  oleh
perjuangan  bersenjata  melawan  Belanda  dan  konflik  keras  antar  kelompok
154 yang  berbeda,  tapi  juga  konflik  di  tubuh  parlemen  dalam  hal  gagasan
diplomatik, negosiasi dan politik Kedua,  secara  internal,  di  beberapa  daerah  muncul  beberapa  gerakan
yang  menimbulkan  ketegangan  sosial,  seperti  gerakan  Partai  Komunis Indonesia  PKI  di Madiun  pada  1948. Gerakan  Darul Islam  DI  1948-1962
di  Jawa  Barat  pimpinan  Kartosuwiryo,  pergolakan  Darul  Islam  di  Aceh 1953-1959  pimpinan  Daud  Beureueh,  pembenrontakan  Darul  Islam
Sulawesi  Selatan  1950-1959  pimpinan  Kahar  Muzakkar,  pemberontakan PRRI  di  Sumatera  Barat  1958.  Agaknya  masa  itu  diwarnai  oleh  banyaknya
insiden  yang  melibatkan  gerakan  Islam,  konsentrasi  terhadap  pembangunan bidang pendidikan pun terganggu.
Ketiga,  terjadinya  peralihan  dari  UUD  1945  ke  UUD  RIS  1949 mengakibatkan  belum  mapannya  perangkat  hukum,  politik,  dan  pendidikan
nasional. Itu sebabnya Undang-undang Pendidikan dan pengajaran baru dapat muncul  kemudian  setelah  terjadi  kemapanan  politik  dan  meredanya  gejolak
sosial.
Keempat,  pemerintah  Indonesia  pada  saat  itu  dihadapkan  pada  upaya perjanjian  perdamaian  dan  penggantian  kerugian  dengan  pihak  pemerintah
Jepang,  dimana  memakan  waktu  yang  lama  dan  proses  yang  kompleks. sedemikian sibuknya pemerintah dalam menangani keempat masalah tersebut,
sehingga  fokus  perhatiannya  terpusat  ke  arah  stabilitas  politik,  sementara kondisi  sosial  ekonomi  dan  pendidikan    tercecer.  Abd.  Rachman  Assegaf,
2005: 56.
Kondisi sosial-politik demikian mempengaruhi iklim pendidikan nasional saat itu, antara lain berupa: pertama, masa jabatan Menteri Pengajaran yang relatif singkat
akibat  sering  terjadi  pergantian  menteri  sebagaimana  disebut  di  atas.  Kedua, minimnya  jumlah  guru,  terutama  guru  Sekolah  Dasar,  akibat  keikut  sertaan  mereka
dalam  perang  kemerdekaan,  demikian  pula  halnya  dengan  para  pelajar  yang merangkap fungsi  sebagai tentara,  menimbulkan terpecahnya  konsentrasi  pendidikan
ke  arah  perjuangan  nasional.  Ketiga,  fasilitas  sekolah  banyak  yang  hancur  akibat perang  atau  karena  dipakai  sebagai  barak  militer,  mengakibatkan  terhentinya  proses
belajar  mengajar  di  kelas.  Keempat,  belum  terbentuknya  undang-undang  pendidkan nasional Abd. Rachman Assegaf, 2005: 57.
155 Meskipun  faktor  sosial  politik  di  atas  menyebabkan  beberapa  hambatan
terhadap kelancaran pelaksanaan pendidikan, bukan berarti bahwa proses pendidikan tidak  berjalan  sama  sekali  atau  tidak  ada  upaya  untuk  mengatasi  hambatan  tersebut.
Tindakan  pertama  yang  diambil  oleh  pemerintah  Indonesia  ialah  menyesuaikan pendidikan  dengan  tuntutan  dan  aspirasi  rakyat,  sebagaimana  terwujud  dalam  UUD
1945 Bab XIII pasal 31, menyatakan bahwa: Ayat 1: Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapatkan  pengajaran.  Ayat  2:  Pemerintah  mengusahakan  dan  menyelenggarakan
satu  sistem  pengajaran  nasional  yang  diatur  dengan  undang-undang  Abd.  Rachman Assegaf, 2005: 58.
Jika  pada  masa  Belanda  tujuan  pendidikan  untuk  membentuk  kelas  elit  dan tenaga terdidik yang murah untuk tujuan memperkuat bentuk penjajahan. Pada masa
Jepang pendidikan bertujuan untuk menciptakan tenaga buruh dan mobilisasi militer untuk  tujuan  membantu  pemerintah  pendudukan  Jepang  melawan  tentara  sekutu,
maka  pascakemerdekaan,  tahun  1946,  melalui  SK  Menteri  PP  dan  K,  menurut Djumhur:
Pendidikan  dinyatakan  untuk  menanamkan  semangat  dan  jiwa  patriotisme, yang  dioperasionalkan  melalui    instruksi  umum  oleh  Menteri  Pengajaran
pertama,  Ki  Hadjar  Dewantara,  ditujukan  kepada  semua  kepala  sekolah  dan guru  agar:  1  Mengibarkan  ”Sang  Merah  Putih”  setiap  hari  di  halaman
sekolah. 2 Melagukan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”. 3 Menghentikan pengibaran  bendera  Jepang  dan  menghapuskan  nyanyian  ”Kimigayo”.  4
Menghapuskan  pelajaran  bahasa  Jepang  beserta  segala  upacara  yang  berasal dari  Balatentara  Jepang.  5  Memberi  semangat  kebangsaan  kepada  semua
murid. Djumhur, 1976: 200.
Langkah berikutnya,  menurut Ary  H. Gunawan,  1986: 43  untuk  mengatasi masalah kuantitas dan kualitas guru:
156 Diadakan  penerimaan  tenaga  pengajar  baru  di  samping  peningkatan  Sekolah
Guru  Tipe  C  selama  2  tahun,  Tipe  B  selama  4  tahun  dan  Tipe  A  selama  6 tahun.  Diadakan  kursus-kursus,  menambah  jumlah  Sekolah  Rakyat  SR,
mengubah  Sekolah  Rendah  3  tahun  menjadi  6  tahun,  serta  memperbaiki tingkat  dan  mutu  pendidikan.  Mengenai  masalah  murid  atau  pelajar  pejuang,
baik  sebagai  tentara,  anggota  Palang  Merah  Indonesia  maupun  pelajar  yang tinggal  di  daerah  pendudukan,  yang  karena  kondisinya  tersebut,  tidak
memungkinkan  untuk  aktif  sekolah,  maka  oleh  Kementrian  Pendidikan  dan Pengajaran,  pada  Maret  1948,  diadakan  sekolah  peralihan  baik  untuk  SMP
Sekolah  Menengah  Pertama,  SMA  Sekolah  Menengah  Atas,  atau  SGL Sekolah Guru Laki-laki.
Upaya mengatasi lokal sekolah yang rusak akibat perang atau dipakai sebagai
barak militer menurut Djumhur 1976: 208: Dilakukan  beberapa  alternatif:  membangun  gedung  sekolah  baru,  menyewa
rumah  penduduk  untuk  sekolah,  atau  memfungsikan  gedung  sekolah  dalam dua  tahap,  pagi  dan  siang  hari.  Di  samping  itu  Persatuan  Orang  Tua  Murid
dan  Guru  POMG  berhasil    mengkoordinasikan  kekuatan  untuk  kemajuan pendidikan,  sehingga  mampu  mendirikan  gedung  sekolah  bahkan  lebih
banyak dari yang telah dibangun oleh pemerintah.
Selanjutnya,  dilakukan  tindakan  pembenahan  kebijakan  pendidikan, sebagaimana  diusulkan  oleh  Badan  Pekerja  Komite  Nasional  Indonesia  Pusat  BP
KNIP  pada  29  Desember  1945  kepada  Kementrian  Pendidikan,  Pengajaran  dan Kebudayaan,  supaya  selekas  mungkin  mengusahakan  agar  pembaharuan  pendidikan
dan  pengajaran  dijalankan  sesuai  dengan  rencana  pokok  usaha  pendidikan  dan pengajaran baru, dengan pokok pembaharuan sebagai berikut:
1  Untuk  menyusun  masyarakat  baru  perlu  adanya  perubahan  pedoman pendidikan  dan  pengajaran.  Paham  perseorangan  individualisme  yang
hingga  kini  berlaku  haruslah  diganti  dengan  paham  kesusilaan  dan perikemanusiaan  yang  tinggi.  Pendidikan  dan  pengajaran  harus  membimbing
murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa tanggungjawab. 2 Untuk  memperkuat  persatuan  rakyat  kita  hendaknya  diadakan  satu  macam
sekolah  untuk  segala  lapisan  masyarakat.  Perlu  diingat  pula,  bahwa  sesuai dengan  dasar  keadilan  sosial  semua  sekolah  harus  terbuka  untuk  tiap-tiap
penduduk negara baik laki-laki maupun perempuan. 3 Metodik yang berlaku di  sekolah-sekolah  hendaknya  berdasar  pada  sistem  sekolah  kerja  agar
157 aktivitas  rakyat  kita  kepada  pekerjaan  bisa  berkembang  seluas-luasnya.  4
Pengajaran  agama  hendaknya  mendapat  tempat  yang  teratur  dan  seksama, hingga  cukup  mendapat  perhatian  yang  semestinya  dengan  tidak  mengurangi
kemerdekaan  golongan-golongan  yang  berkehendak  mengikuti  kepercayaan yang  dipeluknya.  Tentang  cara  melakukan  Kementrian  mengadakan
perundingan  dengan  Badan  Pekerja.  5  Madrasah  dan  pesantren-pesantren dan  sejenisnya    yang  pada  hakikatnya  adalah  suatu  alat  dan  sumber
pendidikan  dan  pencerdasan  rakyat  jelata,  yang  sudah  berurat  berakar  dalam masyarakat  Indonesia  umumnya,  hendaklah  pula  mendapat  perhatian  dan
bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materiil dari pemerintah. 6 Pengajaran  tinggi  hendaknya  diadakan  seluas-luasnya,  dan  jika  perlu  dengan
menggunakan  bantuan  bangsa  asing  sebagai  guru  besar.  Lain  dari  itu hendaklah  diusahakan  berlakunya  pengiriman  pelajar-pelajar  ke  luar  negeri
untuk keperluan negara. 7 Kewajiban belajar lambat laun dijalankan dengan ketentuan  bahwa  dengan  tempo  yang  sesingkat-singkatnya  paling  lama  10
tahun, bisa berlaku dengan sempurna dan merata 6 tahun sekolah untuk tiap- tiap anak Indonesia. 8 Pengajaran teknik dan ekonomi terutama pengajaran
pertanian,  industri,  pelayaran  dan  perikanan,  hendaklah  mendapat  perhatian istimewa.  9  Pengajaran  kesehatan  dan  olah  raga  hendaklah  teratur  sebaik-
baiknya  hingga    terdapat  kemudian  hasil  kecerdasan  rakyat  yang  harmonis. 10  Di  Sekolah  Rendah  tidak  dipungut  uang  sekolah,  untuk  Sekolah
Menengah dan Perguruan Tinggi hendaklah diadakan aturan pembayaran dan tunjangan  yang  luas,  sehingga  soal  keuangan  jangan  menjadi  halangan  bagi
pelajar-pelajar yang kurang mampu. Ary H. Gunawan, 1986: 32-34.
Selanjutnya  atas  usul  Badan  Pekerja,  maka  Menteri  Pendidikan  dan Pengajaran, yang  waktu itu adalah Dr. Mr. T.S.G.  Mulia,  membuat Surat Keputusan
tertanggal  1  Maret  1946  No.  104Bhg.0,  untuk  membentuk  Panitia  Penyelidik Pengajaran  di  bawah  pimpinan  Ki  Hadjar  Dewantara  dan  Soegarda  Poerbakawatja,
dengan tugas antara lain: 1  Merencanakan  susunan  baru  dari  tiap-tiap  macam  sekolah.  2,
Menetapkan  bahan-bahan  pengajaran  dengan  menimbang  keperluan  yang praktis  dan  jangan  terlalu  berat.  3  Menyiapkan  rencana-rencana  pelajaran
untuk tiap-tiap sekolah dan tiap-tiap kelas. Ary H. Gunawan, 1986: 34. Menyusul  kemudian  diselenggarakannya  beberapa  Konggres  Pendidikan
Indonesia,  yang  pertama  di  Solo  1947,  lalu  sebagai  tindak  lanjutnya  dibentuklah Panitia  Pembentukan  Rencana  Undang-undang  Pokok  Pendidikan  dan  Pengajaran
158 pada  tahun  1948  oleh  Menteri  PP  dan  K  Mr.  Ali  Satroamidjoja,  juga  Konggres
Pendidikan  di  Yogyakarta  1949.  Keseluruhan  dari  hasil  Konggres  tersebut merupakan  bahan  berarti  bagi  lahirnya  UU  tentang  Dasar-dasar  Pendidikan  dan
Pengajaran UUPP No. 4 Tahun 1950. Inilah UU tentang Pendidikan Nasional yang pertama, sekaligus mengakhiri periode ini dan memasuki periode berikutnya Ary H.
Gunawan, 1986: 35.
b. Periode 1950-1959
Pada  masa  ini,  pendidikan  di  Indonesia  mengalami  penyempurnaan.  Tujuan pendidikan dan pengajaran pada saat itu ialah membentuk manusia susila yang cakap
dan  warga  negara  yang  demokratis  serta  bertanggungjawab  tentang  kesejahteraan masyarakat  dan  tanah  air.  Pada  tahun  1952  pemerintah  dalam  hal  ini  Kementerian
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, menerbitkan “Rencana Pengajaran  Terurai”  untuk  Sekolah  Rakyat  yang  berguna  untuk  guru  sebagai
pedoman dalam proses belajar mengajar pada sekolah dasar Abd. Rachman Assegaf, 2005: 65. Jenis-jenis pelajarannya adalah:
Bahasa  Indonesia,  Bahasa  Daerah,  Berhitung,  Ilmu  Alam,  Ilmu  Hayat,  Ilmu Bumi,  dan  Sejarah.  Dalam  1  tahun  terdapat    8  bulan  waktu  belajar,  dan  tiap
mata pelajaran diuraikan menjadi 8 bagian untuk masing-masing kelas, yakni untuk bulan pertama, kedua, ketiga, sampai bulan kedelapan. Pendidik dalam
tiap  kelas  sudah  memiliki  pedoman  mengenai  hal-hal  yang  perlu  diajarkan berdasarkan  waktu  yang  telah  ditentukan  tersebut.  Abd.  Rachman  Assegaf,
2005: 66.
Mata pelajaran lain yang juga diajarkan di sekolah selain mata pelajaran yang telah  tercantum  di  dalam  Rencana  Pelajaran  terurai  sesuai  dengan  peraturan
Kementerian PP dan  K mengenai Sapta Usaha Tama,  yakni: 1 Penertiban aparatur dan usaha-usaha kementerian PP dan K; 2 Menggiatkan kesenian dan olah raga; 3
159 Mengharuskan penabungan; 4 Mewajibkan usaha-usaha koperasi; 5 Mengadakan
kelas  masyarakat;  6  Membentuk  regu  kerja  SLA  dan  universitas.  Kurikulum  SD dari  tahun  1952  sampai  dengan  1964  dapat  dikategorikan  kurikulum  tradisional,
yakni separated subject curriculum. Periode  ini  dipandang  spesifik,  karena  faktor  sosio-politik  yang
mempengaruhi  situasi  pendidikan  nasional  telah  berubah  dari  periode  sebelumnya, dan perubahan tersebut diiringi dengan pergeseran kebijakan pendidikan.
Faktor  dimaksud  antara  lain  adalah:  pertama,  dalam  periode  ini  terjadi perubahan bentuk negara dari RIS ke  Negara  Kesatuan Republik Indonesia.  Hal  ini
menjadikan  Indonesia  memiliki  sistem  politik  yang  mapan,  terbukti  dengan masuknya  Indonesia  sebagai  anggota  Dewan  Perserikatan  Bangsa  Bangsa  PBB
yang  ke-60  dan  diselenggarakannya  Konferensi  Asia  Afrika  di  Bandung  pada  18-24 April  1955  Ary  H.  Gunawan,  1986:  45.  Kedua,  berlakunya  sistem  politik
Demokrasi  Liberal  1951-1959,  dengan  hasil  pemilu  pertama  pada  tahun  1955  yang diikuti  oleh  multipartai,  termasuk  diantaranya  PKI,  yang  belakangan  berpengaruh
bagi muatan pendidikan nasional Abd. Rachman Assegaf, 2005: 66. Ketiga, adanya Dekrit    Presiden  1959  dengan  Manifesto  Politik,  UUD  1945,  Sosialisme  Indonesia,
Demokrasi  Terpimpin,  Ekonomi  Terpimpin  dan  Kepribadian  Indonesia  Manipol USDEK,  yang  setelah  itu  menjadi  ”dewa”  dalam  kehidupan  politik  di  Indonesia,
termasuk  bidang  pendidikan  Abd.  Rachman  Assegaf,  2005:  66.    Kempat,  sebagai hasil  perjuangan  Bangsa  Indonesia  di  bidang  pendidikan,  dengan  didahului  oleh
serangkaian  konggres  tersebut  di  atas  dan  berbagai  perdebatan,  maka  terbentuklah UUPP No. 4 Tahun 1950 secara regional, namun kemudian dinyatakan berlaku secara
160 nasional  melalui  UUPP  No.  12  tahun  1954  Abd.  Rachman  Assegaf,  2005:  67.
UUPP  No.  4  Tahun  1950  terdiri  dari  17  bab,  30  pasal  ditambah  penjelasan  umum, dengan ringkasan isi sebagai berikut:
Tujuan  pendidikan  dan  pengajaran  ialah  membentuk  manusia  susila  yang cakap  dan  warga  negara  yang  demokratis  serta  bertanggungjawab  tentang
kesejahteraan  masyarakat  dan  tanah  air  pasal  3.  Tujuan  pendidikan  TK    hingga Perguruan Tinggi selengkapnya berisi sebagai berikut:
1  Pendidikan  dan  Pengajaran  Taman  Kanak-kanak  bermaksud  menuntun tumbuhnya  rohani  dan  jasmani  anak-anak  sebelum  ia  masuk  sekolah  rendah
pasal 7 ayat 1. 2 Pendidikan dan Pengajaran Rendah bermaksud menuntun tumbuhnya  rohani  dan  jasmani  anak-anak,  memberikan  kesempatan
kepadanya  guna  mengembangkan  bakat  kesukaannya  masing-msing,  dan memberikan  dasar-dasar  pengetahuan  kecakapan  dan  ketangkasan  baik  lahir
dan  batin  pasal  7  ayat  2.  3  Pendidikan  dan  Pengajaran  Menengah  umum dan  vak  bermaksud  melanjutkan  dan  meluaskan  pendidikan  dan  pengajaran
yang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing,  kesanggupan  murid  sebagai  anggota  masyarakat,  mendidik
tenaga-tenaga  ahli  dalam  berbagai  lapangan  khusus  sesuai  dengan  bakat masing-masing,  dan  kebutuhan  masyarakat  danatau  mempersiapkannya  bagi
pendidikan  dan  pengajaran  tinggi  pasal  7  ayat  3.  4  Pendidkan  dan Pengajaran  Tinggi  bermaksud  memberi  kesempatan  kepada  pelajar  untuk
menjadi orang, yang dapat memberi pimpinan di dalam  masyarakat dan yang dapat  memelihara  kemajuan  hidup  kemasyarakatan  pasal  7  ayat  4.  5
Pendidikan  dan  Pengajaran  Luar  Biasa  bermaksud  memberi  pendidikan  dan pengajaran  kepada  orang-orang  dalam  keadaan  kekurangan,  baik  jasmani
maupun rohaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak, pasal 7 ayat 6. UUPP No. 4 Tahun 1950.
Ketentuan mengenai dasar pendidikan dan bahasa pengantar adalah sebagai berikut: 1 Pendidikan dan Pengajaran  berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam
Pancasila,  Undang-undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  dan  atas kebudayaan  kebangsaan  Indonesia  pasal  4.  2  Bahasa  Indonesia  sebagai
bahasa  persatuan  adalah  bahasa  pengantar  di  sekolah-sekolah  di  seluruh Republik Indonesia pasal 5 ayat 1, sedang di Taman Kanak-kanak atau tiga
kelas  yang  terendah  di  Sekolah  Rendah  bahasa  daerah  boleh  digunakan sebagai bahasa pengantar, pasal 5 ayat 2. UUPP No. 4 Tahun 1950.
161 Dari  beberapa  pokok  kandungan  UUPP  No.  4  Tahun  1950  di  atas,  bila
dibandingkan  dengan  sistem  pendidikan  yang  berlaku  pada  periode  sebelumnya 1945-1950,  tampak  adanya  perkembangan  dan  perubahan,  persamaan,  dan
perbedaan.  Persamaannya,  dasar  dan  ideologi  pendidikannya  tetap  mengacu  pada Pancasila  sebagai  falsafah  negara.  Budaya  bangsa  dan  bahasa  Indonesia  dipakai
sebagai  bahasa  pengantar,  sedang  perbedaannya  terletak  pada  tujuan  pendidikan, yang semula untuk menanamkan semangat patriotisme dan jiwa nasionalisme, dalam
UUPP  No.  4  Tahun  1950  pasal  3  dengan  jelas  menyebutkan  pembentukan  manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang
kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
c. Periode 1959-1965
Sesuai  dengan  keputusan  MPRS  No.  IIMPRS1960  telah  dirumuskan mengenai  manusia  sosialis  Indonesia  sebagai  suatu  bagian  dari  pada  sosialisme
Indonesia  yang  menjadi  tujuan  pembangunan  nasional  semesta  berencana  yaitu  tata masyarakat  adil  dan  makmur  berdasarkan  Pancasila.  Dalam  pelaksanaannya  di
sekolah  sesuai  dengan  jiwa  dan  Keputusan  MPRS  tersebut  maka  isi  kurikulum haruslah  disesuaikan  dengan  keputusan  tersebut.  Sesuai  dengan  keputusan  MPRS
tersebut,  melalui  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia  No.  145  Tahun  1965 tentang  Nama  dan  Rumusan  Induk  Sistem  Pendidikan  Nasional  antara  lain
dirumuskan mengenai pembinaan manusia Indonesia sebagai berikut: 1  Manusia  Indonesia  baru  yang  berjiwa  Pancasila  Manipol  USDEK,  dan
sanggup  berjuang  untuk  mencapai  cita-cita  tersebut.  2  Manpower  yang cukup  untuk  melaksanakan  pembangunan.  3  Kepribadian  kebudayaan
nasional yang luhur. 4 Ilmu dan teknologi yang tinggi. 5 Pergerakan massa
162 aksinya  seluruh  kekuatan  rakyat  dalam  pembangunan  dan  revolusi.  Abd.
Rachman Assegaf, 2005: 75. Sesuai  dengan  ketetapan  MPRS  No.  IIMPRS1960  maka  pendidikan
berfungsi sebagai berikut: 1  Pendidikan  sebagai  pembina  manusia  Indonesia  baru  yang  berakhlak
tinggi. 2 Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan.  3  Pendidikan  sebagai  lembaga  pengembangan  kebudayaan
nasional.  4  Pendidikan  sebagai  lembaga  pengembangan  ilmu  pengetahuan fisikmental.  5  Pendidikan  sebagai  lembaga  penggerak  seluruh  kekuatan
rakyat. Ketetapan MPRS No. IIMPRS1960.
Kelima  hal  tersebut  dikenal  sebagai  lima  dharma  bakti  pendidikan  dalam segala jenis dan tingkatnya yaitu:
1  Membina  manusia  Indonesia  baru  yang  berakhlak  tinggi  moral Pancasila.  2  Memenuhi  kebutuhan  tenaga  kerja  dalam  segala  bidang  dan
tingkatan.  3  Memajukan  dan  mengembangkan  kebudayaan  nasional.  4 Memajukan  dan  mengembangkan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi.  5
Menggerakkan dan menyadarkan seluruh kekuatan rakyat untuk membangun masyarakat dan manusia Indonesia baru. Ary H. Gunawan, 1986: 50.
Kaitan  yang  sangat  erat  antara  pendidikan  dan  politik  pada  masa  itu dirumuskan  sebagai  berikut:  bahwa  pendidikan  sebagai  alat  revolusi  dalam  suasana
berdikari  mengharuskan  perubahan  dalam  segala  bidang  khususnya  bidang pendidikan.  Dengan  kebijakan  di  atas  maka  tujuan  pendidikan  nasional    dari
pendidikan  pra-sekolah  sampai  pendidikan  tinggi  ditujukan  untuk  melahirkan  apa yang  disebut  warga  negara  sosialis  Indonesia  yang  susila,  bertanggungjawab  atas
terselenggaranya  masyarakat  sosialis  Indonesia,  adil  dan  makmur  baik  spiritual maupun  material  dan  yang  berjiwa  Pancasila.  Isi  moral  pendidikan  nasional  adalah
Pancasila  ManipolUSDEK.    Politik  pendidikan  nasional  ialah  Manifesto  Politik Republik  Indonesia  dan  sebab  itu  strategi  dasar  pelaksanaan  pendidikan  nasional
163 demokratis  harus  melahirkan  patriot-patriot  komplit  yang  berdasarkan  Pancasila
ManipolUSDEK.  Untuk  melaksanakan  pendidikan  tersebut  maka  dibentuklah Majelis  Pendidikan  Nasioanal  melalui  Keppres  Republik  Indonesia  No.  146  Tahun
1965  tentang  Pokok-Pokok  Sistem  Pendidikan  Nasional  Pancasila,  maka  diuraikan lebih  lanjut  mengenai  “Panca  Bhakti  Pendidikan  Nasional”,  tujuan  pendidikan
nasional, isi moral pendidikan nasional dan politik pendidikan nasional. Selanjutnya di dalam Penpres tersebut dikemukakan sistem pendidikan nasional yang terdiri atas:
1  Pendidikan  biasa  pendidikan  pra-sekolah,  pendidikan  dasar,  pendidikan menengah,  dan  pendidikan  tinggi.  2  Pendidikan  khusus.  3  Pendidikan  luar  biasa.
Selain pendidikan sekolah terdapat pula pendidikan kemasyarakatan, dan pendidikan di  luar  hubungan  sekolah.  Jiwa  dari  kurikulum  pendidikan  yaitu:  1  Semangat
mengemban  amanat  penderitaan  rakyat  secara  gotong-royong  demi  tercapainya masyarakat  adil  dan  makmur  diridhoi  oleh  Tuhan  Yang  Maha  Esa.  2  Semangat
demokrasi  terpimpin  yang  mengutamakan  musyaarah  untuk  mufakat.  3  Semangat cinta bangsa dan tanah air  dan semangat kesatuan bangsa  yang ber-bhineka tunggal
ika,  berkepribadian  dan  berkebudayaan  masional.  4  Rasa  perikemanusiaan  dalam bentuk  persahabatan  dengan  seluruh  bangsa  di  dunia  atas  semangat  NEFO  untuk
membangun  dunia  baru  yang  bebas  dari  imperialisme,  kolonialisme,  dan  neo- kolonialisme. 5  Kepercayaan  dan rasa  taqwa  kepada Tuhan Yang  Maha Esa secara
berkeadaban sebagai karakteristik bangsa Indonesia. Sebenarnya  setelah  Presiden  menyatakan  Dekrit  5  Juli  1959  maka  terjadilah
perubahan  yang  sangat  besar  dalam  kehidupan  pendidikan  di  Indonesia  dengan masuknya unsur-unsur asing di dalam kehidupan masyarakat Pancasila. Dalam  suatu
164 usaha  menyesuaikan  pendidikan  nasional  dengan  perkembangan  politik  pada  masa
itu, maka atas instruksi menteri Muda Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 1 tanggal  17  Agustus  1959,  Menteri  Prijono  mengeluarkan  apa  yang  disebut  “Sapta
Usaha  Tama”,  yang  berisi  tindakan-tindakan  jangka  pendek    di  lingkungan Kementerian PP dan K sebagai berikut:
1  Penertiban  aparatur  dan  usaha-usaha  Kementerian  PP  dan  K.  2 Menggiatkan  kesenian  dan  olah  raga.  3  Mengharuskan  usaha  halaman.  4
Mengharuskan  penabungan.  5  Mewajibkan  usaha-usaha  koperasi.  6 Mengadakan  kelas  masyarakat.  7  Membentuk  regu  kerja  di  kalangan  SLA
dan universitas. Ary H. Gunawan, 1986: 51.
Sebagai  pelaksanaan  instruksi  No.  1  di  atas  maka  dalam  Instruksi  Menteri Pendidikan  Dasar  dan  Kebudayaan  No.  2  tanggal  17  Agustus  1961  dirumuskan
sebagai berikut: 1  Menegaskan  Pancasila  dengan  Manipol  sebagai  pelengkapnya,    menjadi
asas  pendidikan  nasional.  2  Menetapkan  Pantja  Wardhana  sebagai  sistem pendidikan yang berisikan prinsip-prinsip: a Perkembangan cinta bangsa dan
tanah  air,  moral  nasional,  internasionalkeagamaan.  b  Perkembangan kecerdasan.  c  Perkembangan  emosional  artistik  atau  rasa  keharuan  dan
keindahan lahir batin. d Perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan. e Perkembangan jasmani. Ary H. Gunawan, 1986: 50.
Selanjutnya  menyelenggarakan  hari  krida  atau  hari  untuk  kegiatan-kegiatan
lapangan  kebudayaan,  kesenian,  olahraga  dan  permainan  pada  tiap-tiap  Sabtu. Demikian  kita  lihat  betapa  politik  memasuki  dunia  pendidikan  dan  ikut  bergolak
sesuai dengan pergolakan kehidupan politik pada saat itu. Di bawah pengaruh tokoh- tokoh pendidikan komunis pada saat itu terjadi keributan mengenai dasar pendidikan
nasional  apakah  Pancasila  atau  Pantja  Wardhana.  Di  dalam  keributan  tersebut Menteri P dan K memutuskan bahwa Pancasila merupakan dasar pendidikan nasional
165 dan  Pantja  Wardhana  adalah  sistem  pendidikan  nasional  Ary  H.  Gunawan,  1986:
50. Periode ini adalah periode Nasakom Nasionalis, Agama dan  Komunis yang
ditandai  dengan  berlakunya  sistem  Demokrasi  Terpimpin.  Demokrasi  Terpimpin yang  dilandasi  Nasakom  menciptakan  kondisi  politik  di  mana  unsur  komunis
mendominasi  keadaan  di  semua  bidang  Abd.  Rachman  Assegaf,  2005:  77.  Karena infiltrasi  komunis  ini  maka  berbagai  ormas  dan  parpol  Islam  mengambil  posisi
diametral  terhadap  kebijakan  pemerintah.  Masyumi  versus  pemerintah,  misalnya, berada dalam posisi konflik yang serius Abd. Rachman Assegaf, 2005: 77.  Akibat
pengaruh PKI  juga,  Indonesia  terlibat dengan  konfrontasi  dengan  Malaysia  sehingga hubungan diplomatik   menjadi tegang pada 3 September 1964, meskipun konfrontasi
ini    mengendor  ketegangannya  pada  Januari  1966  Abd.  Rachman  Assegaf,  2005: 67.    Melalui  Dekrit  Presiden  5  Juli  1959,  konstituante  dibubarkan  dan  kembali  ke
UUD  1945,  tetapi  dengan  pergeseran  arah  Mahendra,  Yusril  Ihza,  1996:  82. Pancasila  yang  seharusnya  dipimpin  oleh  hikmat  kebijaksanaan    dalam
permusyawaratan perwakilan bergeser menjadi konsep demokrasi yang dipimpin oleh Presiden  Pemimpin    Besar  Revolusi  Sodiq  A.  Kuntoro,  1997:  28.  Dekrit  ini
memperkuat    posisi  Presiden  dan  memperlemah  parpol.  Era  kehidupan  ini  dikenal dengan  era  ”Manifesto  Politik”  atau  Manipol.  Manipol    merupakan  keseluruhan  isi
Pidato  Presiden  Soekarno  pada  tanggal  17  Agustus  1959,  sekaligus  sebagai penjelasan  resmi  dari  Dekrit  Presiden.  Secara  ideologis,  Manipol  bertentangan
dengan  Pancasila.  Pengaruh  Manipol  terhadap  pendidikan  menurut  Wardiman Djojonegoro, adalah sebagai berikut:
166 Pertama, dari sisi ideologi. Manipol ini diindoktrinasikan pada seluruh
lapisan  rakyat  Indonesia  termasuk  di  semua  jenjang  dan  jenis  pendidikan. Tidak  dibenarkan  adanya  penafsiran-penafsiran  yang  lain  selain  dari  yang
telah  dirinci  oleh  pemerintah,  yaitu  yang  telah  dirumuskan  oleh  Dewan Pertimbangan Agung DPA tentang perincian persoalan-persoalan pokok dan
program  umum  Revolusi  Indonesia  yang  diambil  dari  Manipol.  Ide  Manipol ini mengubah corak pendidikan nasional menjadi  alat dari ideologi komunis,
karenanya  yang  menyambut  baik  sistem  ini  ialah  golongan  komunis Djojonegoro, Wardiman dkk, 1995:  103.
Kedua,  dari  sisi  kebijakan  pendidikan.  Masih  karena  pengaruh Manipol,  asas  pendidikan  nasional  adalah  Pancasila  dan  Manipol  USDEK.
Adapun tujuan pendidikan nasional pada periode ini adalah untuk melahirkan warganegara  sosialis  Indonesia  yang  susila,  yang  bertanggungjawab  atas
terselenggaranya  masyarakat  sosialis  Indonesia,  adil  dan  makmur  baik spiritual  maupun  material  dan  yang  berjiwa  Pancasila.  Djojonegoro,
Wardiman dkk, 1995:  103.
Tujuan pendidikan ini menggeser tujuan sebelumnya. Yang dimaksud dengan manusia sosialis Indonesia di sini adalah manusia Indonesia yang berwatak Manipol.
Dasar  pendidikan  Manipol  adalah  TAP  MPRS  No.IIMPRS1960  Bab  II  pasal  2. Untuk  menyesuaikan  kebijakan  pendidikan  dengan  Manipol,  maka  Menteri
Pendidikan  Dasar  dan  Kebudayaan  mengeluarkan  instruksi  Nomor  2  tanggal  17 Agustus 1961 tentang Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana seabagai berikut:
Sapta Usaha Tama berisi: 1 Penertiban aparatur dan usaha-usaha kementrian PP  dan  K.  2  Menggiatkan  kesenian  dan  olah  raga.  3  Menggiatkan  ”usaha
halaman”.  4  Mengharuskan  penabungan.  5  Mewajibkan  usaha-usaha koperasi.  6  Mengadakan  kelas  masyarakat.  7  Membentuk  ”regu  kerja”  di
kalangan  SLA  dan  Universitas.  Pancawardhana  atau  lima  prinsip  pendidikan berisikan  hal-hal  sebagai  berikut:  1  Perkembangan  cinta  bangsa  dan  tanah
air,  moral  nasionalinternasional  keagamaan.  2  Perkembangan  intelegensi. 3 Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir-
batin.  4  Perkembangan  keprigelan  kerajinan  tangan.  5  Perkembangan jasmani. Ary H. Gunawan, 1986: 50.
Sejak  itu,  seluruh  kegiatan  sekolah,  baik  yang  kurikuler  maupun  yang
ekstrakurikuler banyak berubah dan disesuaikan dengan instruksi di atas. Kemudian, sistem  Pancawardhana  ini  disempurnakan  melalui  berbagai  Keputusan  Presiden,  di
167 antaranya Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1965 tertanggal 25 Agustus 1965 Abd.
Rachman Assegaf, 2005: 80. Dari  sisi  materi  pelajaran  di  sekolah,  Pancasila  dan  Manipol  dijadikan  mata
pelajaran  di  perguruan  rendah  sampai  dengan  perguruan  tinggi.  Selanjutnya  juga ditetapkan  bahwa    pendidikan  agama  menjadi  mata  pelajaran  di  sekolah-sekolah
mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas. Bila  dicermati,  penggunaan  kalimat  membentuk  manusia  susila  yang  berjiwa
Pancasila  tampaknya  memang  Pancasila  masih  menjiwai  tujuan  pendidikan.  Bahkan tampaknya lebih maju dibanding dengan rumusan tujuan pendidikan menurut UUPP
No. 4 Tahun 1950, karena di sana  kalimatnya hanya menyebut manusia susila tanpa berjiwa  Pancasila.  Akan  tetapi  setelah  sampai    kepada  kalimat  bertanggung  jawab
atas  terwujudnya  masyarakat  sosialis  Indonesia,  tampak  adanya  penyimpangan  dan pengaruh  Manipol  USDEK  Mirwan  Agus,  1989:  8.  Perubahan    berjalan  cepat,
upaya-upaya golongan kiri komunisme ini mengalami kegagalan total, dan sementara itu tujuan pendidikan yang berlandaskan pada Manipol USDEK tidak bertahan lama.
Melalui Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. XXVII MPRS 1966 Bab II pasal 3  tentang  tujuan  pendidikan  merubah  tujuan  pendidikan  yang  semula    untuk
melahirkan  warga  negara  Sosialis  Indonesia  yang  susila  menjadi  untuk  membentuk manusia  Pancasila  sejati  Ketetapan  MPRS  RI  No.  XXVIIMPRS1966.  Dari
beberapa  perubahan  kebijakan  tersebut  dapat  dikatakan  bahwa  ketika  komunisme menguat  maka  rumusan  tujuan  pendidikannya  mengandung  nilai-nilai  sosialis.
Sebaliknya,  begitu  pengaruh  komunisme  melemah,  maka  rumusan  tujuan pendidikannya  berubah  menurut    konstelasi  politik  saat  itu  yang  berupaya
168 memurnikan  Pancasila,  dan  pelaksanaan  pendidikan  agama  pun  menjadi  kewajiban
setiap peserta didik. Perubahan  kebijakan  di  atas  membuktikan  bahwa  popularitas  Manipol  ini
berlaku sangat singkat. Terlebih lagi dengan meletusnya peristiwa G-30 SPKI tahun 1965, tujuan  dan  kebijakan  pendidikan  ini  ditinggalkan. Tujuan  pendidikan  nasional
Indonesia  tahun  1966  dirumuskan  melalui  TAP  MPRS  No.  XXVII  MPRS  1966 tentang  Agama,  Pendidikan  dan  Kebudayaan.  Pasal  2  membicarakan  tentang  dasar
pendidikan. Dinyatakan bahwa: ”Dasar pendidikan adalah falsafah negara Pancasila”. Pasal  3  menetapkan  bahwa:  ”Tujuan  pendididkan  adalah  membentuk  manusia
Pancasila  sejati  berdasarkan  ketentuan-ketentuan  seperti  yang  dikehendaki  oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945” Abd. Rachman Assegaf, 2005: 83.
Dalam pasal 4 memuat isi pendidikan, yaitu: pertama,  mempertinggi  mental, moral,  budi  pekerti  dan  memperkuat  keyakinan.  Kedua,  mempertinggi  kecerdasan
dan keterampilan. Ketiga, membina mengembangkan fisik yang kuat dan sehat Abd. Rachman Assegaf, 2005: 83.  Pasal 5 memuat ketentuan, perlunya meninjau kembali
peraturan  pendidikan  yang  tidak  sesuai  dengan  UUD  1945  termasuk  Penetapan Presiden  No.  19  Tahun  1965  tersebut  di  atas  Abd.  Rachman  Assegaf,  2005:  83.
Terjadi  pergeseran  tujuan  pendidikan  dari  membentuk  Manusia  Sosialis,  atas pengaruh  Manipol,  menjadi  Manusia  Pancasilais  Sejati,  sebagai  upaya  pemurnian
Pancasila yang sesuai dengan kehidupan Orde Baru.
2. Politik Pendidikan Orde Baru
Fokus  perhatian  Orde  Baru  ditujukan  pada  empat  tahap.  Semuanya berpengaruh langsung bagi kebijakan pendidikan nasional, yaitu:
169 Tahap pertama, penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari kehidupan
politik  bangsa,  serta  membersihkan  semua  lembaga  dan  kekuatan  sosial- politik  dari  kader-kader  PKI  dan  proses  de-Nasakomisasi  seluruh  aspek
kehidupan  bangsa.  Tahap  kedua,  konsolidasi  pemerintahan  dan  pemurnian Pancasila  dan  UUD  1945.  Tahap  ketiga,  menghapuskan  dualisme  dalam
kepemimpinan nasional. Dan tahap keempat, mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan.  Abd. Rahman Assegaf, 2005: 84.
Implikasi  pada  tahap  pertama  pembubaran  PKI,  menimbulkan  penutupan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah PKI dan organisasi yang ada di bawahnya.
Menurut Abd. Rahman Assegaf : Sejak  tahun  1966  sampai  1971  terdapat  penurunan  sekolah.  Setelah  resmi
dibubarkan, PKI praktis tidak terlibat dalam birokrasi pemerintahan.  Kondisi ini menguatkan posisi kelompok nasionalis dan kelompok muslim. Kurikulum
yang  semula  dijabarkan  dalam  Sapta  Usaha  Tama  dan  Pancawardana,  yang berkarakter  kiri,  diganti  dengan  kurikulum  bermuatan  pembinaan  Pancasila.
Prestasi  penting  lainnya  adalah  diberlakukannya  UUSPN  No.  2  Tahun  1989 dan  Kurikulum 1994. Abd. Rahman Assegaf, 2005: 85.
Tahap kedua, dilakukan konsolidasi pemerintahan, serta pemurnian Pancasila. Hal  ini  berpengaruh  besar  bagi  perubahan  redaksi  tujuan  pendidikan  nasional.
Konsolidasi  pemerintahan  dilakukan  dengan  pembentukan  kabinet  baru  dan penyusunan  program  pembangunan.  Adapun  upaya  pemurnian  Pancasila  menjadi
prioritas.  Sebagaimana  telah  disebut  pada  bagian  sebelumnya,  ketika  pengaruh  ide Manipol  masih  kuat,  maka  tujuan  pendidikannya  diarahkan  agar  ”melahirkan  warga
negara sosialis  Indonesia  yang  susila,  yang  bertanggung  jawab  atas  terselenggaranya masyarakat  sosialis  Indonesia  Keputusan  Presiden  RI  No.  145  Tahun  1965  tentang
Nama dan Rumusan Sistem Pendidikan Nasional. Dan ketika PKI dibubarkan, serta dilakukan  pemurnian  Pancasila,  tujuan  pendidikan  nasional  berubah  menjadi
”membentuk  manusia  Pancasila  sejati  berdasarkan  ketentuan-ketentuan  yang
170 dikehendaki oleh  pembukaan  UUD  1945.  Perubahan  mendasar di  atas  menunjukkan
bahwa ide Manipol USDEK telah diganti secara tegas menjadi falsafah Pancasila. Orde  Baru  diwarnai  semangat  serba  Pancasila.  Semangat  itu  selalu
ditekankan,  baik  dalam  bidang  politik  maupun  pendidikan.  Menurut  Udin  S. Winataputra:
Penataran  P-4  Pedoman  Penghayatan  dan  Pengamalan  Pancasila  wajib diberikan  kepada    setiap  siswa  yang  diterima  di  sekolah,  di  samping  masih
adanya  mata  pelajaran  Pancasila.  Mata  pelajaran  PMP  Pendidikan  Moral Pancasila  termasuk  yang  mempengaruhi  kenaikan  kelas  atau  kelulusan
sekolah.  Setelah  EBTANAS  Evaluasi  Belajar  Tahap  Akhir  Nasional diberlakukan, PMP menjadi komponen bidang studi yang mempengaruhi nilai
komulatif  DANEM  Daftar  Nilai  EBTANAS  Murni,  DANEM  berfungsi sebagai  standar  memasuki  jenjang  pendidikan  di  atasnya.  Penataran  P-4  juga
berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil PNS.  Di tingkat desa, penduduk di data untuk  memperoleh      pembinaan  P-4.  sejak    1984,  semua  parpol  dan  ormas
diharuskan menganut asas tunggal, Pancasila. wawancara, 6 Agustus 2011.
Pada  tahap  ketiga,  menghapuskan  dualisme  dalam  kepemimpinan  nasional. untuk  itu  diadakan  Sidang  Istimewa  MPRS  tahun  1967  dengan  hasil  diangkatnya
Soeharto sebagai presiden, juga menghapuskan dualisme penafsiran tentang Pancasila dan UUD 1945.
Tahap  keempat,  mengembalikan  stabilitas  politik  dan  merencanakan pembangunan.  Pembangunan  dilakukan  pada  semua  bidang,  terutama  ekonomi  dan
pendidikan. Pembangunan  ekonomi  menunjukkan  prestasi  yang  membanggakan.
Pertumbuhan  ekonomi  selama  Orde  Baru  rata-rata  sebesar  6,8  per  tahun. Pendapatan  perkapita  meningkat  secara  mencolok.  Kemajuan  sektor
pendidikan  juga  tampil  dengan  mengesankan.  Selama  PJP  Pembangunan Jangka  Panjang  I  tahun  1969-1991,  sekolah,  guru  dan  murid  SD  meningkat
secara mencolok, lebih dari 3,5 kali lipat.  Sekolah Lanjutan Tingkat  Pertama secara  kelembagaan  mengalami  peningkatan  lebih  dari  4  kali  lipat.  Sekolah
lanjutan  tingkat  atas  meningkat  lebih  dari  5,5  kali  lipat.  Jumlah  murid  dan guru SLTA  meningkat  lebih dari 8 kali lipat. Jumlah perguruan tinggi  secara
171 kelembagaan  meningkat  3,5  kali  lipat.  Jumlah  dosen  dan  mahasiswa
meningkat  9  kali  lipat.  Semua  peningkatan  itu  dicapai  tahun  1991,  bila dibandingkan awal Repelita I, 1969. Sekretariat Jenderal DPP Golkar, 1992:
7.
Data  di  atas  adalah  sebuah  prestasi.  Akan  tetapi,  prioritas  pembangunan ekonomi  berjalan  tidak  seimbang  dengan  demokrasi.  Konsentrasi  pembangunan
ekonomi  menyebabkan    kehidupan  demokrasi  agak  terlantar.  Pemilu  dilaksanakan tanpa sistem multi partai sebagaimana Pemilu 1955, bahkan sejak 1973 jumlah partai
disederhanakan menjadi 3 saja. Menurut William Liddle: Pada  tahun  1984  semua  partai  diharuskan  berasas  tunggal,  yakni  Pancasila
Kebebasan pers dan kebebasan mimbar diawasi secara ketat. Dari tahun 1960 hingga  tahun  1980,  terjadi  banyak  insiden  kekerasan  yang  diklaim  oleh
pemerintah  sebagai  ekstrim  kanan,  dan  dijadikan  alasan  pemerintah  Orde Baru untuk  mewaspadai gerakan Islam militan. William Liddle, 1996: 5.
Ketimpangan antara
pembangunan ekonomi
dengan demokratisasi
menjadikan    pembangunan  bersifat  semu,  karena  tampak  di  permukaan  gedung- gedung  menjulang  tinggi,  melambangkan  keberhasilan  ekonomi,  sementara  pada
lapis bawah rakyat  tidak merasakan adanya  pemerataan hasil pembangunan.  Alokasi dana  pendidikan  juga  relatif  kecil,  bila  dibandingkan  dengan  alokasi  dana  bidang
pembangunan  dan  industri.    Produk  kebijakan  pendidikan  pada  era  Orde  Baru tercermin  dalam  GBHN,  Undang-undang  sistem  pendidikan  nasional  No.  2  Tahun
1989,  berbagai  Peraturan  Pemerintah,  serta  berbagai  Surat  Keputusan  Menteri,  dan lain-lainnya.
Berikut  ini  adalah  uraian  singkat  mengenai  pola  isi  dan  tema  pokok  GBHN yang  menunjukkan  adanya  perubahan  kebijakan  pendidikan  nasional.  GBHN  1973,
1978,  1983,  1988,  dan  1993  memiliki  pola  isi  dan  tema  yang  tidak  jauh  berbeda,
172 sebagai berikut: a Dasar dan tujuan pendidikan nasional; b Pedoman penghayatan
dan  pengamalan  Pancasila  P-4;  c  Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP;  d Pendidikan  sejarah  perjuangan  bangsa  PSPB;  e  Wajib  belajar;  f  Kesempatan
belajar;  g  Sistem  pendidikan  nasional;  h  Pendidikan  umum  dan  kejuruan;  i Pendidikan  luar  sekolah;  j    Perguruan  swasta;  k  Perguruan  tinggi;  l  Tenaga
pendidik; m Sarana dan prasarana; n Pendidikan olah raga; o Pendidikan bahasa Indonesia;  p  Perpustakaan.    Berikut  ini  kutipan  GBHN  1978  yang  terkait  dengan
pendidikan: 1  Bahwa  pendidikan  nasional  berdasarkan  atas  Pancasila  dan  bertujuan
untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan,  mempertinggi  budi  pekerti,  memperkuat  kepribadian  dan
mempertebal  semangat  kebangsaan  agar  dapat  menumbuhkan  manusia- manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama  bertanggungjawab  atas  pembangunan  bangsa.  2  Dalam  rangka melaksanakan  pendidikan  nasional  perlu  diambil  langkah-langkah  yang
memungkinkan  penghayatan  dan  pengamalan  Pancasila  oleh  seluruh  lapisan masyarakat.  3  Pendidikan  Pancasila  termasuk  Pendidikan  Moral  Pancasila
dan  unsur  yang  dapat  meneruskan  dan  mengembangkan  jiwa  dan  nilai-nilai 1945  kepada  generasi  muda  dimasukkan  ke  dalam  kurikulum  sekolah-
sekolah,  mulai  dari  taman  kanak-kanak  sampai  universitas,  baik  negeri maupun  swasta.  4  Pendidikan  berlangsung  seumur  hidup  dan  dilaksanakan
di  dalam  lingkungan  rumah  tangga,  sekolah,  dan  masyarakat.  Karena    itu pendidikan  adalah  tanggungjawab  bersama  antara  keluarga,  masyarakat,  dan
pemerintah.  5  Perguruan  swasta  mempunyai  peranan  dan  tanggung  jawab dalam  usaha  melaksanakan  pendidikan  nasional.  untuk  itu  perlu
dikembangkan  pertumbuhan  sesuai  kemampuan  yang  ada  berdasarkan  pola pendidikan  nasional  yang  mantap,  dengan  tetap    mengindahkan  ciri-ciri  khas
perguruan  yang  bersangkutan.  6  Pendidikan  juga  menjangkau  program- program  luar  sekolah  yaitu  pendidikan  yang  bersifat  kemasyarakatan,
termasuk  kepramukaan,  latihan-latihan  keterampilan  dan  pemberantasan  buta huruf  dengan  mendayagunakan  sarana  dan  prasarana  yang  ada.  7  Mutu
pendidikan  ditingkatkan  untuk  mengejar  ketinggalan  di  bidang  ilmu pengetahuan  dan  teknologi  yang  mutlak  diperlukan  untuk  mempercepat
pembangunan.  8  Sistem  pendidikan  perlu  disesuaikan  dengan  kebutuhan pembangunan  segala  bidang  yang  memerlukan  segala  jenis  keahlian  dan
keterampilan  serta  dapat  sekaligus  meningkatkan  produktivitas  mutu  dan efisiensi kerja . TAP MPR No. IVMPR1978.
173 Kebijakan  politik  di  Indonesia  selalu  berpengaruh  besar  dan  langsung  bagi
pendidikan  nasional.  Perubahan  politik  selalu  menimbulkan  perubahan  kebijakan pendidikan.  Pada  masa  kolonial,  kebijakan  pendidikan  dilaksanakan  menurut
kepentingan  penjajah.  Setelah  merdeka,  orientasi  pendidikan  untuk  kepentingan masyarakat  luas,    bangsa  dan  negara.  Perkembangan  politik  selalu  lebih  cepat
daripada  perubahan  pendidikan.  Keputusan  politik  yang  diambil  oleh  individu kelompok    dalam  pemerintahan  tertentu  memiliki  implikasi  luas  bagi  masyarakat.
Oleh karena itu membenahi praktik pendidikan haruslah disertai dengan pembenahan dan pembaharuan kebijakannya. Berikut ini hasil wawancara dengan Husain Haikal:
Menguatnya peran pemerintah Orde Baru secara fisik dan finansial dijadikan titik pijak untuk melakukan intervensi ke dalam pendidikan secara lebih jauh.
Sampai  pertengahan  dekade  1970-an  atau  sepuluh  tahun  pertama  Orde  Baru, sebetulnya  masih  ada  yang  disebut  sebagai  otonomi  guru  dan  otonomi
pendidikan.  Tapi  selepas  tahun  tersebut,  bersamaan  dengan  makin menguatnya  peran  politik  penguasa  Orde  Baru,  maka  otonomi  guru  dan
otonomi  pendidikan  itu  makin  berkurang  dan  lama-lama  menghilang. wawancara, 7 Juli 2011.
Pelita  II  dan  III  menjadi  titik  awal  penggarapan  sistem  pendidikan  nasional oleh  rezim  Orde  Baru,  karena  pada  saat  itu  politik  Orde  Baru  sudah  memperoleh
basis  ekonomi dan  politiknya  yang cukup  kuat.  Secara ekonomis, Rezim Orde Baru diuntungkan  oleh  meningkatnya  harga  minyak  di  pasaran  dunia  yang  begitu  tajam,
sehingga  negara  memiliki  banyak  uang.  Uang  minyak  itu  kemudian  dipakai  untuk mendirikan SD Inpres baru di seluruh wilayah Indonesia; dan sekaligus pengangkatan
guru baru. Pendirian SD Inpres yang diikuti dengan pengangkatan guru baru itu telah menjadi titik awal  menguatnya peran pemerintah dalam sektor  pendidikan. Menurut
Darmaningtyas:
174 Memasuki  Pelita  II,  penguasa  Orde  Baru  semakin  percaya  diri  karena  secara
ekonomis  Rezim  Orde  Baru  sudah  semakin  kuat.  Secara  ekonomis  Rezim Orde  Baru  sudah  mampu  melahirkan  calon-calon  konglomerat  baru,
sedangkan  secara  politik  dukungan  dari  ABRI  dan  Golkar  semakin  menguat melalui  birokrasinya  yang  sangat  efektif.  Dengan  dua  modal  tersebut,
intervensi  yang  dilakukan  Rezim  Orde  Baru  ke  dalam  sistem  pendidikan nasional  semakin  intensif.  Rezim  Orde  Baru  menyadari  sepenuhnya  bahwa
institusi  pendidikan  dapat  menjadi  mekanisme  kontrol  yang  efektif  terhadap pikiran-pikiran  liar  yang  ada  di  masyarakat.  Oleh  karena  itu  berbagai
mekanisme  kontrol  fisik  dan  pikiran  melalui  pendidikan  terus  dilakukan oleh  rezim  Orde  Baru.  Pertama-tama    melalui  seragam  sekolah,  kemudian
berlanjut pada isi materi pelajaran, dan dilanjutkan pada yang lebih detail lagi, yaitu pengawasan perilaku individu-individu  yang  terlibat dalam  pengelolaan
pendidikan.  Sebenarnya  akar  masalah  pendidikan  bukan  hanya  masalah terbatasnya anggaran tetapi juga kuatnya intervensi penguasa Orde Baru yang
menjadikan beban ideologis dan politik yang dipikul oleh pendidikan nasional itu  teramat  berat,  sedangkan  proses  pencerdasan  itu  sendiri  semakin
berkurang. Darmaningtyas, 2004: 9.
a. Indoktrinasi Ideologi
Beban  politik  dalam  pendidikan  mulai  terasa  ketika  adanya  pergantian pelajaran  dari  Civic  atau  Kewarganegaraan  menjadi  pelajaran  PMP  Pendidikan
Moral  Pancasila  sejak  tahun  1976.  Penggantian  pelajaran  Civic  menjadi  PMP  itu memiliki implikasi politik yang cukup besar. Menurut Darmaningtyas:
Dalam  pelajaran  Civic  yang  dipelajari  adalah  mengenal  hak-hak  dan kewajiban  sebagai  warga  negara,  dan  juga  kewajiban  negara  terhadap
warganya.  Dengan  demikian  sejak  kecil  setiap  murid  sudah  diajarkan  untuk bersikap  kritis  terhadap  hak-haknya  sebagai  warga  negara  dan  kewajiban
negara  terhadap  warganya.  Dengan  kata  lain,  pelajaran  Civic  itu  akan menumbuhkan  sikap  kritis  kepada  setiap  murid.  Hal  itu  jelas  kurang
menguntungkan  bagi  penguasa.  Sebab  bila  setiap  lulusan  sekolah  menjadi sangat kritis, maka penguasa akan kebingungan memberikan jawaban kepada
setiap  tuntutan  warganya.  Sedangkan  pada  mata  pelajaran  PMP  tekanannya hanya  menjadi  orang  yang  taat  dan  patuh  pada  ideologi  negara  saja,  tapi
kurang  dikenalkan  dengan  hak-haknya.  Maka  wajar    bila  kemudian  produk pendidikan  yang  lahir  dari  mata  pelajaran  PMP  ini  adalah  orang-orang  yang
taat, dan  tidak kritis. Darmaningtyas, 2004: 10.
175 Setelah  hadirnya  Tap  MPR  tentang  Pedoman  Penghayatan  dan  Pengamalan
Pancasila P-4,  Husain Haikal menyatakan bahwa: Beban politik pada pendidikan nasional itu makin terasa berat ketika pelajaran
PMP  itu  tidak  hanya  berhenti  di  situ  saja.  Tapi  berlanjut  pada  bentuk penataran  P-4  yang harus diikuti oleh setiap murid dari Taman Kanak-kanak
sampai  Perguruan  Tinggi,  dan  juga  para  gurunya.  Sejak  tahun  1983-1997 penataran  P-4  menjadi  kewajiban  yang  harus  diikuti  oleh  setiap  murid  baru.
Penataran P-4 pun kemudian menjadi proyek baru bagi para pengampu mata pelajaran Pancasila. wawancara, 7 Juli 2011.
Selain mata pelajaran PMP, mata pelajaran Sejarah juga banyak dimanfaatkan
oleh  penguasa  untuk  mendukung  kepentingannya.  Sebagai  contohnya  adalah  mata pelajaran  Sejarah  Nasional  yang  sangat  menonjolkan  materi  peristiwa  1965-1966
yang  menampilkan  penguasa  Orde  Baru  sebagai  Hero.  Lebih  lanjut  Husain  Haikal menyatakan:
Buku-buku Sejarah Nasional sejak masa awal Orde Baru lebih banyak bersifat sebagai  kampanye  anti  PKI.  Oleh  sebab  itu,  dalam  seluruh  materi  sejarah,
terutama  peristiwa  1965-1966  ditekankan  pada  kekejaman  Partai  Komunis Indonesia  PKI  dan  heroiknya  Angkatan  Darat  dalam  menyelamatkan
Pancasila  sebagai  dasar  negara  sehingga  kemudian  memunculkan  peringatan ”Hari  Kesaktian  Pancasila”  yang  selalu  diperingati  setiap  tahunnya.  Namun
sejak  Gur  Dur  menjadi  Presiden  peringatan  tersebut  diganti  istilah  dengan nama ”peringatan 1 Oktober. wawancara, 7 Juli 2011.
Selain  pergantian  pelajaran  yang  lebih  memiliki  beban  politis  daripada pencerdasan  itu,  pada  Pelita  III  juga  ditandai  dengan  adanya  ketentuan  seragam
secara nasional, yaitu Merah-Putih untuk SD, Biru-Putih untuk SLTP, dan Abu-abu- Putih untuk SMTA. Sebelumnya seragam pelajar itu ditentukan oleh masing-masing
sekolah  dan  fungsinya  hanya  untuk  menghindari  terjadinya  persaingan  yang  tidak sehat  saja.  Ketentuan  seragam  secara  nasional  itu  baru  mulai  diberlakukan  sejak
176 Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan  dijabat  oleh  Daoed  Josoef  dari  CSIS  1987-
1993, sebelumnya seragam sekolah  itu amat berwarna-warni. Mulai  saat  itu  sebetulnya  telah  terjadi  penguasaan  institusi  pendidikan
nasional baik secara fisik maupun mental melalui politik penyeragaman.  Secara fisik melalui  ketentuan  pakaian  seragam  nasional  dari  tingkat  SD,  SMTA,  sedangkan
secara  mental  melalui  penggantian  pelajaran  Civic  dengan  PMP  dan  Penataran  P-4 bagi  murid  baru,  serta  materi  pelajaran  Sejarah  yang  ditekankan  sebagai  kampanye
anti  PKI.  Penguasa  Orde  Baru  menyadari  betul,  bahwa  pendidikan  merupakan wahana  yang  strategis  untuk  melakukan  indoktrinasi  ideologi  yang  efektif,  oleh
karena  itu  pendidikan  harus      dikuasai.  Pada  perkembangan  berikutnya,  upaya menambah  beban  politik  pada  institusi  pendidikan  nasional  itu  dilakukan  oleh
Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan  Nugroho  Notosusanto  1983-1985  dengan menambah  mata  pelajaran  PSPB  Pendidikan  Sejarah  Perjuangan  Bangsa  pada
Kurikulum 1984. Jika  sebelumnya  kampanye  anti-PKI  di  satu  pihak  dan  heroisme  Angkatan
Darat  itu  hanya  masuk  ke  dalam  materi  pelajaran  Sejarah  saja,  maka  oleh Menteri  Nugroho  Notosusanto  diformalkan  dalam  bentuk  pelajaran  PSPB
yang dinilai tumpang tindih dengan materi Sejarah Nasional itu sendiri. Oleh para  sejarawan  yang  kritis,  seperti  Prof.  Dr.  Sartono  Kartodirdjo  dan  G.
Moedjanto  ditolak.  Bahkan  Prof.  Dr.  Sartono  Guru  Besar  Fakultas  Sastra UGM tidak  mau terlibat dalam penyusunan  materi PSPB. Karena materi ini
dinilai  lebih  bermuatan  politis  daripada  proses  pencerdasan  bangsa,  karena fokus perjuangan yang ditunjukkan hanya pada perjuangan bersenjata dan itu
pun  secara  waktu  hanya  terfokus  pada  peran  Angkatan  Darat  dalam menghadapi  PKI  tahun  1965-1966.  Perjuangan  kaum  cendekiawan  melalui
diplomasi  tidak  ditempatkan  sebagai  bagian  dari  sejarah  perjuangan  bangsa Indonesia. Dengan kata lain, penambahan pelajaran PSPB itu sebetulnya lebih
dimaksudkan  untuk  menyenangkan  kekuatan  politik  dominan  pada  saat  itu, yaitu  ABRI  khususnya  Angkatan  Darat.  Melalui  pelajaran  PSPB  itu
diharapkan secara evolutif para lulusan pendidikan formal memiliki apresiasi yang  tinggi  terhadap  ABRI,  khususnya  Angkatan  Darat.  Keputusan  Menteri
177 Nugroho  Notosusanto  itu  ditengarahi  sebagai  upaya  untuk  mencari  muka  di
hadapan militer, karena ia dikenal sebagai sastrawan dan rektor UI yang dekat dengan militer. Sebelum menjadi rektor UI tahun 1982, Nugroho Notosusanto
adalah  bekerja  di  Pusat  Kajian  Sejarah  Militer,  Angkatan  Darat.  Setelah Nugroho  Notosusanto  meninggal  dunia  Juni  1985  dan  Menteri  P  dan  K
dijabat  oleh  Fuad  Hassan  sejak  31  Juli  1985,  mata  pelajaran  PSPB  itu kemudian dihapuskan dan diintegrasikan kembali ke materi Sejarah Nasional
dan PMP. Darmaningtyas, 2004: 13.
Penguasaan  institusi    pendidikan  sebagai  wahana  indoktrinasi  ideologi  dan politik  Orde  Baru  tidak  hanya  berhenti  pada  penggantian  desain  materi  pelajaran
Civic menjadi PMP, mengubah substansi pelajaran Sejarah  Nasional,  menambahkan pelajaran  PSBP,  atau  penyeragaman  pakaian  secara  nasional  saja,  tapi  juga
penguasaan guru. Organisasi  guru,  yang  kemudian  dikenal  dengan  nama  PGRI  yang  pada  saat
didirikan  pada  25  November  1945  berbentuk  Serikat  Pekerja  pada Konggresnya tanggal 23-25 Novenber 1973 di Jakarta berubah status menjadi
Organisasi  Profesi.  Bersamaan  dengan  perubahan  status  itu  juga  terjadi perubahan  afiliasi  politik.  Selama  masa  Orde  Baru  PGRI  dikenal  sebagai
salah satu organisasi profesi yang menjadi basis pendukung Golongan Karya Golkar
sehingga anggota
PGRI diidentikkan
dengan Golkar.
Darmaningtyas, 2004: 17. Adanya perubahan status itu jelas mempengaruhi ruang gerak organisasi guru,
yaitu  Serikat  Pekerja  yang  bertujuan  memperjuangkan  hak-hak  guru  menjadi organisasi  yang  diikat  oleh  kode  etik  profesi  tertentu.  Apalagi  perannya  sebagai
pendukung  Golkar,  jelas  dapat  melupakan  nasib  anggotanya  sekiranya  anggota  itu tidak sejalan dengan tuntutan Golkar. Menurut Husain Haikal:
Begitu besarnya cengkeraman birokrasi  yang  diperkuat oleh organisasi  guru, menyebabkan  guru  kehilangan  otonominya.  Guru  kemudian  sangat  terbiasa
bekerja  atas  dasar  petunjuk  pelaksanaan  dan  petunjuk  teknis  saja.  Semua perintah  akan  dijalankan  bila  sudah  ada  petunjuk  pelaksanaan  dan  petunjuk
teknis, karena mereka takut disalahkan. wawancara, 7 Juli 2011.
178 Penguasaan guru sebagai media untuk melaksanakan indoktrinasi ideologi dan
politik  Orde  Baru  itu  berlangsung  sangat  efektif,  sehingga  dalam  waktu  dua  dekade terakhir  masa  Orde  Baru,  institusi  pendidikan  telah  menjadi  sarana    yang  efektif
untuk  mendukung  status  quo.  Institusi  pendidikan  menjadi  institusi  yang  paling konservatif  untuk  melakukan  perubahan  sama  sekali.  Ini  jelas  sebagai  dampak  dari
pengkerdilan jiwa dan penghilangan otonomi guru. Dalam pengertian ini, jelas bahwa pendidikan sejak masa Orde Baru cenderung sebagai proses pemiskinan ideologi dan
politik masyarakat.
b. Pembangunan Pendidikan
Jika  pada  era  Orde  Lama  pendidikan  dikuasai  oleh  politik  Manipol  USDEK serta  peraturan  perundangan  yang  didasarkan  kepada  arah  politik  yang  berbau
Manipol  dan  USDEK.  Maka  Orde  Baru  berupaya  meluruskan  kembali  arah pendidikan  nasional  supaya  sejalan  dengan  cita-cita  nasional.  Berikut  ini  adalah
uraian dari Tilaar: Repelita pertama dicanangkan mulai berlaku pada tanggal 1 April 1969, maka
pada  tanggal  28-30  April  1969  pemerintah  dalam  hal  ini  Departemen Pendidikan  dan  Kebudayaan  mengumpulkan  100  orang  pakar  pemikir
pendidikan di Cipayung untuk mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional. Di dalam pertemuan para pakar tersebut diambil kesimpulan  bahwa
perkembangan  pendidikan  ditentukan  oleh  faktor-faktor  luar  seperti  politik, ekonomi, sosial budaya, serta faktor-faktor intern. Kedua faktor tersebut harus
diidentifikasi  secara  cermat  baru  kemudian  disusun  suatu  strategi  serta program  penanggulangannya.  Disadari  pada  waktu  itu  bahwa  pemerintah
belum mempunyai strategi umum yang menyeluruh dan jelas yang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, badan-badan pemerintah yang menyelenggarakan
pendidikan tidak mempunyai otoritas yang jelas. Artinya, tanggungjawab dan fungsi  badan-badan  tersebut  simpangsiur  sehingga  arahnya  kurang  jelas  dan
efisien.  Kedua,  para  penyelenggara  pendidikan  belum  profesional.  Artinya, tingkat kemampuan dari para penyelenggara pendidikan belum sanggup untuk
melaksanakan  proses  pendidikan  secara  profesional,  bukan  hanya  jumlahnya yang masih kurang tetapi banyak dicampuri oleh unsur-unsur politik. Ketiga,
179 pelaksanaan pendidikan  terlalu dibawah   pengaruh politik.  Keempat, badan-
badan  penyelenggara  pendidikan  yang  kurang  profesional,  serta  tidak diperkuat  oleh  tim-tim  peneliti.  Pada  saat  itu  politik  adalah  panglima
sedangkan  profesionalisme  berada  di  nomor  dua.  Jumlah  pakar  pendidikan pada saat itu juga masih sangat terbatas. Tilaar, 1995: 113.
Konferensi  Cipayung  mempunyai  tiga  tujuan.  Pertama,  mengidentifikasi semua persoalan di bidang pendidikan. Kedua, meyusun prioritas berbagai persoalan
untuk  dipecahkan  sesuai  arah  pembangunan  nasional.  Ketiga,  mencari  alternatif pemecahan.  Dalam  konferensi  yang  terkenal  itu  sudah  dengan  lugas  dinyatakan
bahwa  strategi  dasar  pembangunan  pendidikan  nasional  ialah  bukan  hanya  sekedar merumuskan  untuk  mencapai  target  kuantitatif,  tetapi  juga  merumuskan  isi  sistem
pendidikan  seperti  struktur,    kurikulum,  dan  metodologi  pendidikan.  Masalah pendidikan  bukan  hanya  ditentukan  masalah-masalah  intern  tetapi  juga  tergantung
kepada  masalah-masalah  ekstern,  seperti  politik,  ekonomi,  dan  sosial  budaya. Selanjutnya,  ada  dua  hal  yang  ditonjolkan  di  dalam  konferensi  tersebut  ialah
pentingnya “hubungan” dan “inovasi”. Lebih lanjut Tilaar 1995: 114 menjelaskan: Konferensi  juga  memberikan  perhatian  kepada  lima  krisis  pendidikan  yang
dikemukakan oleh Philip Coombs, sebagai berikut: 1 Terjadi ledakan jumlah anak yang ingin mendapatkan pendidikan. 2 Tidak adanya keserasian antara
kebutuhan  masyarakat  dengan  apa  yang  diajarkan  di  sekolah.  3  Sumber pembiayaan  pendidikan  yang  serba  terbatas.  4  Mutu  pendidikan  perlu
ditingkatkan. 5 Belum adanya efisiensi kerja.
Kelima faktor krisis pendidikan menurut pemikiran Philip Coombs tersebut di atas,  masih  perlu  dilengkapi  lagi  dengan  faktor  kurang  jelasnya  arah  pendidikan
nasional.    Memang  UU  No.  4  Tahun  1950  tentang  Pendidikan,  tidak  memadai  lagi dalam  pembangunan  masyarakat  yang  mulai  berubah.  Demikian  pula  UU  yang
mengatur  pendidikan  tinggi  masih  didasarkan  ideologi  Orde  Lama,  begitu  juga
180 pendidikan  untuk  sekolah  dasar  dan  menengah  masih  didasarkan  kepada  Pantja
Wardhana  yang  tidak  lain  merupakan  cerminan  dari  Manipol  USDEK.  Dalam konferensi Cipayung para pakar minta perhatian  mengenai rumusan arah pendidikan
nasional.  Meskipun  lambat  tetapi  pasti  harapan  para  pakar  tersebut  baru  dapat terpenuhi  setelah  duapuluh  tahun  dengan  keluarnya  UU  No.  2  Tahun  1989  tentang
Sistem Pendidikan Nasional Tilaar, 1995: 115.
c. Produk MPR Berkaitan Pendidikan
Politik pendidikan suatu rezim dapat dilihat dari produk lembaga tertingginya
yakni  MPR.  Berikut  ini  adalah  ketetapan  MPR  yang  ada  kaitannya  dengan
pendidikan  pada  era  Orde  Baru:  Pertama,  TAP  MPRS  No.  XXVIIMPRS1966 Tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Dasar Pendidikan Pasal 2:
Dasar pendidikan adalah falsafah Negara Pancasila. Tujuan Pendidikan Pasal 3:  Membentuk  manusia  Pancasilais  sejati  berdasarkan  ketentuan-ketentuan
seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Isi Pendidikan Pasal 4: Untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi
pendidikan adalah sebagai berikut: 1 Mempertinggi mental dan budi pekerti dan  memperkuat  keyakinan  beragama;  2  Mempertinggi  kecerdasan  dan
keterampilan; 3 Membina mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kedua, TAP MPR No. IVMPR1973 Tentang GBHN. Menyatakan bahwa:
Pendidikan  pada  hakekatnya  adalah  usaha  sadar  untuk  mengembangkan kepribadian  dan  kemampuan  di  dalam  dan  luar  sekolah  dan  berlangsung
seumur  hidup.  Oleh  karenanya  agar  pendidikan  dapat  dimiliki  oleh  seluruh rakyat  sesuai  dengan  kemampuan  masing-masing  individu  maka  pendidikan
adalah tanggung jawab  keluarga,  masyarakat, dan  pemerintah. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara Pancasila dan diarahkan
untuk  membentuk  manusia-manusia  pembangunan  yang  ber-Pancasila  dan untuk  membentuk  manusia  Indonesia  yang  sehat  jasmani  dan  rohaninya,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, dengan mengembangkan kreativitas dan  tanggung  jawab,  dapat  menyuburkan  sikap  demokrasi  dan  penuh
tenggang  rasa,  dapat  mengembangkan  kecerdasan  yang  tinggi  dan  disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia
sesuai dengan  ketentuan  yang termaktub dalam UUD 1945. Untuk mencapai
181 cita-cita  tersebut  maka  kurikulum  di  semua  tingkat  pendidikan,  mulai  dari
taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta harus berisikan  pendidikan  Moral  Pancasila  dan  unsur-unsur  yang  cukup  untuk
meneruskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Ketiga, TAP MPR No. IVMPR1978 Tentang GBHN. Menyatakan bahwa:
Pendidikan    nasional  berdasarkan  atas  Pancasila  dan  bertujuan  untuk meningkatkan  ketaqwaan  terhadap  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  kecerdasan,
keterampilan,  mempertinggi  budi  pekerti,  memperkuat  kepribadian  dan mempertebal  semangat  kebangsaan  agar  dapat  menumbuhkan  manusia-
manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama- sama  bertanggung  jawab  atas  pembangunan  bangsa.  Dalam  rangka
melaksanakan  pendidikan  nasional  perlu  diambil  langkah-langkah  yang memungkinkan  penghayatan  dan  pengamalan  Pancasila  oleh  seluruh  lapisan
masyarakat.  Pendidikan  Pancasila  termasuk  Pendidikan  Moral  Pancasila  dan unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai
1945  kepada  generasi  muda  dimasukkan  ke  dalam  kurikulum  sekolah- sekolah,  mulai  dari  taman  kanak-kanak  sampai  universitas,  baik  negeri
maupun  swasta.  Pendidikan  berlangsung  seumur  hidup  dan  dilaksanakan  di dalam  lingkungan  rumah  tangga,  sekolah,  dan  masyarakat.  Karena  itu
pendidikan  adalah  tanggungjawab  bersama  antara  keluarga,  mayarakat,  dan pemerintah. Perguruan swasta mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam
usaha  melaksanakan  pendidikan  nasional.  Untuk  itu  perlu  dikembangkan pertumbuhannya  sesuai  dengan  kemampuan  yang  ada  berdasarkan  pola
pendidikan nasional   yang mantap, dengan tetap mengindahkan ciri-ciri khas perguruan yang bersangkutan. Pendidikan juga menjangkau program-program
luar  sekolah  yaitu  pendidikan  yang  bersifat  kemasayarakatan,  termasuk kepramukaan,  latihan-latihan  keterampilan  dan  pemberantasan  buta  huruf
dengan  mendayagunakan  sarana  dan  prasarana  yang  ada.  Mutu  pendidikan ditingkatkan    untuk  mengejar  ketinggalan  di  bidang  ilmu  pengetahuan  dan
teknologi  yang  mutlak  diperlukan  untuk  mempercepat  pembangunan.  Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan  kebutuhan  pembangunan segala bidang
yang memerlukan jenis-jenis keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus meningkatkan  produktivitas,  mutu  dan  efisiensi  kerja.  Titik  berat  program
pendidikan  diletakkan  pada  peluasan  pendidikan  dasar  dalam  rangka mewujudkan  pelaksanaan  wajib  belajar  yang  sekaligus  memberikan
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan lingkungannya serta peningkatan pendidikan teknik dan kejuruan pada semua tingkat untuk dapat menghasilkan
anggota-anggota masyarakat yang memiliki kecakapan sebagai tenaga-tenaga pembangunan.
182 Dari    berbagai  produk  MPR  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa  Orde  Baru  ingin
membentuk manusia  pembangunan  yang  Pancasilais. Ini  agak berbeda dengan Orde Lama yang ingin membentuk manusia sosialis yang mendukung revolusi.
d. Pandangan Soeharto tentang Pendidikan
Pokok-pokok  pikiran Presiden Soeharto  tentang  pendidikan terungkap dalam pidato-pidato yang diucapkan pada berbagai kesempatan. Dari pidato-pidato tersebut
dapat  ditemukan  pandangannya  mengenai  pendidikan  nasional.  Amanat  Presiden Soeharto pada Rapat Kerja Kepala Kantor Wilayah P dan K, se Indonesia tanggal 12
Juli 1976 di Jakarta, dalam Onny S. Prijono dan Pranarka, 1980: 21. Sasaran  pembangunan  yang  berdasarkan  Pancasila  adalah  pembangunan
manusia  secara  utuh.  Pembangunan  itu  mengejar  kemajuan  lahir  dan  selaras dengan  kesejahteraan  batin,  sehingga  manusia  benar-benar  menjadi  manusia
dengan segala martabat dan harkatnya yang terhormat. Manusia bukan hanya ‘alat  mati’  dalam  pembangunan,  melainkan  adalah  pelaku  dan  tujuan
pembangunan  itu  sendiri.  Inilah  yang  saya  maksud  jika  saya  sering mengatakan  bahwa  pembangunan  untuk  manusia,  dan  bukan  sebaliknya,
manusia untuk pembangunan.
Sambutan  Presiden  soeharto  dalam  Dies  Natalis  ke-20  IKIP,  Bandung,  5 Desember 1974, dalam Onny S. Prijono dan Pranarka, 1980: 21.
Karena itu tujuan untuk membangun, dorongan untuk membangun, dan cara- cara  bagaimana  pembangunan  itu  dilaksanakan  sesungguhnya  berpangkal
pada  cita-cita  agar  manusia  hidup  lebih  baik  sesuai  dengan  martabatnya.  Ini berarti  bahwa  pusat  perhatian  dalam  segala  gerak  pada  hakikatnya  adalah
masalah manusia itu sendiri. Manusialah yang akan menentukan berhasil atau tidak  berhasilnya  pembangunan.  Karena  itu  manusia  adalah  pelaksana
pembangunan  dan  bersamaan  dengan  itu  manusia  harus  dibangun  agar mampu  membangun.  Membangun  manusia  pembangunan  itulah  hakikat
pendidikan.
183 Pidato  Presiden  Soeharto    pada  peresmian  berdirinya  “universitas  Negeri
Surakarta  Sebelas  Maret,  11  Maret  1976  di  Surakarta,  dalam  Onny  S.  Prijono  dan Pranarka, 1980: 21.
Untuk  melaksanakan  pembangunan  yang  demikian,  sangatlah  perlu membangun  manusia-manusia  pembangunan,  ialah  manusia-manusia  yang
sadar akan perlunya membangun hari esok yang lebih baik dari hari ini, yang percaya  pada  dirinya  sendiri  bahwa  ia  dapat  memperbaiki  kehidupannya  itu
dan yang benar-benar mempunyai kemampuan untuk mengubah nasibnya. Amanat  Presiden  Soeharto  di  hadapan  para  lurahkepala  desa,  para  guru
teladan, dan para teladan yang lain di Istana Negara, 19 Agustus 1975, dalam Onny S. Prijono dan Pranarka, 1980: 22.
Ini jelas merupakan syarat mutlak, karena pada akhirnya manusia-manusialah yang melaksanakan pembangunan itu. dan manusia-manusia pembangunan ini
juga  tidak  muncul  begitu  saja.  Manusia-manusia  pembangunan  itu  sendiri harus dibangun, harus dididik. Pendidikan ini tidak ada henti-hentinya, mulai
dari  kanak-kanak  hingga  dewasa,  baik  di  dalam  lingkungan  rumah  tangga, dalam  lingkungan  sekolah  maupun  dalam  lingkungan  masyarakat.  Ya,  saya
tekankan  pada  kata-kata  pendidikan,  bukan  pengajaran.  Karena  pengajaran biasanya  hanya  menyangkut  ilmu  pengetahuan,  menyangkut  kecerdasan
pikiran.  Sedangkan  yang  kita  perlukan  bukan  hanya  pengetahuan  atau kecerdasan pikiran saja,  akan tetapi juga budi pekerti  yang  luhur.  Karena itu
tujuan  pendidikan  kita  adalah  luas  bagaimana  mencerdaskan  pikiran  yang selaras  dengan  ketinggian  budi  pekerti  tadi,  bagaimana  mengembangkan
kebebasan  yang  selaras  dengan  tanggung  jawab,  bagaimana  mempertinggi keterampilan  yang  selaras  dengan  tetap  menjunjung  tinggi  nilai-nilai
kemanusiaan,  bagaimana  membuat  kita  percaya  pada  diri  sendiri  selaras dengan  kesadaran  kita  untuk  hidup  bergotong  royong  dalam  masyarakat,
bagaimana  kita  cinta  kepada  diri  sendiri  selaras  dengan  kecintaan  kita  pada sesama manusia dan kepada bangsanya sendiri, bagaimana kita terus menggali
ilmu  pengetahuan  yang  sedalam-dalamnya  dengan  tetap  meyadari  kebenaran Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam  pandangan  Soeharto,  pendidikan  harus  mampu  mencetak  manusia Indonesia seutuhnya, manusia pembangunan, dan manusia Pancasilais sejati. Dengan
demikian, dasar dan arah  pendidikan itu haruslah berkembangnya warga negara yang
184 meresapi  dasar  negaranya  Pancasila,  yang  sehat  badan  dan  cerdas  pikirannya,  yang
memiliki  inisiatif  dan  demokratis,  yang  bermoral  tinggi,  dan  berwatak  kuat,  yang bertanggungjawab  kepada  bangsa  dan  pembangunan  selanjutnya.  Secara  konkrit
sistem pendidikan dan hasil pendidikan haruslah berisi  dan menyiapkan kemampuan bagi anak didik  untuk hidup  dalam masyarakat yang kompleks itu, sehingga menjadi
anggota  yang  berguna  bagi  masyarakat  dan  dapat  turut  serta  aktif  dalam  kegitan pembangunan.
Menurut  Soeharto,  pendidikan  harus  diarahkan  untuk  tujuan  pembangunan nasional. Pembangunan  nasional  adalah pembangunan  manusia  Indonesia seutuhnya
lahir dan batin. Dalam pandangan Soeharto, manusia Indonesia adalah sebagai pelaku pembangunan  nasional,  oleh  karena  itu  harus  dipersiapkan  dengan  baik  lewat
pendidikan.  Lebih  lanjut  menurut  Soeharto,  tujuan  pembangunan  nasional  adalah untuk  peningkatan  martabat  manusia.  Secara  konsep  apa  yang  dicanangkan  oleh
Soeharto ini sebenarnya sangat baik, dan tepat untuk menjawab tantangan zamannya. Akan tetapi dalam implementasinya, pendidikan sering dijadikan alat bagi penguasa
untuk mendukung kekuasaannya.
3. Politik Pendidikan Era Reformasi
Pada  era  Habibie  dilakukan  pencabutan  P-4  sebagai  upaya  menghindari indoktrinasi  pengamalan  Pancasila.  Pencabutan  P-4  sebagai  substansi  kajian
Pendidikan  Pancasila  dan  Kewarganegaraan  PPKn  merupakan  sebuah  berkah, karena  membebaskan  beban  ideologis-indoktrinatif  dalam  pembentukan  warga
negara  yang  baik.  Dengan  demikian,  kajian  PPKn  harus  dikembalikan  kepada  nilai- nilai  dasar  Pancasila  yang  awal  sebagaimana  dimuat  dalam  Pembukaan  UUD  1945.
185 Di  bagian  lain,  P-4  sebagai  sebuah  produk  politik  untuk  mengamalkan  nilai-nilai
Pancasila semestinya dipahami sebagai sebuah instrumen belaka. Ketika instrumen P- 4 dianggap tidak memadai lagi, kemudian dicabut, maka seharusnya pencabutan Tap
MPR  tentang  P-4  tidak  dipahami  sebagai  mencabut  Pancasila  itu  sendiri  dari  dasar negara Indonesia Samsuri, 2010: 15.
Langkah  politik dalam reformasi pendidikan  yang  menonjol juga diperankan oleh  MPR  sebagai  lembaga  tertinggi  pada  tahun  2002  ialah  amandemen  terhadap
Pasal  31  UUD  1945.  Pada  proses  amandemen  keempat  terhadap  UUD  1945, pembahasan dimulai pada tingkat rapat Badan Pekerja MPR, rapat Panitia Ad Hoc II
yang antara lain mengkaji amandemen Pasal 31 UUD 1945 hingga rapat paripurna Sidang  Tahunan  MPR  Tahun  2002,  ada  argumentasi  dan  rasionalisasi  terhadap
perlunya  perubahan  Pasal  31  UUD  1945  sebagai  landasan  politik  pendidikan  di Indonesia.  Dalam  pembahasan-pembahasan  secara  langsung  maupun  tidak  langsung
terhadap  rencana  perubahan  Pasal  31  UUD  1945,  fraksi-fraksi  di  MPR  selalu  akan mengkaitkan dengan Pasal 32 UUD 1945 tentang kebudayaan Samsuri, 2010: 15.
Menurut  Amien  Rais,  perubahan  keempat  UUD  1945  yang  menetapkan sistem  pendidikan  nasional  dengan  tujuan  meningkatkan  keimanan  dan  ketaqwaan
serta  akhlaq  mulia  dalam  rangka  mencerdaskan  kehidupan  bangsa,  sangatlah  sesuai dengan  jati  diri  sebagai  bangsa  yang  religius.  Artinya  menurut  Amien  Rais,  bangsa
Indonesia  menghendaki  pendidikan  tidak  hanya  mempunyai  sisi  material  belaka tetapi  lebih  dari  itu  pendidikan  mengandung  napas  keagamaan  dan  nilai  spiritual.
Namun  hal  penting  lainnya  dari  amandemen  Pasal  31  UUD  1945  tersebut  ialah keharusan jumlah anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran
186 Pendapatan  dan  Belanja  Negara  dan  Daerah.  Menurut  Amien  Rais,  ketentuan  itu
diharapkan mampu mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia Risalah  Rapat  Paripurna  ke-7  Sidang  Tahunan  MPR  11  Agustus  2002.  Beberapa
langkah  strategis  yang  terkait  reformasi  pendidikan  juga  telah  dilakukan,  langkah- langkah strategis itu antara lain:
a. Paradigma Baru Pendidikan
Untuk  meraih  peluang  sekaligus  menghadapi  tantangan  di  era  global, pendidikan di Indonesia pada era Reformasi memerlukan paradigma baru yang cocok
dan  sesuai  dengan  tuntutan,  perubahan,  dan  perkembangan  zaman.  Menurut  Tilaar paradigma baru politik pendidikan pada era Reformasi harus mengacu hal-hal berikut
ini:  pertama,  pendidikan  ditujukan  untuk  membentuk  masyarakat  Indonesia  baru yang  demokratis.  Kedua,  untuk  mencapai  masyarakat  yang  demokratis  diperlukan
pendidikan  yang  dapat  menumbuhkan  individu  dan  masyarakat  yang  demokratis. Ketiga,  pendidikan  diarahkan  untuk  mengembangkan  tingkah  laku  yang  dapat
menjawab tantangan internal sekaligus tantangan global. Keempat, pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis.
Kelima,  di  dalam    menghadapi  kehidupan  global  yang  kompetitif  dan  inovatif, pendidikan  harus  mampu  mengarahkan  kemampuan  berkompetisi  di  dalam  rangka
kerjasama.  Keenam,  pendidikan  harus  mampu  mengembangkan  kebinekaan  menuju pada  terciptanya  suatu  masyarakat  Indonesia  yang  bersatu  di  atas  kekayaan
kebinekaan  masyarakat.  Ketujuh,  pendidikan    harus  mampu  meng-Indonesiakan masyarakat  Indonesia sehingga setiap insan  Indonesia merasa bangga menjadi  insan
Indonesia Sam M. Chan, 2005: 114.
187 Pengalaman  masa  lalu  telah  mengajarkan  kepada  kita  bahwa,  politik
pendidikan  Orde  Lama  dan  Orde  Baru,  menjadikan  pendidikan  sebagai  sarana indoktrinasi  untuk  menciptakan  keuntungan  bagi  kekuasaan  rezim  yang  sedang
berkuasa.  Pendidikan  diarahkan  untuk  menciptakan  ketaatan  warganegara  terhadap negara. Ketika muncul tokoh-tokoh kritis dan vokal justru harus berhadapan dengan
penguasa  yang  anti  kritik.    Tak  jarang  beberapa  aktivis  dan  politisi  kritis  menjadi sasaran  pencekalan,  dipenjara,  bahkan  dibunuh  dengan  alasan  demi  menjaga
kemananan dan stabilitas nasional. Rezim  yang berkuasa sering  menyamakan antara kepentingan penguasa dengan kepentingan negara.
Jatuhnya  Soeharto  dari  kekuasaan  pada  Mei  1998,  berikut  dengan  krisis moneter, ekonomi dan politik, telah mendorong reformasi bukan hanya dalam bidang
politik dan ekonomi, namun juga dalam bidang pendidikan. Reformasi dalam bidang pendidikan  pada  dasarnya  merupakan    reposisi  dan  bahkan  rekonstruksi  pendidikan
secara  keseluruhan.  Reformasi,  reposisi,  dan  rekonstruksi  pendidikan  jelas  harus melibatkan  penilaian  kembali  secara  kritis  pencapaian  dan  masalah-masalah  yang
dihadapi pendidikan nasional Azyumardi Azra, 2006: xiii.
b. Peran Negara dalam Pendidikan
Era reformasi ditandai adanya perubahan kebijakan pendidikan sentralistik ke desentralistik  yang  ditandai  dengan  perubahan  peran  negara  dalam  pendidikan.
Sebagaimana  diuraikan  H.A.R.  Tilaar  tentang  perubahan  peran  negara  dalam pendidikan, sebagai berikut:
188 Tabel 11
Perubahan Peran Negara dalam Pendidikan
Peran Masa Lalu
Sekarang dan Masa Depan Pemerataan
Pendidikan Berorientasi target
Berorientasi kualitas Kualitas
Dicapai melalui evaluasi dan standarisasi semu melalui ujian
terpusat dan kurikulum baku yang bersifat nasional
Sebagai prioritas utama yang sesuai dengan kebutuhan daerah
Proses Tidak dipentingkan, yang penting
ialah tercapainya target kuantitatif Sangat penting karena yang dipentingkan
ialah perubahan tingkah laku dan “outcome” pendidikan
Metode Indoktrinasi
Dialogis Manajemen
Negara dan birokrasinya memegang peranan sentral
Manajemen berpusat pada institusi sekolah
Pelaksanaan pendidikan
Pemerintah sebagai pelaku utama Pemerintah sebagai partner yang cukup
menetapkan arah Perubahan sosial
Terarah dan opresif Demokratis dan grass-root
Perkembangan demokrasi
Menentukan bingkai kehidupan berdemokrasi terbatas pada
prosedur Mengembangkan perubahan tingkah laku
demokratis secara substantive Perkembangan
sosial-ekonomi masyarakat setempat
Tidak menjadi bahan pertimbangan penyusunan
kurikulum Dijadikan salah satu komponen pokok
penyusunan kurikulum Perkembangan nilai-
nilai moral dan agama
Ditentukan oleh pemerintah pusat Berakar dari budaya dan agama setempat
Nasionalisme Pemaksaan dari atas dan bersifat
formalistis. Mengabaikan identitas daerah
Pendekatan multicultural Pendanaan
Dana dijadikan alat bagi pelestarian kekuasaan pemerintah
Pemerintah  pusat menanggung sebagian dana pendidikan dalam rangka
pemerataan, kualitas, dan pemersatu nasional
Pelaksanaan wajib belajar
9-12 tahun Ditentukan secara terpusat oleh
pemerintah pusat Sesuai dengan kondisi dan kemampuan
daerah. Pelaksanaannya secara bertahap sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi
daerah
Sumber: Tilaar, H.A.R. 2003: 268. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Penerbit  Indonesia Tera.
Pada era Reformasi ini model peningkatan mutu pendidikan juga mengalami pergeseran.  Pada  era  sebelumnya  cenderung    patuh  pada  kebijakan  serta  resep  yang
diberikan  oleh  Bank  Dunia,  dan  Unesco.  Pada  era  Reformasi  sekarang  ini  sudah
189 mulai  menerapkan  prinsip  demokratisasi  yang  mengembalikan  hak-hak,  wewenang,
dan tanggung jawab ke tangan guru sebagai pengelola utama proses pendidikan. Tabel 12
Model Peningkatan Mutu Pendidikan
Model Diskripsi
Unesco Mendorong peningkatan mutu sekolah di banyak negara, khususnya negara-
negara  berkembang.  Setiap  tahun  Unesco    Kantor  Asia  dan  Pasific  secara bergantian  menyelenggarakan  seminar  inovasi  yang  difokuskan  pada
peningkatan  mutu sekolah.  Resep  yang  ditawarkan  antara lain: 1  Sekolah siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset menanggalkan
problem solving yang menekankan pada masa lalu, berubah menuju change anticipating  yang  berorientasi  pada  haw  can  we  do  things  differently;  2
Pilar kualitas sekolah: learning how to learn, learning to do, learning to be, learning  to  live  together;  3  Menetapkan  standar  dengan  indikator  yang
jelas;  4  Memperbaiki  kurikulum    yang  relevan  dengan  kebutuhan masyarakat;  5  Meningkatkan  ICT  dalam  proses  pembelajaran  dan
pengelolaan.
6 Menekankan
pengembangan sistem
peningkatan profesional  guru;  7  Pengembangan  kultur  sekolah  yang  kondusif  pada
peningkatan  mutu;  8  Meningkatkan  partisipasi  orang  tua;  9 melaksanakan Quality Assurance.
Bank Dunia Fokus pada pendekatan fungsi produksi, yang menekankan pada fungsi dari
input,  baik  raw  input  maupun  instrumental  input  peningkatan  kualitas guru. Resep yang disiapkan: 1 Peningkatan mutu harus dilakukan dengan
peningkatan  kualitas  input;  2  Peningkatan  kualitas  pembelajaran ditentukan  oleh  kualitas  guru  dan  keberadaan  teknologi  informasi  dan
komunikasi  modern  dalam  pembelajaran;  3  Kurikulum  dipersiapkan  dan distandarisasi; 4 Reformasi manajemen dan peningkatan kualitas sekolah.
Orde Baru Cenderung    patuh  pada  kebijakan  Bank  Dunia.  Resep  yang  dilakukan
adalah:  1  Merombak  kurikulum  IKIP  yang  menekankan  pada  materi pembelajaran  dan  mengurangi  materi  bidang  studi;  2  Meningkatkan
kualitas guru lewat proyek peningkatan mutu dan model pelatihan guru yang sangat  terencana  mulai  dari  teori,  praktik,  sampai  on  the  job  training  di
sekolah-sekolah  untuk  profesional;  3  Menekankan  ketersediaan  fasilitas: gedung, laboratorium, dan buku-buku teks.
Era Reformasi Prinsip  demokratisasi  yang  mengembalikan  hak-hak,  wewenang,  dan
tanggung jawab ke tangan guru sebagai pengelola utama proses pendidikan. Resep: 1 Menetapkan metode MPMBS, yang kemudian menjadi MBS; 2
Mengemangkan  Kurikulum  Berbasis  Kompetensi  KBK  yang  selanjutnya berkembang  menjadi  Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan  KTSP;  3
Deklarasi  Mendiknas  tidak  ada  lagi  perbedaan  sekolah  negeri  dan  sekolah swasta,  kecuali  menyangkut  gaji  pokok;  4  Mengembangkan  manajemen
sekolah dan mengembangkan kultur sekolah; 5 Menciptakan pembelajaran yang  menyenangkan  dan  mencerdaskan;  6  Pengelolaan  dan  pengadaan
buku yang murah dan merata.
Sumber: disarikan  dari Zamroni 2009.  Model mutu pendidikan:  Profesionalitas terpadu. Prosiding seminar nasional: Paradigma mutu pendidikan di Indonesia, Lembaga Penelitian UNY.
190 Hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa,  dinamika  politik  pendidikan  di
Indonesia secara garis besar dapat digambarkan dalam tabel berikut ini: Tabel 13
Dinamika Politik Pendidikan Sejak Orde Lama hingga Era Reformasi
Orde Lama Orde Baru
Era Reformasi Periode 1945-1950 diwarnai
oleh  semangat revolusi. Tujuan pendidikan nasional adalah
untuk  menanamkan semangat dan jiwa patriotisme.
Pembubaran PKI menimbulkan penutupan sekolah-sekolah
yang bernaung di bawahnya dan organisasi yang ada di
bawahnya. Politik pendidikan pada era
Reformasi didasarkan pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
Periode 1950-1959 diwarnai oleh demokrasi liberal. Tujuan
pendidikan nasional adalah untuk membentuk manusia
susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan
tanah air. Tujuan pendidikan nasional
berubah menjadi membentuk manusia Pancasilais sejati.
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk, mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Periode 1959-1966 diwarnai oleh Manipol USDEK. Tujuan
pendidikan nasional adalah untuk melahirkan warganegara
sosialis Indonesia yang susila. Penataran P-4 wajib diberikan
kepada  setiap siswa yang diterima di sekolah, di samping
masih adanya mata pelajaran Pancasila. Mata pelajaran PMP
dan PPKn sangat didominasi materi P-4.
Diolah dari berbagai sumber
Politik  pendidikan  era  Soekarno  dapat  dibagi  dalam  tiga  periode  seiring dinamika  politik  yang  mempengaruhinya.  1  Periode  1945-1950,  diwarnai  oleh
semangat  revolusi,    pendidikan  bertujuan  untuk  menanamkan  semangat  dan  jiwa patriotisme.  2  Periode  1950-1959,  diwarnai  oleh  demokrasi  liberal,  pendidikan
bertujuan  untuk  membentuk  manusia  susila  yang  cakap  dan  warga  negara  yang
191 demokratis  serta  bertanggungjawab  tentang  kesejahteraan  masyarakat  dan  tanah  air.
3  Periode  1959-1966,  diwarnai  oleh  Manipol  USDEK,  pendidikan  bertujuan melahirkan warganegara sosialis Indonesia yang susila. Pendidikan nasional pada era
Orde Lama yang berlangsung sejak 1945 hingga 1966, tetap berlandaskan Pancasila. Meskipun  selama  periode  ini  Indonesia  menggunakan  tiga  UUD.  Tahun  1966-1998
Indonesia  diperintah  oleh  Soeharto  Orde  Baru.  Peralihan  dari  Orde  Lama  ke  Orde Baru  membawa  konsekuensi  perubahan  politik  pendidikan  nasional.  Implikasi  dari
pembubaran PKI, menimbulkan penutupan sekolah-sekolah  yang bernaung di bawah PKI dan organisasi yang ada di bawahnya.
Era Orde Baru, ketika PKI  dibubarkan, serta dilakukan pemurnian  Pancasila, tujuan pendidikan  nasional berubah  menjadi  ”membentuk manusia  Pancasilais  sejati
berdasarkan  ketentuan-ketentuan  yang  dikehendaki  oleh  pembukaan  UUD  1945”. Perubahan  mendasar  tersebut  menunjukkan  bahwa  ideologi  Manipol  USDEK  telah
diganti  secara  tegas  menjadi  falsafah  Pancasila.  Orde  Baru  diwarnai  semangat  serba Pancasila.  Semangat  itu  selalu  ditekankan  dalam  pendidikan.  Penataran  P-4  wajib
diberikan  kepada    setiap  siswa  yang  diterima  di  sekolah,  di  samping  masih  adanya mata pelajaran Pancasila. Mata pelajaran PMP dan PPKn sangat didominasi materi P-
4. PMP termasuk yang mempengaruhi kenaikan kelas dan kelulusan sekolah. Setelah EBTANAS diberlakukan, PMP menjadi komponen bidang studi yang mempengaruhi
nilai  komulatif  DANEM  Daftar  Nilai  EBTANAS  Murni.  DANEM  berfungsi sebagai standar memasuki jenjang pendidikan di atasnya.
Era  Reformasi  dimulai  sejak  1998.  Reformasi  adalah    pembaharuan, perubahan  paradigma  lama  ke  dalam  paradigma  baru,  sebagai  langkah  perbaikan
192 terhadap kondisi sebelumnya. Politik pendidikan pada era Reformasi didasarkan pada
UU  Sisdiknas  No.  20  Tahun  2003,  yang  menyatakan  bahwa  tujuan  pendidikan nasional  adalah  untuk,  mengembangkan  kemampuam  dan  membentuk  watak  serta
peradaban  bangsa  yang  bermartabat  dalam  rangka  mencerdaskan  kehidupan  bangsa, bertujuan  untuk  berkembangnya  potensi  peserta  didik  agar  menjadi  manusia  yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
C. Dinamika Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi
1. Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Era Orde Lama
Apabila  kita  berbicara  mengenai  kurikulum  maka  kita  tidak  terlepas  dari politik.  Memang  kurikulum  tidak  lain  dari  sarana  yang  mengatur  berbagai  kegiatan
untuk  mencapi  tujuan  pendidikan.  Betapa  pentingnya  pendidikan  untuk  kehidupan suatu bangsa tampak dengan jelas ketika Republik Indonesia baru berumur sekitar 4
bulan  yaitu  pada  tangga  29  Desember  1945  BP-KNIP  mengusulkan  kepada Kementerian  Pendidikan,  Pengajaran  dan  Kebudayaan  untuk  selekas  mungkin
mengadakan perubahan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar negara Republik  Indonesia  yang  baru  lahir  itu.  Dalam  surat  BP-KNIP  tersebut  diberikan
beberapa  pedoman di dalam penyusunan kurikulum antara lain: 1  Agar  disusun  jenis-jenis  persekolahan  dan  rencana  pelajaran  yang  sesuai
dengan  dasar  negara  Republik  Indonesia.  2  Agar  disusun    satu  macam sekolah  untuk  semua  rakyat  tanpa  membeda-bedakannya  sehingga  sesuai
dengan  keadilan sosial. 3 Metodik  yang digunakan  adalah  metodik sekolah kerja.  4  Pengajaran  agama  diperhatikan  tanpa  mengurangi  hak  bagi  warga
negara  yang  mempunyai  keyakinan  lain.  5  Wajib  belajar  6  tahun  agar dilaksanakan  secara  berangsur  dalam  waktu  10  tahun.  6  Di  sekolah  rendah
tidak dipungut uang sekolah. Wardiman Djojonegoro, 1995: 12.
193 Sejalan  dengan  itu  BP-KNIP  menyarankan  suatu  susunan  persekolahan
sebagai berikut: Tingkat sekolah dasar dibedakan antara 3 tahun sekolah pertama dan 3 tahun
sekolah  rakyat    selanjutnya  dan  pada  tiap  sekolah  rakyat  dibentuk  kelas masyarakat  yang bertujuan untuk memberikan bekal kepada tamatan sekolah
rakyat memasuki hidup bermasyarakat. Di atas sekolah rakyat adalah sekolah menengah  yang  terdiri  atas  Bagian  A  Alam  dan  Bagian  B  Budaya.
Selanjutnya  terdapat  sekolah  menengah  tinggi  3  tahun  juga  terbagi  atas Bagian  A  Alam  dan  Bagian  B  Budaya.  Akhirnya  terdapat  sekolah  tinggi.
Berdasarkan  permintaan  BP-KNIP  tersebut  dibentuklah  Panitia  Penyelidik Pengajaran.  Panitia  tersebut  dapat  melaksanakan  tugasnya  antara  lain
menyusun  sistem  persekolahan  pada  tahun  1947.  Perbedaan  antara  usul  BP- KNIP dengan hasil karya Panitia Penyelidik Pengajaran ialah adanya sekolah
rakyat 6 tahun. Wardiman Djojonegoro, 1995: 14.
Pada  era  demokrasi  terpimpin  telah  terbit  buku  yang  berjudul  “Civics, Masyarakat  dan  Manusia  Indonesia  Baru”,  karangan  Mr.  Soepardo,  dan  kawan-
kawan. Materi buku itu berisi tentang: 1 Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia; 2 Pancasila;  3  UUD  1945;  4  Demokrasi  dan  Ekonomi  Terpimpin;  5  Konferensi
Asia-Afrika;  6  Hak  dan  Kewajiban  Warga  Negara;  7  Manifesto  Politik;  8 Laksana  Malaikat;  9  Lampiran-lampiran  Dekrit  Presiden  5  Juli  1959;  10  Pidato
Lahirnya  Pancasila;  11  Panca  Wardana;  10  Declaration  of  Human  Rights;  serta 11  Pidato-pidato  lainnya  dari  Presiden  Soekarno  dalam  “Tujuh  Bahan  Pokok
Indoktrinasi”  Tubapi  serta  kebijakan  Panca  Wardhana  dari  Menteri  Pendidikan, Pengajaran  dan  Kebudayaan  Prijono  Jakarta:  Balai  Pustaka,  1962,  cet.  2.  Buku
tersebut kemudian
menjadi sumber
utama mata
pelajaran pendidikan
kewarganegaraan di sekolah-sekolah pada saat itu Samsuri, 2010: 116.
194 Buku  Civics,  Manusia  dan  Masyarakat  Baru  Indonesia  tersebut  memuat
penjelasan  idealitas  masyarakat  yang  dibentuk,  yakni  masyarakat  sosialis  Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Udin S. Winataputra:
“Buku  ini  lahir  sesuai  konteks  kebutuhan  politik  pada  jamannya  yang mengusung secara besar-besaran gagasan-gagasan Presiden Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia” wawancara, 6 Agustus 2011 .
Pendidikan  Kewarganegaraan  pada  masa  Orde  Lama  mengalami  dinamika sebagai  berikut:  Kewarganegaraan  1957,  dan  Civics  1961.  Mata  pelajaran
Kewarganegaraan  1957  materinya  masih  sangat  sederhana  yakni  membahas  cara memperoleh  kewarganegaraan  bagi  seseorang  dan  hal-hal  yang  menyebabkan
seseorang  kehilangan  kewarganegaraan.  Mata  pelajaran  Civics  yang  mulai diperkenalkan  tahun  1961  lebih  banyak  membahas  sejarah  kebangkitan  nasional,
UUD 1945, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama untuk “nation and character building”  bagi  bangsa  Indonesia,  mirip  pelajaran  Civics  di  Amerika  Serikat  pada
tahun-tahun setelah Deklarasi Kemerdekaan Amerika Samsuri, 2010: 116.
a. Kurikulum Awal Kemerdekaan 1945-1950
Salah  satu  upaya  penting  untuk  mengembangkan  pendidikan  nasional dilakukan oleh  Menteri  Pendidikan,  Pengajaran,  dan  Kebudayaan pada  saat itu Mr.
Soewandi  yaitu  mengubah  sistem  pendidikan  dan  pengajaran  sehingga  lebih  sesuai dengan  keinginan  dan  cita-cita  bangsa  Indonesia.  Pembentukan  Panitia  Penyelidik
Pengajaran  sebagaimana  diuraikan  di  atas  adalah  dalam  rangka  mengubah  sistem pendidikan  kolonial  ke  dalam  sistem  pendidikan  nasional  Wardiman  Djojonegoro,
1995: 14.
195 Sebagai  konsekuensi  perubahan  sistem,  kurikulum  pada  semua  tingkat
pendidikan  mengalami perubahan pula.  Kurikulum  yang semula diorientasikan pada kepentingan  kolonial  kini  diubah  selaras  dengan  kebutuhan  bangsa  yang  merdeka.
Salah  satu  hasil  panitia  tersebut  yang  menyangkut  kurikulum  adalah  bahwa  setiap rencana pelajaran pada setiap jenjang pendidikan sekolah harus  memperhatikan hal-
hal sebagai berikut: 1 Mengurangi pendidikan pikiran. 2 Menghubungkan isi pelajaran dengan
kehidupan  sehari-hari.  3  Memberikan  perhatian  terhadap  kesenian.  4 Meningkatkan  pendidikan  watak.  5  Meningkatkan  pendidikan  jasmani.  6
Meningkatkan  kesadaran  bernegara  dan  bermasyarakat.  Sejalan  dengan  itu, pada  tahun  1946  Menteri  Pendidikan,  Pengajaran,  dan  Kebudayaan
mengeluarkan pedoman bagi guru-guru yang memuat sifat-sifat kemanusiaan dan  kewarganegaraan  sebagai  dasar  pengajaran  dan  pendidikan  di  Republik
Indonesia.Wardiman Djojonegoro, 1995: 14.
Rencana  Pelajaran  Sekolah  Rakyat  SR  1947,  susunannya  amat  sederhana, yaitu hanya memuat dua unsur pokok. Adapun kedua unsur pokok tersebut adalah:
1  Daftar  jam  pelajaran  atau  struktur  program,  dan  2  Garis-garis  besar program  pengajaran.  Dalam  Rencana  Pelajaran  ini  tidak  ditemukan  dasar,
tujuan,  dan  asas  pendidikan  sehingga  para  pemakai  buku  Rencana  Pelajaran itu  hanya  menemukan  bahan-bahan  pengajaran  yang  harus  diajarkan  dan
petunjuk singkat tentang cara mengajarkan kepada murid. Rencana Pelajaran 1947  membedakan  tiga  macam  struktur  program,  yaitu:  pertama,  untuk
sekolah  yang  mempergunakan  pengantar  bahasa  Daerah  Jawa,  Sunda,  dan Madura  pada  kelas-kelas  yang  lebih  rendah;  kedua,  untuk  sekolah  yang
berbahasa  pengantar  Bahasa  Indonesia  mulai  kelas  1;  ketiga,  untuk  sekolah yang diselenggarakan sore hari karena terpaksa oleh keadaan terbatas sampai
kelas  IV,  sedangkan  kelas  V  dan  VI  harus  diselenggarakan  pagi  hari. Wardiman Djojonegoro, 1995: 16.
1 Kurikulum SR dengan Pengantar Bahasa Daerah  1947
Dalam  Rencana  Pelajaran  1947,  sebagaimana  tabel  di  bawah  ini  belum dikenal  mata  pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan.  Yang  ada  adalah  mata
pelajaran  Budi  Pekerti.  Mata  pelajaran  ini    berisi  pendidikan  nilai  dan  moral.  Suatu hal yang juga merupakan bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan.
196 Tabel 14
Susunan Mata Pelajaran pada Rencana Pelajaran 1947 Sekolah Dasar Berbahasa Pengantar Bahasa Daerah Sampai Kelas III
N0 Mata Pelajaran
Kelas I Kelas II
Kelas III KelasIV
KelasV KelasVI
1 Bahasa Indonesia
- -
8 8
8 8
2 Bahasa Daerah
10 10
5 4
4 4
3 Berhitung
6 6
7 7
7 7
4 Ilmu Alam
- -
- -
1 1
5 Ilmu Hayat
- -
- 2
2 2
6 Ilmu Bumi
- -
1 1
2 2
7 Sejarah
- -
- 1
2 2
8 Menggambar
- -
- -
2 2
9 Menulis
4 4
4 3
- -
10 Seni Suara
2 2
2 2
2 2
11 Pekerjaan Tangan
1 1
2 2
2 2
12 Pekerjaan Keputrian
- -
- 1
2 2
13 Gerak Badan
3 3
3 3
3 3
14 Kebersihan dan
Kesehatan 1
1 1
1 1
1
15 Didikan Budi
Pekerti 1
1 2
2 2
3
Sub Jumlah 28
28 35
37 40
41 16
Pendidikan Agama -
- -
2 2
2 Jumlah
28 28
35 39
42 43
Sumber:  Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjen  Dikdasmen, Depdikbud, 1992.
2 Kurikulum SR dengan Pengantar Bahasa Indonesia 1947
Sebagaimana  Sekolah  Rakyat  dengan  pengantar  bahasa  daerah,  mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan belum dikenal dalam kurikulum ini, yang ada
adalah mata pelajaran Budi Pekerti, masing-masing 1 jam pelajaran perminggu untuk kelas I dan II, 2 jam untuk kelas III, IV, dan V, serta 3 jam untuk kelas VI.
197 Tabel  15
Susunan Mata Pelajaran pada Rencana Pelajaran 1947 Sekolah Dasar Berbahasa Pengantar Bahasa Indonesia Mulai Kelas I
N0 Mata Pelajaran
Kelas I Kelas II
Kelas III KelasIV
KelasV KelasVI
1 Bahasa Indonesia
10 10
8 8
8 8
2 Bahasa Daerah
- -
6 7
7 7
3 Berhitung
6 6
7 7
7 7
4 Ilmu Alam
- -
- -
1 1
5 Ilmu Hayat
- -
- 2
2 2
6 Ilmu Bumi
- -
1 1
2 2
7 Sejarah
- -
- 1
2 2
8 Menggambar
- -
- -
2 2
9 Menulis
4 4
4 4
- -
10 Seni Suara
2 2
2 2
2 2
11 Pekerjaan Tangan
1 1
2 2
2 2
12 Pekerjaan Keputrian
- -
- 1
2 2
13 Gerak Badan
3 3
3 3
3 3
14 Kebersihan dan
Kesehatan 1
1 1
1 1
1
15 Didikan Budi
Pekerti 1
1 2
2 2
3
Sub Jumlah 28
28 36
41 43
44 16
Pendidikan Agama -
- -
2 2
2 Jumlah
28 28
36 43
45 46
Sumber:  Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjen  Dikdasmen, Depdikbud, 1992.
3 Kurikulum SMP Awal Kemerdekaan
Pendidikan  Kewarganegaraan  belum  diberikan  dalam  kurikulum  ini. Kurikulum  Sekolah  Menengah  Pertama  SMP  yang  berlaku  sesudah  kemerdekaan
disebut  “Daftar  Pelajaran  SMP”  yang  digunakan  pada  kurun  waktu  1945-1962. Adapun  Struktur  Program  SMP  sebelum  tahun  1962  meliputi  sembilan  kelompok
mata  pelajaran  yaitu  kelompok  bahasa,  ilmu  pasti,  pengetahuan  alam,  pengetahuan sosial,  pelajaran  ekonomi,  pelajaran  ekspresi,  pendidikan  jasmani,  budi  pekerti,  dan
agama terdapat dalam tabel berikut:
198 Tabel 16
Susunan Mata Pelajaran Kurikulum SMP Sebelum Tahun 1962
Kel Mata Pelajaran
Kelas I Kelas
II Kelas
IIIA Kelas
IIIB I
Kelompok Bahasa 1. Bahasa Indonesia
5 5
6 5
2. Bahasa Inggris 4
4 4
4 3. Bahasa Daerah
2 2
2 1
Sub Jumlah 11
11 12
10 II
Kelompok Ilmu Pasti 1. Berhitung dan Aljabar
4 3
2 4
2. Ilmu Ukur 4
3 -
4 Sub Jumlah
8 6
2 8
III Kelompok Pengetahuan Alam
1. Ilmu AlamKimia 2
3 2
2 2. Ilmu Hayat
2 2
2 2
IV Kelompok Pengetahuan sosial
1. Ilmu Bumi 2
2 3
3 2. Sejarah
2 2
2 2
Sub Jumlah 4
4 5
5 V
Kelompok Pelajaran Ekonomi 1. Hitung Dagang
- 1
2 -
2. Pengetahuan Dagang -
- 2
- Sub Jumlah
- 1
4 -
VI Kelompok Pelajaran Ekspresi
1. Seni Suara 1
1 1
1 2. Menggambar
2 2
2 2
3. Pek. TanganKer. Wanita 2
2 2
2 Sub Jumlah
5 5
5 5
VII Pendidikan Jasmani
3 3
3 3
VIII Budi Pekerti
2 2
2 2
IX Agama
2 2
2 2
Jumlah 37
37 37
37 Sumber:  Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjen.  Dikdasmen,  Depdikbud,
1992.
4 Kurikulum SMA Awal Kemerdekaan
Mata pelajaran Tata Negara mulai diberikan dalam kurikulum ini, akan tetapi Didikan  Budi  Pekerti  justru  tidak  ada.  Kurikulum  Sekolah  Menengah  Atas  SMA
yang digunakan  dalam kurun waktu 1945-1950 tidak jauh berbeda dengan kurikulum AMS.  Perbedaannya  hanya  pada  mata  pelajaran  Bahasa  Belanda  dan  Bahasa
Indonesia.  Kurikulum  AMS  bagian  B  memberikan  pelajaran  Bahasa  Belanda  dan tidak  memberikan  Bahasa  Indonesia.  Sebaliknya,  kurikulum  SMA  jurusan  B
199 memberikan  pelajaran  Bahasa  Indonesia  dan  tidak  memberikan  Bahasa  Belanda.
Sebagai  perbandingan,  kurikulum  AMS  bagian  B  dan  SMA  jurusan  B  disajikan dalam Tabel berikut:
Tabel  17 Perbandingan Susunan Mata Pelajaran antara
AMS Afdeling B 19391940 dengan SMA Jurusan B 19501951
No Mata Pelajaran
AMS Kelas
I AMS
Kelas II
AMS Kelas
III SMA
Kelas I
SMA Kelas
II SMA
Kelas III
1 Ilmu Pasti
6 5
4 7
5 5
2 Ilmu Pesawat
- -
2 -
- 2
3 Ilmu Alam
3 4
4 4
4 5
4 Ilmu Kimia
3 3
5 3
3 5
5 Ilmu Hayat
2 1
2 2
2 1
6 Ilmu Falak
- -
1 -
1 1
7 Bahasa Belanda
4 4
4 -
- -
8 Bahasa Indonesia
- -
- 3
3 3
9 Bahasa Inggris
2 2
2 3
3 3
10 Tata Negara
1 1
- -
1 1
11 Ekonomi
- 1
1 1
1 1
12 Tata Buku
- 1
2 -
2 1
13 Sejarah
3 2
2 2
2 1
14 Ilmu Bumi
2 2
1 1
1 1
15 Bahasa Jerman
3 3
3 4
2 2
16 Bahasa Perancis
4 4
2 2
2 2
17 Menggambar Tangan
2 1
2 1
1 -
18 Menggambar Mistar
- 2
1 -
2 2
19 Pendidikan Jasmani
2 2
1 3
3 3
Jumlah 33
34 32
34 36
37 Sumber:  Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjen  Dikdasmen,
Depdikbud, 1992.
b. Kurikulum SR 1964
Mulai  diperkenalkan  mata  pelajaran  Pendidikan  Kemasyarakatan  sebagai embrio  Pendidikan  Kewarganegaraan.  Pendidikan  Agama  digabung  dengan  Budi
Pekerti.  Kurikulum  1964  lebih  populer  dengan  sebutan  Rencana  Pendidikan  1964. Kurikulum  1964  membedakan  antara  Rencana  Pendidikan  Sekolah  Rakyat  untuk
sekolah  berbahasa  pengantar  bahasa  daerah  di  kelas  I  sampai  III  dan  Rencana
200 Pendidikan  Sekolah  Rakyat  untuk  sekolah  berbahasa  pengantar  bahasa  Indonesia
mulai kelas I. Berikut ini adalah Rencana Pendidikan Sekolah Rakyat 1964. Tabel 18
Rencana Pendidikan Sekolah Rakyat 1964 Susunan Mata Pelajaran untuk Sekolah Berbahasa Pengantar
Bahasa Daerah di Kelas I sampai Kelas III
No Bidang Studi
Kel. I
Kel. II
Kel. III
Kel. IV
Kel. V
Kel. VI
I Perkembangan Moral
1. Pendidikan Kemasyarakatan
1 2
3 3
3 3
2. AgamaBudi Pekerti 1
2 2
2 2
2 Sub Jumlah
2 4
5 5
5 5
II Perkembangan Kecerdasan
3. Bahasa Daerah 9
8 5
3 3
3 4. Bahasa Indonesia
- -
6 8
8 8
5. Berhitung 6
6 6
6 6
6 6. Pengetahuan Alamiah
1 1
2 2
2 2
Sub Jumlah 16
15 19
19 19
19 III
Perkembangan Emosional 7. Pendidikan
Kesenian 2
2 4
4 4
4 IV
Perkembangan Keprigelan 8. Pendidikan
Keprigelan 2
2 4
4 4
4 V
Perkembangan Jasmani 9. Pendidikan Jasmani
3 3
4 4
4 4
Jumlah 25
26 36
36 36
36 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen
Dikdasmen, Depdikbud, 1992.
c. Kurikulum SMP 1962 Menurut Udin S. Winataputra:
Pendidikan  Kewargaan  Negara  Civics  untuk  pertama  kalinya  diberikan  di SMP.  Kurikulum  SMP  1962  disebut  juga  “Rencana  Pelajaran  SMP  Gaya
Baru”. Dalam Konferensi Pengawas SMP seluruh Indonesia, bulan Juli 1962 di  Tugu  Bogor,  Rencana  Pelajaran  SMP  diubah  dan  disesuaikan  dengan
Sistem Pendidikan Pancawardhana. wawancara, 6 Agustus 2011.
Perubahan  penting  yang  dilakukan  pada  waktu  itu  ialah  sebagai  berikut. Pertama, penghapusan bagian A dan B pada kelas III SMP yang dimaksudkan untuk
201 menghilangkan rasa rendah diri pada siswa bagian A, dan sebaliknya menghilangkan
rasa  lebih  tinggi  pada  siswa  bagian  B.  Dengan  demikian,  semua  siswa  SMP menerima pelajaran yang sama dari kelas I sampai kelas III. Kedua,  penambahan dua
mata pelajaran baru  ke dalam  Rencana  Pelajaran  SMP,  yaitu  Ilmu  Administrasi dan Kesejahteraan  Keluarga.  Dengan  penambahan  dua  mata    pelajaran  tersebut
diharapkan para siswa  yang tidak dapat melanjutkan pelajaran ke tingkat yang lebih tinggi,  mendapat  bekal  untuk  terjun  ke  masyarakat.  Pendidikan  Kesejahteraan
Keluarga  ialah  pendidikan  ke  arah  keselamatan,  ketenteraman,  serta  kemakmuran lahir dan batin dalam kehidupan keluarga. Ketiga, dimasukkannya jam krida dengan
maksud  memberikan  kesempatan  yang  luas  bagi  para  siswa  untuk  menemukan  atau memupuk bakat dan minat mereka masing-masing di bawah bimbingan  yang teratur
dari  guru,  dan  selanjutnya  untuk  mengembangkan  karya  yang  berguna  bagi  siswa kelak  dalam  kehidupan  masyarakat.  Di  samping  itu,  jam  krida  juga  dimaksudkan
untuk  menanamkan  penghargaan  terhadap  pekerja  kasar  karena  pada  jam  krida diajarkan juga keterampilan yang sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari, seperti
perbengkelan sepeda, pertukangan, atau mencukur. Keempat,  pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan yang dimaksudkan untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang diri
para siswa kecuali melalui krida. Melalui bimbingan dan penyuluhan guidance and conseling minat, dan bakat siswa dapat dipupuk dan dikembangkan untuk keperluan
pembangunan nasional. Pengelompokan mata pelajaran dalam Rencana Pelajaran yang disusun dibagi
menjadi  empat  kelompok,  sebagai  berikut:  1  “Kelompok  Dasar”  adalah  kelompok mata  pelajaran  yang  bertujuan  untuk  melahirkan  warga  negara  Indonesia  yang
202 berjiwa  Pancasila  dan  berjiwa  patriot  paripurna  serta  sehat  dan  kuat  jasmaniah  dan
rohaniah.  2  “Kelompok  Cipta”  adalah  kelompok  mata  pelajaran  yang  bertujuan untuk  memberikan  dasar-dasar  pengetahuan  sehingga  dapat  mewujudkan  tenaga
kejuruan  yang  ahli.  3  “Kelompok  RasaKarsa”  adalah  kelompok  mata  pelajaran yang  bertujuan  membiasakan  anak  didik  memenuhi  tuntutan  sosial  masyarakat
Indonesia,  supaya  anak  didik  cinta  kepada  keindahan.  4  “Krida”  adalah  kelompok mata pelajaran yang bertujuan untuk memupuk minat, bakat, dan kemampuan.
Rencana  Pelajaran  SMP  Gaya  Baru  berlaku  mulai  1  Agustus  1962,  yaitu permulaan  tahun  ajaran  19621963.  Daftar  Pelajaran  SMP  Gaya  Baru  serta  Struktur
Program pada Kurikulum 1962 SMP disajikan pada Tabel 10.  Pada bulan Desember 1967, Dinas SMP bersama Urusan SMP seluruh Indonesia dan beberapa tenaga ahli
dari  Lembaga  Bahasa  Nasional,  Lembaga  Sejarah  dan  Antropologi,  serta  Proyek Bahasa  Inggris  menyelenggarakan  Musyawarah  Kerja  untuk  mengadakan
penyempurnaan  Rencana  Pelajaran  SMP  Gaya  Baru  yang  disesuaikan  dengan tuntutan  Orde  Baru.  Penyempurnaan  kurikulum  antara  lain  mengenai  penggantian
nama  “Rencana  Pelajaran”  menjadi  “Rencana  Pendidikan”.  Hal  ini  dilakukan  agar lebih  sesuai  dengan  tujuan  pelaksanaannya.  Selain  itu,  nama-nama  kelompok  mata
pelajaran  diganti  dan  diseragamkan  dengan  “Rencana  Pendidikan”  untuk  jenis sekolah  menengah    lain  yang  berada  dalam  lingkungan  Direktorat  Jenderal
Pendidikan Dasar.
203 Tabel 19
Susunan Mata Pelajaran SMP Gaya Baru
Tahun 1962
Kelp. Mata Pelajaran
Kelas I
Kelas II
Kelas III
A Kelompok Dasar
1. Civics Kewargaan Negara 2
2 2
2. Bahasa Indonesia 5
5 5
3. Sejarah Kebangsaan 1
1 1
4. Ilmu Bumi Indonesia 1
1 1
5. Pend. AgamaBudi Pekerti 2
2 2
6. Pend. Jasmani Kesehatan 2
2 2
Sub Jumlah 13
13 13
B Kelompok Cipta
1. Bahasa Daerah 2
2 2
2. Bahasa Inggris 4
4 4
3. Ilmu Aljabar 3
3 3
4. Ilmu Ukur 3
3 3
5. Ilmu Alam 2
2 2
6. Ilmu Hayat 2
2 2
7. Imu Bumi Dunia 1
1 1
8. Sejarah Dunia 1
1 1
9. Ilmu Administrasi 1
1 1
Sub Jumlah 19
19 19
C Kelompok RasaKarsa
1. Menggambar 2
2 2
2. Kesenian 1
1 1
3. Prakarya 2
2 2
4. Kesejahteraan Keluarga 1
1 1
Sub Jumlah 6
6 6
D Krida
2 2
2 Jumlah
40 40
40 Sumber:  Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjen  Dikdasmen,
Depdikbud, 1992.
d. Kurikulum SMA 1952
Untuk  pertama  kalinya  mata  pelajaran  Tata  Negara  dan  Kewarganegaraan diberikan  di  SMA.  Status  mata  pelajaran  tersebut  masuk  dalam  kategori  penting
untuk SMA  Bagian A, pelengkap untuk SMA Bagian B, dan  pokok untuk SMA Bagian C.
Kurikulum  SMA  1952  dikembangkan  dalam  Konferensi    Direktur  SMA mengenai  Rencana  Pelajaran  yang  dilaksanakan  pada  tanggal  30  Januari  sampai  6
204 Februari  1952  di  Bogor.  Dalam  konferensi  tersebut  di  antaranya  dinyatakan  bahwa
kurikulum yang digunakan, yaitu kurikulum 19501951, bersifat terlalu akademik dan kurang    memperhatikan  keterampilan  dan  moral  siswa  sehingga  kurikulum  tersebut
tidak  sesuai  dengan  tujuan  SMA  yang  mempersiapkan  murid  masuk    ke  perguruan tinggi dan ke  masyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, perlu diadakan perbaikan
terhadap  kurikulum  yang  ada.  Perbaikan  kurikulum  tersebut  mengacu  pada  tujuan SMA    yang  telah  ditetapkan  berdasarkan  hasil  keputusan  konferensi  tersebut.
Kurikulum  SMA  1952  mulai  diberlakukan  pada  tahun  1952  dengan  rincian  mata pelajaran sebagaimana tercantum pada tabel berikut ini:
Tabel 20 Susunan Mata Pelajaran SMA Bagian A
Tahun 1952
Golongan Mata Pelajaran
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Pokok 1. Bhs  Kesusasteraan Indonesia
4 4
5 2. Bahasa Daerah
2 2
- 3. Jawa Kuno
2 2
- 4. Bahasa Inggris
4 4
6 5. Bahasa Perancis
3 3
3 6. Bahasa Jerman
3 3
3 7. Sejarah
3 3
3 8. Ilmu Bumi
2 2
2 Sub Jumlah
20 20
19 Penting
9. Sejarah Kesenian 1
1 1
10. Sejarah Kebudayaan 2
2 2
11. Ilmu Bangsa-bangsa 1
1 1
12. Ekonomi 2
2 2
13.Tata Neg  Kewarganeg. 2
2 3
Sub Jumlah 8
8 9
Pelengkap 14. Aljabar
1 1
- 15 Ilmu Kesehatan
1 1
- 16. Menggambar
2 2
2 17. Pendidikan Jasmani
3 3
2 18. Pendidikan Agama
2 2
2 Sub Jumlah
9 9
6 Jumlah
37 37
34 Sumber:  Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjen  Dikdasmen,
Depdikbud, 1992.
205 SMA  bagian  A  Budaya  mata  pelajaran  Tata  Negara  dan  Kewarganegaraan
masuk dalam kelompok “penting”.
Tabel 21 Susunan Mata Pelajaran SMA Bagian B
Tahun 1952
Golongan Mata Pelajaran
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Pokok 1. Aljabar
2 2
3 2. Ilmu Ukur sudut
2 2
2 3. Ilmu Ukur Ruang
2 2
2 4. Ilmu Ukur Melukis
1 1
1 5. Ilmu Alam
4 5
5 6. Mekanika
1 1
1 7. Ilmu Kimia
4 5
5 8. Ilmu Hayat dan Kesehatan
2 2
2 Sub Jumlah
18 20
21 Penting
9. Bahasa Indonesia 2
2 2
10. Bahasa Inggris 3
3 4
Sub Jumlah 18
20 21
Pelengkap 11. Bahasa Jerman
2 2
1 12. Bahasa Perancis
2 2
1 13 Bumi Alam dan Falak
2 1
- 14. Sejarah
2 1
-
15.Tata Neg  Kewarganeg. 1
1 -
16. Ekonomi 1
1 -
17. Tata Buku 2
2 2
18. Menggambar 2
2 2
19. Pendidikan Jasmani 2
2 2
20. Pendidikan Agama 2
2 2
Sub Jumlah 14
12 7
Jumlah 37
37 34
Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989, Ditjen Dikdasmen,
Depdikbud, 1992.
SMA  bagian  B  Ilmu  Alam  mata  pelajaran  Tata  Negara  dan Kewarganegaraan masuk dalam kelompok “pelengkap”.
206 Tabel 22
Susunan Mata Pelajaran SMA Bagian C Tahun 1952
Golongan Mata Pelajaran
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Pokok 1. Tata Neg  Kewarganeg.
2 2
2
2. Tata Hukum 1
1 1
3. Ekonomi 3
3 3
4. Ilmu Bumi Sosial dan Ekonomi
3 3
3 5. Ilmu Bangsa-bangsa
1 1
1 6. Sejarah
2 2
2 Sub Jumlah
12 12
12 Penting
7. Pengetahuan dan Hitung 2
2 2
8. Tata Buku 2
2 2
9. Sejarah Perekonomian -
2 2
10. Bahasa Indonesia 3
3 3
11. Bahasa Inggris 4
4 4
Sub Jumlah 11
13 13
12. Bahasa Jerman 2
2 2
13. Bahasa Perancis 2
2 2
Pelengkap 14. Ilmu Kimia dan Peng. Bahan
2 1
1 15. Aljabar
2 2
- 16. Ilmu Kesehatan
1 1
- 17. Menggambar
2 2
2 18. Pendidikan Jasmani
2 2
2 19. Pendidikan Agama
2 2
2 Sub Jumlah
13 13
9 Jumlah
36 38
34 Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1989,
Ditjen Dikdasmen, Depdikbud, 1992.
Sedangkan  untuk  SMA  bagian  C  Ilmu  Sosial  mata  pelajaran  Tata  Negara dan Kewarganegaraan masuk dalam kelompok “pokok”.
e. Kurikulum SMA 1961
Mata  pelajaran  Tata  Negara  dan  Kewarganegaraan  diganti  menjadi “Kewarganegaraan”.  Kewarganegaraan  berdiri  sendiri  sebagai  mata  pelajaran  dan
termasuk dalam kategori mata pelajaran “Kelompok Dasar”. Kurikulum  SMA  1961,  dikembangan  pada  tanggal  6  sampai  13  November
1961  melalui  pertemuan  antara  SMA  Teladan  di  Surakarta  yang  bertujuan    untuk
207 melakukan  evaluasi  dan  penyempurnaan  terhadap  usaha  pembaharuan  kurikulum
yang  telah  dilakukan.  Dalam  pertemuan  tersebut  antara  lain  dihasilkan  kesimpulan- kesimpulan  sebagai  berikut.  Pertama,  rumusan  yang  tepat  mengenai  tujuan  SMA
ialah  mengembangkan  cita-cita  hidup  serta  mengembangkan    kemampuan  dan kesanggupan  sebagai  anggota  masyarakat  dan  mendidik  tenaga  ahli  dalam  berbagai
lapangan  sesuai  dengan  bakat  dan  minat  masing-masing  serta  keperluan  masyarakat sehingga  tamatannya  mempunyai  dasar-dasar  ilmu  dan  kecakapan  seperlunya  untuk
mengembangkan  diri  terutama  pada  lembaga  pendidikan  yang  lebih  tinggi  dan lembaga masyarakat.
Kedua, penggolongan mata pelajaan di SMA dibagi menjadi empat kelompok yang berkaitan satu dengan lainnya, yaitu: 1 Kelompok dasar enam mata pelajaran
yaitu mata pelajaran yang diperlukan bagi seluruh siswa dalam rangka pembentukan warga  negara:  kewarganegaraan,  agama,  bahasa  Indonesia,  sejarah,  ilmu  bumi,  dan
pendidikan jasmani dan  kesehatan; 2  Kelompok  khusus tujuh mata pelajaan  yaitu mata pelajaran  yang sesuai dengan bakat siswa dan dipersiapkan untuk melanjutkan
ke  perguruan  tinggi;  3  Kelompok  penyerta  tiga  mata  pelajaran  yang  dianggap perlu  untuk  memperluas  mata  pelajaran  kelompok  khusus;  dan  4  Kelompok
prakarya  dan  krida;  krida  adalah    kegiatan  bidang  kebudayaan,  kesenian,  olahraga dan  permainan  yang  harus  diselenggarakan  di  setiap  sekolah  berdasarkan  instruksi
Menteri P dan K tahun 1961. Ketiga,  penjurusan  di  SMA  mulai  dilakukan  di  kelas  II  dan  menghapus
jurusan A, B, dan C dengan mengganti jurusan Budaya, Sosial, Ilmu Pasti, dan Ilmu Pengetahuan Alam.
208 Keempat, kurikulum SMA tahun 1961  disebut “Kurikulum Gaya Baru” atau
“Kurikulum  SMA  Gaya  Baru”.  Kurikulum  SMA  1964  dikembangkan,  karena pengaruh  kehidupan  politik  pada  waktu  itu,  dan  kurikulum  SMA  1961  berubah
menjadi  kurikulum  SMA  1964  atau  yang  terkenal  dengan  sebutan  Kurikulum Pancawardhana. Perubahan ini menunjukkan bahwa tujuan SMA semakin kompleks,
tidak hanya untuk meneruskan ke perguruan tinggi tetapi juga terjun ke semua bidang kehidupan yang ada di masyarakat. Hal ini membawa konsekuensi yang sangat besar
terhadap  pelaksanaan  dan  pengelolaan  sekolah.  Periode  ini  ditandai  dengan  kuatnya pengaruh  politik  dalam  kurikulum  SMA.  Kurikulum  Pancawardhana  hanya
berlangsung sampai tahun 1967, hal ini disebabkan adanya kritik dari berbagai pihak bahwa kurikulum SMA 1964 kurang memiliki bobot akademis yang memadai.
Kurikulum Gaya Baru dan Pancawardhana sebenarnya dapat berjalan dengan baik  bila  ditunjang  oleh  ketersediaan  guru  untuk  semua  mata  pelajaran;  kondisi
sekolah  dan  fasilitas  cukup  baik;  dan  kadaan  ekonomi  negara  stabil  dan  mantap. Pelaksanaan  kurikulum  SMA  Pancawardhana  ditandai  pula  dengan  peristiwa  G-30-
SPKI pada tahun 1965.
2. Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Era Orde Baru
Penanaman  nilai-nilai  moral  yang  cenderung  hegemonik  dari  negara  melalui proses  pendidikan  pada  era  Orde  Baru  mulai  menampakkan  kekuatannya  ketika
secara  formal  Garis-garis  Besar  Haluan  Negara  GBHN  tahun  1973  menyebut perlunya  kurikulum  di  semua  tingkat  pendidikan  berisikan  Pendidikan  Moral
Pancasila  PMP.  Meskipun  sebutan  Moral  Pancasila  dilekatkan  untuk  Pendidikan
209 Kewarganegaraan  di  jenjang  pendidikan  dasar  dan  menengah,  namun  materi-materi
dalam  masing-masing  pokok  bahasan,  nampak  bernuansa  Civics  seperti  Kurikulum 1968 Samsuri, 2010: 117.
Sejak  GBHN  1973  sampai  dengan  GBHN  1998  pada  era  Orde  Baru, pendidikan untuk membentuk karakter warga negara yang baik dibebankan terutama
pada Pendidikan Kewarganegaraan, serta sejumlah mata pelajaran seperti Pendidikan Moral  Pancasila,  Pendidikan  Sejarah  Perjuangan  Bangsa,  Pendidikan  Pendahuluan
Bela  Negara,  serta  P4.  Semua  mata  pelajaran  tersebut  bersifat  top-down.  Menurut Udin S. Winataputra:
GBHN 1973 mengamanatkan bahwa  kurikulum  di semua tingkat pendidikan mulai  dari  taman  kanak-kanak  sampai  perguruan  tinggi,  baik  negeri  maupun
swasta  harus  berisikan  Pendidikan  Moral  Pancasila,  dan  unsur-unsur  yang cukup  untuk  meneruskan  jiwa  dan  nilai-nilai  1945  kepada  generasi  muda.
wawancara, 6 Agustus 2011.
Pendidikan  Pancasila  termasuk  Pendidikan  Moral  Pancasila  dan  unsur-unsur yang  dapat  meneruskan  dan  mengembangkan  jiwa  dan  nilai-nilai  1945  kepada
generasi muda dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai universitas, baik negeri maupun swasta GBHN 1978.
Pendidikan  Pancasila  termasuk  Pendidikan  Pedoman  Penghayatan  dan Pengamalan Pancasila P4, Pendidikan Moral Pancasila,  dan unsur-unsur yang dapat
meneruskan  dan  mengembangkan  jiwa,  semangat,  dan  nilai-nilai  1945  kepada generasi  muda  harus  makin  ditingkatkan  dalam  kurikulum  sekolah-sekolah  dari
taman  kanak-kanak  sampai  perguruan  tinggi,  baik  negeri  maupun  swasta,  dan  di lingkungan masyarakat GBHN 1983.
210 Pendidikan  Pancasila  termasuk  Pendidikan  Pedoman  Penghayatan  dan
Pengamalan  Pancasila  P4,  Pendidikan  Moral  Pancasila,  Pendidikan  Sejarah Perjuangan  Bangsa  serta  unsur-unsur  yang  dapat  meneruskan  dan  mengembangkan
jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 1945 kepada generasi muda,  dilanjutkan  dan  makin  ditingkatkan  di  semua  jenis  dan  jenjang  pendidikan
mulai  dari  taman  kanak-kanak  sampai  perguruan  tinggi,  baik  negeri  maupun  swasta GBHN 1988.
Pendidikan  Pancasila  termasuk  Pendidikan  Pedoman  Penghayatan  dan Pengamalan
Pancasila P4,
Pendidikan Moral
Pancasila, Pendidikan
Kewarganegaraan,  Pendidikan  Sejarah  Perjuangan  Bangsa,  serta  unsur-unsur  yang dapat  meneruskan  dan  mengembangkan  jiwa,  semangat  dan  nilai  kejuangan,
khususnya  nilai-nilai  1945,  dilanjutkan  dan  ditingkatkan  di  semua  jalur,  jenis,  dan jenjang pendidikan termasuk prasekolah GBHN 1993.
Pendidikan  Pancasila  termasuk  Pendidikan  Pedoman  dan  Penghayatan Pancasila  P4,  Pendidikan  Moral  Pancasila,  Pendidikan  Agama,  dan  Pendidikan
Kewarganegaraan  dilanjutkan  dan  ditingkatkan  di  semua  jalur,  jenis,  dan  jenjang pendidikan  termasuk  prasekolah  sehingga  terbentuk  watak  bangsa  yang  kokoh
GBHN  1998.  Selama  Orde  Baru  telah  terjadi  pergantian  kurikulum  sampai  empat kali, yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994.
a. Kurikulum 1968
Departeman P dan K pada tahun 1968 menerbitkan buku Pedoman Kurikulum Sekolah  Dasar  yang  dinamakan  Kurikulum  SD,  sebagai  reaksi  terhadap  Rencana
Pendidikan  TK  dan  SD  yang  di  dalamnya  berbau  politik  ORLA  Orde  Lama.
211 Perubahan-perubahan  terletak  pada  landasan  pendidikannya  yang  berdasarkan
Falsafah  Negara  Pancasila.  Ketetapan  MPRS  No.  XXVIIMPRS1966  memberikan arah  pada  reformasi  pendidikan,  berikut  ini  beberapa  ketentuan  yang  terdapat  di
dalamnya: …1  Dasar  pendidikan  nasional  adalah  Pancasila  Ketetapan  MPRS  No.
XXVIMPRS1966  Bab  II  Pasal  2.  2  Tujuan  pendidikan  nasional  ialah membentuk  manusia  Pancasilais  sejati  berdasarkan  ketentuan-ketentuan
seperti  yang  dikehendaki  oleh  Pembukaan  UUD  1945  dan  Isi  UUD  1945 Ketetapan MPRS No. XXVIIMPRS1966 Bab II Pasal 3. 3 Isi pendidikan
nasional  adalah:  a  Mempertinggi  mental  budi  pekerti  dan  memperkuat keyakinan  agama.  b  Mempertinggi  kecerdasan  dan  keterampilan.  c
Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.  Ketetapan MPRS No. XXVIIMPRS1966 Bab II Pasal 4.
Kurikulum  Sekolah  Dasar    1968  dibagi  menjadi  3  kelompok  besar:  1 Kelompok  Pembinaan  Pancasila:  Pendidikan  Agama,  Pendidikan  Kewarganegaraan,
Pendidikan  Bahasa  Indonesia,  Bahasa  Daerah,  dan  Olahraga.  2  Kelompok Pembinaan  Pengetahuan  Dasar:  Berhitung,  Ilmu  Pengetahuan  Alam,  Pendidikan
Kesenian,  Pendidikan  Kesejahteraan  Keluarga,    dan  Kesehatan.  3  Kelompok Kecakapan  Khusus:  Kejuruan  Agraria  Pertanian,  Peternakan,  Perikanan,  Kejuruan
Teknik Pekerjaan
Tangan, Perbengkelan,
Kejuruan KetatalaksanaanJasa
Kurikulum 1968. Dengan berakhirnya rezim Orde Lama dan lahirnya Orde Baru, sesuai dengan
TAP  MPRS  No.  XXVIIMPRS1966  tentang  Agama,  Pendidikan  dan  Kebudayaan, maka  dirumuskan  mengenai  tujuan  pendidikan  sebagai  “membentuk  manusia
Pancasilais  sejati”  berdasarkan  ketentuan-ketentuan  seperti  yang  dikehendaki  oleh Pembukaan  UUD  1945    dan  Isi  UUD  1945.  Isi  pendidikan  adalah  mempertinggi
mental-moral  budi    pekerti  dan  memperkuat  keyakinan  beragama,  mempertinggi
212 kecerdasan  dan  keterampilan,  membina  memperkembangkan  fisik  yang  kuat  dan
sehat.  Inilah  isi  dari  kurikulum  1968.  Selanjutnya  TAP  MPRS  tersebut  juga menegaskan  mengenai  kebebasan  mimbarilmiah  seluas-luasnya  di  perguruan  tinggi
yang  tidak  menyimpang  dari  UUD  1945  dan  falsafah  negara  Pancasila.  Semua sekolah  asing  dilarang  di  seluruh  Indonesia.  Demikian  pula  pemerintah
memperhatikan  perkembangan  gerakan  Pramuka.  Mengenai  lembaga  pendidikan disederhanakan  baik  mengenai  jumlah  maupun  strukturnya.  Yang  menarik  antara
lain,  di  dalam  TAP  MPRS  tersebut  ialah  karena  kekurangan  tenaga  mengajar  perlu diadakan  langkah-langkah  untuk  mengatasinya  antara  lain  dengan  undang-undang
wajib mengajar. Abd. Rachman Assegaf  2005: 141, menyatakan: Dengan  dibubarkannya  PKI  pada  tahun  1965,  ide  Manipol  diganti  dengan
upaya pemurnian Pancasila, dimana hal ini mengakibatkan seluruh pembagian mata pelajaran ke dalam kelompok-kelompok yang menjabarkan ide Manipol,
seperti Pancawardhana dan Sapta Usaha Tama, atau kelompok mata pelajaran RasaKarya yang bertujuan membentuk Sosialisme Indonesia, diganti menjadi
tiga kelompok mata pelajaran, yaitu: 1 Kelompok pembinaan jiwa Pancasila. 2  Kelompok  pembinaan  pengetahuan  dasar.  3  Kelompok  pembinaan
kecakapan  khusus.    Kelompok  pembinaan  jiwa  Pancasila  terdiri  dari  mata pelajaran  Pendidikan  Agama,  Pendidikan  Kewarganegaraan  termasuk  Ilmu
Bumi,  Sejarah  Indonesia,  dan  Civics,  Pendidikan  Bahasa  Indonesia,  dan Pendidikan  Olah  Raga.  Kurikulum  1968  telah  menyebutkan  rincian  bahan,
tujuan,  dedaktikmetodik  serta  petunjuk  bagi  guru  yang  mengajar  Pendidikan Kewarganegaraan.
Berikut  ini  adalah  susunan  mata  pelajaran  Kurikulum  Sekolah  Dasar  1968,
untuk  Sekolah  Berbahasa  Pengantar  Bahasa  Daerah  Sampai    Kelas  III,  dan  untuk Sekolah Berbahasa Pengantar Bahasa Indonesia Mulai Kelas I:
213 Tabel  23
Susunan Mata Pelajaran Kurikulum Sekolah Dasar 1968 untuk Sekolah Berbahasa Pengantar Bahasa Daerah Sampai  Kelas III
No Bidang Studi
Kel. I
Kel. II
Kel. III
Kel. IV
Kel. V
Kel. VI
I Pembinaan Jiwa Pancasila
1. Pendidikan Agama 2
2 3
4 4
4
2. Pend. Kewargaan Negara.
2 2
4 4
4 4
3. Pend. Bhs. Indonesia -
- 6
6 6
6 4. Bahasa Daerah
8 8
2 2
2 2
5. Pend. Olahraga 2
2 3
3 3
3 Sub Jumlah
14 14
18 19
19 19
II Pembinaan Penget. Dasar
6. Berhitung 7
7 7
6 6
6 7. Ilmu Pengetahuan
Alam 2
2 4
4 4
4 8. Pendidikan Kesenian
2 2
4 4
4 4
9. Pend. Kesejahteraan Keluarga
1 1
2 2
2 2
Sub Jumlah 12
12 17
16 16
16 III
Pemb. Kecakapan Khusus 10. Pendidikan Khusus 2
2 2
5 5
5 5
Jumlah 28
28 40
40 40
40 Sumber:Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjen  Dikdasmen,
Depdikbud, 1992.
Pendidikan Kewargaan Negara masuk dalam kelompok “Pembinaan Jiwa Pancasila”, diberikan 4 jam perminggu untuk kelas III sampai dengan kelas VI, dan 2
jam untuk kelas I dan II.
214 Tabel 24
Susunan Mata Pelajaran Kurikulum Sekolah Dasar 1968 untuk Sekolah Berbahasa Pengantar Bahasa Indonesia Mulai Kelas I
No Bidang Studi
Kel. I
Kel. II
Kel. III
Kel. IV
Kel. V
Kel. VI
I Pembinaan Jiwa Pancasila
1. Pendidikan Agama 2
2 4
4 4
4
2. Pend. Kewargaan Neg.
2 2
4 4
4 4
3. Pend. Bhs. Indonesia 4
4 6
6 6
6 4. Bahasa Daerah
4 4
2 2
2 2
5. Pend. Olahraga 2
2 3
3 3
3 Sub Jumlah
14 14
19 19
19 19
II Pembinaan Penget. Dasar
6. Berhitung 7
7 7
7 7
7 7. Ilmu Pengetahuan
Alam 2
2 4
4 4
4 8. Pendidikan Kesenian
2 2
3 3
3 3
9. Pend. Kesejahteraan Keluarga
1 1
2 2
2 2
Sub Jumlah 12
12 16
16 16
16 III
Pemb. Kecakapan Khusus 10. Pendidikan Khusus
2 2
2 5
5 5
5 Jumlah
28 28
40 40
40 40
Sumber:  Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjen  Dikdasmen, Depdikbud, 1992.
Berdasarkan  Surat  Edaran  Direktur  Jenderal  Pendidikan  Dasar  tanggal  2 Agustus  1968  No.  342UKK68,  Rencana  Pendidikan  SMP  yang  telah
disempurnakan,  maka  Kurikulum  SMP  1968  mulai  berlaku  pada  awal  tahun  ajaran 1968.  Faktor  politis  lebih  berpengaruh  dalam  penyempurnaan  Rencana  Pendidikan
tersebut  dibandingkan  dengan  faktor-faktor  lain.  Penyusunan  Rencana  Pendidikan dikoordinasikan oleh Kantor Pusat, dalam hal ini Dinas SMP.
Susunan program pengajaran dalam Rencana Pendidikan yang disempurnakan tahun  1967  dikelompokkan  menjadi  tiga  kelompok,  yaitu  sebagai  berikut.  Pertama:
Kelompok  Pembinaan  Jiwa  Pancasila;  kelompok  ini  berfungsi  untuk  membina  dan
215 mempertinggi  moral  Pancasila,  UUD  1945,  serta  membina  jasmani  yang  sehat  dan
kuat. Usaha ini diarahkan pada pembentukan jiwa yang sehat dan kuat. Dengan jiwa yang  sehat  diharapkan  dapat  meningkatkan  keyakinan  beragama,  keimanan,
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, moral Pancasila sesuai dengan Ketetapan TAP  MPRS  No. XVIIMPRS1966,  yaitu agar  warga negara berbudi bahasa  halus
dan  pandai  menyesuaikan  diri,  berdisiplin,  dan  berwatak  sportif.  Demikian  juga halnya dengan raga yang kuat diharapkan dapat meningkatkan kesehatan jasmani dan
meningkatkan  kecekatan  bertindak.  Rencana  pelajaran  dan  kegiatan  formal  yang menunjang  usaha  tersebut  ialah  Pendidikan  Agama,  Kewargaan  Negara,  Bahasa
Indonesia, dan Olahraga. Kedua: Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar; dasar pemikiran kelompok
mata pelajaran ini ialah bahwa akal pikiran merupakan salah satu karunia Tuhan yang menempatkan  kedudukan  manusia  di  atas  makhluk  lain  di  dunia.  Akal  pikiran  yang
dibimbing  dan  dilatih  dapat  menjadikan  manusia  bersikap  kritis  dan  selalu  ingin mengetahui berbagai hal. Dengan sifat inilah maka manusia mampu mengetahui dan
mengenal  lingkungannya  baik  mengenai  bentuk,  sifat,  maupun  hukum-hukumnya sehingga  dapat  memanfaatkannya  untuk  mempertinggi  kesejahteraan  hidup.  Dengan
demikian  semua  pengetahuan  dan  pengertian  yang  diperoleh  dapat  mendorong manusia untuk mengakui dan meyakini adanya kekuatan yang mengatur hukum alam,
yaitu  Tuhan  Yang  Maha  Esa.  Kelompok  mata  pelajaran  ini  bertujuan  memberikan berbagai  pengetahuan  dasar  yang  berguna  bagi  anak  didik  untuk  melanjutkan
pelajarannya  ke  tingkat  yang  lebih  tinggi.  Mata  pelajaran  yang  termasuk  kelompok Pembinaan  Pengetahuan  Dasar  ialah  Ilmu  Aljabar  dan  Ilmu  Ukur  untuk
216 meningkatkan  sikap  kritis,  Ilmu  Alam,  Ilmu  Hayat,  dan  Ilmu  Bumi  untuk
mengetahui manfaat yang mungkin berguna bagi kehidupan manusia, Sejarah untuk mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan bangsa sehingga
menimbulkan  kesadaran  dan  keinginan  untuk  bersatu,  Bahasa  Daerah,  Bahasa Indonesia,  dan  Bahasa  Inggris  merupakan  media  untuk  menemukan  dan
mengembangkan  kebudayaan  guna  meningkatkan  kehidupan  manusia  dalam  rangka mewujudkan  kesempurnaan  hidup  sebagai  makhluk  tertinggi,    dan  menggambar
merupakan  mata  pelajaran  yang  dapat  mengembangkan  daya  cipta,  rasa  estetika, keterampilan,  dan  rasa  realitas  sehingga  siswa  kelak  dapat  menciptakan  bentuk,
warna, keindahan, keseimbagan, dan keharmonisan. Ketiga:  Kelompok  Pembinaan  Kecakapan  Khusus;  dasar  pemikiran
diadakannya  kelompok  mata  pelajaran  ini  ialah  bahwa  di  SMP  tidak  cukup  hanya diberikan  pendidikan  mental,  spiritual,  fisik  dan  kecerdasan  saja,  tetapi  diperlukan
juga  pendidikan  keterampilan  yang  praktis,  pendidikan  emosional,  dan  pendidikan artistik  serta  sosial.  Kelompok  ini  bertujuan  memberikan  keterampilan  praktis  yang
berguna  bagi  siswa  untuk  bekal  hidup  dalam  masyarakat.  Mata  pelajaran  yang termasuk  dalam  kelompok  ini  ialah  Administrasi  memberikan  keterampilan  untuk
menyelenggarakan  administrasi  sederhana  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Prakaya memberi  kesempatan  kepada  siswa  untuk  menemukan  dan  mengembangkan
bakatnya masing-masing. Pendidikan Kesenian memberikan kesempatan pada siswa untuk  mengembangkan  bakat  seni  mereka,  dengan  harapan  kesenian  baik  daerah
maupun nasional dapat dipupuk dan dilestarikan. Selain itu pendidikan kesenian juga bertujuan untuk meningkatkan rasa haru dan rasa indah dalam kehidupan sehari-hari.
217 Pendidikan  Kesejahteraan  Keluarga,  dimaksudkan  untuk  memperdalam  kesadaran
siswa akan perlunya hidup rukun, damai, hemat, cermat, sehat, serta sejahtera dalam kehidupan  keluarga.    Kelompok  Pembinaan  Kecakapan  Khusus  memberikan
kesempatan  yang  lebih  luas  lagi  bagi  siswa  untuk  bekerja  dan  berkarya  serta  lebih mengenal bakat masing-masing. Di SMP hal ini mungkin belum dapat menghasilkan
penguasaan  materi  secara  bulat  dan  lengkap,  tetapi  bagi  siswa  yang  putus  sekolah atau tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan pengetahuan
dasar  yang berguna bagi kehidupan  siswa sehingga mereka dapat menjadi manusia yang produktif dalam pembangunan.
Perlu dicatat bahwa semua mata pelajaran yang diberikan  di atas tidak berdiri sendiri, tetapi saling  menunjang dan  melengkapi dalam  mencapai tujuan  pendidikan
di SMP. Kesatuan semua mata pelajaran tersebut ditunjukkan dalam susunan program pengajaran  dalam  Kurikulum  SMP  1968.  Susunan  mata  pelajaran  kurikulum  SMP
1968 sebagai berikut:
218 Tabel 25
Susunan Mata Pelajaran SMP Tahun 1968
Kelp. Mata Pelajaran
Kelas I
Kelas II
Kelas III
A Kelompok Pemb. Jiwa Pancasila
1. Pendidikan Agama 3
3 3
2. Pend Kewargaan Negara 3
3 3
3. Bahasa Indonesia I 3
3 3
4. Olahraga 2
2 2
Sub Jumlah 11
11 11
B Klp. Pembinaan Pengetahuan Dasar
1. Bahasa  Indonesia II 2
2 2
2. Bahasa Daerah 2
2 2
3. Ilmu Inggris 3
3 3
4. Ilmu Aljabar 3
3 3
5. Ilmu Ukur 3
3 3
6. Ilmu Alam 3
3 3
7. Imu Hayat 2
2 2
8. Sejarah Bumi 2
2 2
9. Sejarah 2
2 2
Sub Jumlah 24
24 24
C Klp. Pembinaan Kecakapan Khusus
1. Administrasi 1
1 1
2. Kesenian 2
2 2
3. Prakarya 2
2 2
4. Kesejahteraan Keluarga 1
1 1
Sub Jumlah 6
6 6
Jumlah 41
41 41
Sumber:  Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjen  Dikdasmen, Depdikbud, 1992.
Di SMP Pendidikan Kewargaan Negara masuk dalam kelompok “Pembinaan Jiwa  Pancasila”,  diberikan  masing-masing  3  jam  perminggu  untuk  kelas  I  sampai
dengan kelas III .
b. Kurikulum PKn 1975
Pendidikan  Kewarganegaraan  dalam  Kurikulum  1975  tidak  jauh  berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1968. Perbedaan kecil hanya
pada penambahan kajian tentang pembangunan nasional dan GBHN pada PMP dalam Kurikulum 1975.
219 Tujuan  kurikuler  PMP  Kurikulum  1975  untuk  Sekolah  Dasar  adalah  sebagai
berikut: 1  Murid  mengerti  arti  ke-Tuhanan  Yang  Maha  Esa.  2  Murid  mengerti
prinsip-prinsip  dasar  yang  terkandung  dalam  Pasal-pasal  UUD  1945.  3 Murid  dapat  mengerti  prinsip  dasar  hak-hak  asasi  manusia,  serta
tanggungjawab  yang  terjalin  dengan  hak-hak  tersebut.  4  Murid  mengerti prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam alinea pertama Pembukaan UUD
1945.  5  Murid  mengerti  arti  kesatuan  bangsa  dan  negara  Indonesia.  6 Murid
mengetahui, mengenal
kebudayaan daerah
dalam rangka
mengembangkan rasa bhineka tunggal ika. 7 Murid mengetahui tentang hak dan  kewajiban  dalam  lingkungan  keluarga,  sekolah,  dan  masyarakat.  8
Murid  mengetahui  dan  mampu  melaksanakan  prinsip-prinsip  demokrasi dalam  kehidupan  pribadi,  keluarga,  sekolah,  dan  masyarakat.  9  Murid
mengerti  dan  mampu  menggunakan  dasar-dasar  hak  kewargaan  negaranya. 10  Murid  memahami  bentuk  dan  dasar  negara  RI,sehingga  murid  mampu
berpartisipasi  sebagai  warga  negara.  11  Murid  mengetahui  dan mempraktekan  prinsip  keadilan  sosial  dalam  kehidupan  pribadi,  keluarga,
sekolah dan masyarakat. Diolah dari Depdikbud, 1976a: 3-11. Tujuan kurikuler PMP Kurikulum 1975 untuk SMP adalah sebagai berikut:
1 Siswa menyadari adanya bermacam-macam agama, dan saling menghargai antara  para  pemeluknya.  2  Siswa  memahami  dan  mengamalkan  ajaran  ke-
Tuhanan Yang Maha Esa. 3 Siswa mengetahui, memahami dan menghayati hak  dan  kewajibannya  sebagai  warga  negara.  4  Siswa  mengetahui,
memahami  dan  menghayati  prinsip-prinsip  demokrasi  dalam  kehidupan sehari-hari.  5  Siswa  mengetahui  perkembangan  sejarah  nasional  Indonesia.
6  Siswa  menunjukkan  sikap  dan  tindakan  yang  mendukung  kesatuan nasional.  7  Siswa  mengerti,  mentaati  dan  melaksanakan  peraturan  untuk
memajukan  kehidupan  masyarakat.  8  Siswa  mengetahui  dan  menyadari  arti kesatuan  nasional  Indonesia  demi  kesejahteraan  masyarakat.  9  Siswa
mentaati  peraturan-peraturan  untuk  memelihara  dan  meningkatkan  keamanan masyarakat.  10  Siswa  mengetahui  dan  menyadari  pentingnya  arti  persatuan
dan  kesatuan  nasional  Indonesia,  sehingga  mampu  mengamalkannya  dalam kehidupan  sehari-hari.  11  Siswa  memahami  dan  menyadari  pentingnya
disiplin  bagi  ketertiban  masyarakat.  12  Siswa  memahami  dan  menghayati Pancasila  dan  UUD  1945.  13  Siswa  memahami  prinsip-prinsip  kehidupan
demokrasi.  14  Siswa  mampu  menggunakan  prinsip-prinsip  demokrasi Pancasila  dalam  kehidupan  pribadi,  keluarga,  sekolah,  dan  masyarakat
sekitarnya. 15 Siswa mengetahui bahwa GBHN adalah merupakan landasan pembangunan nasional. Diolah dari Depdikbud, 1976b: 2-7.
220 Sedangkan tujuan kurikuler PMP Kurikulum 1975 untuk SMA adalah sebagai
berikut: 1  Siswa  memahami  Tuhan  Yang  Maha  Esa  adalah  sebab  pertama  causa
prima,  sebagai  asal  dari  segala  kehidupan  yang  mengajarkan  persamaan, keadilan,  kasih  sayang.  2  Siswa  memahami  prinsip-prinsip  dasar  yang
terkandung dalam pasal 29 UUD 1945. 3 Siswa menghargai sesama manusia dan  memiliki  sikap  saling  menghormati  dalam  pergaulan  antar  bangsa.  4
Siswa  memahami  prinsip-prinsip  dasar  hak  asasi  manusia.  5  Siswa mengetahui  dan  memahami  serta  dapat  melaksanakan  kewajiban  dan  hak
yang harus dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.  6  Siswa mengetahui dan  memahami  pentingnya  arti  kesatuan  dan  persatuan  nasional.  7  Siswa
mengerti  sistem  pertahanan  dan  keamanan  nasional.  8  Siswa  mengerti ketentuan-ketentuan  dan  peraturan-peraturan  yang  telah  ditetapkan  untuk
memajukan  masyarakat  dan  keamanan  nasional  serta  ikut  serta  dalam  usaha pertahanan dan keamanan. 9 Siswa mengetahui dan menyadari arti kesatuan
nasional Indonesia demi kesejahteraan masyarakat. 10 Siswa memahami dan menyadari
prinsip-prinsip demokrasi
Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat  dan  bernegara,  supaya  mampu  untuk  melaksanakan  dalam
kehidupan  sehari-hari.  11  Siswa  mengetahui  dan  mengerti  sistem pemerintahan  demokrasi  Pancasila.  12  Siswa  memahami  dan  menyadari
pentingnya  disiplin  bagi  ketertiban  masyarakat.  13  Siswa  memahami  dan menghayati  Pancasila  dan  UUD  1945.  14  Siswa  memahami  prinsip-prinsip
kehidupan  demokrasi.  15  Siswa  mampu  menggunakan  prinsip-prinsip demokrasi  Pancasila  dalam  kehidupan  pribadi,  keluarga,  sekolah,  dan
masyarakat  sekitarnya.  16  Siswa  memahami  dasar  dan  tujuan  kehidupan sosial  ekonomi  Indonesia  dan  berusaha  berpartisipasi  untuk  keadilan  dan
kemakmuran  bagi  seluruh  rakyat.  17  Siswa  berusaha  melaksanakan  prinsip keadilan sosial. Diolah dari Depdikbud, 1978: 2-5.
Usaha  untuk  memperbaiki  kurikulum  pendidikan  sudah  lama  dirasakan
kebutuhannya  oleh  pemerintah.  Oleh  sebab  itu,  berbagai  percobaan  misalnya  untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah dasar banyak dilaksanakan.  Antara lain yang
terkenal  ialah  usaha  Balai  Penyelidikan  dan  Perancang  Pendidikan  dan  Pengajaran BP4  dipimpin  oleh  H.S.  Adam  Bachtiar  sejak  tahun  1951  mengadakan  sekolah-
sekolah  percobaan.  Sekolah-sekolah  tersebut  yaitu  sekolah  rakyat  percobaan  di Jakarta  mengenai  pengelompokan  murid  berdasarkan  prestasi  belajar,  di  Denpasar
221 untuk  sekolah  masyarakat;  Bandung  untuk  science  teaching  dan  pendidikan  agama
Islam; Bukit Tinggi  mengenai pertanian sebagai  mata pelajaran. Usaha-usaha Adam Bachtiar ini kemudian dilanjutkan oleh IP Simanjuntak setelah terbentuknya Jawatan
Pendidikan Umum tahun 1957. Sayang sekali usaha-usaha percobaan ini tidak pernah
dievaluasi sehingga tidak pernah didesiminasikan  Depdikbud, 1976: 14.
Usaha  yang  kedua  dimulai  pada  Pelita  I  yaitu  Pengharusan  Kurikulum  dan Metode    Mengajar  PKMM.  Kegiatan-kegiatan  tersebut  dilaksanakan  di  Jakarta;
bahasa Sunda di Bandung; kesenian di Yogyakarta; IPS di Surabaya; IPA di Malang; dan  sekolah  laboratorium  IKIP  Malang  yang  dipimpin  oleh  Prof.  Dr.  Supartinah
Pakasi.  Hasil  sekolah  laboratorium  IKIP  Malang  inilah  yang  merupakan  salah  satu
masukan kurikulum 1975  Depdikbud, 1976: 15.
Dalam  Pelita  I  Menteri  Mashuri    Depdikbud,  1976:  15,  mengemukakan basic  memorandum  tentang  pendidikan.  Dalam  dokumen  tersebut  digariskan
mengenai syarat-syarat sekolah-sekolah di Indonesia  sebagai berikut: ...  1  Sekolah  itu  hendaknya  merupakan  bagian  integral  dari  masyarakat
sekitarnya.  Sesuai  dengan  asas  pendidikan  seumur  hidup,  sekolah  itu hendaknya  mempunyai  dwifungsi:  mampu  memberikan  pendidikan  formil
dan  juga  pendidikan  informil,  baik  untuk  para  pemuda  maupun  untuk  orang dewasa  pria  wanita.  2  Sekolah  itu  hendaknya  berorientasikan  kepada
pembangunan  dan  kemajuan,  sehingga  dapat  menyiapkan  tenaga  kerja  yang memiliki  watak,  pengetahuan  dan  keterampilan  untuk  pembangunan  bangsa
dan  negara  di  berbagai  bidang.  3  Sekolah  itu  hendaknya  mempunyai kurikulum,  metode  mengajar  dan  program  yang  menyenangkan,  menantang
dan cocok dengan tujuannya. Dari  kebijakan  pendidikan  inilah  lahir  apa  yang  disebut  Proyek  Perintis
Sekolah Pembangunan PPSP. Seperti kita ketahui pada tahun 1973 lahirlah GBHN yang  pertama  sebagai  Ketetapan  MPR  No.  IIMPR1973.  Berdasarkan  TAP  MPR
222 inilah  disusun  kurikulum  1975.  Seperti  kita  ketahui  kurikulum-kurikulum
sebelumnya disusun berdasarkan Undang-undang  Pokok  Pendidikan  dan Pengajaran No.  4  Tahun  1950,  kemudian  mendasarkannya  kepada  TAP  MPRS  No.  II  Tahun
1960 dan keputusan-keputusan lainnya. Dengan sendirinya di dalam masa Orde Baru
kita memerlukan kurikulum yang sesuai dengan jiwa pembangunan pada masa itu.
Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru diiringi dengan perubahan-perubahan mendasar di bidang  pendidikan. Beberapa faktor  yang muncul sejak tahun 1969  dan
yang mempengaruhi perubahan ke arah terbentuknya Kurikulum 1975 adalah sebagai berikut:  1  Kegiatan  pembaharuan  pendidikan  selama  Repelita  I  yang  dimulai  pada
tahun  1969  telah  melahirkan  dan  menghasilkan  gagasan-gagasan  baru  yang  sudah mulai  memasuki  pelaksanaan  sistem  pendidikan  nasional.  2  Kebijakan  pemerintah
di  bidang  pendidikan  nasional  yang  digariskan  di  dalam  Garis-garis  Besar  Haluan Negara  menuntut  implementasinya  di  lapangan.  3  Hasil  analisis  dan  penilaian
pendidikan nasional telah mendorong Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk meninjau kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan nasional. 4 Inovasi di dalam sistem
belajar-mengajar yang dirasakan dan dinilai lebih efisien dan efektif telah memasuki dunia  pendidikan  Indonesia.  5  Keluhan-keluhan  masyarakat  tentang  mutu  lulusan
pendidikan mendorong petugas-petugas pendidikan untuk meninjau sistem yang saat itu sedang berlaku. Kesemuanya ini merupakan faktor-faktor yang melatar belakangi
perlunya  dilakukan  peninjauan  kurikulum  agar  lebih  sesuai  dengan  tuntutan perubahan  dan  lebih  efisien  di  dalam  menunjang  tercapainya  tujuan  pendidikan
Depdikbud,  1976:  16.  Karena  beberapa  faktor  di  atas,  maka  Kurikulum  1975
223 muncul  dengan  berbagai  pembaharuan  fundamental,  yang  di  masa  berikutnya
Kurikulum 1975 ini menjadi basis bagi upaya penyempurnaan kurikulum selanjutnya. Menurut    Abd.  Rachman  Assegaf  2005:  143-144,  aspek-aspek  baru  yang
dijumpai dalam kurikulum ini antara lain adalah: Pertama,
pembakuan Kurikulum
1975 dilakukan
dengan menggunakan  prinsip  fleksibilitas  program,  yaitu  dengan  mempertimbangkan
faktor  ekosistem  lingkungan,  kemampuan  pemerintah,  masyarakat  dan  orang tua dalam menyediakan fasilitas yang memadai bagi berlangsungnya program
tersebut, prinsip efisiensi dan efektifitas, yaitu menyangkut penggunaan waktu secara  tepat  dan  pendayagunaan  tenaga  secara  optimal.  Prinsip  berorientasi
pada  tujuan  yakni  agar  tiap  jam  dan  kegiatan  pelajaran  yang  dilakukan  oleh siswa  dan  guru  benar-benar  terarah  kepada  tercapainya  tujuan  pendidikan.
Prinsip  kontinuitas,  yaitu  agar  penyusunan  kegiatan  belajar  mengajar  selalu memperhatikan  hubungan  fungsional  dan  hirarkhis  sehingga  tidak  terjadi
pengulangan  yang  membosankan  atau  pemberian  pelajaran  yang  tak  dapat dipahami  oleh  siswa  karena  mereka  tidak  memiliki  dasar  yang  kokoh,  dan
prinsip  pendidikan  seumur  hidup,  yaitu  bahwa  masa  sekolah  bukanlah  masa satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan hanya sebagian
dari waktu belajar yang akan berlangsung seumur hidup.
Kedua,  sistem  penyajian  Kurikulum  1975  mulai  memperkenalkan penggunaan  pola  PPSI  Prosedur  Pengembangan  Sistem  Instruksional.
Dalam realisasinya pola ini menghasilkan penerapan Satuan Pelajaran Satpel, unit  lesson  sebagai  rencana  atau  persiapan  mengajar  guru  sebelum  masuk
kelas.  Di  samping  itu,  Satpel  ini  memuat  rincian  mengenai  Tujuan Instruksional  Umum  TIU,  Tujuan  Instruksional  Khusus  TIK,  ringkasan
materi  pelajaran,  proses  kegiatan  belajar  mengajar,  metode  mengajar, alatsumber  serta  evaluasi.  Dengan  demikian  Satpel  mencerminkan  makna
kurikulum  yang  komprehensip  karena  meliputi  tujuan,  materi,  metode  dan evaluasi.  Dengan  Satpel  pula  dapat  dihindarkan  problem  ketidak  seragaman
kurikulum pendidikan bagi guru yang mengajar di sekolah. Yang demikian ini tidak dijumpai dalam kurikulum 1968.
Ketiga,  Kurikulum  1975  dirancang  untuk  disesuaikan  dengan kebutuhan  pembangunan  nasional  dalam  Repelita  II  1974-1979.  Satu  hal
yang istimewa pada Repelita II atau dasawarsa 1970-an ini adalah terjadinya oil boom di Indonesia sehingga mampu menaikkan APBN bidang pendidikan
sampai dua kali anggaran tahun 19741975.  Pada dasawarsa ini pembangunan sektor pendidikan diarahkan pada aspek pemerataan pendidikan dasar dengan
memperluas  daya  tampung  sekolah  di  seluruh  pelosok  Nusantara.    Abd. Rachman Assegaf, 2005: 143-144.
224 Menurut  A.  Ahmadi  1987:  270,  latar  belakang  lahirnya  Kurikulum  1975
adalah sebagai berikut: Sebelum  diberlakukannya  kurikulum  1975,  telah  diberlakukan  kurikulum
1968.  Namun  karena  pada  saat  dirumuskannya  kurikulum  1968  belum  dapat menghimpun  segala  keutuhan  pendidikan,  misalnya  tentang  tujuan  nasional
pendidikan  yang  berorientasi  pada  pembangunan  bangsa    tujuan  nasional pendidikan  yang  demikian  baru  dirumuskan  dalam  GBHN  hasil  TAP  MPR
tahun  1973,  maka  kurikulum  1968  tidak  berjalan  seperti  yang  diharapkan. Pada  tingkat  Sekolah  Dasar  hingga  Sekolah  Menengah  Atas,  di  samping
berjalan kurikulum 1968, juga kurikulum menurut sistematik buku-buku hasil proyek  pengadaan  buku  dan  kurikulum  sesuai  dengan  kemampuan  masing-
masing  guru.  Kondisi  semacam  itu  sangat  membingungkan  guru,  orang  tua murid,  dan  masyarakat.  Atas  dasar  pertimbangan-pertimbangan  tersebut,  dan
dalam  rangka  meningkatkan  efisiensi,  efektivitas,  serta  relevansi  pendidikan, dimulailah  proses  pembakuan  kurikulum  pada  tahun  1974,  yang  merupakan
kelanjutan  dari  usaha-usaha  yang  telah  dimulai  sejak  tahun  1969.  Sebagai hasilnya  lahirlah  kurikulum  1975.  Kurikulum  1975  disusun  dengan
berorientasi pada tujuan pendidikannya sebagai manusia pembangunan.
Kurikulum 1975  adalah kurikulum pertama yang dikembangkan pada periode PJP  I.  Pengembangan  kurikulum  ini  dilakukan  dalam  rangka  menjawab  tantangan
peningkatan  mutu  pendidikan  sebagai  perimbangan  dari  perluasan  persekolahan, khususnya  di  SD,  yang  mulai  dilakukan  sejak  awal  tahun  1970-an.  Pembakuan
kurikulum  1975,  pada  dasarnya  dilakukan  untuk  penyempurnaan  Kurikulum  1968, yang  dirasakan  sudah  tidak  sesuai  lagi    dengan  perkembangan  kemajuan  zaman.
Tujuan pendidikan berdasarkan Kurikulum 1975 dirumuskan berdasarkan Ketetapan MPR  NO.  IVMPR1973  tentang  GBHN  1973  yaitu  membentuk  manusia
pembangunan  yang  ber-Pancasila,  manusia  Indonesia  yang  sehat  jasmani  dan rohaninya,  memiliki  pengetahuan  dan  keterampilan,  dapat  mengembangkan
kreativitas dan tanggung jawab. Sesuai dengan fungsi pembangunan nasional PJP  I, maka Kurikulum 1975, pada waktu itu benar-benar dibutuhkan keberadaannya dalam
225 rangka  membentuk  manusia  Indonesia  untuk  pembangunan  nasional  di  berbagai
bidang.
1 Kurikulum SD 1975
Dalam  pengantar  Kurikulum  SD  1975  Depdikbud,  1975:  2,  tujuan  umum pendidikan Sekolah Dasar adalah:
Membentuk  lulusan  yang  memiliki  sifat-sifat  dasar  sebagai  warga  negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, dan memiliki pengetahuan, keterampilan
dan sikap yang diperlukan untuk melanjutkan pelajaran, mengembangkan diri sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.
Kurikulum  SD  1975  berorientasi  kepada  tujuan  dengan  menganut  prinsip- prinsip  fleksibilitas  program,  efisiensi  dan  efektivitas,  kontinuitas,  dan  pendidikan
seumur  hidup.  Fleksibilitas  program  menunjukkan  bahwa  penyusunan  program pengajaran  pada  setiap  bidang  studi  disesuaikan  dengan  perkembangan  masyarakat
yang terus berubah. Melalui prinsip pendidikan  seumur hidup diharapkan agar materi dan  proses  belajar  mengajar  setiap  bidang  studi  memiliki  kesinambungan  sehingga
bahan-bahan  pelajaran  benar-benar  dapat  menyatu  dengan  permasalahan  yang  ada dalam masyarakat.
Prinsip    efisiensi  dan  efektivits  dimaksudkan  agar  mata  pelajaran diorganisasikan secara terpadu dalam bidang-bidang studi sehingga demarkasi antara
mata pelajaran yang terpisah tidak terlalu kentara. Hal ini tercermin dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran GBPP bahwa program pengajaran disusun sesuai dengan
masing-masing  bidang  studi.  Bidang  studi  agama  terdiri  dari  lima  macam  program yaitu  Agama  Islam,  Protestan,  Katolik,  Hindu,  dan  Budha.  Bidang  studi  kesenian
terdiri dari tiga unsur yaitu seni rupa termasuk menggambar, seni musik, dan seni tari.
226 Bidang  studi  keterampilan  meliputi  tujuh  bidang  yaitu  jasa,  kerajinan,  teknik,
pendidikan  kesejahteraan  keluarga,  pertanian,  peternakan,  dan  perikanan.  Bidang studi  IPA  meliputi  materi  pelajaran  fisika  dan  biologi,  dan  bidang  studi  IPS  terdiri
dari ilmu bumi, kewarganegaraan, ekonomi, dan sejarah. Struktur  Program  Kurikulum SD 1975 berbeda  dengan  Kurikulum  SD 1968,
yang  membedakan  struktur  program  menjadi  dua  yaitu  sekolah  yang  menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia dan yang menggunakan bahasa pengantar bahasa
daerah. Kurikulum SD 1975 hanya mempunyai satu struktur program yang mencakup sembilan bidang studi, yaitu: 1 Agama; 2 Pendidikan Moral Pancasila; 3 Bahasa
Indonesia; 4 Ilmu Pengetahuan Sosial; 5 Matematika; 6 Ilmu Pengetahuan Alam; 7  Olahraga  dan  Kesehatan;  8  Kesenian;  dan  9  Keterampilan  Khusus.  Struktur
program Kurikulum dan pembagian jam pelajaran setiap bidang studi untuk masing- masing kelas  dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 26 Susunan Program Pengajaran pada Kurikulum Sekolah Dasar
Tahun 1975
No Bidang Studi
Kl. I
Kl. II
Kl. III
Kl. IV
Kl. V
Kl. VI
Jumlah 1
Agama 2
2 2
3 3
3 15
2 Pendidikan Moral
Pancasila 2
2 2
2 2
2 12
3 Bahasa Indonesia
8 8
8 8
8 8
48 4
Ilmu Pengetahuan Sosial
- -
2 2
2 2
8 5
Matematika 6
6 6
6 6
6 36
6 Ilmu Pengetahuan Alam
2 2
3 4
4 4
19 7
Olahraga dan Kesehatan 2
2 3
4 4
4 19
8 Kesenian
2 2
3 4
4 4
19 9
Keterampilan Khusus 2
2 4
4 4
4 20
Jumlah 26
26 33
37 37
37 196
Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1999, Dikdasmen, Depdikbud, 1992.
227 Di  SD  Pendidikan  Moral  Pancasila  diberikan  masing-masing  2  jam
perminggu dari kelas I sampai dengan kelas VI.
2 Kurikulum SMP 1975
Sebagaimana  di  SD  mata  pelajaran  Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP  juga diberikan  di  SMP.  Sejalan  dengan  perubahan-perubahan  tersebut,  maka  dilakukan
penyusunan  kurikulum  SMP  yang  disebut  Kurikulum  SMP  1975,  yang  merupakan Kurikulum    SMP  1968  yang  disempurnakan.  Istilah  SMP  yang  disempurnakan  ini
lahir  dari  gagasan  untuk  mengintegrasikan  sekolah-sekolah  menengah  kejuruan tingkat  pertama  SMKTP,  secara  berangsur-angsur  dengan  SMP.  Proses  integrasi
SMP  dengan  SMKTP  menjadi  SMP  yang  disempurnakan  diatur  oleh  Keputusan Menteri  Pendidikan  dan  kebudayaan  Nomor  084U1975.  Agar  kurikulum    yang
ditetapkan  oleh  Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan  tersebut  dapat  dipahami  dan dilaksanakan  oleh  para  pelaksana  sesuai  dengan  kurikulum  maka  dalam  Kurikulum
1975    disusun  Penjelasan  Umum  dan  Penjelasan  Khusus.  Penjelasan  Umum dimaksudkan  untuk  menjelaskan  kepada  pelaksana  guru,  tenaga  administrasi,  dan
supervisi  tentang  beberapa  pengertian  yang  menyangkut  kurikulum  SMP  1975 khususnya  mengenai  sistematika,  struktur  program,  garis-garis  besar  program
pengajaran,  sistem  penyajian  yang  akan  digunakan,    dan  sistem  evaluasi  yang  akan digunakan.  Penjelasan  khusus  merupakan  pedoman  bagi  setiap  bidang  studi,  ruang
lingkup,  dan  tata  urutan  bahan  pengajaran,  pendekatan,  metode  penyampaian, kelengkapan  pengajaran,  penilaian,  dan  alokasi  waktu.  Dalam  pengantarnya
Depdikbud, 1975 dijelaskan bahwa: Kurikulum  SMP  1975,  meliputi  tiga  program  pendidikan,  yaitu  pendidikan
umum,  pendidikan  akademis,  dan  pendidikan  keterampilan.  Program pendidikan umum wajib diikuti  oleh semua siswa dan meliputi empat bidang
studi,  yaitu:  1  Pendidikan  Agama;  2  Pendidikan  Moral  Pancasila;  3 Pendidikan  Olahraga  dan  Kesehatan  dan  4  Pendidikan  Kesenian.  Program
pendidikan  akademis  wajib  diikuti  oleh  semua  siswa  yang  meliputi  enam bidang studi, yaitu: 1 Bahasa Indonesia; 2 Bahasa Daerah khususnya bagi
sekolah  di  daerah    yang  masih  memerlukan  pelajaan  Bahasa  Daerah;  3 Bahasa  Inggris;  4  IPS;  5  Matematika;  dan  6  IPA.  Program  pendidikan
keterampilan terdiri dari pendidikan keterampilan terikat yang dapat dipilih di antara bidang-bidang pendidikan kesejahteraan keluarga, teknik, jasa, agraria,
maritim,  dan  kerajinan,  serta  pendidikan  keterampilan  pilihan  bebas  yang
228 dapat dipilih di antara praktikum ilmu alam, ilmu hayat, konservasi, olahraga
prestasi,  kesenian,  dan  usaha  kesehatan  sekolah  UKS.  Dalam  Kurikulum SMP  1975,  pendidikan  kependudukan  diintegrasikan  ke  dalam  bidang  studi
yang relevan, yaitu IPS.
Kurikulum  SMP  1975  dilaksanakan  secara  bertahap  dan  mulai  berlaku  pada tahun ajaran 1976 di kelas I.  Pada tahun ajaran 1977 dilaksanakan di kelas I dan II,
dan  pada  tahun  ajaran  1978  berlaku  dari  kelas  I  sampai  III,  sehingga  pada  tahun ajaran  1979  berlaku  sepenuhnya  dari  kelas  I  sampai  kelas  III  untuk  semua  SMP.
Tahap  pelaksanaan  tersebut    dilakukan  secara  nasional  dengan  memberikan kemungkinan  bahwa  SMP  yang  menurut  penilaian  Kepala  Kantor  Departemen
Pendidikan  dan  Kebudayaan  setempat  secara  teknis  dan  administratif  telah  mampu, dapat melaksanakan Kurikulum SMP 1975 mulai tahun ajaran 1976.
Tabel 27 Susunan Program Pengajaran Kurikulum  SMP Tahun 1975
Program Pendidikan
Bidang Studi Kl
I Kl
I Kl
II Kl
II Kl
III Kl
III Pendidikan
Umum 1. Pend Agama
2 2
2 2
2 2
2. PMP 2
2 2
2 2
2
3. Olahraga 3
3 3
3 3
3 4. Pen.Kesenian
2 2
2 2
2 2
Sub Jumlah 9
9 9
9 9
9 Pendidikan
Akademis 5. Bhs Indonesia
5 5
5 5
4 4
6. Bhs Daerah 2
2 2
2 -
- 7. Bhs Inggris
4 4
4 4
4 4
8. IPS 4
4 4
4 4
4 9. Matematika
5 5
5 5
5 5
10. IPA 4
4 4
4 4
4 Sub Jumlah
22 22
22 22
22 22
24 24
24 24
24 24
Pendidikan Keterampilan
11. Pilihan Terikat
6 -
6 -
6 -
12. Pilihan Bebas -
6 -
6 -
6 Jumlah
37 37
37 37
37 37
Sumber: Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1945-1999, Dikdasmen, Depdikbud, 1992.
229 Di  SMP  Pendidikan  Moral  Pancasila  masuk  dalam  program  “Pendidikan
Umum” diberikan masing-masing 2 jam perminggu dari kelas I sampai dengan kelas III.
3 Kurikulum SMA 1975
Sebagaimana  di  SD  dan  SMP  Pendidikan  Kewargaan  Negara  di  SMA  juga diganti menjadi Pendidikan Moral Pancasila PMP. Kurikulum SMA 1975 dikaitkan
dengan  perkembangan  ilmu  pengetahuan  yang  terus  berlanjut  yang  menuntut perubahan isi dan pendekatan. Proyek  Perintisan Sekolah Pembangunan PPSP dan
beberapa  studi  pengembangan  lainnya  telah  mempengaruhi  arah  pembinaan pendidikan  secara  nasional  sehingga  mengarah  pada  adanya  tuntutan  untuk
menyempurnakan kurikulum SMA. Lebih dari itu, GBHN  1973 telah menggariskan bahwa pada bulan Mei 1974 dilakukan penyusunan kurikulum baru SMA atau  yang
dikenal  dengan  sebutan  Kurikulum  SMA  1975.  Kurikulum  ini  diberlakukan  atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 008dU1975 dan
Nomor 008cU1075 tanggal 17 Januari 1975. Tujuan  umum  pendidikan  SMA  menurut  Kurikulum  1975  Dep.  P  dan  K,
1975 adalah: Menghasilkan lulusan sebagai warga negara yang baik, sebagai manusia yang
utuh,  sehat,  kuat  lahir  dan  batin;  menguasai  hasil  pendidikan  umum  yang merupakan  kelanjutan  dari  pendidikan  SMP;  memiliki  bekal  untuk
melanjutkan    studinya  ke  lembaga  pendidikan  yang  lebih  tinggi  dengan menempuh progam  umum yang sama bagi semua siswa dan program pilihan
bagi  yang  akan  melanjutkan  ke  perguruan  tinggi;    dan  memiliki  bekal  untuk terjun  ke  masyarakat  dengan  mengambil  bidang  studi  keterampilan  untuk
bekerja yang dapat dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat.
230 Seperti  halnya  kurikulum  SD  dan  SMP,  ciri  penting  dari  Kurikulum  SMA
1975 adalah menganut pendekatan yang berorientasi pada tujuan, dengan pendekatan integral.  Pendidikan  tentang  moral  yang  sesuai  dengan  pelaksanaan  sila-sila  dari
Pancasila  tidak  dibebankan  pada  mata  pelajaran  PMP;  melainkan  pada  IPS  dan pendidikan  agama,  dan  menganut  asas  efisiensi  dan  efektivitas  dalam  penggunaan
dana,  daya,  dan  waktu.  Kurikulum  SMA  1975  disusun  berdasarkan  atas  program pendidikan  yang  meliputi  Program  Pendidikan  Umum,  Program  Pendidikan
Akademis, dan  Program  Pendidikan  Keterampilan. Penjurusan SMA dibagi  menjadi tiga, taitu IPA Ilmu Pengetahuan Alam, IPS Ilmu Pengetahuan sosial, dan Bahasa.
Tabel 28 Susunan Program Pengajaran Kurikulum SMA Tahun 1975
Jurusan IPA
Mata Pelajaran Masa
Orient Sifat
Mapel Jurusan Kl
I Sem
2 Kl
II Sem
1 Kl
II Sem
2 Kl III
Sem 1
Kl III
Sem 2
Pend Agama 2
2 2
2 2
2
PMP 2
2 2
2 2
2
Olah raga 2
2 2
2 2
2 Kesenian
2 2
2 2
- -
Matematika 6
Wajib Matematika
6 6
6 5
5 Bhs Indo.
5 Bhs Indo.
4 3
3 3
3 Bhs Inggris
4 Bhs Inggris
4 3
3 3
3 IPA
7 Mayor
Fisika 2
3 3
4 4
Kimia 2
3 3
4 4
Biologi 2
2 2
4 4
Minor Menggambar
- -
- -
- Bumi Antariksa
2 2
2 2
2 Bahasa Asing
- -
- -
- Pilihan Pra
Vokasional 4
4 4
- -
Pilihan Penunjang 3
3 3
7 7
37 JamMinggu
37 37
37 36
36 9
Juml Mapel 13
13 13
10 10
Sumber: Depdikbud. 1976. Kurikulum SMA 1975 Buku I: Ketentuan-ketentuan pokok. Jakarta: Balai Pustaka.
231 Di  SMA  jurusan  IPA,  IPS,  maupun  Bahasa,  Pendidikan  Moral  Pancasila
diberikan masing-masing 2 jam perminggu dari kelas I sampai dengan kelas III.    c. Kurikulum PKn 1984
Pada  tahun  1978  lahir  Ketetapan  MPR  1978  tentang  Pedoman  Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4. P4 semula ditujukan sebagai materi penataran untuk
para pegawai  negeri sipil PNS, di samping  materi  UUD 1945 dan GBHN. Namun kepentingan  politik  rezim  ketika  itu  akhirnya  diperluas  cakupan  sasarannya  untuk
masyarakat secara luas. Pada akhirnya, kurikulum PMP Pasca lahirnya P4 diwajibkan memasukkan  materi  P4.  Oleh  pembuat  kebijakan  pendidikan  dasar  dan  menengah
ketika  itu  Direktur  Jenderal  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah,  Darji  Darmodiharjo dikatakan  bahwa  materi  penataran  P4  untuk  PNS  pada  hakekatnya  sama  dengan
materi  PMP  untuk  para  siswa.  Perbedaannya,  PMP  adalah  “penataran  P4”  untuk peserta  jenjang  pendidikan  formal,  sedangkan  penataran  P4  itu  sendiri  untuk
masyarakat  luas  termasuk  PNS.  Perkembangan  berikutnya,  materi  PMP  disesuaikan dengan Ketetapan MPR RI No. IIMPR1978 tentang P4. Samsuri, 2010: 123.
Kurikulum  1984  adalah  merupakan  Kurikulum  1975  yang  disempurnakan. Mata  pelajaran  PMP  tetap  muncul  dalam  kurikulum  1984.  Asumsi  yang  mendasari
pengembangan  Kurikulum  1984  ialah  bahwa  kurikulum  merupakan  wahana  belajar mengajar  yang  dinamis  sehingga  perlu  dievaluasi  dan  dikembangkan  secara  terus
menerus  sesuai  dengan  perkembangan    masyarakat.  Dengan  adanya  perkembangan dalam  masyarakat,  secara  periodik    kurikulum  akan  berubah  disesuaikan  dengan
kondisi,  walaupun  perubahannya  tidak  selalu  mendasar.  Kurikulum  1984  lahir
232 didasarkan pada amanat GBHN 1983  yakni Ketetapan MPR No. IIMPR1983 yang
menegaskan bahwa: “...Sistem  pendidikan  perlu  disesuaikan  dengan  kebutuhan  pembangunan  di
segala  bidang,  yang  memerlukan  beberapa  jenis  keahlian  dan  keterampilan serta  sekaligus  meningkatkan  kreativitas,  mutu  dan  efisiensi  kerja”.
Ketetapan MPR No. IIMPR1983.
Kurikulum 1984 mengacu pada empat aspek perkembangan murid yang dijabarkan di dalam  kebijakan  Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan  No.  0461U1983.  Keempat
aspek  penyempurnaan  tersebut  meliputi:  1  Pelaksanaan  Pendidikan  Sejarah Perjuangan  Bangsa  sebagai  mata  pelajaran  yang  berdiri  sendiri;  2  Penyesuaian
tujuan  dan  struktur  program  kurikulum;  3  Pemilihan  kemampuan  dasar  serta keterpaduan  dan  keserasian  antara  ranah  kognitif,  afektif  dan  psikomotorik;  4
Pelaksanaan  pelajaran  yang  mengarah  pada  ketuntasan  belajar  dan  disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing anak didik.
1 Kurikulum SD 1984
Mata  pelajaran  PMP  diberikan  2  jam  perminggu,  sejak  dari  kelas  I  sampai dengan  kelas  VI.  Dalam  pengantar  Kurikulum  SD  1984  Depdikbud,  1984  kita
temukan tujuan pendidikan di SD sebagai berikut: Tujuan SD adalah mendidik murid agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya
berdasarkan  Pancasila  yang  mampu  membangun  dirinya  sendiri  dan  ikut bertanggung  jawab  terhadap  pembangunan  bangsa;  memberi  bekal
kemampuan  yang  diperlukan  oleh  murid  untuk  melanjutkan  pendidikan  ke tingkat yang lebih tinggi; dan memberi  bekal kemampuan dasar untuk hidup
di  masyaraakat  dan  mengembangkan  diri  sesuai  dengan  bakat,  minat, kemampuan,  dan  lingkungan.  Program  pendidikan  SD  dilaksanakan  selama
enam tahun dan setiap tahunnya terdiri dari tiga catur wulan.
Tema  pembenahan  dan  pengembangan  kurikulum  yang  dianut  ialah perubahan pola, penyederhanaan bahan kurikulum dan pendekatan yang lebih sesuai
233 dengan  kondisi  pembangunan  pendidikan.  Sesuai  dengan  pembakuan  kurikulum
Sekolah Dasar tersebut, pembagian struktur program mencakup 11 bidang studi yaitu, Pendidikan  Agama,  Pendidikan  Moral  Pancasila,  Pendidikan  Sejarah  Perjuangan
Bangsa, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam,  Olahraga  dan  Kesehatan,  Pendidikan  Kesenian,  Keterampilan  Khusus,  dan
Bahasa Daerah. Tabel 29
Susunan Program Pengajaran Kurikulum Sekolah Dasar Tahun 1984
No Bidang Studi
Kl I
Kl II
Kl III
Kl IV
KL V
Kl VI
Jml 1
Pend. Agama 2
2 2
3 3
3 15
2 PMP
2 2
2 2
2 2
12
3 PSPB
1 1
1 1
1 1
6 4
Bhs. Indonesia 87
87 87
87 87
87 4842
5 IPS
- -
2 3
3 3
11 6
Matematika 6
6 6
6 6
6 36
7 IPA
2 2
3 4
4 4
19 8
Olahraga dan
Kesehatan 2
2 3
3 3
3 16
9 Kesenian
2 2
3 3
3 3
16 10
Keteramp Khusus
2 2
4 4
4 4
20 11
Bhs. Daerah 2
2 2
2 2
2 12
Jumlah 2627
2627 3333
3337 3637
3637 193199
Sumber: Depdikbud. 1984. Susunan program pengajaran kurikulum sekolah dasar tahun 1975 yang disempurnakan menjadi kurikulum 1984.
Di  SD  Pendidikan  Moral  Pancasila  diberikan  masing-masing  2  jam perminggu dari kelas I sampai dengan kelas VI.
2 Kurikulum SMP 1984
Di  SMP  mata  pelajaran  PMP  diberikan  2  jam  perminggu,  sejak  dari  kelas  I sampai dengan kelas III. Dalam pengantar Kurikulum SMP 1984 Depdikbud, 1984
kita temukan tujuan pendidikan di SMP sebagai berikut:
234 Kurikulum  SMP  1984  diarahkan  untuk  mencapai  tujuan  pendidikan  SMP
untuk  mendidik  siswa  menjadi  manusia  pembangunan    dan  warga  negara Indonesia  yang  berpedoman  pada  Pancasila  dan  UUD  1945;  memberikan
bekal  kemampuan  yang  diperlukan  siswa  untuk  dapat  melanjutkan pendidikannya  ke  lembaga  pendidikan  yang  lebih  tinggi,  dan  memberikan
bekal  keterampilam  dasar  untuk  memasuki  kehidupan  di  masyarakat  sesuai dengan  minat,  kemampuan,  dan  lingkungannya.  Dalam  Kurikulum  1984
dikenal istilah tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional, sebagaimana dalam kurikulum sekolah 1975.
Lama  pendidikan  di  SMP  adalah  tiga  tahun,  dan  setiap  tahunnya  terdiri  dari  dua semester  sehingga  seluruhnya  berjumlah  enam  semester.  Program  pendidikan  pada
Kurikulum  SMP  1984  terdiri  atas  tiga  kelompok  besar,  yaitu:  Program  Pendidikan Umum, Program Pendidikan Akademis, dan Program pendidikan Keterampilan yang
diartikan  sama  dengan  Kurikulum  SMP  1975  tetapi  komposisi  mata  pelajaran  yang sedikit berbeda.
Program  Pendidikan  Umum  terutama  dimaksudkan  untuk  memenuhi  tujuan SMP  yang  pertama,  yaitu  mendidik  manusia  pembangunan,  sebagai  warga  negara
Indonesia  yang  ber-Pancasila  dan  UUD  1945.  Program  ini  terdiri  dari  lima  bidang studi  yaitu:  1  Pendidikan  Agama;  2  Pendidikan  Moral  Pancasila;  3  Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa;  4  Pendidikan Jasmani; dan 5  Pendidikan Keseniaan. Program pendidikan umum wajib diikuti oleh semua siswa dan lebih ditekankan pada
penanaman  sikap.  Program  Pendidikan  Akademis  terutama  dimaksudkan  untuk memenuhi  tujuan  SMP  yang  kedua,  yaitu  memberikan  bekal  kemampuan  yang
diperlukan  siswa  untuk  melanjutkan  pendidikan  ke  lembaga  yang  lebih  tinggi. Program  pendidikan  akademis  terdiri  atas  enam  bidang  studi  yaitu:  1  Bahasa
Indonesia; 2 Bahasa Inggris; 3  Bahasa Daerah; 4 Ilmu Pengetahuan Sosial; 5 Matematika;  dan  6  Ilmu  pengetahuan  Alam.  Program  pendidikan  akademis  wajib
235 diikuti  oleh  semua  siswa  dan    lebih  diarahkan  pada  pemahaman  kemampuan
akademis. Jumlah jam per minggu pendidikan akademis untuk setiap kelas adalah 25 jam untuk semester ganjil dan 23 jam untuk semester genap dan ditambah 2 jam bila
sekolah memberikan pelajaran Bahasa Daerah. Tabel 30
Susunan Program Pengajaran Kurikulum SMP Tahun 1984
No  Bidang Studi Kl
I Sm 1
Kl I
Sm 2 Kl
II Sm 2
Kl II
Sm 2 Kl
III Sm 1
Kl III
Sm 2 Jml
Pendidikan Umum 1
Pend. Agama 2
2 2
2 2
2 12
2 PMP
2 2
2 2
2 2
12
3 PSPB
- 2
- 2
- 2
6 4
Pend Jasmani 3
3 3
3 3
3 18
5 Pend Kesenian
2 2
2 2
2 2
12 Sub Jumlah
9 11
9 11
9 11
60 Pend Akademis
6 Bhs Indonesia
5 5
5 5
5 5
30 7
Bhs Inggris 4
4 4
4 4
4 24
8 Bhs Daerah
2 2
2 2
2 2
12 9
IPS 4
4 4
4 4
4 24
10 Matematika
6 4
6 4
6 4
30 11
IPA a. Biologi
3 3
3 3
3 3
18 b. Fisika
3 3
3 3
3 3
18 Sub Jumlah
25 23
25 23
25 23
144 27
25 27
25 27
25 156
Pend Keterampilan 12
Pend Keteramp 4
4 4
4 4
4 24
Juml JamMinggu 38
38 38
38 38
38 228
40 40
40 40
40 40
240 Sumber: Depdikbud. 1984. Susunan program pengajaran kurikulum SMP tahun 1975 yang
disempurnakan menjadi kurikulum 1984.
3 Kurikulum SMA 1984
Mata  pelajaran  PMP  diberikan  2  jam  perminggu,  sejak  dari  kelas  I  sampai dengan  kelas  III.    Kurikulum  SMA  1984  mempunyi  tiga  hal  penting  yaitu,  ciri-ciri,
tujuan  pendidikan,  dan  struktur  program.  Ciri-ciri  kurikulum  SMA  1984  adalah
236 menganut  asas  keluwesan  dalam  pengelolaan  program,  menggunakan  sistem  kredit
semester,  dan  menerapkan  bimbingan  karier  siswa.  Sedangkan  tujuan  pendidikan SMA  adalah  mendidik  para  siswa  untuk  menjadi  manusia  pembangunan  dan  warga
negara  Indonesia  yang  setia  pada  Pancasila  dan  UUD  1945,  memberi  bekal kemampuan  yang  diperlukan  bagi  siswa  yang  akan  melanjutkan    pendidikan  ke
perguruan  tinggi  terutama  di  universitas  dan  institut,  memberi  bekal  kemampuan yang  diperlukan  bagi  siswa  yang  akan  melanjutkan  pendidikan  di  sekolah  tinggi,
akademi,  politeknik,  program  diploma  atau  program  lainnya  yang  setingkat,  dan memberi  bekal  kemampuan  bagi  siswa  yang  akan  terjun  ke  dunia  kerja  setelah
menyelesaikan pendidikannya. Struktur program pendidikan dipersiapkan untuk pendidikan SMA tiga tahun
dan  setiap  tahun  pelajaran  terbagi  menjadi  dua  semester.  Lingkup  program  SMA terdiri dari program inti dan program pilihan. Program inti, wajib diikuti oleh semua
siswa,  sedangkan  program  pilihan  disediakan  untuk  siswa  berdasarkan  pilihannya sesuai dengan minat dan kemampuannya masing-masing. Program inti mencakup 60
persen atau 134 kredit dan program pilihan 40 persen atau 88 kredit dari keseluruhan program  SMA  sebanyak  222  kredit.  Program  inti  terdiri  dari  15  mata  pelajaran  dan
program pilihan bervariasi menurut program masing-masing. Program pilihan terdiri dari Program Pilihan A yang diarahkan untuk kepentingan melanjutkan ke perguruan
tinggi,  yaitu  program  A1  Ilmu  Fisika,  A2  Ilmu  Biologi,  A3  Ilmu  Sosial,  A4 Ilmu  Budaya,  dan  A5  Ilmu  Agama.  Program  Pilihan  B  disajikan  dalam  bentuk
progam-program yang disesuaikan dengan bidang kehidupan yang ada di masyarakat, yaitu teknologi industri, komputer, pertanian, kehutanan, jasa, kesejahteraan keluarga,
237 maritim,  budaya,  dan  pengetahuan  agama.  Struktur  program  berdasarkan  program
pendidikan di SMA dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 31
Susunan Program Pengajaran Kurikulum SMA Tahun 1984 Progam Inti dan Program Ilmu-Ilmu Fisik
Prog No
Mapel Kl.1
Sem1 Kl.1
Sem 2 Kl. 2
Sem 1 Kl. 2
Sem 2 Kl. 3
Sem 1 Kl. 3
Sem2 Jml
Inti 1
P. Agama 2
2 2
2 2
2 12
2 PMP
2 2
2 2
2 2
12
3 PSPB
2 -
2 -
2 -
6 4
Bhs Indo 4
4 3
3 2
2 18
5 Sejarah
3 3
2 2
2 2
14 6
Ekonomi 3
3 -
- -
- 6
7 Geografi
- -
2 2
3 3
10 8
P. Jasmani 2
2 2
2 -
- 8
9 P. Seni
3 3
2 2
- -
10 10
P. Keteramp 2
4 2
2 -
- 10
11 Matematika
4 4
- -
- -
8 12
Biologi 3
3 -
- -
- 6
13 Fisika
2 2
- -
- -
4 14
Kimia 2
2 -
- -
- 4
15 Bhs Inggris
3 3
- -
- -
6 Sub Jml
37 37
19 17
13 11
134 60
Piliha n
16 Matematika
- -
6 6
8 6
26 17
Biologi -
- 2
2 3
3 10
18 Fisika
- -
4 6
6 6
22 19
Kimia -
- 4
4 5
5 18
20 Bhs Inggris
- -
3 3
3 3
12 Sub Jml
- -
19 21
25 23
88 40
Jumlah 37
37 38
38 38
34 222
100 Sumber: Depdikbud. 1984. Susunan program pengajaran kurikulum SMA tahun 1975 yang
disempurnakan menjadi kurikulum 1984.
PMP  masuk  dalam  “Program  Inti”  diberikan    2  jam  perminggu  dari  kelas  I  sampai dengan  kelas  III,  di  SMA  program  A1  Ilmu  Fisika,  A2  Ilmu  Biologi,  A3  Ilmu
Sosial, A4 Ilmu Budaya, maupun A5 Ilmu Agama.
238 Lajunya  pembangunan  nasional,  telah  melahirkan  dimensi-dimensi  baru
dalam  pembangunan  juga  di  dalam  pendidikan  nasional.    Menurut  Abd.  Rachman
Assegaf  2005:  144.  Ketika  Dr.  Daoed  Joesoef  menjadi  Menteri  Pendidikan  dan
Kebudayaan  digariskanlah  kebijakan  pendidikan  sistem  pendidikan  nasional  yang mempunyai tiga ciri:
1  Semesta,  artinya  meliputi  semua  unsur  kebudayaan  yaitu  logika,  etika, estetika, keterampilan, nilai-nilai moral dan spiritual. 2 Menyeluruh, artinya
pendidikan untuk seumur hidup, meliputi pendidikan sekolah dan pendidikan luar  sekolah.  3  Terpadu,  artinya  baik  pendidikan  sekolah  dan  luar  sekolah
juga  madrasah  merupakan  suatu  keterpaduan  di  dalam  sistem  pendidikan nasional.  Kebijakan  ini  menghendaki  satu  sistem  dan  pengelola  tunggal
terhadap sistem tersebut. Sementara  itu,  telah  lahir  pula  GBHN  1978  dan  1983.  Tentunya  ketetapan-
ketetapan  MPR  tersebut  memberikan  masukan  yang  sangat  berharga  di  dalam penyempurnaan  kurikulum  nasional.  Perlu  dicatat  bahwa  menteri  Daoed  Josoef
mempunyai  suatu  konsep  pemikiran  yang  brilian  mengenai  pendidikan  nasional. Baginya  pendidikan  tidak  terlepas  dari  kebudayaan.  Oleh  sebab  itu,  semua  nilai
kebudayaan  perlu  mendapatkan  tempat  yang  layak  di  dalam  kurikulum  pendidikan. Dalam  rangka  inilah  muncul  konsep  mengenai  pendidikan  humaniora  dan
kebudayaan  yaitu  pendidikan  yang  dapat  mengembangkan  unsur-unsur  kepribadian manusia  secara  menyeluruh  dan  utuh,  sehingga  terdapat  keseimbangan  antara
pendidikan  intelektual  dengan  pendidikan  moral  dan  estetika.  Pendidikan  bukan hanya akan melahirkan tenaga-tenaga kerja yang terampil. Keinginan Menteri Daoed
Josoef untuk meningkatkan pendidikan nasional diikuti dengan pembentukan Komisi Pembahuruan  Pendidikan  Nasional  KPPN  yang  diketuai  Prof  Dr.  Slamet  Imam
Santoso dan Wakil ketuanya Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Hasil karya komisi
239 tersebut  yang  selesai  dengan  laporannya  pada  tahun  1980,  merupakan  masukan
sangat  berarti  di  dalam  usaha  penyusunan  Undang-Undang  Pendikan  Nasional  yang
baru untuk menggantikan UU no. 4 Tahun 1950 Abd. Rachman Assegaf, 2005: 145.
Kurikulum  1984  merupakan  penyempurnaan  dari  kurikulum  1975.  Dengan masukan  yang  sangat  berarti  dari  hasil  Komisi  Pembaharuan  Pendidikan  Nasional,
begitu pula dengan TAP MPR No.  IV1983,  maka lahirlah  Kurikulum 1984 dengan ciri-ciri  menonjol  menjawab  tiga  pertanyaan  pokok  sebagai  berikut:  1  Apa  yang
akan diajarkan? 2 Mengapa diajarkan?  3 Bagaimana diajarkan?
Pertanyaan-pertanyaan  fundamental  ini  lebih  mengarahkan  Kurikulum  1984 sebab di dalam kurikulum baru ini harus jelas dirumuskan mengapa sesuatu diajarkan
dan bagaimana diajarkannya agar berhasil. Di dalam kaitan ini hasil-hasil eksperimen yang  dilaksanakan  di  Kabupaten  Cianjur  yang  terkenal  dengan  “Cara  Belajar  Siswa
Aktif”  CBSA,  lebih  memantapkan  penyusunan  kurikulum  tersebut.  Pada  dasarnya kurikulum tersebut terbagi atas program inti dan program pilihan pada tingkat SMA.
Juga dibedakan antara program A untuk jalur akademik dan program B untuk siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi sehingga memperoleh program-program
latihan  kekaryaan.  Sayang  sekali  kurikulum  yang  sangat  baik  dipersiapkan  itu  tidak dapat  dilaksanakan  sepenuhnya  seperti  program  B  yang  tidak  sempat  dilaksanakan
karena kekurangan tenaga pelatih, peralatan dan para instruktur.
Sebagaimana halnya dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, menurut Abd.
Rachman  Assegaf  2005:  146.  Kurikulum  1984  mempunyai  kelemahan-kelemahan
umum sebagai berikut:
240 Terlalu sentralistik sehingga memerlukan penyesuaian-penyesuaian di daerah-
daerah.  Sayang  sekali  kemampuan  daerah  untuk  melengkapi  kurikulum tersebut  sangat  terbatas,  demikian  pula  para  guru,  para  penilik  dan  pejabat-
pejabat  lainnya  tidak  dipersiapkan  secara  menyeluruh  dan  matang  untuk melaksanakan  kurikulum  tersebut.  Demikian  pula  keterbatasan  dana  untuk
melaksanakan  kurikulum  tersebut  merupakan  kendala-kendala  klasik  yang telah  membatasi  keberhasilannya  antara  lain  mutu  para  guru  tidak  sesuai
dengan  yang  diharapkan.  Para  guru  tingkat  SMA  misalnya  mempunyai kualifikasi  yang  berbeda  dengan  apa  yang  diajarkannya.  Dalam  suatu
penelitian yang diselenggarakan oleh Konsorsium Ilmu Pendidikan mengenai pemanfaatan  guru  sekolah  menengah  tahun  1990-1991  misalnya  ditemukan
bahwa  sekitar  40  guru  SMP  dan  33  guru  SMA  mengajarkan  mata pelajaran  di  luar  bidang  keahliannya.  Sebagai  contoh,  guru  mata  pelajaran
agama,  sosiologi,  antropologi,  dan  bahasa  Indonesia  terpaksa  mengajar matematika.  Demikian  pula  kurikulum    yang  baru  itu  tidak  didesiminasikan
ke LPTK-LPTK. Dalam  pandangan  T.  Raka  Joni  1984:  1-19,  perbedaan  antara  Kurikulum
1975 dan Kurikulum 1984 adalah sebagai berikut: Kurikulum  1984  adalah  kurikulum  1975  yang  disempurnakan,  sedang
Kurikulum  1994  merupakan  Kurikulum  1984  yang  disempurnakan.  Jadi, antara  Kurikulum  1984  dengan  Kurikulum  1994  tidak  terdapat  perubahan
yang  mendasar,  atau  dengan  kata  lain  yang  ada  hanyalah  penyempurnaan. Salah  satu  perbedaan  Kurikulum  1975  dengan  Kurikulum  1984  adalah
masalah  keikutsertaan  peserta  didik  untuk  aktif  dalam  proses  memperoleh hasil  belajar  serta  mengolah  perolehan  tersebut.  Acuan  keaktifan  itu
dicantumkan  pada  kolom  tujuan  instruksional  dan  uraian.  Kegiatan  belajar mengajar  yang  mengutamakan  kesertaan  siswa  student  centered  dalam
memperoleh  hasil  belajar  dan  mengolah  hasil  tersebut  dinamakan “keterampilan  proses”.  Kegiatan  belajar  mengajar  ini  dikembangkan  melalui
“Cara Belajar Siswa Aktif” CBSA, Student Active Learning. Kurikulum  1984  mulai  memperkenalkan  sistem  semester  untuk  tingkat  SMP
dan SMA, sementara di tingkat SD tetap menggunakan sistem Catur Wulan Cawu. Mulai  Kurikulum  1984  wajib  diajarkan  mata  pelajaran  Pendidikan  Sejarah
Perjuangan Bangsa PSPB sejak di SD sampai SMA pada tiap tingkatkelas, masing- masing  selama  satu  semester  SMP  dan  SMA  dengan  beban  seluruhnya  6  kredit,
atau selama 2 jam pelajaran perminggu per Catur Wulan pada tiap kelas dari kelas I
241 sampai  kelas  VI  Sekolah  Dasar  di  samping  telah  diberikannya  mata  pelajaran  PMP
Pendidikan  Moral  Pancasila  dan  penataran  P-4  Pedoman  Penghayatan  dan Pengamalan  Pancasila  bagi  siswa  baru  pada  tingkat  SMTP,  SMTA,  maupun
Perguruan Tinggi Depdikbud, 1985: 143-144. Penerapan  pola  PPSI  Prosedur  Pengembangan  Sistem  Instruksional
dikembangkan  lebih  luwes,  dimana  guru  diberi  kesempatan  mengembangkan alternatif  buku  acuan  mengajar,  metode  penyajian,  serta  memperluas  sarana
pendidikan  yang  ada  seperti  laboratorium  dan  perpustakaan.  Sistem  evaluasi ditingkatkan  tidak  hanya  dalam  bentuk  tes  tulis  atau  tes  lisan,  melainkan  juga  tes
perbuatan dan observasi, mengingat bahwa komponen tingkah laku merupakan salah satu  bagian  dari  keterampilan  proses.  Mulai  Repelita  IV  diberlakukan  EBTANAS
untuk  pendidikan  dasar  dan  menengah  Depdikbud,  1985:  142.  Hasil  dari  sistem evaluasi    berskala  nasional  ini  yakni  berupa  Daftar  Nilai  EBTANAS  Murni
DANEM dipakai sebagai prasarat bagi keikutsertaan murid pada jenjang pendidikan selanjutnya.  Setelah  berlaku  selama  hampir  dua  dasawarsa,  pada  2001,  EBTANAS
untuk  tingkat  SD  ditiadakan,  dan  sebagai  gantinya  murid  yang  hendak  melanjutkan ke  jenjang  SLTP  mengikuti  test  masuk.  Sementara  untuk  tingkat  SLTP  dan  SMU
masih diberlakukan EBTANAS. Pengelompokan  bidang  studi  hanya  pada  dua  bagian:  Program  Inti  core
program,  dan  program  pilihan  alternative  program.  Program  inti  merupakan program  pendidikan  yang  wajib  diikuti  oleh  semua  siswa,  yang  diarahkan  pada
kepentingan  pencapaian  tujuan  pendidikan  nasional  dan  penguasaan  pengetahuan,
242 sikap, dan keterampilan minimal. Di sini Pendidikan Kewarganegaraan masuk dalam
kelompok inti Abd. Rachman Assegaf, 2005: 148.
d. Kurikulum PKn 1994
Profil  PPKn  dalam  Kurikulum  1994  sebagai  perluasan  kajian  P4  di  sekolah tampak  dari  ruang  lingkup  materinya    mulai  dari  SD  hingga  SMA  yang  mencakup
nilai, moral, dan norma serta nilai-nilai spiritual bangsa Indonesia dan perilaku yang diharapkan  terwujud  dalam  kehidupan  bermasyarakat,  berbangsa  dan  bernegara
sebagaimana dimaksud dalam P4 Samsuri, 2010: 127.
Menyadari  akan  kebutuhan  pembangunan  nasional,  demikian  pula  dengan lahirnya  Undang-undang  Pokok  Pendidikan  Nasional  No.  2  Tahun  1989  tentang
Sistem  Pendidikan  Nasional,  maka  dirasa  perlu  menyusun  suatu  kurikulum  baru sebagai  penyempurnaan  dari  Kurikulum  1984.  Usaha  yang  besar  ini  yaitu  memiliki
suatu  kurikulum  yang  berdasarkan  UU  baru  yang  dilahirkan  dalam  Orde  Baru merupakan  suatu  prestasi  yang  besar.  Kurikulum  baru  tersebut  untuk  SD  sampai
sekolah  menengah  telah  dapat  dirampungkan  dan  diberlakukan  mulai  tahun  ajaran 19941995  secara  bertahap.  Dimulai  pada  tahun  ajaran  19941995  Kuriklum  1994
diberlakukan untuk kelas 1 dan kelas 4 SD, kelas 1 SMP, dan kelas 1 SMA. Dengan demikian  di  dalam  jangka  waktu  tiga  tahun  seluruh  Kurikulum  1994  itu  telah
dilaksanakan.
Menurut Wardiman Djojonegoro 1996: 269, pengembangan kurikulum 1994 meliputi beberapa aspek fundamental, antara lain:
Pertama,  Kurikulum  1994  menerapkan  pelajaran  muatan  lokal,  yaitu seperangkat  rencana  dan  pengaturan  mengenai  isi  dan  bahan  pelajaran  serta
cara  yang  digunakan  sebagai  pedoman  penyelenggaraan  kegiatan  belajar
243 mengajar  yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
daerah  masing-masing.  Pengertian  lokal  tidak  dibatasi  oleh  wilayah pemerintahan tertentu tetapi tergantung dari tujuan  yang  dipelajari  atau  yang
ditunjukkan  oleh  ruang  lingkup  wilayah  tempat  suatu  bahan  kajian  dapat diberlakukan. Muatan lokal meliputi: Pendidikan budaya lokal seperti bahasa
daerah,  kesenian daerah, adat istiadat dan lainnya. Pendidikan  Keterampilan, seperti elektronika, komputer, kerajinan kayuukir, tata boga, tata busana dan
lainnya.  Pendidikan  Lingkungan,  seperti  wawasan  lingkungan,  pendidikan budi pekerti, dan permasalahan sosial.
Kedua, ditingkatkannya wajib belajar wajar yang semula pada 2 Mei 1984 mewajibkan setiap anak usia 7-12 tahun untuk masuk ke Sekolah Dasar,
menjadi  wajib  belajar  sembilan  tahun  sejak  2  Mei  1994,  yakni  wajib menempuh  pendidikan  selama  enam  tahun  di  SD  ditambah  tiga  tahun  di
SLTP.    Pendidikan  dasar  9  tahun  secara  hukum  merupakan  kaidah  yang bermaksud  mengintegrasikan  SD  dan  SLTP  secara  konsepsional,  dalam  arti
tanpa  pemisah  dan  merupakan  satu  kesatuan  pendidikan,  pada  jenjang  yang terendah.  Kedua  bentuknya  tidak  diintegrasikan  secara  fisik,  tetapi  tetap
berbentuk dua lembaga terpisah.
Ketiga,  pada  Kurikulum  1994  dilakukan  beberapa  perubahan    nama dari SMP menjadi SLTP, dari SMA menjadi SMU. Perubahan juga dilakukan
terhadap penamaan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA menjadi jurusan A1 Ilmu Fisika, A2 Ilmu Biologi, A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya dan
A5 Ilmu Agama di  SMU.  Lalu  kembali lagi  menjadi jurusan  IPA,  IPS dan Bahasa  seperti  pada  kurikulum  sebelumnya.  Juga  terjadi  perubahan  masa
sekolah  di  SLTP  dan  SMU  yang  sebelumnya,  yakni  Kurikulum  1984, mengikuti  pola  semester,  menjadi  sama  dengan  di  SD  yang  mengikuti  pola
Catur  Wulan,  sehingga  mulai  SD  sampai  SMU  seluruhnya  mengikuti  pola Catur  Wulan.    Perkembangan  berikutnya,  pada  tahun  ajaran  2002,  seluruh
jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMU ditetapkan kembali mengikuti pola  Semester,  sama  seperti  ketika  diberlakukan  Kurikulum  1984.  Dengan
demikian  saat  ini  mulai  pendidikan  dasar,  menengah,  hingga  pendidikan tinggi,  semuanya  menganut  satu  pola  yang  seragam,  yakni  sistem  semester.
Salah  satu  dampak  positif  berlakunya  sistem  semester  ini  adalah  terjadinya penyederhanaan  pelaksanaan  evaluasi  belajar,  yang  semula  tiga  kali  dalam
setahun,  menjadi  dua  kali.  Selain  itu,  hari  efektif  belajar  makin  banyak. Wardiman Djojonegoro, 1996: 269.
Mata  pelajaran  PMP  berubah  menjadi  Pendidikan  Pancasila  dan Kewarganegaraan  PPKn.  Kurikulum  ini  mulai  berlaku  secara  bertahap  pada  tahun
pelajaran  19941995.  Sebagai  pelaksanaan  UU  No.  2,  Tahun  1989  dan  peraturan pemerintah  sebagai  pedoman  pelaksanaannya,  kurikulum  perlu  disesuaikan  dengan
244 peraturan  perundang-undangan  tersebut.  Kurikulum  disusun  untuk  mewujudkan
tujuan  prndidikan  nasional  dengan  memperhatikan  tahap  perkembangan  siswa  dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan
ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  sesuai  dengan  jenis  dan  jenjang  masing-masing satuan  pendidikan.  Landasan  pendidikan  nasional  berakar  pada  kebudayaan  bangsa
Indonesia  dan  berdasarkan  Pancasila  dan  Undang-undang  Dasar  1945  Kurikulum 1994, Depdikbud, 1993.
Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan  dan  Kebudayaan  Nomor  060U1993  tanggal  25  Februari  1993  tentang
Kurikulum    Pendidikan  Dasar.  Penetapan  ini  tertuang  dalam  tiga  lampiran,  yaitu Lampiran  I  berisi  tentang  Landasan,  Program    dan  Pengembangan  Kurikulum
Pendidikan Dasar, Lampiran II berisi tentang Garis-Garis Besar Program Pengajaran Pendidikan Dasar, dan Lampiran III berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum
Pendidikan  Dasar.  Penyebutan  SLTP  dilaksanakan  mulai  tahun  1994  sejak berlakunya  kurikulum  1994  sebagai  pengganti  SMP  dan  SLTP  Kejuruan  yang  telah
terintegrasi habis menjadi SMP Kurikulum 1994, Depdikbud, 1993.
1 Kurikulum SD 1994
Program  pengajaran  pada  pendidikan  dasar  terdiri  dari  isi  program pengajaran,  lama  pendidikan,  dan  susunan  program  pengajaran.  Berdasarkan  Pasal
39, Ayat 3 UU Nomor 2, tahun 1989 dan Pasal 14, Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor  28,  Tahun  1990,  ditegaskan  bahwa  isi  kurikulum  memuat  sekurang-
kurangnya  13  bahan  kajian  yang  meliputi:  1  Pendidikan  Pancasila;  2  Pendidikan Agama;  3  Pendidikan  Kewarganegaraan;  4  Bahasa  Indonesia;  5  Membaca  dan
245 Menulis;  6  Matematika  termasuk  berhitung;  7  Pengantar  Sains  dan  Teknologi;
8 Ilmu Bumi; 9 Sejarah Nasional dan Sejarah Umum; 10 Kerajinan Tangan dan Kesenian;  11  Pendidikan  Jasmani  dan  Kesehatan;  12  Menggambar;  dan  13
Bahasa  Inggris.  Berdasarkan  pasal  tersebut,  bahan  kajian  tersebut  bukan  merupakan nama  mata  pelajaran  melainkan  sebutan  yang  mengacu  pada  pembentukan
kepribadian  dan  unsur  kemampuan  yang  diajarkan  dan  dikembangkan  melalui pendidikan  dasar.  Lebih  dari  satu  bahan  kajian  dapat  digabung  dalam  satu  mata
pelajaran  atau  sebaliknya,  satu  bahan  kajian  dibagi  menjadi  lebih  dari  satu  mata pelajaran. Dalam penjelasan Kurikulum 1994 Depdikbud, 1993, dinyatakan bahwa:
Mata pelajaran adalah satu atau sekumpulan bahan kajian dan bahan pelajaran yang  memperkenalkan  konsep,  pokok  bahasan,  tema,  dan  nilai,  yang
dihimpun  dalam  satu  kesatuan  disiplin  pengetahuan.  Program  Pengajaran pada pendidikan dasar mencakup susunan  mata pelajaran, penjatahan waktu,
dan  penyebarannya  di  setiap  kelas  dan  satuan  pendidikan.  Susunan  program pengajaran  terdiri  dari  program  kurikuler  dan  kegiatan  ekstrakurikuler.
Kegiatan  ekstrakurikuler  adalah  kegiatan  yang  diselenggarakan  di  luar  jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler berupa  kegiatan pengayaan dan kegiatan  perbaikan  terhadap  program  kurikuler.  Kegiatan  untuk  lebih
memantapkan  pembentukan  kepribadian  seperti  kepramukaan,  usaha kesehatan  sekolah,  olahraga,  palang  merah,  kesenian,  dan  kegiatan  lainnya
diselenggarakan juga dengan menggunakan waktu di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program. Depdikbud, 1993.
246 Tabel 32
Susunan Progam Pengajaran Kurikulum 1994 Sekolah Dasar
No Mata pelajaran
Kel. 1 Kel. 2
Kel. 3 Kel. 4
Kel. 5 Kel. 6
1
PPKn 2
2 2
2 2
2
2 Pend. Agama
2 2
2 2
2 3
Bhs Indonesia 10
10 10
8 8
8 4
Matematika 10
10 10
8 8
8 5
IPA -
- 3
6 6
6 6
IPS -
- 3
5 5
5 7
Kerajinan 2
2 2
2 2
2 8
Pend.  Jasmani 2
2 2
2 2
2 9
Bhs. Inggris -
- -
4 4
4 10
Muatan Lokal 2
2 4
5 7
7 Jumlah
30 30
38 40
42 42
Sumber: Kurikulum Pendidikan Dasar, Depdikbud, 1993.
Dalam  Kurikulum  1994,  mata  pelajaran  Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn. Di SD PPKn,
diberikan 2 jam permimggu dari kelas I sampai dengan kelas VI.
2 Kurikulum SMP 1994
Tabel 33 Susunan Progam Pengajaran Kurikulum 1994
SLTP
No Mata pelajaran
Kel. 1 Kel. 2
Kel. 3
1 PPKn
2 2
2
2 Pend. Agama
2 2
2 3
Bhs Indonesia 6
6 6
4 Matematika
6 6
6 5
IPA 6
6 6
6 IPS
6 6
6 7
Kerajinan 2
2 2
8 Pend.  Jasmani
2 2
2 9
Bhs. Inggris 4
4 4
10 Muatan Lokal
6 6
6 Jumlah
42 42
42 Sumber: Kurikulum Pendidikan Dasar, Depdikbud, 1993.
247 Sama  halnya  di  SD,    mata  pelajaran  Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP  di  SMP
berubah  menjadi  Pendidikan  Pancasila  dan  Kewarganegaraan  PPKn.  Di  SMP PPKn, diberikan 2 jam permimggu dari kelas I sampai dengan kelas III.
3 Kurikulum SMU 1994
Kurikulum  Sekolah  Menengah  Umum  SMU  1994  ditetapkan  berdasarkan Keputusan  Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan  No.  061U93,  tanggal  25  Febuari
1993  tentang  kurikulum  SMU.  Penetapan  ini  tercantum  dalam  tiga  lampiran,  yaitu Lampiran  I  tentang  Landasan,  Progam  dan  Pengembangan  Kurikulum  SMU,
Lampiran  II  tentang  Garis-garis  Besar  Program  Pengajaran  SMU  dan  Lampiran  III tentang  Pedoman  Pelaksanaan  Kurikulum  SMU.  Penyebutan  SMU  dilaksanakan
mulai tahun 1994 sejak berlakunya kurikulum 1994 sebagai pengganti SMA. Tujuan  pendidikan  SMU  adalah  menyiapkan  siswa  untuk  melanjutkan
pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi. Kurikulum SMU merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai  pedoman  penyelenggaraan  kegiatan  belajar  mengajar  di  SMU.  Program pengajaran  SMU  terdiri  dari  program  pengajaran  umum  dan  program  pengajaran
khusus.  Program  pengajaran  umum  diselenggarakan  di  kelas  I  dan  II,  sedangkan program pengajaran khusus mulai diadakan di kelas III.
Program  pengajaran  umum  yang  wajib  diikuti  oleh  semua  siswa  kelas  I  dan kelas  II  ini  dimaksudkan  untuk  meningkatkan  kemampuan  siswa  sebagai  anggota
masyarakat  dalam  mengadakan  hubungan  timbal  balik  dengan  lingkungan  sosial, budaya,  dan  alam  sekitarnya  serta  meningkatkan  pengetahuan,  kemampuan,  dan
minat siswa sebagai dasar untuk memilih program pengajaran khusus yang sesuai di
248 kelas  III.  Program  pengajaran  umum  mencakup  bahan  kajian  dan  pelajaran  yang
disusun  dalam  10  mata  pelajaran,  yaitu:  1  Pendidikan  Pancasila  dan Kewarganegaraan;  2  Pendidikan  agama;  3  Bahasa  dan  Sastra  Indonesia;  4
Sejarah Nasional dan Sejarah Umum; 5 Bahasa Inggris; 6 Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; 7 Matematika; 8 Ilmu Pengetahuan Alam, Fisika, Biologi, Kimia; 9
Ilmu Pengetahuan Sosial,  Ekonomi, Sosiologi, Geografi; dan 10 Pendidikan Seni. Jika  program  umum  diselenggarakan  di  kelas  I  dan  II,  maka  Program
Pengajaran  Khusus  diselenggarakan  di  kelas  III  dan  dapat  dipilih  oleh  siswa  sesuai dengan  kemampuan  dan  minatnya.  Program  ini  dimaksudan  untuk  mempersiapkan
siswa  melanjutkan  pendidikan  pada  jenjang  pendidikan  tinggi  dalam  bidang pendidikan akademis maupun profesional dan mempersiapkan siswa secara langsung
atau tidak langsung untuk bekerja di masyarakat. Program pengajaran khusus terdiri dari tiga jenis yaitu Program Bahasa, Program Ilmu Pengetahuan Alam, dan Program
Ilmu Pengetahuan Sosial.
249 Tabel 34
Susunan Progam Pengajaran Kurikulum 1994 Sekolah Menengah Umum
No Mata Pelajaran
Kelas I Kelas  II
Kelas III Bahasa
Kelas III IPA
Kelas III IPS
A Umum
1 PPKn
2 2
2 2
2
2 Pend. Agama
2 2
2 2
2 3
Bhs  Sast. Indo 5
5 3
3 3
4 Sej Nas  Umum
2 2
2 2
2 5
Bhs. Inggris 4
4 5
5 5
6 Pend. Jasmani
2 2
2 2
2 7
Matematika 6
6 -
- -
8 IPA
a. Fisika 5
5 -
- -
b. Biologi 4
4 -
- -
c. Kimia 3
3 -
- -
9 IPS
a. Ekonomi 3
3 -
- -
b. Sosiologi -
2 -
- -
c. Geografi 2
2 -
- -
10 Pend. Seni
2 -
- -
- Sub Jumlah
42 42
14 16 14 16
14 16 B
Khusus Program Bahasa
1 Bhs  Sast. Indo.
- -
8 -
- 2
BHs. Inggris -
- 6
- -
3 Bhs. Asing
- -
9 -
- 4
Sejarah Budaya -
- 5
- -
Program IPA 1
Fisika -
- -
7 -
2 Biologi
- -
- 7
- 3
Kimia -
- -
6 -
4 Matematila
- -
- 8
- Program  IPS
1 Ekonomi
- -
- -
10 2
Sosiologi -
- -
- 6
3 Tata Negara
- -
- -
6 4
Antropologi -
- -
- 6
Sub Jumlah 28
28 28
Jumlah 42
42 42
42 42
Sumber: Kurikulum Sekolah Menengah Umum, Depdikbud, 1993.
Seperti  halnya  di  SD,  dan  SMP    mata  pelajaran  Pendidikan  Moral  Pancasila PMP  di  SMU  berubah  menjadi  Pendidikan  Pancasila  dan  Kewarganegaraan
250 PPKn. Di SMU PPKn, diberikan 2 jam permimggu dari kelas I sampai dengan kelas
III.
3. Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Era Reformasi
a. Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK 2004
Sejak  Orde  Baru  menghasilkan  kebijakan  Kurikulum  1975  hingga  4  tahun setelah  Reformasi  atau  sekitar  27  tahun,  kurikulum  pendidikan  nasional  tidak
mengalami  perubahan  yang  berarti.  Abd.  Rachman  Assegaf,  2005:  163.  Setelah hampir  satu  dekade,  Kurikulum  1994  menuai  banyak  penilaian  dari  masyarakat
sebagai  kurikulum  yang  terlalu  sarat  materi,  tumpang  tindih  overlapping,  terlalu banyak hafalan, sentralistik, dan kurang mencerminkan sifat desentralistik. Sementara
siswa  lebih  cenderung  untuk  diajar  sebagai  obyek  bukan  belajar  sebagai  subyek. Maka  dengan  maksud  untuk  menyesuaikan  perubahan  zaman,  baik  akibat  desakan
internal  maupun  eksternal,  kurikulum  1994  dikembangkan  ke  arah  Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK, Competency Based Curriculum.
Menurut  Abd.  Rachman  Assegaf  2005:  165,  perbedaan  pokok  antara kurikulum  konvensional  Kurikulum  1994  dan  sebelumnya  dengan  KBK  nampak
dalam beberapa hal sebagai berikut: Pertama,  kurikulum  konvensional  menekankan  pada  isi  content
based  sebagaimana  terlihat  dalam  penguasaan  materi  pelajaran  dan pencapaian  target  kurikulum  yang  harus  diselesaikan  baik  oleh  guru  maupun
murid, sedang KBK mengutamakan kemampuan competency based.
Kedua,  karena  kurikulum  konvensional  berbasis  pada  isi  content based,  maka  proses  pembelajarannya  berorientasi  pada  buku  teks  textbook
oriented  dimana  dalam  prakteknya  sangat  tergantung  pada  guru  teacher centered,  sedang  pada  KBK  bahan  ajar  yang  dipilih  menggunakan  bantuan
multimedia.  Dari  sini  KBK  diharapkan  dapat  menciptakan  suasana pembelajaran  yang  lebih  efektif  dan  efisien  sekaligus  menyenangkan  karena
251 berupaya  memadukan  antara  pendidikan  education  dengan  hiburan
entertainment.  Peran  guru  dalam  KBK  adalah  sebagai  fasilitatornara sumber,  guru  memberi  bimbingan  seperlunya  pada  siswa  yang  aktif  terlibat
dalam proses pembelajaran active learning.
Ketiga,  evaluasi  pada  kurikulum  konvensional  didasarkan  pada kecepatan  kelompok,  sementara  KBK  melihat  kecepatan  individual.  Itu
sebabnya,  kemajuan  siswa  dalam  KBK  berprinsip  pada  penghargaan    atas kemajemukan siswa dalam satu kelas, bukan upaya penyeragaman perlakuan.
Keempat,  feed  back  atau  umpan  balik  dalam  kurikulum  konvensional dilakukan  tidak  secara  langsung  setelah  satu  unit  pembelajaran  selesai
dilaksanakan, melainkan ditunda dalam tahapan waktu tertentu, seperti dalam satu  catur  wulan,  semester  atau  tingkat.  Berbeda  dengan  itu,  KBK
menerapkan  umpan  balik  seketika  setelah  satu  unit  pembelajaran  selesai dilakukan.
Kelima,  kurikulum  konvensional  berbasis  waktu,  sedangkan  KBK menerapkan kurikulum berbasis kinerja.
Keenam,  kurikulum  konvensional  berorientasi  pada  mata  pelajaran, sementara KBK pada moduler yang menekankan pada belajar tuntas mastery
learning dan belajar berkelanjutan continous learning, dimana sebelum satu modul  mampu  dikuasai,  seorang  siswa  belum  bisa  pindah  ke  modul
berikutnya.
Ketujuh,  kurikulum  konvensional  menjabarkan  tujuan  pembelajaran secara  umum  dan  khusus  dalam  TIUTPU  dan  TIKTPK,  yang  dalam
praktiknya  seringkali  dilaksanakan  secara  subyektif  dan  mengabaikan pentingnya  proses  dan  produk  pembelajaran.  Tidak  seperti  itu,  KBK
menjabarkan  kompetensi  dasarnya  melalui  hasil  belajar  beserta  indikatornya learning  outcomes  yang  dibuat  secara  obyektif  melalui  acuan  kriteria
penilaian yang jelas.
Betapapun  di  atas  kertas,  konsep  KBK  dipandang  memberi  alternatif  atas kelemahan  kurikulum  konvensional,  dalam  realisasinya  belum  tentu  menampakkan
hasil yang sama antara satu lembaga dengan lainnya. Menurut Muchson: Kurikulum merupakan salah satu faktor dari berbagai faktor pendidikan yang
mempengaruhi  keseluruhan  proses  pendidikan.  Munculnya  KBK  sejalan dengan  upaya  reformasi  pendidikan  sebagaimana  diamanatkan  dalam  Tap.
MPR  No.  IIGBHN1999  yang  isinya  merekomendasikan  bahwa  kurikulum sekarang  perlu  dikembangkan,  secara  desentalistik.  Lahirnya  UU  No.22
Tahun  1999  tentang  Pemerintahan  Daerah,  serta  UU  No.  25  Tahun  1999 tentang  Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana
keduanya  efektif  berlaku  sejak  2001,  telah  berimbas  pada  otonomi pendidikan.  KBK,  School  and  Community  Based  Manajement,  penilaian
252 berbasis  kelas  dan  lain  sebagainya  adalah  bukti  dari  otonomi  pendidikan
wawancara, 15 Desember, 2010. Kurikulum  yang  dirancang  berdasarkan  kompetensi  ini  dikembangkan  untuk
memberikan  keterampilan  dan  keahlian  bertahan  hidup  dalam  perubahan, pertentangan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum
ini  ditujukan  untuk  menciptakan  tamatan  yang  kompeten  dan  cerdas  dalam membangun  identitas  budaya  bangsanya.  Hal  ini  diharapkan  dapat  memberikan
dasar-dasar  pengetahuan,  keterampilan,  pengalaman  belajar  yang  membangun integritas  sosial  serta  mewujudkan  karakter  nasional    Pusat  Kurikulum,  2002:  2.
Dalam pandangan Udin S. Winataputra: Guru  tetap  menjadi  kunci  keberhasilan  pengimplementasian  sebuah
kurikulum.  Sebagai  salah  satu  stakeholder,  guru  tetap  menjadi  sorotan.  Hal- hal  yang  menjadi  perhatian  para  pengamat  bidang  pendidikan    yang
berhubungan  dengan  guru  ini  adalah  a  mindset  guru  sulit  berubah;  b kemampuan  guru  selalu  menjadi  pertanyaan;  c  komitmen  guru  terhadap
tugas  akademiknya  acap  kali  dipermasalahkan;  d  kreativitas  guru  kurang mendapatkan  pembinaan;  e  kesejahteraan  guru  kurang  diperhatikan
wawancara, 6 Agustus, 2011.
Senada dengan Muchson dan Udin S. Winataputra, menurut Cholisin perubahan sikap para  guru  tidak  berbanding  lurus  dengan  perubahan  kurikulum.  Lebih  lanjut  beliau
menyatakan: Sering kita mendengar para pakar dan pengamat mengatakan bahwa guru kita
mengalami  stagnasi.  Mereka  cenderung  mengalami  kemadegan  dalam merspon perkembangan, sehingga malas memperbarui dirinya sendiri. Dalam
mengelola  kelas,  guru  juga  cenderung  melakukan  mismanajemen.  Guru terbiasa menganggap bahwa proses belajar itu hanyalah upaya guru memasuki
ranah kognisi siswanya. Kurikulum dapat saja berubah dalam waktu tertentu, namun  tetap  saja  dalam  pelaksanaannya  tidak  berubah  dari  waktu  ke  waktu
wawancara, 1 Desember 2010.
253 Kemampuan  guru  dalam  menjalankan  profesinya  sering  kali  dinilai  kurang
profesional.  Selalu  menjadi  pertanyaan  banyak  orang,  apakah  dalam  menghadapi perubahan  kurikulum  ini  para  guru  kita  memiliki  kemampuan  menjalankan
kurikulum  baru  ini?.  Para  guru  di  lapangan  terkesan  belum  maksimal  dalam mengembangkan  kemampuannya.  Para  guru  harus  diberi  kesempatan  membaca,
menulis,  menuntut  ilmu  yang  lebih  tinggi,  serta  menghadiri  rapat-rapat  MGMP, kelompok kerja guru, seminar, lokakarya, dan sebagainya.
Tantangan  bagi  terlaksananya  kurikulum  berbasis  kompetensi  ini  adalah masalah  implementasi.  Perencanaan  yang  baik  belum  tentu  akan  menghasilkan
produk  yang  baik.  Hal  tersebut  tergantung  pada  implementasinya,  di  mana  harus didukung dari semua pihak. Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam mewujudkan
pendidikan nasional, khususnya penerapan kurikulum berbasis kompetensi harus ada political will dan good will dari semua pihak yang berkaitan dengan kebijakan ini.
Menurut  Samsuri  2010:  138,  fungsi  Pendidikan  Kewarganegaraan  dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK 2004 adalah:
”Untuk membentuk warganegara yang cerdas, terampil, dan berkarakter baik, serta  setia  kepada  bangsa  dan  negara  Indonesia  yang  berdasarkan  pada
Pancasila dan UUD 1945” .
Sedangkan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Samsuri, 2010: 138, adalah, untuk membentuk kemampuan:
1  Berpikir  secara  kritis,  rasional,  dan  kreatif  dalam  menanggapi  isu kewarganegaraan.  2  Berpartisipasi  secara  cerdas  dan  bertanggungjawab,
serta  bertindak  secara  sadar  dalam  kegiatan  bermasyarakat,  berbangsa,  dan bernegara.  3  Pembentukan  diri  yang  didasarkan  pada  karakter  positif
masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia yang demokratis.
254 Dalam  Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  No.  23  Tahun  2006,  standar
kompetensi  Pendidikan  Kewarganegaraan  dari  tingkat  SD  hingga  SMA  ditetapkan sebagai berikut:
Tabel 35 Standar Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan
SD SMP
SMA
• Menerapkan hidup rukun
dalam perbedaan •
Memahami dan menerpakan hidup rukun
di rumah dan di sekolah •
Memahami kewajiban sebagai warga dalam
keluarga dan sekolah •
Memahami hidup tertib dan gotong royong
• Menampilkan sikap cinta
lingkungan dan demokratis
• Menampilkan perilaku
jujur, disiplin, senang bekerja, dan anti korupsi
dalam kehidupan sehari- hari, sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila
• Memahami sistem
pemerintahan, baik pada tingkat daerah maupun
pusat
• Memahami makna
keutuhan NKRI, dengan kepatuhan terhadap UU,
peraturan, kebiasaan adat istiadat, dan menghargai
keputusan bersama
• Memahami dan
menghargai makna nilai- nilai kejuangan bangsa
• Memahami hubungan
Indonesia dengan negara tetangga dan politik luar
negeri •
Memahami dan menunjukkan sikap
positif terhadap norma- norma kebiasaan, adat
istiadat, dan peraturan, dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara
• Menjelaskan makna
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
• Menghargai perbedaan
dan kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat
dengan bertanggungjawab
• Menampilkan perilaku
yang baik sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan
UUD 1945
• Menunjukkan sikap
positif terhadap pelaksanaan kehidupan
demokrasi dan kedaulatan rakyat
• Menjelaskan makna
otonomi derah, dan hubungan antara
pemerintahan pusat dan daerah
• Menunjukkan sikap kritis
dan apresiatif terhadap dampak globalisasi
• Memahami prestasi diri
untuk berprestasi sesuai dengan keindividuannya
• Memahami hakekat
bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
• Menganalisis sikap
positif terhadap penegakan hukum,
peradilan nasional, dan tindakan anti korupsi
• Menganalisis pola-pola
dan partisipasi aktif dalam pemajuan,
penghormatan, serta penegakkan HAM
• Menganalisis peran dan
hak warganegara dan sistem hukum
internasional
• Mnegevaluasi sikap
berpolitik dan bermasyarakat madani
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
• Menganalisis peran
Indonesia dalam politik dan hubungan
internasional, regional, dan kerjasama global
lainnya.
• Menganalisis sistem
hukum internasional, timbulnya konflik
internasional, dan mahkamah internasional
Sumber:  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  No. 23 Tahun 2006 dalam Samsuri 2010: 187.
255
b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP 2006
Sejak  2006  pemerintah  menerapkan  kurikulum    yang  mekanismenya ditekankan pada peran satuan pendidikan, yakni dengan KTSP. KTSP pada dasarnya
adalah  KBK  yang  diotonomikan  kepada  masing-masing  tingkat  satuan  pendidikan. KTSP  adalah  KBK  yang  didelegasikan  pada  sekolah.  Secara  substansi  KTSP  sama
dengan KBK. KTSP terkait dengan otonomi manajemen sekolah,  yaitu manajemen berbasis
sekolah  MBS.  KTSP  sebagai  konsekuensi  pelaksanaan  MBS.  Kurikulum  menjadi otonomi  sekolah,  artinya  sekolah  harus  aktif  mengembangkan  kurikulum  bukan
menunggu kurikulum pusat. MBS adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi  dalam  bidang  pendidikan.  Sebagai  wujud  dari  reformasi  pendidikan,
MBS  pada  prinsipnya  bertumpu  pada  sekolah  dan  masyarakat  serta  jauh  dari birokrasi  yang  sentralistik.  Model  ini  dimaksudkan  untuk  menjamin  semakin
rendahnya  kontrol  pemerintah  pusat,  dan  di  pihak  lain  semakin  meningkatnya otonomi  sekolah  untuk  menentukan  sendiri  apa  yang  perlu  diajarkan  dan  mengelola
sumber  daya  yang  ada  untuk  berinovasi.  Dalam  MBS,  kepala  sekolah  dan  guru memiliki  kebebasan  yang  luas  dalam  mengelola  sekolah  tanpa  mengabaikan
kebijakan dan priorotas pemerintah. Lahirnya KBK dan KTSP sebenarnya didasarkan pada: 1 UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2 PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional  Pendidikan;  3  Permendiknas  No.  22  Tahun  2006  tentang  Standar  Isi;  4
Permendiknas  No.  23  Tahun  2006  tentang  Standar  Kompetensi  Lulusan;  5 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23
256 tahun  2006.  Dasar  hukum  di  atas  yang  menjadi  landasan  bagi  sekolah  untuk
menerapkan  KTSP.  KTSP  adalah  kurikulum  operasional  yang  disusun  dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.
c. KTSP  2006  Pendidikan Kewarganegaraan SD, SMP, dan SMA
Pendidikan  di  Indonesia  diharapkan  dapat  mempersiapkan  peserta  didik menjadi  warga  negara  yang  memiliki  komitmen  kuat  dan  konsisten  untuk
mempertahankan  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia.  Hakikat  Negara  Kesatuan Republik  Indonesia  adalah  negara  kebangsaan  modern.  Negara  kebangsaan  modern
adalah  negara  yang  pembentukannya  didasarkan  pada  semangat  kebangsaan  atau nasionalisme,  yaitu  pada  tekad  suatu  masyarakat  untuk  membangun  masa  depan
bersama  di  bawah  satu  negara  yang  sama  walaupun  warga  masyarakat  tersebut berbeda-beda  agama,  ras,  etnik,  atau  golongannya  Risalah  Sidang  BPUPKI  dan
PPKI,  Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998. Komitmen  yang  kuat  dan  konsisten  terhadap  prinsip  dan  semangat
kebangsaan  dalam  kehidupan  bermasyarakat,  berbangsa,  dan  bernegara  yang berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia perlu ditularkan secara
terus  menerus  untuk  memberikan  pemahaman  yang  mendalam  tentang  Negara Kesatuan  Republik  Indonesia.  Secara  historis,  negara  Indonesia  telah  diciptakan
sebagai  Negara  Kesatuan  dengan  bentuk  Republik.  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia  adalah  negara  yang  berkedaulatan  rakyat  dengan  berdasarkan  kepada
Ketuhanan  Yang  Maha  Esa,  Kemanusiaan  yang  adil  dan  beradab,  Persatuan Indonesia  dan  kerakyatan  yang  dipimpin  oleh  hikmat  kebijaksanaan  dalam
permusyawaratanperwakilan,  serta  dengan  mewujudkan  suatu  keadilan  sosial  bagi
257 seluruh  rakyat  Indonesia  Pembukaan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik
Indonesia 1945.
Pengantar  KBK  PKn,  Departemen  Pendidikan  Nasional,  2004:  2 menyatakan bahwa:
Dalam  perkembangannya  sejak  proklamasi  17  Agustus  1945  sampai  dengan penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa
yang  mengancam  persatuannya.  Untuk  itulah  pemahaman  yang  mendalam dan  komitmen  yang  kuat  dan  konsisten  terhadap  prinsip  dan  semangat
kebangsaan  dalam  kehidupan  bermasyarakat,  berbangsa,  dan  bernegara  yang berdasarkan  pada  Pancasila  dan  Konstitusi  Negara  Indonesia  perlu
ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya generasi muda sebagai penerus bangsa. Indonesia di masa depan diharapkan tidak akan
mengulang  lagi  sistem  pemerintahan  otoriter  yang  membungkam  hak-hak warga  negara  untuk  menjalankan  prinsip  demokrasi  dalam  kehidupan
masyarakat,  bangsa,  dan  negara.  Kehidupan  yang  demokratis  di  dalam kehidupan  sehari-hari  di  lingkungan  keluarga,  sekolah,  masyarakat,
pemerintahan,  dan  organisasi-organisasi  non-pemerintahan  perlu  dikenal, dimulai,  diinternalisasi,  dan  diterapkan  demi  kejayaan  bangsa  dan  negara
Indonesia. Demokrasi dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga oleh
warga  negara  yang  demokratis.  Warga  negara  yang  demokratis  bukan  hanya  dapat menikmati hak kebebasan individu, tetapi juga harus memikul tanggung jawab secara
bersama-sama  dengan  orang  lain  untuk  membentuk  masa  depan  yang  cerah. Sesungguhnya,  kehidupan  yang  demokratis  adalah  cita-cita  yang  dicerminkan  dan
diamanatkan  oleh  para  pendiri  bangsa  dan  negara  ketika  mereka  pertama  kali membahas  dan  merumuskan  Pancasila  dan  UUD  1945.  Berkenaan  dengan  hal-hal
yang  diuraikan  di  atas,  sekolah  memiliki  peranan  dan  tanggung  jawab  yang  sangat penting  dalam  mempersiapkan  warga  negara  yang  memiliki  komitmen  kuat  dan
konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dapat  dilakukan  adalah  menyelenggarakan  program  pendidikan  yang  memberikan
258 berbagai  kemampuan  sebagai  seorang  warga  negara  melalui  mata  pelajaran
Pendidikan    Kewarganegaraan.  Mata  Pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam
dari segi  agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk  menjadi warga negara  Indonesia  yang  cerdas,  terampil,  dan  berkarakter  yang  diamanatkan  oleh
Pancasila dan UUD 1945. Lebih lanjut dalam Pengantar  KBK  PKn, Departemen Pendidikan Nasional,
2004: 3 dijelaskan bahwa: Tujuan  mata  pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan  adalah  untuk
memberikan  kompetensi  sebagai  berikut:  1  Berpikir  secara  kritis,  rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; 2 Berpartisipasi secara
bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 3 Berkembang secara positif dan
demokratis  untuk  membentuk  diri  berdasarkan  pada  karakter-karakter masyarakat  Indonesia  agar  dapat  hidup  bersama  dengan  bangsa-bangsa
lainnya;  4  Berinteraksi  dengan  bangsa-bangsa  lain  dalam  percaturan  dunia secara  langsung  atau  tidak  langsung  dengan  memanfaatkan  teknologi
informasi dan komunikasi.
Ruang  lingkup  mata  pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan  dikelompokkan  ke dalam aspek dan sub aspek bahan pelajaran yaitu:
259 Tabel 36
Ruang Lingkup Isi Pendidikan Kewarganegaraan
No Dimensi
Keilmuan Materi
1. Politik
1. Manusia sebagai zoon politicon makhluk sosial
2. Proses terbentuknya masyarakat politik
3. Proses terbentuknya bangsa
4. Asal usul negara
5. Unsur-unsur  negara,  tujuan  negara,  dan  bentuk-
bentuk negara 6.
Kewarganegaraan 7.
Lembaga politik 8.
Model-model sistem politik 9.
Lembaga-lembaga negara 10.
Demokrasi Pancasila 11.
Globalisasi 2.
Hukum 1.
Rule of law negara hukum 2.
Konstitusi 3.
Sistem hukum 4.
Sumber hukum 5.
Subyek  hukum,  obyek  hukum,  peristiwa  hukum, dan sanksi hukum
6. Pembidangan hukum
7. Proses hukum
8. Peradilan
3. Moral
1. Pengertian nilai, norma, dan moral
2. Hubungan antara nilai, norma, dan moral
3. Sumber-sumber ajaran moral
4. Norma-norma dalam masyarakat
5. Implementasi nilai-nilai moral Pancasila
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional. 2004.  KBK PKn.
D. Dinamika Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pada Era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi
1. Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pada Era Orde Lama
a. PKn Zaman Pergerakan
Sebelum  memaparkan  Pendidikan  Kewarganegaraan  era  Orde  Lama,  akan dipaparkan lebih dulu Pelajaran Civics di zaman pergerakan sebagai embrio dan latar
belakangnya. Pelajaran Civics sebelum kemerdekaan atau pada jaman kolonial Hindia
260 Belanda dikenal dengan nama Burgerkunde. Pada waktu itu ada  dua buku resmi yang
digunakan yaitu Indische Burgerschapkunde serta Rech en Plich.  Menurut Bambang Daroeso  “Indische  Burgerschapkunde,  yang  ditulis  oleh  P.  Tromp  dengan
penerbitnya  J.B  Wolter  Maatschappij  N.V.  Groningen,  Den  Haag,  Batavia  tahun 1934. Isi buku tersebut adalah:
Masyarakat  pribumi;  Pengaruh  Barat;  Bidang  sosial;  Ekonomi;  Hukum; Ketatanegaraan  dan  kebudayaan;  Hindia  Belanda  dan  rumah  tangga  dunia;
Masalah  pertanian;  Masalah  perburuan;  Masalah  kaum  menengah  dalam industri  dan  perdagangan;  Masalah  kewanitaan;  Ketatanegaraan  Hindia
Belanda: Masalah pendidikan; Masalah kesehatan masyarakat; Masalah pajak; Tentara dan angkatan laut. Bambang Daroeso, 1986: 8.
Selanjutnya Rech  en Plicht Indische Burgerschapkunde Vooriedereen  yang ditulis  oleh  J.B.  Vortman  dengan  penerbitnya  G.C.T.Van  Dorp    Co  N.V  Derde,
Herziene  en  Vermeerderdruk,  Semarang-  Surabaya-  Bandung,  tahun  1940.  Isi  buku tersebut mencakup:
Masyarakat    dimana  kita  hidup  dari  lahir  sampai  dewasa;  Pernikahan  dan keluarga serta setelah badan pribadi itu tiada; Masalah bezit dari obyek hukum
dimana dibicarakan antara lain: Eigendom Eropa dan hak-hak atas tanah; Hak- hak  agraris  atas  tanah;  Masalah  kedaulatan  raja  dan  kewajibhan-kewajiban
warganegara  dalam  pemerintahan  Hindia  Belanda;  Masalah  perundang- undangan;  Sejarah  alat  pembayaran  dan  kesejahteraan.  Bambang  Daroeso,
1986: 9. Lewat  pengajaran  Burgerkunde  tentunya  dimaksudkan  oleh  pemerintah
Hindia Belanda agar rakyat jajahan lebih memahami hak dan kewajibannya terhadap pemerintah  Hindia  Belanda,  sehingga  diharapkan  tidak  menganggap  pemerintah
Belanda sebagai musuh tetapi justru memberikan dukungan dengan penuh kesadaran dalam  jangka  waktu  yang  panjang.  Menurut  Sarino  Mangunpranoto  hal  ini  sesuai
dengan ciri-ciri pendidikan penjajah yang bersifat:
261 1  Sistem  pendidikannya  diarahkan  sebagai  usaha  membantu  kelestarian
penjajahannya.  2  Sifat  pendidikannya  adalah  eksploitasi  demi  keuntungan penjajah  yang  berakibat  kebodohan  dan  kemelaratan  pihak  yang  dijajah.  3
Metode  pendidikannya  dijalankan  untuk  menciptakan  “tertib  semu”,  tidak memberi  peluang  untuk  tumbuh  bebas.  4  Sistem  mengajarnya  dengan
metode  menghafal  dan  membeo  tanpa  diberi  kesempatan  untuk  bersaksi  dan beraksi. Sarino Mangunpranoto, 1976: 16.
b. PKn Awal Kemerekaan 1945-1949.
Menurut Udin S. Winataputra: Pada
awal kemerdekaan
belum ada
mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yang berdiri sendiri dan diajarkan pada pendidikan formal.
Pendidikan Kewarganegaraan dititipkan pada Pendidikan  Moral, yakni lewat Pendidikan  Agama  dan  Pendidikan  Budi  Pekerti,  yang  berisi  nilai-nilai
kemasyarakatan,  adat,    dan  agama.  Pelajaran  Kewarganegaraan  baru diperkenalkan pertama kali pada tahun 1957. wawancara, 6 Agustus 2011.
c. PKn Era Demokrasi Parlementer 1950-1959
Pada tahun 1957 mulai diperkenalkan mata pelajaran Kewarganegaraan, yang isi  pokoknya  meliputi:  1  Cara  memperoleh  kewarganegaraan;  2  Hak  dan
kewajiban  warga  negara;  3  Tata  Negara  dan  Tata  Hukum.  Ketiga  hal  tersebut semata-mata  beraspek  kognitif  Soenarjati  dan  Cholisin,  1989:  17.  Makna
Pendidikan  Kewarganegaraan  pada  masa  ini  adalah  pemahaman  hak  warga  negara, cara memperoleh kewarganegaraan, dan tata negara.
d. PKn Era Demokrasi Terpimpin 1959-1966
Pada  tahun  1959  terjadi  perubahan  arah  politik  di  negara  Indonesia.  UUDS 1950, dinyatakan tidak berlaku oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan berlaku kembali
UUD  1945.  Dengan  berlakunya  kembali  UUD  1945,  nampak  dalam  bidang pendidikan diadakan perubahan arah. Perubahan ini tampak dengan diperkenalkannya
262 mata  pelajaran  Civics  pada  tahun  1961  sebagai  pengganti  mata  pelajaran
Kewarganegaraan. Mata pelajaran Civics berisi: ”1  Sejarah  kebangkitan  nasional;  2  UUD;  3  Pidato-pidato  politik
kenegaraan  yang  terutama  diarahkan  untuk  nation  and  character  building bagi bangsa Indonesia”. Muchson dkk., 2001: 16.
Istilah Civics ini mengingatkan pada istilah zaman Yunani “Civics”, yaitu penduduk sipil  yang  mempraktekkan  demokrasi  langsung  dalam  negara  kota  Polis.  Menurut
Numan Somantri: Istilah  ini  kemudian  diambil  alih  oleh  Amerika  Serikat  untuk    dipergunakan
sebagai istilah
pengajaran demokrasi
politik di
sekolah-sekolah. Dipergunakannya  istilah  Civics  ini  juga  dimaksudkan  untuk  membedakan
dengan  pelajaran  ilmu  politik  di  universitas-universitas.  Numan  Somantri, 1976: 46.
Pelajaran  Civics  mulai  diperkenalkan  pada  tahun  1790  di  Amerika  Serikat  dalam rangka  “meng-Amerikakan  bangsa  Amerika”.  Pada  tahun  1907  ada  Gerakan
Community Civics  yang dipelopori oleh W.A. Dunn bertujuan agar pelajaran Civics lebih fungsional bagi pelajar. Yakni dengan memperluas bahan sehingga mencakup:
“1  Kehidupan  sehari-hari  baik  yang  ruang  lingkupnya  lokal  maupun internasional;  2  Prinsip-prinsip  ekonomi  dalam  pemerintahan;  3  Usaha-
usaha  swasta  dan  masalah  pekerjaan  warga  negara”.  Muchson  dkk.,  2001: 17.
Dalam  kurikulum  Civics  di  SMP  dan  SMA  isinya  meliputi:  1  Sejarah nasional;  2  Sejarah  proklamasi;  3  UUD  1945;  4  Pancasila;  5  Pidato-pidato
kenegaraan  presiden;  6  Pembinaan  persatuan  dan  kesatuan  bangsa.  Buku  sumber yang  dipergunakan  adalah  “Civics  Manusia  Indonesia  Baru”  dan  “Tujuh  Bahan
Pokok  Indoktrinasi”  yang  lebih  dikenal  dengan  singkatan  TUBAPI.  Metode pengajarannya  lebih  bersifat  indoktrinatif.  Buku  pegangan  untuk  murid  belum  ada
263 Soenarjati  dan  Cholisin,  1989:  17-18.  TUBAPI  isinya  meliputi:  1  Lahirnya
Pancasila;  2  UUD  1945;  3  Manipol,  merupakan  pidato  presiden  tanggal  17 Agustus  1959  yang  berjudul  “Penemuan  Kembali  Revolusi  Kita”  yang  intinya
ditegaskan  pada  pidato  presiden  pada  tanggal  17  agustus  1960  meliputi  caturlogi, yakni:  semanagt  nasional,  konsepsi  nasional,  keamanan  nasional,  dan  perbuatan
nasional; 4 Jalannya Revolusi Kita Jarek; 5 Pidato presiden RI di depan Sidang Umum  PBB,  30  September  1960  yang  berjudul  “Membangun  Dunia  Baru”  dinilai
sebagai  salah  satu  tonggak  sejarah  bagi  berdirinya  Gerakan  Non  Blok;  6  Manipol USDEK;    7  Amanat  presiden  tentang  Pembangunan  Semesta  Berencana  di  depan
DEPERNAS, tanggal 9 Januari 1960. Pada tahun 1962 istilah Civics diganti dengan istilah  Kewargaan  Negara,  atas  anjuran  Dr.  Sahardjo,  SH,  yang  pada  waktu  itu
menjabat  sebagai  Menteri  Kehakiman.  Perubahan  itu  didasarkan  atas  tujuan  yang ingin dicapainya, yaitu membentuk warga negara yang baik.
e. Makna PKn Orde Lama
Pendidikan  Kewarganegaraan  era  Orde  Lama  memiliki  visi  untuk menanamkan  semangat  dan  jiwa  patriotisme.  Misi  PKn  ditujukan  untuk  membentuk
warga negara yang baik, yakni  warga negara sosialis Indonesia yang susila. Strategi pembelajarannya  menggunakan    metode  indoktrinasi.  Memiliki  ciri-ciri  kurang  jelas
akar  keilmuannya,  ada  intervensi  dari  rezim  yang  sedang  berkuasa  sehingga kepentingan  rezim  banyak  mewarnai  materi  PKn.  Kondisi  yang  demikian  itu
mengakibatkan  makna  PKn  lebih  ditujukan  untuk  mendukung  penguatan  negara, membentuk  kepatuhan  warga  negara  kepada  rezim  yang  sedang  berkuasa  dan
menjadikan rakyat sebagai pendukung setia status quo. Substansi materi PKn era ini
264 didominasi
oleh Manipol
USDEK. Pada
era Orde
Lama Pendidikan
Kewarganegaraan  beberapa  kali  berganti  nama:  Kewarganegaraan  1957,  Civics
1962, dan Pendidikan Kewargaan Negara 1968.
Banyak  tuduhan  dialamatkan  kepada  sosok  Pendidikan  Kewarganegaraan pada  era  Orde  Lama,  dan  tuduhan  itu  barangkali  juga  ada  benarnya.  Beberapa
tuduhan itu antara lain, Pendidikan Kewarganegaraan sering bersifat politis dari pada akademis,  lemah  landasan  keilmuannya,  tidak  tampak  sosok  keilmiahannya.  Akibat
lebih  lanjut  mata  pelajaran  ini  kurang  menantang,  sehingga  kurang  diminati  oleh siswa.  Kepentingan  politik  penguasa  terhadap  Pendidikan  Kewarganegaraan  di
Indonesia  dapat  dirunut  dalam  sejarah  perkembangan  mata  pelajaran  ini,  sejak munculnya  dalam  sistem  pendidikan  nasional.  Mata  pelajaran  ini  muncul  pertama
kali  pada  tahun  1957  dengan  nama  Kewarganegaraan,  yang  isinya  sebatas  tentang hak dan kewajiban  warga negara,  serta cara-cara  memperoleh kewarganegaraan  bagi
yang kehilangan status kewarganegaraan. Isi  Pendidikan  Kewarganegaraan  ini  sebenarnya  sangat  baik  bagi
pengembangan  pengetahuan  warga  negara  akan  ketatanegaraan,  hak  dan  kewajiban sebagai  warga  negara,  dan  cara-cara  memperoleh  kewarganegaraan.  Tetapi  setelah
Dekrit  Presiden  5  Juli  1959  Pendidikan  Kewarganegaraan  berubah  menjadi pendukung  pemikiran  presiden  sebagai  pemimpin  revolusi  untuk  membangun
msyarakat sosialisme Indonesia. Sebagai  tindak  lanjut  dari  Dekrit  Presiden  5  Juli  1959,  Menteri  PP  dan  K
mengeluarkan  Surat  Keputusan  No.122274S  tanggal  10  Desember  1959  tentang pembentukan panitia penyusunan buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban dan
265 hak-hak  warga  negara  Indonesia  dan  hal-hal  yang  menginsyafkan  warga  negara
tentang sebab-sebab  sejarah  dan tujuan  Revolusi  Indonesia. Panitia  tersebut  berhasil menyusun  buku  Manusia  dan  Masyarakat  Baru  Indonesia  pada  tahun  1962  yang
menjadi  acuan  mata  pelajaran  Civics  yang  telah  muncul  pada  tahun  1961.  Buku tersebut  berisi  tentang  1  Sejarah  Pergerakan  Rakyat  Indonesia,  2  Pancasila,  3
UUD 1945, 4 Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, 5 Konferensi Asia Afrika, 6 Hak  dan  kewajiban  warga  negara,  7  Manifesto  Politik,  8  Lampiran  Dekrit
Presiden,  pidato  Presiden,  Declaration  of  Human  Rights  dan  lain-lain  yang
dipaketkan dalan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi Muchson AR, 2003:4.
Pendidikan  Kewarganegaraan  telah  muncul  dengan  berbagai  nama  dan program pada masa Orde Lama. Menurut Numan Somantri, dalam perkembangannya
nama  Civic  dan  Civic  Education  telah  muncul  masing-masing  dengan  nama:  1 Kewarganegaraan  1957,  2  Civics  1962,  3  Pendidikan  Kewargaan  Negara
1968.  Materi  Pendidikan  Kewarganegaraan  yang  muncul  dengan  berbagai  nama tersebut
selanjutnya dikemukakan
oleh Numan
Somantri bahwa:
Isi Kewarganegaraan
1957 membahas
cara memperoleh
dan kehilangan
kewarganegaraan,  sedang  Civics  1962  lebih  banyak  membahas  tentang  sejarah kebangkitan  nasional,  UUD  1945,  pidato-pidato  kenegaraan  Presiden  Soekarno,
terutama  yang  diarahkan  untuk  ‘Nation  and  Character  Building’  bagi  bangsa Indonesia. Hal  ini  mirip dengan  Civics  di  Amerika Serikat  pada  tahun-tahun  setelah
lahirnya  ‘Declaration  of  Independence  America’.  Abdul  Azis  Wahab,  2007:  700.
Pidato-pidato  politik  kenegaraan  itu  dikemas  dengan  nama  Tujuh  Bahan  Pokok Indoktrinasi  TUBAPI  yang  berisi  pidato-pidato  politik  kenegaraan  Presiden
Soekarno  ditambah  dengan  Manifesto  Politik  Manipol  dan  UUD  1945,  Sosialisme
Indonesia, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia USDEK.
Perjalanan  sejarah  banga  Indonesia  menunjukkan  betapa  pendidikan  formal secara  tradisional  telah  disiapkan  melalui  salah  satu  tugasnya  yaitu  mempersiapkan
266 warganegara  yang  sesuai  dengan  cita-cita  nasional.  Upaya  itu  nampak  dari  lahirnya
berbagai  nama  untuk  Pendidikan  Kewarganegaraan  PKn  sejalan  dengan perkembangan  dan  pasang  surutnya  perjalanan  politik  bangsa  Indonesia.  Hal  itu
ditunjukkan  dengan  lahirnya  berbagai  kebijakan  di  bidang  pendidikan  khususnya tentang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 1959
untuk kembali ke UUD 1945, diantaranya dengan instruksi pembaharuan buku-buku di  sekolah-sekolah.  Untuk  itu  Departemen  P  dan  K  mengeluarkan  surat  keputusan
No.  122274S  tanggal  10  Desember  1959  membentuk  panitia  yang  terdiri  dari  7 orang  untuk  membuat  buku  pedoman  mengenai  kewajiban-kewajiban  dan  hak-hak
warganegara  Indonesia  disertai  dengan  hal-hal  yang  akan  menginsyafkan  mereka tentang  sebab-sebab  sejarah  dan  tujuan  Revolusi  Kemerdekaan  Indonesia  Abdul
Azis Wahab, 2007: 698. Panitia tersebut  berhasil  menyusun  buku berjudul:  “Manusia  dan  Masyarakat
Baru Indonesia” pada tahun 1962, yang menurut para penulisnya Supardo dan kawan- kawan dinyatakan :
Buku ini barangkali dapat disebut dengan istilah Jerman ‘Staatsburgerkunde’, dengan
istilah Inggris
‘Civics’, atau
dengan istilah
Indonesia ‘Kewarganegaraan’.  Akan  tetapi  oleh  karena  isi  buku  ini  agak  luas  maka,
nama ‘Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia’ agaknya lebih tepat.  Abdul Azis Wahab, 2007: 698.
Buku pedoman Pendidikan Kewarganegaraan tersebut berisi: 1 Sejarah pergerakan dan  perjuangan  rakyat  Indonesia,  2  Pancasila,  3  UUD  1945,  4  Demokrasi  dan
Ekonomi  Terpimpin,  5  Konperensi  Asia  Afrika,  6  Kewajiban  dan  hak warganegara, 7 Manifesto politik, 8 Laksana malaikat, 9 Serta berbagai lampiran
tentang Dekrit Presiden,  Lahirnya  Pancasila, Pidato  Presiden  Soekarno, Declaration of  human  rights  dan  Panca  Wardhana  Lima  Perkembangan.  Pada  dasarnya  bahan
pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan  telah  digunakan  sejak  1959  sampai  dengan pecahnya  pemberontakan  PKI  pada  tanggal  30  September1965.  Atas  usul  menteri
267 Kehakiman  Mr.  Sahardjo,  bahan  pelajaran  Pendikan  Kewarganegaraan  yang
disiapkan  tahun  1959  tersebut  diubah  namanya  menjadi  “Pendidikan  Kewargaan Negara”  dan  perubahan  nama  ini  digunakan  hingga  munculnya  Kurikulum  1968.
Berikut ini dipaparkan dinamika posisi Pendidikan  Kewarganegaraan pada era Orde Lama:
Tabel 37 Perubahan Posisi Pendidikan Kewarganegaraan
di SMP dan SMA pada era Orde Lama
Kuri- Kulum
Sekolah Kelompok
Mata Pelajaran 1952
SMA Bagian A
Pokok Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia,
Bahasa Daerah, Jawa Kuno, Bahasa Inggris, Bahasa Perancis, Bahasa Jerman,
Sejarah, Ilmu Bumi
Penting Sejarah Kesenian, Sejarah Kebudayaan,
Ilmu Bangsa-bangsa, Ekonomi, Tata Negara dan Kewarganegaraan
Pelengkap Aljabar, Ilmu Kesehatan, Menggambar,
Pendidikan Jasmani, Pendidikan Agama SMA
Bagian B Pokok
Aljabar, Ilmu Ukur Sudut, Ilmu Ukur Ruang, Ilmu Ukur Melukis, Ilmu Alam,
Mekanika, Ilmu Kimia, Ilmu Hayat dan Kesehatan
Penting Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Pelengkap Bahasa Jerman, Bahasa Perancis, Bumi
Alam dan Falak, Sejarah, Tata Negara dan Kewarganegaraan
, Ekonomi, Tata Buku, Menggambar, Pendidikan Jasmani,
Pendidikan Agama SMA
Bagian C Pokok
Tata Negara dan Kewarganegaraan , Tata
Hukum, Ekonomi, Ilmu Bumi Sosial dan Ekonomi, Ilmu Bangsa-bangsa, Sejarah
Penting Pengetahuan dan Hitung, Tata Buku,
Sejarah Perekonomian, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Pelengkap Bahasa Jerman, Bahasa Perancis, Ilmu
Kimia dan Pengetahuan Bahan, Aljabar, Ilmu Kesehatan, Menggambar, Pendidikan
Jasmani, Pendidikan Agama
1961 SMA
Kurikulum SMA
Gaya Baru
Dasar Pendidikan Kewarganegaraan
, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia,
Sejarah, Ilmu Bumi, Pendidikan JasmaniKesehatan
Khusus sesuai Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia,
268
jurusan Sejarah, Ilmu Bumi, Antropologi, Budaya,
Bahasa Kawi, Bahasa Inggris, Ekonomi dan Koperasi, Menggambar, Bahasa Asing
lainnya, Bahasa Daerah, Pengetahuan Alam
Prakarya Prakarya
1962 SMP
Rencana Pelajaran
SMP Gaya
Baru Dasar
Civics, Bahasa Indonesia, Sejarah
Kebangsaan, Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan AgamaBudi Pekerti,
Pendidikan JasmaniKesehatan
Cipta Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, Ilmu
Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi Dunia, Sejarah Dunia,
Ilmu Administrasi
RasaKarsa Menggambar, Kesenian, Prakarya,
Kesejahteraan Keluarga 1964
SMP Rencana
Pelajaran SMP
Gaya Baru
Dasar Civics Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, Sejarah Kebangsaan, Ilmu Bumi
Indonesia, Pendidikan AgamaBudi Pekerti, Pendidikan JasmaniKesehatan
Cipta Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, Ilmu
Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi Dunia, Sejarah Dunia,
Ilmu Administrasi
RasaKarya Menggambar, Kesehatan, Prakarya,
Kesejahteraan Keluarga 1964
SMA Rencana
Pelajaran SMA
Gaya Baru
Kelas I Dasar
Kewarganegaraan, Bahasa dan
Kesusasteraan Indonesia, Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia,
Pendidikan AgamaBudi Pekerti, Pendidikan Jasmani dan Pendidikan
Kesehatan
Khusus Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Ilmu Kimia, Ilmu
Hayat, Sejarah, Bahasa Inggris, Bahasa Asing lainnya, Ekonomi dan Koperasi,
Menggambar
Prakarya Prakarya
Krida Krida
Diolah dari berbagai sumber: Kurikulum 1952 sampai dengan Kurikulum 1964 Abd. Rachman Assegaf, 2005: 154-160.
Makna  Pendidikan  Kewarganegaraan    bagi  pembangunan  karakter  bangsa negara berubah-ubah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Dari tabel di atas
dapat diketahui bahwa:  pertama, pengelompokan mata pelajaran  berubah-ubah pada tiap  kurikulum  yang  diberlakukan.  Pada  Kurikulum  SMA  1952,  misalnya,
pengelompokan  mata  pelajaran  dibagi  dalam  tiga  bagian:  pokok,  penting,  dan
269 pelengkap. Setelah tahun 1960-an, komposisi mata pelajaran dikategorikan ke dalam
kelompok  dasar,  khusus,  penyerta,  prakarya,  dan  krida.  Ketika  pengaruh  PKI menguat  maka  penjabarannya  mengikuti  Instruksi  Menteri  menyangkut  Kurukulum
Pancawardana,  sebagaimana  yang  berlaku  di  SD,  meliputi  kelompok  perkembangan moral,  perkembangan  intelektual,  perkembangan  emosionalartistik,  perkembangan
keprigelan,  dan  perkembangan  jasmani.  Setelah  PKI  dibubarkan,  pendidikan diarahkan  kepada  pemurnian  Pancasila,  maka  mata  pelajarannya  pun  dirubah
berdasarkan  pengelompokan  pembinaan  jiwa  Pancasila,  pembinaan  pengetahuan dasar,  dan  pembinaan  kecakapan  khusus.  Perubahan  pola  pengelompokan  mata
pelajaran  masih  terus  berlanjut  pada  kurikulum  1975.  Pada  kurikulum  ini  mata pelajaran  dikelompokkan  dalam  tiga  bagian:  pendidikan  umum,  pendidikan
akademis,  dan  pendidikan  keterampilan,  dan  hal  ini  berlaku  sampai  dengan Kurikulum 1984 untuk SDMI dan SMPMTs.
2. Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pada Era Orde Baru
a. PKn Awal Orde Baru
Pada  tahun  1965  terjadi  pemberontakan  G  30  SPKI,  yang  kemudian  diikuti dengan pembaharuan tatanan dalam pemerintahan. Pembaharuan tatanan inilah yang
kemudian  dijadikan  tonggak  pemerintahan  Orde  Baru,  untuk  memurnikan pelaksanaan  UUD  1945.  Perubahan  rezim  ini  kemudian  diikuti  dengan  perubahan
kebijakan  pendidikan,  yaitu  dengan  keluarnya  Keputusan  Menteri  P  dan  K  No.  31 Tahun  1967  yang  menetapkan  bahwa  pelajaran  Civics  isinya  terdiri  atas:  1
270 Pancasila;  2  UUD  1945;  3  Ketetapan-ketetapan  MPRS;  4  Pengetahuan  tentang
PBB Soenarjati  Cholisin, 1989: 18. Dengan  Keputusan  Menteri  P    K  tersebut,  maka  isi  materi  Civics  yang
berupa  “Pidato  Presiden”  dihilangkan.  Alasannya  karena  dinilai  kurang  sesuai  bagi upaya  untuk  melaksanakan  Pancasila  dan  UUD  1945  secara  murni  dan  konsekuen.
Seperti dikemukakan oleh Ali Murtopo Alfian, 1970: 31: “Pada  era  Orde  Lama  Pancasila  dan  UUD  1945  telah  diselewengkan,
sehingga  Pancasila  akhirnya  hanya  dijadikan  semboyan  kosong  belaka,  dan sebagai gantinya diisi dengan Nasakom”.
Sedangkan Herbert Feith menyatakan:
“Demokrasi  Terpimpin  ditandai  oleh  pemaksaan  penerimaan  ide-ide  politik almarhum bekas Presiden Soekarno seperti Sosialisme Indonesia ala Nasakom
Alfian, 1970: 31.
Sejak munculnya Orde Baru pada tahun 1966, isi mata pelajaran Civics versi Orde  Lama  hampir  seluruhnya  dibuang,  karena  dianggap  sudah  tidak  sesuai  lagi
dengan tuntutan  yang sedang berkembang. Pada kurikulum 1968, mata pelajaran ini muncul dengan nama Kewargaan Negara, yang isinya di samping Pancasila dan UUD
1945,  adalah  ketetapan-ketetapan  MPRS  1966,  1967,  dan  1968,  termasuk  GBHN, HAM,  serta  beberapa  materi  yang  beraspek  sejarah,  geografi,  dan  ekonomi
Wawancara dengan Muchson. Perkembangan  berikutnya,  mata  pelajaran    “Civics”  yang  kemudian  diganti
menjadi  “Kewargaan  Negara”  pada  1962,  pada  Kurikulum  1968  ditetapkan  secara resmi menjadi “Pendidikan Kewargaan Negara.” Di dalam kurikulum ini, penjabaran
ideologi  Pancasila  sebagai  pokok  bahasan  dianggap  mengedepankan  kajian  tata negara  dan  sejarah  perjuangan  bangsa,  sedangkan  aspek  moralnya  belum  nampak
271 Aman,  dkk.,  1982:  11.  Makna  Pendidikan  Kewarganegaraan  adalah  bagi
pembangunan manusia Indonesia dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.
b. PKn dalam Kurikulum 1968
Kurikulum 1968  bertujuan untuk mengembalikan posisi pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila setelah terjadinya peristiwa G-30-SPKI pada tahun 1965.
Berdasarkan  kurikulum  ini,  tujuan  pendidikan  adalah  sebagai  berikut:  “1 Membentuk  manusia  Pancasila  sejati  berdasarkan  ketentuan-ketentuan  seperti
dikehendaki  oleh  Pembukaan  dan  Isi  UUD  1945.  2  Mempersiapkan  anak  didik untuk  memasuki  jenjang  pendidikan  yang  lebih  tinggi.  3  Memberikan  dasar
keahlian  umum  kepada  anak  didik  sesuai  dengan  bakat  dan  minat  masing-masing dalam  berbagai  lapangan  sehingga  tamatannya  dapat  mengembangkan  dirinya  pada
lembaga-lembaga  pendidikan  lain  dan  lembaga  masyarakat.    Menurut  Abdul  Azis Wahab 2007: 699:
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1968 berada dalam kelompok “Pembinaan  Jiwa  Pancasila”,  baik  di  sekolah  dasar  maupun  sekolah
menengah.  Bedanya  di  sekolah  dasar  kelompok  mata  pelajaran  terdiri  dari Pendidikan Agama, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah dan
Olah  Raga.  Sedangkan  di  SMA  tanpa  Bahasa  Daerah.  Bahan-bahan pengajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan  menurut  Kurikulum  1968  tersebut
digunakan sampai dengan ditetapkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1975 dengan nama  “Pendidikan  Moral Pancasila”  PMP sebagai
nama bidang studi untuk Pendidikan Kewarganegaraan yang tujuannya adalah membentuk  warganegara  Pancasilais  yang  beriman  dan  bertaqwa  kepada
Tuhan  Yang  Maha  Esa.  Dengan  ditetapkannya  Ketetapan  MPR  No. IIMPR1978  tentang  Pedoman  Penghayatan  dan  Pengamalan  Pancasila  P4
maka materi bidang studi Pendidikan Moral Pancasila dilengkapi atau bahkan didominasi  oleh  materi  dan  bahan-bahan  P4.  Dampak  selanjutnya  P4
cenderung  sebagai  bahan  indoktrinasi  untuk  pendidikan  dan  pelatihan warganegara,  sebagai  produk  formal  yang  dihasilkan  oleh  lembaga  legislatif
dan  oleh  lembaga  eksekutif  dijadikan  instrumen  yang  birokratik  untuk digunakan  baik  di  lingkungan  sekolah,  pendidikan  tinggi  maupun  di
masyarakat.
272 Pada  masa  pemerintahan  Orde  Baru  bahan-bahan  pelajaran  Pendidikan
Kewarganegaraan  yang  berbau  Orde  Lama  dihilangkan  sama  sekali  melalui Kurikulum  SD  1968  dengan  melakukan  perubahan-perubahan  materi  dan  metode
penyampaian.  Adapun  mata  pelajaran  atau  kelompok  mata  pelajaran  untuk Pendidikan  Kewarganegaraan  tersebut  adalah  Kelompok  Pembinaan  Jiwa  Pancasila
seperti diuraikan dalam Kurikulum SD 1968 sebagai berikut: Kelompok  pembinaan  jiwa  Pancasila  ialah  kelompok  segi  pendidikan  yang
terutama  ditujukan  kepada  pembentukan  mental  dan  moral  Pancasila  serta pengembangan  manusia  yang  sehat  dan  kuat  fisiknya  dalam  rangka
pembinaan bangsa. Abdul Azis Wahab, 2007: 700.
Pendidikan  Kewarganegaraan  yang  mencakup  Sejarah  Indonesia,  Ilmu  Bumi dan  Pengetahuan  Kewarganegaraan,  selama  masa  pendidikan  yang  enam  tahun  itu
diberikan terus menerus. Sedangkan Bahasa Indonesia dalam kelompok ini mendapat tempat  yang  penting,  sebagai  alat  pembina  cara  berpikir  dan  kesadaran  nasional.
Sedangkan Bahasa Daerah digunakan sebagai langkah pertama bagi sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa tersebut, sebagai bahasa pengantar sampai kelas III dalam
membina  jiwa  dan  moral  Pancasila.  Olahraga  yang  berfungsi  sebagai  pembentuk manusia  Indonesia  yang  sehat  rohani  dan  jasmaninya  diberikan  secara  teratur
semenjak anak-anak menduduki bangku sekolah.
Sama  halnya  dengan  Kurikulum  Sekolah  Dasar  dan  Sekolah  Menengah Pertama  1968,  Rencana  Pendidikan  dan  Pelajaran  Sekolah  Menengah  Atas  Tahun
1968, menurut  Abdul Azis Wahab 2007: 701, juga dibagi kedalam tiga kelompok besar masing-masing yakni:
273 Kelompok  Pembina  Jiwa  Pancasila,  Kelompok  Pembina  Kewargaan  Dasar,
dan  Kelompok  Pembinaan  Kecakapan  Khusus.  Pendidikan  Kewargaan Negara  termasuk  dalam  Kelompok  Pembinaan  Jiwa  Pancasila  bersama
dengan  Pendidikan  Agama,  Bahasa  Indonesia,  dan  Pendidikan  Olahraga. Mata pelajaran Kewargaan Negara di Sekolah Menengah Atas berintikan: 1
Pancasila  dan  UUD  1945,  2  Ketetapan-ketetapan  MPRS  1966,  3 Pengetahuan  umum  tentang  PBB.  Tujuan  diajarkannya  adalah  agar  tiap-tiap
warganegara Indonesia berkewajiban mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta  merealisasikan  isi  dan  jiwa  UUD  1945  dan  Ketetapan-ketetapan
MPRSMPR  serta  ketentuan-ketentuan  pelaksanaannya.  Dengan  demikian Kewargaan  Negara  tidak  saja  wajib  dipelajari  tetapi  lebih-lebih  lagi
merupakan  bentuk  sikap  hidup.  Karena  komunikasi  modern  yang mendekatkan  bangsa  yang  satu  dengan  lainnya  maka  Indonesia  yang
tergabung  dalam  PBB  berkewajiban  menyelami  dan  mempelajari  bentuk organisasi PBB. Salah satu hal penting dalam Kurikulum SMA 1968 tersebut
adalah  mata  pelajaran  Kewargaan  Negara  yang  pengajarannya  senantiasa dikorelasikan  dengan  pelajaran  lain  seperti  Sejarah  Indonesia,  Ilmu  Bumi
Indonesia,  Hak  Azasi  Manusia  dan  Ekonomi,  sehingga  mata  pelajaran Kewargaan  Negara  tersebut  menjadi  lebih  hidup  dan  menantang  dan  lebih
bermakna. Menurut Numan Somantri 1976: 35, pada tahun 1968 mata pelajaran Civics
yang telah diperbarui isinya tersebut diganti dengan nama mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara PKN. Isi PKN menurut Kurikulum 1968 adalah sebagai berikut:
1  PKN  SD  isinya  meliputi,  Sejarah  Indonesia,  Civics,  dan  Ilmu  Bumi.  2 PKN  SMP  Isinya  meliputi,  Sejarah  Kebangsaan,  Kejadian  Setelah  Indonesia
Merdeka, dan UUD 1945. 3 PKN SMA isinya meliputi, Uraian Pasal-pasal UUD 1945 dikaitkan dengan Tata Negara. Numan Somantri, 1976: 35.
Sebagai  bahan  perbandingan  dalam  versi  lain  menurut  Ali  Emran  1976:  4,
PKN 1968 meliputi: 1  Untuk  SD  meliputi,  Pengetahuan  Kewargaan  Negara,  Sejarah  Indonesia,
Ilmu  Bumi.  2  Untuk  SMP  meliputi,  Sejarah  Kebangsaan,  Kejadian  Setelah kemerdekaan,  UUD  1945,  Pancasila,  Ketetapan-ketetapan  MPRS.  3  Untuk
SMA  berisi,  Uraian  pasal-pasal  UUD  1945  yang  dihubungkan  dengan  Tata Negara, Sejarah, Ilmu Bumi dan Ekonomi. Pada tahun 1970 PKN difusikan ke
dalam  mata  pelajaran  Ilmu  Pengetahuan  Sosial  IPS.  IPS  saat  itu  meliputi: PKN,  Sejarah,  Ilmu  Bumi,  Ekonomi,  Antropologi  Budaya,  Sosiologi  dan
Hukum.
274 Tabel 38
Susunan Mata Pelajaran SMA Tahun 1968
Mata Pelajaran Kl
I Sastra Sosial
Budaya Kl
II Kl
III Ilmu Pasti Ilmu
Alam Kl
II Kl
III Kelompok
Pembinaan Jiwa Pancasila
1. Pend. Agama
3 3
3 3
3
2. PKn 2
2 2
2 2
3. Bhs. Indo 3
3 3
3 3
4.Pend.Olahraga 3
3 3
3 3
Sub Jumlah 11
11 11
11 11
Kelompok Pembinaan
Pengetahuan Dasar 1. Sejarah
3 1. Bhs dan Sastra Indo.
4 4
1. Aljabar 3
3 2. Geografi
2 2. Sejarah
3 3
2. Ukur Sudut 1
1 3. Ilmu Pasti
5 3. Geografi
3 3
3. UkurRuang 2
2 4. Fisika
4 4. Eko  Koperasi
3 3
4. Fisika 4
4 5. Kimia
3 5. Menggambar
2 2
5. Matemaika 2
2 6. Biologi
3 6. Bhs Inggris
4 4
6. Kimia 3
5 7. Eko  Kop.
2 7. Ilmu Budaya
2 2
7. Biologi 3
3 8. Menggambar
2 Sadaya     Sastrasos
8. Geografi 2
2 9. Bhs Inggris
3 8. Bhs           Ilmu Pasti
Daerah 2
2 9. Menggambar
2 2
9. Sej Keb.   Peng Dag. 1
2 10. Bhs Inggris
3 3
10. Ilmu        Tata Buku Pasti
2 3
Sub Jumlah 27
26 28
25 27
Kelompok Pembinaan
Kecakapan Khusus 1. PKK
2 2
- 2
- 2. Prakarya
a. Kesenian 1
1 -
1 -
b. Bahasa -
- -
- -
c. ketrampilan -
- -
- -
d. Lain-lain 2
2 3
2 3
Sub Jumlah 5
5 3
5 3
Jumlah 43
42 42
41 41
Sumber:  Perkembangan  Pendidikan  Dasar  dan  menengah  Tahun  1945-1989,  Ditjend.  Dikdasmen, Depdikbud, 1992.
Makna  Pendidikan  Kewarganegaraan  dalam  Kurikulum  1968  lebih menekankan    untuk  memahami  Pancasila,  UUD  1945,  sejarah  kebangsaan,  serta
tatanegara,  dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya.
275
c. PKn dalam Kurikulum 1975
Menurut Abdul Azis Wahab 2007: 701, perubahan Kurikulum 1968 menjadi Kurikulum 1975, berdampak sebagai berikut:
Mata  pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan  atas  dasar  Keputusan  MPR 1978  diganti  dengan  nama  baru  yang  dikenal  dengan  “Pendidikan  Moral
Pancasila”  PMP.  Pendidikan  Moral  Pancasila  merupakan  mata  pelajaran yang  menyangkut  Pancasila  dan  UUD  1945  dipisahkan  dari  mata  pelajaran
yang  bersangkut  paut  diantaranya  mata  pelajaran  sejarah,  ilmu  bumi,  dan ekonomi.  Sedangkan  gabungan  mata  pelajaran  sejarah,  ilmu  bumi,  dan
ekonomi menjadi bidang studi “Ilmu Pengetahuan Sosial”, dan saat ini diberi nama  “Pendidikan  Ilmu  Pengetahuan  Sosial”.  Hal  yang  sama  masih  tetap
berlaku  saat  diberlakukannya  Kurikulum  1984  sebagai  penyesuaian Kurikulum 1975.
Mengenai  bidang  studi  Pendidikan  Moral  Pancasila,  Depdikbud  telah mengeluarkan  Penjelasan  Ringkas  tentang  Pendidikan  Moral  Pancasila  sebagai
berikut: Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP  secara  konstitusional  mulai  dikenal
dengan  adanya  Ketetapan  MPR  No.  IVMPR1973  tentang  Garis-garis  Besar Haluan  Negara.  Dengan  adanya  Ketetapan  MPR  No.  IIMPR1978  tentang
Pedoman  Penghayatan  dan  Pengamalan  Pancasila  P-4,  maka  materi  PMP didasarkan  pada  isi  P-4  tersebut.  Oleh  karena  Ketetapan  MPR  No.
IIMPR1978  merupakan  penuntun  dan  pegangan  hidup  bagi  sikap  dan tingkah  laku  setiap  manusia  Indonesia  dalam  kehidupan  bermasyarakat  serta
bernegara,  maka  dijadikanlah  sumber,  dan  tempat  berpijak,  isi,  dan  evaluasi PMP.  Dengan  demikian  hakekat  PMP  tiada  lain  adalah  pelaksanaan  P-4
melalui  jalur  pendidikan  formal.  Di  samping  pelaksanaan  PMP  di  sekolah- sekolah di dalam masyarakat  umum giat diadakan  usaha  pemasyarakatan  P-4
lewat  berbagai  penataran.  Dalam  rangka  menyesuaikan  Kurikulum  1975 dengan  P-4  dan  GBHN  1978,  mengusahakan  adanya  buku  pegangan  bagi
murid  dan  guru  Sekolah  Dasar,  Sekolah  Menengah  Tingkat  Pertama,  dan Sekolah  Menengah  Tingkat  Atas.  Usaha  tersebut  telah  menghasilkan  Buku
Paket Pendidikan Moral Pancasila. Dikbud, 1982: 12.
Dengan  penjelasan  ringkas  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  1  P-4 merupakan  sumber,  dan  tempat  berpijak,  isi,  dan  cara  evaluasi  PMP  melalui
pembakuan  Kurikulum  1975.  2  Dengan  dihasilkannya  Buku  Paket  PMP  untuk
276 semua  tingkat  pendidikan  di  sekolah,  maka  buku  pedoman  Pendidikan
Kewarganegaraan  yang  berjudul  “Manusia  dan  Masyarakat  Baru  Indonesia” dinyatakan tidak berlaku lagi. 3 P-4 tidak hanya diberlakukan di sekolah tetapi juga
masyarakat  pada  umumnya  melalui  berbagai  penataran.  4  Bidang  studi  PMP materinya didominasi P-4.
Berikut  ini  adalah  tujuan  kurikuler  PMP  SD,  SMP,  dan  SMA  dalam Kurikulum 1975.
Tabel 39 Tujuan Kurikuler PMP Kurikulum 1975
SD SMP
SMA 1. Murid mengerti arti ke-
Tuhanan Yang Maha Esa. 1. Siswa menyadari adanya
bermacam-macam agama, dan saling menghargai antara para
pemeluknya. 1. Siswa memahami Tuhan Yang
Maha Esa adalah sebab pertama causa prima sebagai asal dari
segala kehidupan yang mengajarkan persamaan, keadilan,
kasih sayang.
2. Murid mengerti prinsip- prinsip dasar yang
terkandung dalam pasal- pasal UUD 1945.
2. Siswa memahami dan mengamalkan ajaran ke-Tuhanan
Yang Maha Esa. 2. Siswa memahami prinsip-
prinsip dasar yang terkandung dalam pasal 29 UUD1945.
3. Murid mengerti prinsip dasar hak-hak asasi
manusia, serta tanggung jawab yang terjalin dengan
hak-hak tersebut. 3. Siswa mengetahui, memahami
dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga
negara. 3. Siswa menghargai sesama
manusia dan memiliki sikap saling menghormati dalam pergaulan
antar bangsa.
4. Murid mengerti prinsip- prinsip dasar yang
terkandung dalam alenia pertama Pembukaan UUD
1945. 4. Siswa mengetahui, memahami
dan menghayati prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan
sehari-hari. 4. Sisiwa memahami prinsip-
prinsip dasar hak asasi manusia.
5. Murid mengerti arti kesatuan bangsa dan negara
Indonesia. 5. Siswa mengetahui
perkembangan sejarah nasional Indonesia.
5. Siswa mengetahui dan memahami serta dapat
melaksanakan kewajiban dan hak yang harus dilakukan dalam
kehidupan bermasyarakat.
6. Murid mengetahui, mengenal, kebudayaan
daerah dalam rangka mengembangkan rasa
Bhineka Tunggal Ika. 6. Siswa menunjukkan sikap dan
tindakan yang mendukung kesatuan nasional.
6. Siswa mengetahui dan memahami pentingnya arti
kesatuan dan persatuan nasional.
7. Murid mengetahui 7. Siswa mengerti, mentaati dan
7. Siswa mengerti sistem
277
tentang hak dan kewajiban dalam lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat. melaksanakan peraturan untuk
memajukan kehidupan masyarakat
pertahanan dan keamanan nasional.
8. Murid mengetahui dan mampu melaksanakan
prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan pribadi,
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
8. Siswa mengetahui dan menyadari arti kesatuan nasional
Indonesia demi kesejahteraan masyarakat.
8. Siswa mengerti ketenuan dan peraturan yang telah ditetapkan
untuk memajukan masyarakat dan keamanan nasional serta ikut serta
dalam usaha pertahanan dan keamanan.
9. Murid mengerti dan mampu menggunakan dasar-
dasar hak kewargaan negaranya
9. Siswa mentaati peraturan untuk memelihara dan
meningkatkan keamanan masyarakat.
9. Siswa mengetahui dan menyadari arti kesatuan nasional
Indonesia demi kesejahteraan masyarakat.
10. Murid memahami bentuk dan dasar negara RI,
sehingga mampu berpartisipasi sebagai warga
negara. 10. Siswa mengetahui dan
menyadari pentingnya arti persatuan dan kesatuan nasional
Indonesia, sehingga mampu mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. 10. Siswa memahami dan
menyadari prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, supaya mampu
melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
11. Murid mengetahui dan mempraktekan prinsip
keadilan sosial dalam kehidupan pribadi, keluarga,
sekolah,  dan masyarakat. 11. Siswa memahami dan
menyadari pentingnya disiplin bagi ketertiban masyarakat.
11. Siswa mengetahui dan mengerti sistem pemerintahan
demokrasi Pancasila.
12. Siswa memahami dan menghayati Pancasila dan UUD
1945. 12. Siswa memahami dan
menyadari pentingnya disiplin bagi ketertiban masyarakat.
13. Siswa memahami dan menghayati prinsip-prinsip
kehidupan demokrasi. 13. Siswa memahami dan
menghayati Pancasila dan UUD 1945.
14. Siswa mampu menggunakan prinsip-prinsip demokrasi
Pancasila dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, dan
masyarakat sekitarnya. 14. Siswa memahami dan
menghayati prinsip-prinsip kehidupan demokarsi.
15. Siswa mengetahui bahwa GBHN adalah merupakan
landasan pembangunan Indonesia.
15. Siswa mampu menggunakan prinsip-prinsip demokrasi
Pancasila dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah dan
masyarakat sekitarnya.
16. Siswa memahami dasar dan tujuan kehidupan sosial ekonomi
Indonesia dan berusaha berpartisipasi untuk keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat.
17. siswa berusaha melaksanakan prinsip keadilan sosial.
18. Siswa berusaha melaksanakan prinsip keadilan sosial.
Sumber:Samsuri 2010: 122.
278 Makna  Pendidikan  Kewarganegaraan  dalam  Kurikulum  1975  lebih
menekankan  untuk memahami Pancasila dan UUD 1945, dalam rangka membangun manusia  Indonesia  seutuhnya.  Dari  tabel  di  atas  dapat  diketahui  bahwa  Pendidikan
Kewarganegaraan  dalam  Kurikulum  1975  menggunakan  pendekatan  tujuan.  Itu artinya  masih  sama  dengan  Kurikulum  1968,  perbedaannya  hanya  ada  penambahan
topik tentang pembangunan nasional dan GBHN pada PMP Kurikulum 1975. Dalam  perkembangan  selanjutnya  Abdul  Azis  Wahab  2007:  702,
menyatakan bahwa: Nama  mata  pelajaran  PMP,  dengan  berbagai  pertimbangan  setelah
dikeluarkannya  Kurikulum  1994  diubah  menjadi  mata  pelajaran  “Pendidikan Pancasila  dan  Kewarganegaraan”  PPKn.  Perubahan  tersebut  didasarkan
pada  UU  No.  2  Tahun  1989  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  yang  di dalamnya  mengamanatkan  bahwa:  Isi  kurikulum  pada  setiap  jenis,  jalur,  dan
jenjang  pendidikan  wajib  memuat:  a  Pendidikan  Pancasila;  b  Pendidikan Agama; serta c Pendidikan Kewarganegara.
Sebagai  perbandingan  dari  sisi  tujuan,  pada  era  Orde  Baru,  mata  pelajaran
PMP  bertujuan  membentuk  manusia  Pancasilais  yang  menurut  Kurikulum  Sekolah Dasar  1975  tersebut  seluruh  mata  pelajaran  berperan  untuk  mencapai  tujuan
pendidikan  tersebut.  Dengan  demikian  yang  berkewajiban  membentuk  manusia Pancasilais  bukan  hanya  menjadi  tanggungjawab  mata  pelajaran  PMP  semata.
Selanjutnya  muncul  Kurikulum  1984,  yang  merupakan  penyempurnaan  dari Kurikulum 1975, maka tujuan membentuk manusia Indonesia yang Pancasilais tetap
merupakan tema utamanya Abdul Azis Wahab, 2007: 702. Selama masa Orde Baru kurikulum  telah  berubah  beberapa  kali  yang  berakibat  berubahnya  pula  kurikulum
Pendidikan  Kewarganegaraan.  Di  awali  Kurikulum  1962,  Kemudian  Kurikulum 1968,  Kurikulum  1975,  disempurnakan  menjadi  Kurikulum  1984,  dan  terakhir
279 Kurikulum  1994  sebagai  kelanjutan  dari  Kurikulum  1984.  Perubahan  Pendidikan
Kewarganegaraan  yang  bernama  Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP  menjadi Pendidikan  Pancasila  dan  Kewarganegaraan  PPKn  juga  terjadi  dalam  era  Orde
Baru. Baik  Orde  Lama  maupun  Orde  Baru  sesungguhnya  memiliki  tujuan  yang
sama yaitu: Mendidik,  membentuk,  dan  mempersiapkan  warganegara  yang  baik  menurut
apa  yang  dianggap  baik  menurut  pandangan  “rezim”  yang  berkuasa  pada masa itu. Orde Lama lebih menekankan pada “nation and character building”
sedangkan  periode  Orde  Baru  lebih  menekankan  pada  “Pembangunan Manusia Indonesia  Seutuhnya” yang masing-masing telah diketahui kekuatan
dan  ksaelemahannya.  Orde  Lama  berakhir  dengan  lahirnya  Gerakan  30 September  PKI,  dan  Orde  Baru  berakhir  dengan  situasi  pemerintahan  yang
korup,  serta  merajalelanya  korupsi,  kolusi,  dan  nepotisme  KKN  yang dibangun  di  atas  legitimasi  politik  dengan  nilai-nilai  kultur  feodalisme  dan
primordialisme.  Selama  Orde  Baru  materi  PPKn  didominasi  oleh  materi  P4, menyebabkan  pembelajaran  PPKn  di  kelas  berlangsung  dengan  sangat  kaku
tanpa  improvisasi  dan  bersifat  indoktrinatif.  Akibatnya  siswa  lebih  terbiasa menghafalkan  nilai-nilai  dan  moral  Pancasila  dan  bukan  mengamalkannya.
Abdul Azis Wahab, 2007: 703.
Tetapi apa yang penting PPKn pada masa Orde Baru lebih menekankan pada pembangunan  manusia  Indonesia  seutuhnya,  manusia  pembangunan  dengan  dijiwai
Pancasila dan UUD 1945.
d. PKn yang didominasi P-4
Muchson  dalam  wawancara  dengan  peneliti  menguraikan  dominannya  P-4 dalam PMP sebagai berikut:
Sesuai dengan amanat Ketetapan MPR No. IVMPR1973, mata pelajaran ini berubah  nama  menjadi  Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP  pada  kurikulum
1975.  Dengan  ditetapkannya  Ketetapan  MPR  No.  IIMPR1978  tentang  P-4, maka  terjadilah  perkembangan  yang  cukup  substantif  mengenai  materi
pelajaran ini,  yakni sangat dominannya  materi P-4 dalam PMP. wawancara, 15 Desember 2010.
280 Menurut Armaidy Armawi:
Tafsir  ideologis  negara  dalam  bidang  pendidikan  pada  era  Orde  Baru  mulai menampakkan  kekuatannya  ketika  secara  formal,  GBHN  1973  menyebut
perlunya:  Kurikulum  di  semua  tingkat  pendidikan,  berisikan  Pendidikan Moral Pancasila. Apabila dicermati, nampak jelas bahwa Pancasila ditafsirkan
dalam  masing-masing  pokok  bahasan,  sub  pokok  bahasan,  dan  bahan pengajaran. wawancara, 8 Juli 2011.
PMP  makin  indoktrinatif  ketika  MPR  telah  menetapkan  Pedoman  Penghayatan  dan Pengamalan Pancasila P-4.
Tap MPR tentang P-4 ini akhirnya dicabut dalam Sidang Istimewa MPR pada bulan November 1998. Dalam pandangan Prof. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua
PP  Muhammadiyah,  pelaksanaan  P4  sebagai  ketimpangan  “antara  laku  dan  kata.” Pada  sisi  lain,  kelompok  masyarakat  yang  kecewa  dengan  pencabutan  Tap  itu
menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila dalam P-4 itu sebenarnya tak ada yang salah. Tabel 40
Butir-Butir Pengamalan Pancasila
Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa
1. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar keamanusiaan yang adil dan beradab.
2. Hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya. 4.
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Sila Kemanu-
siaan yang adil dan
beradab 5.
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
6. Saling mencintai sesama manusia.
7. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
8. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
9. Menjunjung tingi nilai kemanusiaan.
10. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
11. Berani membela kebenaran dan keadilan.
12. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari    seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Sila Persatuan Indonesia
13. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa
dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. 14.
Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. 15.
Cinta Tanah Air dan Bangsa. 16.
Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air  Indonesia. 17.
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber- Bhinneka Tunggal Ika.
281
Sila Kerak- yatan yang
dipimpin oleh hikmat
kebijak- sanaan dalam
permu- syawara-
tanperwakila n
18. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
19. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
20. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama. 21.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
22. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil keputusan musyawarah. 23.
Menghayati arti musyawarah yang dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
24. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Sila Keadilan Sosial bagi
seluruh Rakyat
Indonesia 25.
Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur  yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
26. Bersikap adil.
27. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
28. Menghormati hak-hak orang lain.
29. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
30. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
31. Tidak bersikap boros.
32. Tidak bergaya hidup mewah.
33. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
34. Suka bekerja keras.
35. Menghargai hasil karya orang lain.
36. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Sumber: Tap MPR No. IIMPR 1978 dalam Samsuri, 2010: 121.
Menurut Armaidy Armawi: Rezim  Orde  Baru  tidak  memanfaatkan  PKn  secara  benar,  karena  terjebak
kepentingan  jangka  pendek.  Pesan-pesan  konstitusi  tidak  tersampaikan dengan  baik.  Seharusnya  PKn  tidak  terpengaruh  kepentingan  rezim.  PKn
terkait  dengan  state  dan  citizen.  Di  negara  maju  pengajar  PKn  punya kebanggaan,  sementara  di  Indonesia  masih  termarjinalkan,  belum  dianggap
penting oleh masyarakat. wawancara 8 Juli 2011.
e. PKn dalam Kurikulum 1984
Menurut  Darmaningtyas  2004:  72,  Kurikulum  1975  belum  genap  berusia sepuluh tahun sudah diubah ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh
Nugroho Notosusanto diganti dengan Kurikulum 1984. Salah satu hal yang menonjol dari Kurikulum 1984 itu adalah dimasukkannya pelajaran PSPB Pendidikan Sejarah
Perjuangan  Bangsa  sebagai  pelajaran  wajib  dari  TK-SMTA,  baik  sekolah  umum maupun kejuruan. Ide dasar Menteri Nugroho mengadakan pelajaran PSPB itu adalah
282 agar murid mengenal bangsanya sendiri dengan lebih baik, dan mengambil pelajaran
dari sejarah tersebut. Oleh sebab itu, pelajaran sejarah tidak hanya dihapal, melainkan dibuat  yang  menarik  agar  bisa  menumbuhkan  semangat  kebangsaan.  Berikut  ini
pendapat Husain Haikal mengenai munculnya PSPB: Materi  baru  itu  menimbulkan  kontroversi  karena  dinilai  tumpang  tindih
dengan  pelajaran  IPS,  Sejarah  Nasional,  dan  PMP  yang  kesemuanya  bicara soal kepahlawanan nasional. Dan tentu pahlawan nasional disana lebih banyak
didominasi  oleh  orang-orang  bersenjata,  bukan  oleh  para  pemikir  yang  juga menjadi founding fathers negeri ini. wawancara, 7 Juli 2011.
Fuad  Hassan  yang  diangkat  menjadi  Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan
tanggal  30  Juli  1985  menggantikan  Menteri  Nugroho  Notosusanto  yang    meninggal dunia tanggal 3 Juni 1985 dan selama masa kosong itu Menteri P dan K dijabat oleh
JB  Sumarlin  yang  pada  saat  itu  menjadi  Menteri  Perencanaan  Pembangunan Nasional, mengakui adanya tumpang tindih antara PSPB, Sejarah Nasional, dan PMP.
Kepada Pers ia mengatakan: Terus  terang  saya  katakan,  saat  ini  terjadi  tumpang  tindih  antara  P4,  PSPB,
PMP,  dan  Sejarah  Nasional.  Tumpang  tindih  tersebut  akan  mengakibatkan hilangnya waktu yang bisa dipakai untuk keperluan lain, atau mendesak mata
pelajaran  lain.  Masalah  yang  timbul  kemudian  adalah,  bagaimana menjabarkan  itu  secara  kurikuler  agar  tidak  tumpang  tindih,  baik  horisontal
maupun  vertikal.  Tumpang  tindih  horisantal  adalah  pemberian  materi  yang sama pada satu jenjang pendidikan. Jadi bahan yang sama terus diulang-ulang
pada  empat  pelajaran  yang  berlainan.  Tumpang  tindih  vertikal  adalah pemberian bahan atau materi yang sama pada  jenjang yang tidak sama. Baik
pengulangan  horisontal  maupun  vertikal  mempunyai  dampak  yang  kurang baik. Kompas, 209 1985 dalam Darmaningtyas, 2004: 74
Tampilnya  Fuad  Hassan  menjadi  Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan  itu sedikit  mengurangi  ketegangan  antara  sejarawan  yang  pro  kekuasaan  dan  sejarawan
yang  kritis,  karena  Menteri  Fuad  Hassan  berupaya  menggabungkan  materi  PSPB dengan  materi  Sejarah  Nasional  dan  PMP  itu  merupakan  bentuk  jalan  tengah  yang
283 dapat ditempuh oleh Menteri Fuad Hassan untuk mengurangi kontroversi yang ada di
masyarakat Darmaningtyas, 2004: 74. Hasil  wawancara  dengan  Ekram  Pawiroputro  menyatakan  adanya
kecenderungan sebagai berikut: “Buku-buku teks  wajib  mata  pelajaran  PPKn dalam  Kurikulum 1984, sangat
dominan materi P-4nya, peran BP-7 juga sangat menonjol. Secara substansial baik  PMP  maupun  PPKn  menjadikan  P-4  sebagai  materi  pokoknya”.
wawancara, 20 Desember 2010.
Pokok-pokok bahasan buku teks wajib PPKn secara umum dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai  gambaran dapat dilihat pada perbandingan dalam tabel
berikut ini: Tabel 41
Pokok Bahasan dalam Buku Teks Wajib PMP untuk SLTA
Kelas Bab Buku Teks PMP sebagai Pokok Bahasan
I I.     Membina Kehidupan Berketuhanan Yang Maha Esa
II.    Membina Persahabatan Antar Bangsa III.  Menggalang Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia
IV.  Memupuk Semangat Proklamasi dan Nilai-nilai 45 V.   Ujian dan Kesaktian Pancasila
VI.  Kebangkitan Orde Baru VII. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
VIII.Sistem Pemerintahan di Indonesia IX.  Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia
X.   Mewujudkan Kemajuan yang Merata dan Kewajiban Sosial
II I.    Pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
II.  Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Asasi Manusia Menurut UUD 1945
III. Menggalang Persahabatan Antar Bangsa
284
IV. Pengamalan Sila Persatuan Indonesia V.  Pengamalan Demokrasi Pancasila
VI. Pancasila Sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum VII. Pengamalan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia VIII. Teknologi dan Pembangunan
IX.    Kelestarian Hidup Bangsa Indonesia
Sumber: Sofyan Aman, dkk. 1982. Pedoman Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila. Jakarta: PN Balai Pustaka. Halaman: 24-25.
f. PKn dalam Kurikulum 1994
Menurut Kosasih
Djahiri 1997:2,
Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan PPKn Kurikulum 1994 adalah merupakan:
”Wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar  pada  budaya  bangsa  Indonesia  yang  diharapkan  dapat  diwujudkan
dalam  bentuk  perilaku  melalui  kehidupan  sehari-hari  siswa,  baik  sebagai individu  maupun  sebagai  anggota  masyarakat,  warganegara,  dan  makhluk
ciptaan  Tuhan  Yang  Maha  Esa.  Perilaku-perilaku  yang  dimaksud  di  atas adalah perilaku seperti yang tercantum di dalam penjelasan UU No. 2 Tahun
1989  Pasal  39  Ayat  2,  yaitu  perilaku  yang  memancarkan  iman  dan  takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai
golongan  agama,  perilaku  yang  bersifat  kemanusiaan  yang  adil  dan  beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dalam masyarakat yang beraneka
ragam
kepentingan, perilaku
yang mendukung
kerakyatan yang
mengutamakan  kepentingan  bersama  di  atas  kepentingan  perseorangan  dan golongan  sehingga  perbedaan  pemikiran,  pendapat,  ataupun  kepentingan
dapat  di  atasi  melalui  musyawarah  dan  mufakat,  serta  perilaku  yang mendukung  upaya  untuk  mewujudkan  keadilan  sosial  bagi  seluruh  rakyat
Indonesia” Kosasih Djahiri, 1997: 2. Di samping hal-hal di atas, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan  juga
dimaksudkan  sebagai  usaha  untuk  membekali  siswa  dengan  budi  pekerti, pengetahuan,  dan  kemampuan  dasar  berkenaan  dengan  hubungan  antara  sesama
warganegara, serta  antara warga negara dan negara.
285 Lebih  lanjut  Kosasih  Djahiri  1997:  4,  menyatakan  bahwa  fungsi  PPKn
dalam Kurikukum 1994 adalah sebagai berikut: ”Pertama,  melestarikan  dan  mengembangkan  nilai  moral  Pancasila  secara
dinamis  dan  terbuka,  yaitu  bahwa  nilai  moral  Pancasila  yang  dikembangkan itu  mampu  menjawab  tantangan  perkembangan  yang  terjadi  dalam
masyarakat,  tanpa  kehilangan  jati  diri  sebagai  bangsa  Indonesia  yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Kedua, mengembangkan dan membina siswa
menuju  manusia  Indonesia  seutuhnya  yang  sadar  politik,  hukum,  dan konstitusi  negara  kesatuan  Republik  Indonesia  yang  berlandaskan  Pancasila
dan  UUD  1945.  Ketiga,  membina  pemahaman  dan  kesadaran  terhadap hubungan  antara  sesama  warga  negara,  antara  warganegara  dan  negara,  dan
pendidikan  pendahuluan  bela  negara  agar  mengetahui  dan  mampu melaksanakan  dengan  baik  hak  dan  kewajibannya  sebagai  warganegara.
Membekali  siswa  dengan  sikap  dan  perilaku  yang  berdasarkan  nilai-nilai moral  Pancasila  dan  UUD  1945  dalam  kehidupan  sehari-hari”  Kosasih
Djahiri, 1997: 4. Selanjutnya tujuan PPKn dalam Kurikulum 1994 dirumuskan sebagai berikut:
”Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan mengahayati nilai-nilai  Pancasila  dalam  rangka  pembentukan  sikap  dan  perilaku  sebagai
pribadi, anggota masyarakat dan warga negara  yang bertanggungjawab, serta memberi  bekal  kemampuan  untuk  mengikuti  pendidikan  di  jenjang
pendidikan  berikutnya  yang  lebih  tinggi.  Siswa  diharapkan  memiliki:  1 Kemampuan memperhitungkan berbagai kemungkinan keadaan, kejadian dan
atau  sikap  perilaku  berlandaskan  kelayakan  nilai  moral  dan  norma  Pancasila dan  UUD  1945.  2  Kemampuan  menghayati  dan  menyadari  perlunya  nilai
moral  dan  norma  Pancasila  dan  UUD  1945  yang  dijadikan  dasar pertimbangan  dari  setiap  kegiatan  terhadap  sesuatu.  3  Peningkatan
pengamalan  sejumlah  sikap,  perilaku  terpuji  serta  sesuai  dengan  nilai  moral dan norma Pancasila dan UUD 1945”. Kosasih Djahiri, 1997: 4.
Menurut  Samsuri  2010:  133,  setelah  dilakukan  identifikasi  terhadap  topik-
topik materi PPKn dalam Kurikulum 1994, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
286 Tabel 42
Materi PPKn Kurikulum 1994
1. Kerapihan 27. Tenggang rasa
53. Pengendalian diri 2. Kasih sayang
28. Ketekunan 54. Lapang dada
3. Kebanggaan 29. Kerjasama
55. Persatuan dan  kesatuan 4. Ketertiban
30. Persamaan derajat 56. Kebijaksanaan
5. Tolong menolong 31. Musyawarah
57. Berjiwa besar 6. Kerukunan
32. Keikhlasan 58. Kepedulian
7. Keberanian 33. Pengabdian
59. Cinta tanah air 8. Kebersihankesehatan
34. Kecermatan 60. Harga menghargai
9. Hidup hemat 35. Keserasian
61. Ketakwaan 10. Keadilan
36. Percaya diri 62. Bekerja keras
11. Ketaatan 37. Kebebasan
63. Kesadaran 12. Belas kasih
38. Saling menghormati 64. Kekerabatan
13. Kesetiaan 39. Kemanusiaan
65. Harga diri 14. Kepatuhan
40. Tanggung jawab 66. Martabat dan harga diri
15. Hormat menghormati 41. Kepentingan umum
67. Kedaulatan 16. Keyakinan
42. Keindahan 68. Kesanggupan
17. Berterus terang 43. Keingin-tahuan
69. Kesatuan 18. Kepuasan hati
44. Kesiap-siagaan 70. Pengaturan
19. Keimanan 45. Kejujuran
71. Toleransi 20. Kesederhanaan
46. Persamaan hak Kewajiban
72. Patriotisme 21. Rela berkorban
47. Keteguhan hati 73. Keselarasan
22. Kedisiplinan 48. Tata krama
74. Kewaspadaan 23. Kekeluargaan
49. Ketahanan 75. Keramah-tamahan
24. Menghargai 50. Kerajinan
76. Demokrasi Pancasila 25. Kemurahan hati
51. Ketulusan 77. Kecintaan
26. Gotong royong 52. Kepahlawanan
78. Kebulatan tekad Sumber: Boediono  dalam Samsuri, 2010: 133.
PPKn  berupaya  membina  keutuhan,  kebulatan,  dan  kesinambungan  dalam wujud  pembinaan  konsep  nilai  dan  moral  Pancasila  sehingga  terbentuk  manusia
Indonesia  seutuhnya  yang  serasi,  selaras,  dan  seimbang  dalam  kehidupan  pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai yang dikembangkan didasarkan
atas  nilai-nilai  dasar  Pancasila  yang  termuat  dalam  butir-butir  P4,  yang  kemudian dijabarkan  lebih  lanjut  ke  dalam  nilai-nilai  instrumental  yang  dapat  mempengaruhi
pola pikir dan sikap, yang mengiringi perkembangan perilaku siswa. Nilai-nilai dasar
287 yang dimaksud adalah keimanan dan ketakwaan, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan dan kesatuan, serta keadilan sosial. Materi pelajaran PMP juga mengalami perubahan sedikit menjadi Pendidikan
Pancasila  dan  Kewarganegaraan.  Di  sini  unsur  Pendidikan  Kewarganegaraan  mulai dimasukkan.  Materi  PSPB  yang  dalam  Kurikulum  1984  menjadi  mata  pelajaran
tersendiri,  juga  resmi  dihapuskan  dan  tidak  ada  lagi.  Menteri  Pendidikan  Wardiman Djajonegoro  juga  mengubah  sistem  semester  menjadi  catur  wulan,  dan  mengganti
sebutan  SMP  menjadi  SLTP  Sekolah  Lanjutan  Tingkat  Pertama  dengan  alasan dalam  konsep  Wajib  Belajar  Sembilan  Tahun,  SMP  bukan  bagian  dari  sekolah
menengah, tapi masuk dalam kategori pendidikan dasar. Selain mengubah nama SMP menjadi  SLTP,  juga  mengubah  sebutan  untuk  jenis  pendidikan  menengah  menjadi
dua saja, yaitu SMU Sekolah Menengah Umum sebagai pengganti SMA dan SMK Sekolah  Menengah  Kejuruan  untuk  mengganti  STM,  SMEA,  SMKK,  SPMA,
SMIK, dan sebagainya. Dibawah  ini dilampirkan tabel susunan program pengajaran Kurikulum 1994
dari SD-SMA.
Tabel 43 Susunan Program Pengajaran pada Kurikulum SD 1994
No MATA PELAJARAN
KL I KL II
KL III KL IV
KL V KL
VI
1 PPKn
2 2
2 2
2 2
2 Pendidikan Agama
2 2
2 2
2 2
3 Bahasa Indonesia
10 10
10 8
8 8
4 Matematika
10 10
10 8
8 8
5 Ilmu Pengetahuan Alam
- -
3 6
6 6
6 Ilmu Pengetahuan Sosial
- -
3 5
5 5
7 Kerajinan dan Kesenian
2 2
2 2
2 2
8 Pendidikan Jasmani
2 2
2 2
2 2
9 Bahasa Inggris
- -
- -
- -
10 Muatan Lokal
2 2
4 5
7 7
JUMLAH 30
30 38
40 42
42 Sumber  Darmaningtyas,  2004:  79.  Darmaningtyas.  2004.  Pendidikan  yang  memiskinkan.
Yogyakarta: Penerbit Galang Press.
288 PPKn hanya mendapat alokasi waktu 2 jam setiap minggu.  Berdasarkan tabel
di atas, kita dapat melihat ketimpangan dalam distribusi alokasi waktu untuk masing- masing pelajaran.
Tabel 44 Susunan Program Pengajaran pada Kurikulum SMP 1994
No MATA PELAJARAN
KL I KL II
KL III
1 PPKn
2 2
2
2 Pendidikan Agama
2 2
2 3
Bahasa Indonesia 6
6 6
4 Matematika
6 6
6 5
Ilmu Pengetahuan Alam 6
6 6
6 Ilmu Pengetahuan Sosial
6 6
6 7
Kerajinan dan Kesenian 2
2 2
8 Pendidikan Jasmani
2 2
2 9
Bahasa Inggris 4
4 4
10 Muatan Lokal
6 6
6 JUMLAH
42 42
42 Sumber  Darmaningtyas,  2004:  80.  Darmaningtyas.  2004.  Pendidikan  yang  memiskinkan.
Yogyakarta: Penerbit Galang Press.
Untuk SMP dan SMA, PPKn juga hanya mendapat alokasi waktu 2 jam setiap minggu.    Di  tingkat  SMP  dan  SMA  mata  pelajaran  yang  memperoleh  jam  cukup
banyak  adalah  mata  pelajaran  keilmuan,  seperti  Matematika,  IPA,  dan  IPS. Sedangkan Pendidikan Agama, dan PPKn masing-masing hanya 2 jam pelajaran per
minggu. Tabel 45
Susunan Program Pengajaran pada Kurikulum SMA 1994 Kelas I dan  Kelas II
No MATA PELAJARAN
KL I KL II
1 PPKn
2 2
2 Pendidikan Agama
2 2
3 Bahasa Indonesia
6 6
4 Matematika
6 6
5 Ilmu Pengetahuan Alam
6 6
6 Ilmu Pengetahuan Sosial
6 6
7 Kerajinan dan Kesenian
2 2
8 Pendidikan Jasmani
2 2
9 Bahasa Inggris
4 4
10 Muatan Lokal
6 6
JUMLAH 42
42 Sumber: Darmaningtyas, 2004: 80.
289 Menurut Muchson belum ada perubahan yang signifikan antara Kurikulum 1994
dengan Suplemen GBPP 1999 PPKn: Materi PPKn dalam Kurikulum 1994  maupun Suplemen GBPP 1999 Pendidikan
Kewarganegaraan,  masih nampak sebagai pelajaran budi pekerti, jika dilihat dari topik-topik  pokok  bahasannya.  Konsep  keilmuan  yang  hendak  dibangun  dari
PPKn sebagai Pendidikan Kewarganegaraan menjadi tidak tampak. wawancara, 15 Desember 2010.
Tabel 46 Konsep Nilai, Moral, dan Norma Pancasila dalam GBPP PPKn SMA
dan Pola Penyebaran serta Acuan Pengembangannya
Sila-Sila Pancasila
Pokok Bahasan Kelas I Pokok Bahasan Kelas II
Pokok Bahasan Kelas III Sila kesatu
1. Toleransi 4. Ketaqwaan
7. Kerukunan 2. Kerukunan
5. Saling menghormati 8. Nilai luhur
3. Keselarasan 6. Kerjasama
9. Keyakinan Sila Kedua
10. Menghargai 13. Keramah tamahan
16. Keadilan dan kebenaran
11. Persamaan derajat dan
martabat 14. Keserasian hidup
17. Kecintaan 12. Kasih sayang
15. Martabat dan harga Diri
18. Tenggang rasa Sila Ketiga
19. Cinta tanah air 22. Kesatuan
25. Kebanggaan 20. Patriotisme
23. Kesetiaan 26. Kebulatan tekad
21. Kewaspadaan 24. Kesatuan dan
Persatuan 27. Kesetiaan
Sila Keempat 28. Kebijaksanaan
31. Keikhlasan dan Kejujuran
34. Ketaatan 29. Musyawarah
32. Tanggung jawab 35. Keikhlasan
30. Ketertiban 33. Nilai lebih
demokrasi Pancasila 36. Pengendalian diri
Sila Kelima 37. Pengabdian
40. Kedisiplinan 43. Keadilan sosial
38. Kegotong Royongan
41. Kesederhanaan 44. Bekerja sama
39. Kepentingan Umum
42. Kecermatan dan hidup hemat
45. Tolong Menolong
Sumber: Kosasih Djahiri dan A. Azis Wahab. 1996. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral. Jakarta: Depdikbud. Ditjen Dikti Proyek Pendidikan Tenaga Akademik, halaman 85.
290 Akibat  dari  model  Pendidikan  Kewarganegaraan  yang  menonjolkan
kepentingan  rezim  ialah  mata  pelajaran  PMP  atau  PPKn  menjadi  sangat  tidak menarik, fomalistik, proses pembelajaran tidak banyak melahirkan kemampuan siswa
untuk berpikir kritis terhadap sistem politik pemerintahnya.
f. Dinamika PKn Orde Baru
Berikut  ini  adalah  tabel  dinamika  posisi  Pendidikan  Kewarganegaraan  di Sekolah pada Era Orde Baru:
Tabel 47
Perubahan Posisi Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah
pada Era Orde Baru
Kuri- Kulum
Sekolah Kelompok
Mata Pelajaran 1968
SMA Kelas II dan III
jurusan Budaya
Dasar
Kewarganegaraan
, Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi
Indonesia, Pendidikan AgamaBudi Pekerti, Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Kesehatan
Khusus Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, Sejarah,
Ilmu Bumi, Antropologi Budaya, Bahasa Kawi, Bahasa Inggris, Ekonomi dan Koperasi
Penyerta Prakarya
Krida Krida
1968 SD
Pembinaan Jiwa Pancasila
Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara,
Pendidikan Bahasa Indonesia I, Bahasa Daerah, Pendidikan Olah Raga
Pembinaan Pengetahuan Dasar
Berhitung, Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga
Pembinaan Kecakapan Khusus
Pendidikan Khusus Agraria, Teknik, dan KetatalaksanaanJasa
1968 Rencana
Pendidikan SMP
Pembinaan Jiwa Pancasila
Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara,
Pendidikan Bahasa Indonesia I, Pendidikan Olah Raga
Pembinaan Pengetahuan Dasar
Bahasa Indonesia II, Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu
Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar Pembinaan
Kecakapan Khusus Administrasi, Kesenian, Prakarya, Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga 1975
SMA Pembinaan Jiwa
Pancasila Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan
Negara, Bahasa Indonesia I, Pendidikan Olah
Raga Pembinaan
Pengetahuan Dasar Sejarah, Geografi, Ilmu Pasti, Fisika, Kimia,
Biologi, Ekonomi dan Koperasi, Menggambar, Bahasa Inggris
Pembinaan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Prakarya
291
Kecakapan Khusus Pilihan: Kesenian, Bahasa, Keterampilan dan lain-
lain 1975
SDMI Pembinaan Jiwa
Pancasila Pendidikan Agama, PMP, Bahasa Indonesia,
Bahasa Daerah, Pendidikan Olah Raga Pembinaan
Pengetahuan Dasar Berhitung, IPA, Pendidikan Kesenian, Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga Pembinaan
Kecakapan Khusus Pendidikan Kejuruan Agraria, Teknik, dan
KetatalaksanaanJasa 1975
SMPMTs Pendidikan Umum
Pendidikan Agama, PMP, Olah RagaKesehatan, Pendidikan Kesenian
Pendidikan Akademis
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPS, Matematika, IPA
Pendidikan Ketramp. Pilihan Pra-Vokasional, Pilihan Penunjang
1984 SMAMA
Pendidikan Umum Pendidikan Agama, PMP, Olah RagaKesehatan,
Pendidikan Kesenian Pendidikan
Akademis Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
IPA, IPS Pendidikan
Keterampilan Pendidikan Keterampilan
1984 SDMI
Pendidikan Umum Pendidikan Agama, PMP, PSPB, Pendidikan
Jasmani, Pendidikan Kesenian Pendidikan
Akademis Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, IPS,
Matematika, IPA Pendidikan  Ketramp.  Pendidikan Keterampilan
1984 SMPMTs
Pendidikan Umum Pendidikan Agama, PMP, PSPB, Pendidikan
Jasmani, Pendidikan Kesenian Pendidikan
Akademis Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah,  Bahasa
Inggris, IPS, Matematika, IPA, Biologi, Fisika Pendidikan Ketramp.
Pendidikan Keterampilan 1994
SMAMA Jurusan
A1 atau Fisika
Program Inti Pendidikan Agama, PMP, PSPB, Bahasa dan
Sastra Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia dan Sejarah Dunia, Ekonomi, Geografi, Pendidikan
Jasmani, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia,
Bahasa Inggris
Program Pilihan Metematika, Biologi, Fisika, Kimia, Bhs. Inggris
1994 SD
dan SLTP
MI dan MTs
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, IPS, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan,
Bahasa Inggris dan Muatan Lokal
SMAMA Umum
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ,
Pendidikan Agama, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Bahasa
Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA: Fisika, Kimia, Biologi. IPS:
Ekonomi, Sosiologi, Geografi, dan Seni
Khusus: Program Bahasa
Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Asing lain, Sejarah Budaya
Program IPA Fisika, Biologi, Kimia, Matematika
Program IPS Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Antropologi
Diolah dari berbagai sumber Kurikulum 1952 sampai dengan Kurikulum 1994 Abd. Rachman Assegaf, 2005: 154-160.
292 Dari  tabel  di  atas  dapat  diketahui  bahwa:  pertama,  pengelompokan  mata
pelajaran berubah-ubah pada tiap kurikulum yang diberlakukan. Pada era Orde Baru setelah  PKI  dibubarkan,  pendidikan  diarahkan  kepada  pemurnian  Pancasila,  maka
mata  pelajarannya  pun  dirubah  berdasarkan  pengelompokan  pembinaan  jiwa Pancasila,  pembinaan  pengetahuan  dasar,  dan  pembinaan  kecakapan  khusus.
Perubahan pola pengelompokan mata pelajaran masih terus berlanjut pada kurikulum 1975, pada saat dimana  status madrasah sejajar  dengan  sekolah.  Pada  kurikulum ini
mata  pelajaran  dikelompokkan  dalam  tiga  bagian:  pendidikan  umum,  pendidikan akademis,  dan  pendidikan  keterampilan,  dan  hal  ini  berlaku  sampai  dengan
Kurikulum  1984  untuk  SDMI  dan  SMPMTs.  Akan  tetapi,  di  SMAMA  mata pelajarannya dikelompokkan dalam bagian program inti dan program pilihan dengan
pola penjurusan A1, A2, A3, A4, dan A5. Perubahan selanjutnya dilakukan lagi pada kurikulum 1994, dimana pengelompokan mata pelajaran didasarkan pada dua bagian,
umum  dan  khusus,  sementara  pola  penjurusan  di  SMUMA  kembali  mengikuti Kurikulum 1975, yakni Bahasa, IPA, dan IPS.
g. Makna PKn Orde Baru
Makna Pendidikan Kewarganegaraan pada era Orde Baru adalah membentuk manusia  Indonesia  seutuhnya,  manusia  pembangunan,  manusia  yang  berjiwa
Pancasila  dan  UUD  1945.  Ekonomi  Indonesia  pada  era  Orde  Baru  mengalami pertumbuhan  yang  cukup  tinggi,  ditunjang  oleh  stabilitas  nasional  yang  mantap.
Trilogi  pembangunan  dicanangkan,  yakni  pertumbuhan  ekonomi,  pemerataan pembangunan, dan  stabilitas nasional. Namun sayang  dalam implementasinya  aspek
293 pemerataan  agak  terabaikan.  Dampaknya  ekonomi  tumbuh  pesat,  stabilitas  mantap,
tapi kesenjangan untuk menikmati hasil pembangunan terjadi, ditambah korupsi juga merajalela.
Pendidikan  Kewarganegaraan  pada  era  Orde  Baru  memiliki  visi  untuk mendukung  penguatan  negara.  Adapun  misinya  adalah    membentuk  warga  negara
yang  baik  dengan  ciri,  patuh  kepada  rezim,    pendukung  setia  status  quo.  Substansi materi didominasi oleh nilai-nilai  moral P-4 sebagai tafsiran tunggal rezim. Strategi
pembelajarannya  menggunakan    motode  indoktrinasi    dan  hegemoni.  Memiliki  ciri- ciri  kurang  jelas  akar  keilmuannya,  ada  intervensi  rezim  untuk  menitipkan
kepentingannya,  cenderung  mengikuti  kepentingan  rezim,  tampak    jelas  adanya indoktrinasi,  ada  kesenjangan  antara  yang  diajarkan  dengan  yang  terjadi  di
masyarakat. 3. Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah  Era
Reformasi Reformasi  bertujuan  untuk  membangun  masyarakat  madani,  masyarakat
Indonesia  yang  demokratis  dan  religius,  yang  tidak  otoriter  dan  hegemonik.  Orde Lama dan Orde Baru telah memberi pelajaran yang berharga bagi  bangsa Indonesia
untuk  tidak  lagi  mengulangi    pemerintahan  yang  otoriter  dan  hegemonik  bagi rakyatnya.  Pendidikan  Kewarganegaraan  memiliki  kontribusi  yang  cukup  besar
dalam membentuk masyarakat madani yang demokratis. Seiring dengan hal itu, maka kurikulum  Pendidikan  Kewarganegaraan  harus  disesuaikan  dengan  era  yang  sedang
berubah, yakni era reformasi.
294
a. PKn dalam Kurikulum Suplemen 1999
Reformasi tahun 1998 membawa dampak bagi Pendidikan Kewarganegaraan pada  jenjang  pendidikan  dasar  dan  menengah.  Menurut  Ekram  Pawiroputro  GBPP
PPKn 1994 sudah dilaksanakan hampir 5 tahun, maka perlu direvisi. Pada era Reformasi, GBPP PPKn 1994 banyak mendapat kritik, dan komentar
yang  dilontarkan  oleh  para  ahli,  praktisi,  dan  masyarakat.  Oleh  karena  itu perlu  dilakukan  penyempurnaan  terhadap  GBPP  PPKn    1994  tersebut.
Penyempurnaan  GBPP  PPKn  dilakukan  dengan  maksud  untuk:  1 meningkatkan  efektifitas  dan  kualitas  pembelajaran  dan  2  meningkatkan
hasil belajar siswa. wawancara, 20 Desember 2010.
Perwujudan dari prinsip  itu di dalam GBPP ditampakkan dalam pemunculan butir-butir dalam ungkapan yang sama atau serupa. Keadaaan ini kelihatannya belum
sepenuhnya  dipahami  oleh  para  pelaksana  kurikulum  di  lapangan.  Selain  itu  juga ternyata  pembahasan  materi  tersebut  dalam  buku  pelajaran  belum  mencerminkan
artikulasi  materi  yang  sesungguhnya.  Dampaknya  bagi  pelaksanaan  di  lapangan ternyata  banyak  para  guru  yang  merasakan  adanya  kesulitan  dalam  melaksanakan
proses pembelajaran. Untuk  mengkaji  seberapa  jauh  GBPP  PPKn  mengandung  masalah-masalah
yang  berkenaan  dengan  pengorganisasian  isi  dan  pengalaman  belajar.  Badan Penelitian  dan  Pengembangan  Pendidikan  dan  Kebudayaan  bekerja  sama  dengan
Direktorat  Jenderal  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  mengadakan  serangkaian kegiatan  untuk  mengkaji  GBPP  PPKn.  Kegiatan  ini  melibatkan  para  ahli  Mata
Pelajaran PPKn, pengembang kurikulum, dan guru-guru PPKn. Menurut  Ekram  Pawiroputro  pengkajian  GBPP  dilakukan  dengan
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
295 “1  Menelaah  hasil  pengkajian  kurikulum  pendidikan  dasar  dan  menengah
sebagai  dasar  untuk  melihat  permasalahan  dalam  dokumen  dan  pelaksanaan kurikulum  PPKn.  2  Mengkaji  GBPP  PPKn  dalam  rangka  merumuskan
perbaikan  GBPP  dengan  menggunakan  format  suplemen  perbaikan  GBPP yang  didalamnya  memuat  hasil  pengkajian.  3  Membahas  usulan  perbaikan
GBPP  tersebut  dengan  cara  mendiskusikan  masing-masing  perbaikan  guna mendapatkan  kesepakatan  mengenai  isi  suplemen  GBPP  tersebut.  4
Memfinalisasi  usulan  suplemen  penyempurnaanpenyesuaian  GBPP  PPKn untuk  masing-masing  jenjang  persekolahan”,  wawancara,  20  Desember
2010. Lebih  lanjut  menurut  Ekram  Pawiroputro,  dari  kegiatan  pengkajian  tersebut
diperoleh GBPP PPKn yang disempurnakan sebagai berikut: 1  Untuk  pokok  bahasan  yang  mirip  atau  sama  diperbaiki  dengan  cara
menggabungkan pokok bahasan tersebut beserta uraian materinya pada kelas yang  lebih  tinggi  atau  yang  rendah.  2  Untuk  pokok  bahasan  yang  tidak
relevan dengan perkembangan jaman ditunda pelaksanaannya sampai dengan adanya keputusan lebih lanjut dari Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan.
Menyadari  begitu  cepatnya  perkembangan  masyarakat  di  satu  pihak  sifat GBPP  serta  Buku  Teks  yang  cenderung  lambat  berubah  memungkinkan
terjadinya kesenjangan antara apa yang tertulis dalam GBPP atau Buku Teks dengan  tuntutan  perubahan  dalam  masyarakat.  Untuk  menjaga  agar
pembelajaran  PPKn  menarik  dan  menantang  perlu  diperkenalkan  materi- materi  dan  proses  pembelajaran  yang  berdimensi  konflik  atau  kontroversial
sebagai  sarana  untuk  mengembangkan  kemampuan  siswa  dalam  berpikir kritis”, wawancara, 20 Desember 2010.
Dengan  berkurangnya  beberapa  pokok  bahasan  pada  catur  wulan  dan  kelas-kelas tertentu  maka  PPKn  tidak  lagi  hanya  diajarkan  bentuk  hafalankognitif  tetapi
dikerjakan  pembiasaan.  Oleh  karena  itu  guru  perlu  berupaya  membangun lingkungan  dan  iklim  belajar  yang  demokratis  sebagai  miniatur  kehidupan
masyarakat  demokratis  sehingga  memungkinkan  konsep,  prinsip,  dan  nilai-nilai demokrasi  dapat  dipelajari,  dicerna,  dan  dilaksanakan  dalam  kehidupan  sehari-hari
siswa. Untuk mendukung pembelajaran PPKn digunakan aneka ragam sumber belajar yang  memungkinkan  guru  dan  siswa  dapat  memilih  secara  kritis  dan  menggunakan
296 secara kreatif sumber informasi yang relevan. Pengkajian GBPP PPKn menghasilkan
kesepakatan sebagai berikut: Tabel 48
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SMU Kelas I
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
I1 1. Toleransi
2. Menghargai 3. Cinta tanah air
4. Kebijaksanaan 5. Pengabdian
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Ditunda sampai dengan
adanya rujukan.
I2 1. Kerukunan
2. Persamaan derajat 3. Patriotisme
4. Musyawarah
5. Gotong royong
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan kelas II1
Ditunda sampai dengan adanya rujukan.
I3 1. Keselarasan
2. Kasih sayang 3. Kewaspadaan
4. Ketertiban 5. Kepentingan umum
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Materi tidak cocok untuk
siswa SMU Ditunda samapai dengan
adanya rujukan.
Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada  lima  pokok  bahasan  yang  tidak  diajarkan  di  SMA  kelas  I  yaitu: Kebijaksanaan,  Kerukunan,  Musyawarah,  Kasih  Sayang,  dan  Kewaspadaan.  Kelima
pokok  bahasan  tersebut  tidak  diajarkan  dalam  Kurikulum  Suplemen  1999  dengan alasan materi sudah tidak cocok lagi, serta ditunda sampai adanya rujukan.
297 Tabel 49
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SMU Kelas II
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS
KETERANGAN II1
1. Ketaqwaan 2. Keramah-tamahan
3. Kesatuan 4. Keikhlasan
5. Kedisiplinan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
II2 1. Saling menghormati
2. Keserasian 3. Kesetiaan
4. Tanggung jawab 5. Kesederhanaan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan
II3 1. Kerjasama
2. Martabat dan harga diri
3. Persatuan dan kesatuan 4. Demokrasi Pancasila
5. Kecermatan dan hidup Hemat
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Tidak diajarkan
Tidak diajarkan Ditunda sampai
adanya rujukan. Ditunda sampai
adanya rujukan. Ditunda sampai
adanya rujukan.
Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada tiga pokok bahasan yang tidak diajarkan di SMA kelas II yaitu: Persatuan dan  Kesatuan,  Demokrasi  Pancasila,  Kecermatan  dan  Hidup  Hemat.  Ketiga  pokok
bahasan  tersebut  tidak  diajarkan  dalam  Kurikulum  Suplemen  1999  dengan  alasan ditunda sampai adanya rujukan.
298 Tabel 50
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SMU Kelas III
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
III1 1. Kerukunan
2. Keadilan dan kebenaran
3. Kebanggaan 4. Ketaatan
5. Keadilan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Penggabungan dari kelas I2 dan III2.
Ditunda sampai adanya rujukan
III2 1. Kerukunan
2. Kecintaan 3. Kebulatan tekad
4. Keikhlasan 5. Bekerjasa
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan kelas III1
Ditunda sampai adanya rujukan Ditunda sampai adanya rujukan
III3 1. Keyakinan
2. Tenggang rasa 3. Kesetiaan
4. Pengendalian diri 5. Tolong menolong
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Dipindah ke kelas III2
Sumber: GBPP PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada  empat  pokok  bahasan  yang  tidak  diajarkan  di  SMA  kelas  III  yaitu: Keadilan  dan  Kebenaran,  Kerukunan,  Kebulatan  Tekad,  dan  Keikhlasan.  Keempat
pokok  bahasan  tersebut  tidak  diajarkan  dalam  Kurikulum  Suplemen  1999  dengan alasan  ada  yang  digabung  dengan  kelas  III  dan  ada  yang  ditunda  sampai  adanya
rujukan.
299 Tabel 51
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SLTP Kelas I
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
I1 1. Ketaqwaan
2. Persamaan derajat 3. Cinta tanah air
4. Musyawarah 5. Bekerja keras
6. Pengabdian Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Digabung dengan kelas I3 Penggabungan dari kelas I2
Ditunda samapi adanya rujukan.
I2 1. Tenggang rasa
2. Kesadaran 3. Cinta tanah air
4. Musyawarah
5. Gotong royong Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Tidak diajarkan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Digabung dengan kelas II1 Digabung dengan kelas I1
Ditunda sampai adanya rujukan.
I3 1. Keyakinan
2. Persamaan derajad 3.Persatuan dan
kesatuan 4. Rela berkorban
5. Keadilan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan
Digabung dengan kelas III1 Digabung dengan kelas III1
Sumber: GBPP  PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada  tujuh  pokok  bahasan  yang  tidak  diajarkan  di  SLTP  kelas  I  yaitu: Persamaan  Derajat,  Musyawarah,  Kesadaran,  Cinta  Tanah  Air,  Musyawarah,
Keyakinan,  dan  Rela  Berkorban.  Ketujuh  pokok  bahasan  tersebut  tidak  diajarkan dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada  yang digabung dengan kelas I,
II, dan III, serta ada yang ditunda sampai adanya rujukan.
300 Tabel 52
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SLTP Kelas II
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994 STATUS
KETERANGAN II1
1. Keyakinan 2. Kesadaran
3.Persatuan dan kesatuan 4. Musyawarah
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
II2 1. Kerja sama
2. Kekerabatan 3. Kesetiaan
4. Tanggung Jawab
5. Kesederhanaan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Ditunda  sampai  adanya rujukan.
Digabung  dengan  kelas II1
II3 1. Kebersihan
2.Saling  menghargai 3. Rela berkorban
4. Kedisiplinan 5. Pengendalian diri
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan
Sumber: GBPP  PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada  satu  pokok  bahasan  yang  tidak  diajarkan  di  SLTP  kelas  II  yaitu: Tanggung  Jawab.  Satu  pokok  bahasan  tersebut  tidak  diajarkan  dalam  Kurikulum
Suplemen 1999,  dengan alasan ditunda sampai adanya rujukan.
301 Tabel 53
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SLTP Kelas III
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
III1 1. Ketaatan
2. Kepedulian 3. Kesadaran
4. Kepatuhan 5. Keadilan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas III2
Penggabungan dari kelas I3
III2 1. Kerukunan
2. Persamaan derajat 3. Kedaulatan
4. Kesadaran 5. Kesanggupan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan kelas III1
III3 1. Ketaatan
2. Kesadaran 3. Kesatuan
4. Pengaturan 5. Hormat
menghormati
Tidak diajarkan Tidak diajarkan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan kelas III1
Digabung dengan kelas II1 Ditunda sampai adanya rujukan.
Sumber: GBPP  PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada  empat  pokok  bahasan  yang  tidak  diajarkan  di  SLTP  kelas  III  yaitu: Persamaan Derajat, Ketaatan, Kesadaran, Kesatuan. Keempat pokok bahasan tersebut
tidak  diajarkan  dalam  Kurikulum  Suplemen  1999  dengan  alasan  ada  yang  digabung dengan kelas II, dan III, serta ada yang ditunda sampai adanya rujukan.
302 Tabel 54
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas I
KELASC AWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
I1 1. Kerapihan
2. Kasih sayang 3. Kebanggaan
4. Ketertiban 5. Tolong menolong
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Digabung dengan kelas II1
Penggabungan dari kelas III1 dan V2
Digabung dengan kelas V3 Ditunda sampai adanya rujukan.
I2 1. Kerukunan
2. Keberanian 3. Kebersihan
4. Hidup hemat 5. Keadilan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan kelas VI3
I3 1. Ketaatan
2. Belas kasih 3. Kesetiaan
4. Kepatuhan 5.Hormatmenghormati
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan kelas V1
Penggabungan dari kelas II3
Sumber: GBPP  PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada  empat  pokok  bahasan  yang  tidak  diajarkan  di  SD  kelas  I  yaitu:  Kasih Sayang,  Tolong  Menolong,    Kerukunan,  dan  Ketaatan.  Keempat  pokok  bahasan
tersebut  tidak  diajarkan  dalam  Kurikulum  Suplemen  1999  dengan  alasan  ada  yang digabung dengan kelas II, V, dan VI, serta ada yang ditunda sampai adanya rujukan.
303 Tabel 55
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas II
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
II1 1. Keyakinan
2. Kasih sayang 3. Berterus terang
4. Kepuasan hati 5. Ketertiban
Tidak  diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan Kelas III1
Penggabungan dari kelas I1 Digabung dengan kelas III2
II2 1. Keimanan
2. Kesederhanaan 3. Rela berkorban
4. Kedisiplinan 5. Kekeluargaan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan
Digabung dengan kelas III1 Digabung dengan kelas III2
II3 1. Menghargai
2. Kemurahan hati 3. Kerukunan
4. Kepatuhan 5. Gotong royong
6. Kerjasama Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan
Digabung dengan kelas I3 Sumber: GBPP  PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada  lima  pokok  bahasan  yang  tidak  diajarkan  di  SD  kelas  II  yaitu: Keyakinan,  Berterus  Terang,  Rela  Berkorban,  Kekeluargaan,  dan  Gotong  Royong.
Kelima  pokok  bahasan  tersebut  tidak  diajarkan  dalam  Kurikulum  Suplemen  1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas III.
304 Tabel 56
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas III
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
III1 1. Keyakinan
2. Tenggang rasa 3. Rela berkorban
4. Ketertiban 5. Ketekunan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas II1
Digabung dengan kelas IV1 Penggabungan dari kelas II2
Digabung dengan kelas I1 Penggabungan  dari  kelas  IV3
dan VI1
III2 1. Kerja sama
2. Persamaan derajat 3. Berterus terang
4. Musyawarah 5. Kekeluargaan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas II1
Ditunda sampai adanya rujukan.
Penggabungan dari kelas II2
III3 1. Tenggang rasa
2. Keikhlasan 3. Keberanian
4. Pengabdian 5. Kecermatan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan kelas V2
Sumber: GBPP  PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada tiga pokok bahasan yang tidak diajarkan di SD kelas III yaitu: Tenggang Rasa,  Ketertiban,    dan  Musyawarah.  Ketiga  pokok  bahasan  tersebut  tidak  diajarkan
dalam Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada  yang digabung dengan kelas I, dan IV, serta ada yang ditunda sampai adanya rujukan.
305 Tabel 57
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas IV
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
IV1 1. Keserasian
2. Tenggang rasa 3. Percaya diri
4. Kebebasan 5. Kedisiplinan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan kelas VI2
Penggabungan  dari  kelas  III1  dan VI2
Digabung dengan kelas V1
IV2 1. Saling menghormati
2. Kemanusiaan 3. Kepuasan hati
4. Tanggung jawab 5. Kepentingan umum
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas VI
IV3 1. Keindahan
2. Keinginan 3. Kesiapsiagaan
4. Kejujuran 5. Ketekunan
Tidak diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Digabung dengan kelas VI1
Digabung dengan kelas III1
Sumber: GBPP  PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada  empat  pokok  bahasan  yang  tidak  diajarkan  di  SD  kelas  IV  yaitu: Keserasian, Kebebasan, Keindahan dan Ketekunan. Keempat pokok bahasan tersebut
tidak  diajarkan  dalam  Kurikulum  Suplemen  1999  dengan  alasan  ada  yang  digabung dengan kelas III, V, dan VI.
306 Tabel 58
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas V
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
V1 1. Ketaatan
2. Persamaan hak dan kewajiban
3. Keteguhan hati 4. Kebebasan
5. Tata krama Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Penggabungan dari kelas I3 Penggabungan dari kelas IV1
V2 1. Tenggang rasa
2. Percaya diri 3. Ketahanan
4. Ketertiban 5. Kerajinan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas III1
Digabung dengan kelas I1
V3 1. Kebersihan
2. Ketulusan 3. Kepahlawanan
4. Pengendalian diri 5. Tolong menolong
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Digabung dengan kelas VI2
Penggabungan dari kelas I1
Sumber: GBPP  PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada dua pokok bahasan yang tidak diajarkan di SD kelas V yaitu: Ketertiban, dan  Pengendalian  Diri.  Kedua  pokok  bahasan  tersebut  tidak  diajarkan  dalam
Kurikulum Suplemen 1999 dengan alasan ada yang digabung dengan kelas I, dan VI.
307 Tabel 59
Mata Pelajaran Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaaan PPKn Satuan Pendidikan SD Kelas VI
KELAS CAWU
PBSPB KURIKULUM 1994
STATUS KETERANGAN
VI1 1. Keindahan
2. Lapang dada 3. Persatuan dan kesatuan
4. Kebijaksanaan 5. Ketekunan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tidak diajarkan Penggabungan  dari  kelas
IV3 Digabung dengan kelas IV2
VI2 1. Keserasihan
2. Tenggang rasa 3. Berjiwa besar
4. Pengendalian diri 5. Pengabdian
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Penggabungan  dari  kelas
IV1 Digabung dengan kelas IV2
Penggabungan  dari  kelas V3
VI3 1. Kerukunan
2. Kepedulian 3. Cinta Tanah Air
4. Tanggung jawab 5. Harga menghargai
Tetap diajarkan Tetap diajarkan
Tetap diajarkan Tidak diajarkan
Tetap diajarkan Penggabungan dari kelas I2
Digabung dengan kelas IV2
Sumber: GBPP  PPKn Suplemen 1999. Jakarta: Depdikbud.
Ada  tiga  pokok  bahasan  yang  tidak  diajarkan  di  SD  kelas  VI  yaitu: Ketekunan,  Tenggang  Rasa,  dan  Tanggung  Jawab.  Ketiga  pokok  bahasan  tersebut
tidak  diajarkan  dalam  Kurikulum  Suplemen  1999  dengan  alasan  ada  yang  digabung dengan kelas IV.
b. PKn dalam KBK 2004
Tumbangnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, menyebabkan isi dan visi  PKn  perlu  disesuaikan  dengan  semangat  reformasi.  Idealnya  Pendidikan
Kewarganegaraan  untuk  membentuk  warga  negara  yang  baik  seharusnya  bebas  dari kepentingan  politik  yang  sedang  berlangsung.  Dengan  kata  lain,  bagaimana  upaya
308 yang  harus  dilakukan  agar  kebijakan  Pendidikan  Kewarganegaraan  tidak  tergantung
kepada  setiap  perubahan  politik  rezim,  tetapi  mendasarkan  diri  pada  politik  negara. Dengan  demikian,  siapapun  yang  memerintah  atau  apapun  program  pemerintah,
idealnya substansi kajian Pendidikan Kewarganegaraan tidak semata-mata mengikuti perubahan haluan politik yang ada.
Center  for  Indonesian  Civic  Education  CICED  pada  akhir  tahun  1999 melakukan  survey  nasional  untuk  menggali  pendapat  dari  kalangan  pengajar  PKn
untuk  menginventarisir  arah  perubahan  PKn.  Hasil  survey  nasional  CICED menginventarisir  pengetahuan,  sikap,  dan  keterampilan  yang  dikembangkan  dalam
Civic Education adalah yang mengandung konsistensi dengan hal-hal berikut: 1  Principle  of  democracy;  2  Comprehend  of  state  constitution;  3
Citizen’s  right  and  responsibility;  4  State’s  rule  of  law;  5  Good government;  6  Citizenship;  7  People  sovereignity;  8  Free  and  fair
tribune;  9  Equality  and  equity;  10  Justice;  11  Human  rights;  12 Civilization;  13  Cultural  difference;  14  Democratic  process;  15
Citizenship  activities;  16  Nation  identity;  17  Civil  society;  18  Free market  economy;  19  Political  process;  20  Separation\  distribution  of
power CICED, 1999: 12.
Sebelum diperkenalkannya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada KBK 2004, mata pelajaran  Pendidikan  Moral  Pancasila PMP  ataupun  Pendidikan
Pancasila  dan  Kewarganegaraan  PPKn  didominasi  oleh  materi  nilai-nilai  moral Pancasila.Lebih  lanjut  menurut  Samsuri,  orientasi  kajian  dan  tujuan  PMP  maupun
PPKn  lebih  mirip  sebagai  pendidikan  budi  pekerti  dari  pada  Pendidikan Kewarganegaraan yang sesungguhnya.
Pendidikan  Kewarganegaraan  sering  diidentikkan  dengan  pendidikan  budi pekerti.  Padahal  semestinya  kompetensi  yang  diharapkan  dari  Pendidikan
Kewarganegaraan  adalah  membentuk  warga  negara  yang  baik  good  citizen yakni  sebagai  warga  negara  demokratis  yang  bertanggung  jawab  dan
309 berpartisipasi  aktif  dalam  kehidupan  politik  negaranya.  Pendidikan
Kewarganegaraan  pada  era  Orde  Lama  dan  Orde  Baru  akhirnya  hanya direduksi menjadi pelajaran untuk menghafalkan nilai-nilai moral, bagaimana
harus berbuat baik,  dan tidak berbuat buruk”. Samsuri, 2010: 6. Pendidikan  Kewarganegaraan  era  Reformasi  berdasar  KBK  2004  ternyata
juga menuai kritikan. Adapun kritik itu antara lain sebagai berikut: Oleh banyak kalangan Pendidikan Kewarganegaraan ini dinilai sangat kering
dengan  muatan  nilai  moral,  khususnya  nilai  moral  Pancasila,  namun  sarat dengan kajian konsep-konsep politik dan hukum. Sementara itu, pembelajaran
Pendidikan  Kewarganegaraan  di  lembaga  pendidikan  formal  cenderung tercerabut  dari  akar  konteks  kehidupan  siswa  sebagai  warga  negara.  Fungsi
Pendidikan  Kewarganegaraan  pada  masa  Orde  Baru,  terjebak  sebagai  alat kepentingan  rezim,  pengagungan  harmoni  selaras,  serasi,  dan  seimbang,
dengan menolak pengakuan terhadap perbedaan dan konflik. Ketika reformasi politik dan hukum nasional bergulir, paradigma Pendidikan Kewarganegaraan
yang  masih  bercorak  hegemonik  cenderung  menjadi  tidak  manarik  dan termarjinalkan Samsuri, 2010: 6.
c. PKn dalam KTSP  2006
Secara  substansial  standar  kompetensi  dan  kompetensi  dasar  Pendidikan Kewarganegaraan PKn dalam Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan KTSP 2006
tidak berbeda dengan isi dari PKn menurut KBK 2004. KTSP PKn disusun berdasar Standar Isi SK-KD PKn sebagai standar minimal yang bisa dikembangkan lagi oleh
tiap satuan pendidikan. Dalam naskah lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
disebutkan bahwa: Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan  pada  pembentukan  warganegara  yang  memahami  dan  mampu melaksanakan  hak-hak  dan  kewajibannya  untuk  menjadi  warganegara
Indonesia  yang  cerdas,  terampil,  dan  berkarakter  yang  diamanatkan  oleh Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan rumusan dalam naskah Kurikulum 2004
menyatakan bahwa Kewarganegaraan Citizenship merupakan mata pelajaran yang  memfokuskan  pada  pembentukan  diri  yang  beragam  dari  segi  agama,
sosio-kultural,  bahasa,  usia,  dan  suku  bangsa  untuk  menjadi  warganegara
310 Indonesia  yang  cerdas,  terampil,  dan  berkarakter  yang  diamanatkan  oleh
Pancasila dan UUD 1945. Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Tujuan  pendidikan  Kewarganegaraan  adalah  agar  peserta  didik  memiliki kemampuan  sebagai  berikut:  1  Berpikir  secara  kritis,  rasional,  dan  kreatif  dalam
menanggapi isu
kewarganegaraan. 2
Berpartisipasi secara
aktif dan
bertanggungjawab,  dan  bertindak  secara  cerdas  dalam  kegiatan  bermasyarakat, berbangsa,  dan  bernegara,  serta  anti-korupsi.  3  Berkembang  secara  positif  dan
demokratis  untuk  membentuk  diri  berdasarkan  karakter  masyarakat  Indonesia  agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya. 4 Berinteraksi dengan bangsa-
bangsa  lain  dalam  percaturan  dunia  secara  langsung  atau  tidak  langsung  dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Misi  dari  Pendidikan  Kewarganegaraan  persekolahan  dewasa  ini  dapat disimpulkan  dari  bagian  pendahuluan  pada  naskah  Standar  Isi  mata  pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai berikut: 1 Sebagai pendidikan wawasan kebangsaan, yang menyiapkan peserta didik
agar  memiliki  pemahaman  yang  mendalam  dan  komitmen  yang  kuat  serta konsisten  terhadap  prinsip  dan  semangat  kebangsaan  dalam  kehidupan
bermasyarakat,  berbangsa,  dan  bernegara  yang  berdasarkan  Pancasila  dan UUD  1945.  2  Sebagai  pendidikan  demokrasi,  yang  berusaha  menyiapkan
peserta didik agar memiliki dan mampu menjalankan hak-hak sebagai warga negara  untuk  menjalankan  prinsip-prinsip  demokrasi  dalam  kehidupan
bermasyarakat,  berbangsa,  dan  bernegara.  3  Berusaha  menyiapkan  peserta didik  agar  menjadi  warga  negara  yang  memiliki  kesadaran  bela  negara,
penghargaan  terhadap  hak  asasi  manusia,  kemajemukan  bangsa,  pelestarian lingkungan  hidup,  tanggungjawab  sosial,  ketaatan  pada  hukum,  ketaatan
membayar pajak, serta sikap dan perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Adapun  ruang  lingkup  materi  mata  pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan
dalam KTSP 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
311 1  Persatuan  dan  kesatuan  bangsa,  meliputi:  Hidup  rukun  dalam  perbedaan;
Cinta  lingkungan;  Kebanggaan  sebagai  bangsa  Indonesia;  Partisipasi  dalam pembelaan  negara;  Sikap  positif  terhadap  Negara  Kesatuan  Republik
Indonesia;  Keterbukaan  dan  jaminan  keadilan.  2  Norma,  hukum,  dan peraturan  meliputi:  Tertib  dalam  kehidupan  keluarga;  Tata  tertib  sekolah;
Norma  yang  berlaku  di  masyarakat;  Peraturan-peraturan  daerah;  Norma- norma  dalam  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara;  Sistem  hukum  dan
peradilan nasional; Hukum dan peradilan internasional. 3 Hak asasi manusia meliputi:  Hak  dan  kewajiban  anak;  Hak  dan  kewajiban  anggota  masyarakat;
Instrumen  nasional  dan  internasional  HAM;  Pemajuan  dan  penghormatan serta perlindungan HAM. 4 Kebutuhan warganegara meliputi: Hidup gotong
royong;  Harga  diri  sebagai  warga  masyarakat;  Kebebasan  berorganisasi; Kemerdekaan  mengeluarkan  pendapat;  Menghargai  keputusan  bersama;
Prestasi  diri;  Persamaan  kedudukan  warganegara.  5  Konstitusi  negara meliputi:  Proklamasi  kemerdekaan  dan  konstitusi  yang  pertama;  Konstitusi-
konstitusi  yang  pernah  digunakan  di  Indonesia;  Hubungan  dasar  negara dengan konstitusi. 6 Kekuasaan dan politik meliputi: Pemerintahan desa dan
kecamatan;  Pemerintahan  daerah  dan  otonomi;  Pemerintahan  pusat; Demokrasi  dan  sistem  politik;  Budaya  politik;  Budaya  demokrasi  menuju
masyarakat madani; Sistem pemerintahan; Pers dalam masyarakat demokrasi. 7  Pancasila  meliputi:  Kedudukan  Pancasila  sebagai  dasar  negara  dan
ideologi  negara;  Proses  perumusan  Pancasila  sebagai  dasar  negara; Pengamalan  nilai-nilai  Pancasila  dalam  kehidupan  sehari-hari;  Pancasila
sebagai  ideologi  terbuka.  8  Globalisasi  meliputi:  Globalisasi  di lingkungannya,  Politik  luar  negeri  Indonesia  di  era  globalisasi,  Dampak
globalisasi;  Hubungan  internasional  dan  organisasi  internasional;  dan Mengevaluasi globalisasi. Winarno, 2006: 30.
Ruang lingkup materi selanjutnya dituangkan dan dijabarkan dalam rumusan
standar  kompetensi  dan  kompetensi  dasar  SK-KD  mata  pelajaran  PKn  menurut jenjang, tingkat, dan semester. Suatu lingkup materi PKn akan terdapat dalam semua
jenjang  pendidikan  yaitu  SD,  SMP  dan  SMA  namun  dengan  rumusan    standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berbeda. Misalnya, lingkup materi mengenai
Pancasila akan terdapat baik pada jenjang SD, SMP, dan SMA dengan rumusan SK- KD yang berbeda. Standar kompetensi dan kompetensi dasar sebagai standar isi mata
pelajaran  PKn  jenjang  SD,  SMP,  SMA  dan  SMK  terdapat  dalam  lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006.
312 Berdasarkan  standar  isi  maka  pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan  ini
nantinya akan berlaku pada jenjang SD dan MI, SMP dan MTs, SMA dan MA serta jenjang  SMK  dan  MAK.  Hal  demikian  berbeda  dengan  Kurikulum  2004  yang
memberlakukan  Pendidikan  Kewarganegaraan  di  SD  dan  SMP  sebagai  bagian  dari Pengetahuan  Sosial  dengan  nama  mata  pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan  dan
Pengetahuan Sosial PKPS. Sedangkan pada jenjang SMKMAK diberlakukan mata diklat Kewarganegaraan dan Sejarah Winarno, 2006: 30.
d. Makna PKn Era Reformasi
Makna Pendidikan Kewarganegaraan era Reformasi adalah untuk membentuk manusia  beriman  dan  bertaqwa,  cerdas,  mandiri,  terampil  dan  demokratis  serta
religius.  Pendidikan  Kewarganegaraan  pada  era  Reformasi  memiliki  visi  untuk memberdayaan warga negara. Dengan misi untuk membentuk warganegara yang baik
dengan ciri, aktif berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbudaya politik  kewargaan,    berpikir  kritis  dan  kreatif.  Substansi  materi  terdiri  dari  politik,
hukum, dan moral. Strategi pembelajaran dialog kritis. Cirinya yang menonjol adalah, akar keilmuannya jelas, intervensi rezim sangat minim, memiliki otonomi keilmuan,
berfungsi  sebagai  pendidikan  demokrasi,  pendidikan  hukum,  dan  pendidikan  moral. Pada  era  reformasi  ini  Pendidikan  Kewarganegaraan  juga  sedang  dalam  proses
reformasi  ke  arah  Pendidikan  Kewarganegaraan  dengan  paradigma  baru.  Reformasi itu mulai dari aspek yang mendasar, yaitu reorientasi visi dan misi, revitalisasi fungsi
dan peranan, hingga restrukturisasi isi kurikulum dan meteri pembelajaran.
e. Dinamika PKn Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi
313 Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinamika Pendidikan Kewarganegaraan
di Indonesia sejak Orde Lama hingga era Reformasi adalah sebagai berikut:
Tabel 60 Dinamika PKn Sejak Orde Lama hingga Era Reformasi
Orde Lama Orde Baru
Era Reformasi 1.
Kurikulum 1947: mata pelajaran Civics belum
dikenal. 1.
Kurikulum 1968: Civics berubah
nama menjadi Kewargaan
Negara. 1.
Kurikulum Suplemen 1999: materi P-4
dihilangkan dari PPKn.
2. Kurikulum SMP dan
SMA 1957: terdapat mata pelajaran Tata
Negara dan Tata Hukum yang di
dalamnya dibahas konsep
Kewarganegaraan. 2.
Kurikulum 1975: Pendidikan
Kewargaan Negara diganti nama
menjadi Pendidikan Moral
Pancasila PMP. 2.
KBK 2004 : PPKn diganti nama menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan
PKn.
3. Kurikulum SMA 1962:
mata pelajaran Civics muncul untuk yang
pertamakalinya. 4.
Tahun 1978 lahir TAP MPR tentang
P-4, materi PMP diberi tambahan P-
4. 3.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP 2006: namanya tetap
Pendidikan Kewarganegaraan
PKn hingga sekarang.
5. Kurikulum 1984:
PMP diganti nama menjadi
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan PPKn.
6. Kurikulum 1994:
nama PPKn tetap dipertahankan
dengan materi P-4 yang tetap
dominan.
Diolah dari berbagai sumber. Dinamika  Pendidikan  Kewarganegaraan  pada  jenjang  pendidikan  dasar  dan
menengah di Indonesia dapat diringkas sebagai berikut: 1 Kurikulum 1947 terdapat
314 mata  pelajaran  pengetahuan  umum  yang  di  dalamnya  memasukkan  pengetahuan
mengenai pemerintahan, namun mata pelajaran Civics belum dikenal.  2 Kurikulum untuk  SMP  dan  SMA  tahun  1957  terdapat  mata  pelajaran  Tata  Negara  dan  Tata
Hukum  yang  di  dalamnya  dibahas  konsep  Kewarganegaraan  khususnya  mengenai status  legal  warganegara  dan  syarat-syarat  kewarganegaraan.  3  Mata  pelajaran
Civics  muncul  pertamakali  dalam  kurikulum  SMA  1962.  4  Tahun  1968  lahir Kurikulum 1968, Civics berubah nama menjadi  Kewargaan Negara; 5 Tahun 1975
lahir  Kurikulum  1975,  Pendidikan  Kewargaan  Negara  diganti  nama  menjadi Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP;  6  Tahun  1978  lahir  TAP  MPR  tentang  P-4,
materi PMP diberi tambahan P-4 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. 7  Tahun  1984  lahir  Kurikulum  1984,  PMP  diganti  nama  menjadi    Pendidikan
Pancasila  dan  Kewarganegaraan  PPKn,  materi  P-4  masih  mendominasi.  8  Tahun 1994 lahir Kurikulum 1994,  nama PPKn tetap dipertahankan dengan materi P-4 yang
tetap  dominan.  9  Tahun  1999,  setelah  reformasi  TAP  MPR  tentang  P-4  dicabut, keluar  Kurikulum  Suplemen  1999,  materi  P-4  dihilangkan  dari  PPKn.  10  Tahun
2004  lahir  KBK,  PPKn  diganti  nama  menjadi  Pendidikan  Kewarganegaraan  PKn. 11  Tahun  2006  KBK  diadopsi  menjadi  Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan
KTSP namanya tetap Pendidikan Kewarganegaraan PKn hingga sekarang.
315
E. Pembahasan 1. Dinamika PKn Refleksi Politik Pendidikan dan Kurikulum
Setiap  masyarakat  di  belahan  bumi  manapun  sangat  mendambakan  generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi
aktif    dalam  kehidupan  masyarakat  dan  negaranya.  Anak  adalah  warganegara  yang sedang dalam proses, karena masih harus dididik menjadi warganegara dewasa yang
sadar akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu masyarakat sangat mendambakan generasi  mudanya  dipersiapkan  untuk  menjadi  warganegara  yang  baik  dan  dapat
berpartisipasi  dalam  kehidupan  masyarakat  dan  negaranya.  Tidak  ada  tugas  yang lebih  penting  dari  pengembangan  warga  negara  yang  baik  dan  bertanggungjawab.
Warga  negara  berakhlak  mulia,  berkarakter,  bertanggung  jawab,  dan  demokratis. Karena itu Pendidikan Kewarganegaraan menjadi penting.
Ibarat pedang bermata  dua menurut Dawson dan  Cogan Samsuri, 2010:  18 Pendidikan  Kewarganegaraan  menjadi  sarana  penting  untuk  memelihara  dan
mentransformasikan  nilai-nilai  politik  dari  suatu  sistem  politik  melalui  proses pendidikan  di  sekolah.  Namun  Pendidikan  Kewarganegaraan  sering  juga  digunakan
sebagai  alat  untuk  memelihara  kepentingan  kekuasaan  rezim  dalam  bentuk indoktrinasi serta hegemoni.
Orde  Lama,  dan  Orde  Baru  memiliki  perhatian  yang  besar  terhadap  mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai kebijakan
pendidikan,  khususnya  Pendidikan  Kewarganegaraan  yang  amat  dipengaruhi  oleh perubahan-perubahan  situasi  politik  dan  kenegaraan  pada  era  masing-masing.  Jika
dicermati  setiap  rezim  sering  menempatkan  Pendidikan  Kewarganegaraan  sebagai
316 “alat  politik”  bukan  sebagai  “alat  pendidikan  politik”  yang  didasari  oleh  nilai-nilai
demokrasi,  tetapi  justru  untuk  mengarahkan  dan  mendominasi  nilai-nilai  yang memungkinkan sebuah rezim untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di  setiap  negara,  baik  negara  maju  maupun  negara  berkembang.  Keduanya  bahu
membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari  itu,  keduanya  satu  sama  lain  saling  menunjang  dan  saling  mengisi.  Lembaga-
lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam  membentuk  perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga  politik dan
proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di  negara  tersebut.  Ada  hubungan  erat  dan  dinamis  antara  pendidikan  dan  politik
disetiap  negara.  Hubungan  tersebut  adalah  realitas  empiris  yang  telah  terjadi  sejak awal  perkembangan  peradaban  manusia  dan  menjadi  perhatian  para  ilmuwan  M.
Sirozi, 2001: 3. Adalah  suatu  fakta  bahwa  dalam  praktek  penyelenggaraan  pendidikan  dalam
suatu  masyarakat  dilatarbelakangi  oleh  filosofi,  nilai,  norma,  ataupun  suatu  prinsip- prinsip yang dipilih oleh masyarakat atau pihak-pihak yang berkuasa di suatu negara.
Negara  yang  merupakan  institusi  hasil  kontrak  sosial  memiliki  tugas  memberi pelayanan  terhadap  warga  negara,  bekerja  atas  dasar  filosofi,  nilai  ataupun  prinsip-
prinsip  yang  terpilih  tersebut.  Hal  ini  terjadi  sebab  proses  dan  praktek  pendidikan merupakan bagian dari bentuk aktualisasi atas keinginan-keinginan masyarakat dalam
mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan social ideals.
Untuk  mewujudkan  “social  ideals”  tersebut  maka  pihak  penyelenggara
317 pendidikan  pada  prinsipnya  mempunyai  dua  peran  penting.  Pertama,  proses
pendidikan sebagai lembaga yang mentransmisikan nilai-nilai, sistem sosial, maupun struktur  sosial  yang  ada.  Kedua,  tujuan  yang  sebenarnya  dari  pendidikan  adalah
berperan untuk membangun atau merubah tatanan yang ada ke arah yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih adil. Kedua peran inilah yang selalu menjadi  permasalahan
di  dunia  pendidikan,  sebab  keduanya  relatif  sering  bertentangan.  Pada  satu  sisi lembaga  pendidikan  dianggap  alat  dan  tempat  yang  sangat  strategis  untuk
mempertahakan  nilai-nilai,  budaya  atau  kebijakan-kebijakan  yang  telah  terpola,  di sisi lain lembaga ini pun mempunyai misi untuk perubahan, kebebasan, dan keadilan.
Adanya  perbedaan  ini  sebenarnya  merupakan  refleksi  dan  kehendak  cita-cita  sosial yang berbeda dari suatu masyarakat.
Dalam teori hegemoni dari  Gramsci Nezar dan  Andi, 1999: 50  dikemukakan selama  negara  dengan  kekuatan  represif,  negara  sesungguhnya  juga  menjalankan
kekuatan  hegemonik  melalui  ideologi  yang  mampu  melanggengkan  kekuasaannya. Salah  satunya  adalah  melalui  lembaga  pendidikan.  Lembaga  ini  dianggap  sangat
strategis  karena  memiliki  fungsi  utama  dalam  mentransformasikan  segenap pengetahuan  kognitif  cognitive  knowledge,  nilai-nilai  values,  dan  keterampilan
skill,  kepada  pada  peserta  didik.  Muatan-muatan  kognitif  dan  nilai-nilai  inilah sesungguhnya  dapat  dimasuki  dan  diisi  muatan  ideologis  oleh  kelompok  dominan
penguasa  negara  yang  selanjutnya  lembaga  pendidikan  dipaksa  untuk  bersedia menanamkan muatan ideologi dan kepentingan negara.
318 Gramsci  mengakui  bahwa  dalam  masyarakat  memang  selalu  ada  yang
memerintah  dan  yang  diperintah.  Bertolak  dari  kondisi  ini,  beliau  melihat,  jika pemimpin  akan  memerintah  dengan  efektif,  maka  jalan  yang  dipilih  adalah
meminimalisasi  resistensi  rakyat  dan  bersamaan  dengan  itu  pemimpin  harus menciptakan  ketaatan  yang  spontan  dari  yang  diperintah.  Secara  ringkas  Gramsci
memformulasikan sebuah kalimat, “bagaimana caranya menciptakan hegemoni”. Ketika  penguasa  menggunakan  idologi  untuk  membentuk  kepatuhan
masyarakat,  maka  ideologi  tersebut  telah  berubah  menjadi  hegemoni.  Hegemoni merupakan  bentuk  penguasaan  kepada  masyarakat  melalui  cara-cara  yang  tidak
disadari  oleh  masyarakat.  Kepatuhan  itu  dibangun  melalui  nilai-nilai  moral    yang diciptakan negara  penguasa dan  ditanamkan  dengan cara-cara  intelektual,  sehingga
masyarakat tanpa sadar mematuhi sebagai bentuk konsensus atau kontrak sosial demi kehidupan  bersama.  Menurut  Gramsci  pendidikan  dan  mekanisme  kelembagaan
seperti sekolah, partai-partai politik, media massa menjadi “tangan-tangan” kelompok elite  yang  berkuasa  untuk  menentukan  ideologi  yang  dominan  yang  menjadikan
masyarakat terhegemoni. Di  Indonesia  lembaga  pendidikan  telah  cukup  lama  merasakan  hegemoni
negara  tersebut,  terutama  pada  masa  Orde  Lama  dan  Orde  Baru.  Banyak  cara dilakukan negara, mulai dari diberlakukannya suatu undang-undang, kurikulum yang
tersentralisasi dan dibuat ahli yang dipilih negara, membina dan mendisiplinkan guru agar  loyal  pada  negara,  sampai  peran  negara  mengawasi  kegiatan  dan  aktivitas  di
lembaga  pendidikan.  Walaupun  reformasi  telah  berlangsung  ternyata  sulit  untuk
319 merubah hegemoni tersebut dengan cepat.
Pembaharuan kurikulum merupakan keharusan dalam suatu sistem pendidikan agar  pendidikan  tetap  relevan  dengan  tuntuan  zaman.  Sedemikian  pentingnya
pembaharuan  kurikulum,  sehingga  ada  pemeo  mengatakan  bahwa  suatu  kurikulum disusun  untuk  diubah  dan  terus  disempurnakan.  Hanya  dengan  demikian,  maka
kurikulum akan selalu dinamis dan mengikuti perkembangan  zaman. Dalam  sejarah  perjalanan  Republik  Indonesia,  telah  dilakukan  beberapa  kali
pembaharuan  kurikulum  sekolah,  yaitu  tahun  1947,  1968,  1975,  1984,  1994,  2004 dan  2006.  Dalam  sejarah  penerapan  kurikulum  pendidikan  di  Indonesia,  model
perubahan  atau  pembaharuan  kurikulum  yang  terjadi  lebih  banyak  bersifat komprehensif  dan  berskala  luas.  Pengalaman  selama  ini  menunjukkan  bahwa
Pemerintah  dan  sistem  pendidikan  secara  keseluruhan  amat  mudah  tergoda  untuk mengubah  dan  memperbaharui  kurikulum  dalam  skala  luas,  dengan  kurang
memperhitungkan  apa  akibat  dan  dampaknya  bagi  peserta  didik,  sekolah,  dan masyarakat.  Dari  pengalaman  selama  ini  yang  terungkap  bahwa  letak  kelemahan
kurikulum di
Indonesia terutama
pada bagaimana
kurikulum tersebut
diimplementasikan secara sungguh-sungguh sehingga memberikan  nilai tambah yang nyata  bagi  peningkatan  mutu  pendidikan.  Hal  ini  berlaku    pada  semua  tingkatan
mulai SD hingga SLTA. Persoalan  kurikulum  tidak  hanya  bersifat  teknis,  karena  dalam  kurikulum
selalu  tersembunyi  ide  serta  nilai-nilai  yang  sebenarnya  dipaksakan  oleh  penguasa. Perkembangan  dan  perubahan  kurikulum  biasanya  tidak  terlepas  dari  keinginan
penguasa  dan  juga  ditentukan  hegemoni  yang  ada  dalam  masyarakat  pada  saat
320 kurikulum itu lahir. Hal ini juga disebut hidden curriculum di mana kurikulum yang
berlaku ditentukan oleh birokrasi pemerintahan yang dikuasai oleh golongan elit. Mata  pelajaran  yang  paling  dinamis  dan  sering  berubah  seiring  perubahan
rezim adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Berikut ini adalah contohnya. Pendidikan Kewarganegaraan  sebelum  kemerdekaan  atau  pada  jaman  Hindia  Belanda  dikenal
dengan nama Burgerkunde. Pada waktu itu ada  dua buku resmi yang digunakan yaitu Indische  Burgerschapkunde  serta  Rech  en  Plich.    Menurut  Bambang  Daroeso
“Indische  Burgerschapkunde,  yang  ditulis  oleh  P.  Tromp  dengan  penerbitnya  J.B
Wolter  Maatschappij  N.V.  Groningen,  Den  Haag,  Batavia  tahun  1934.  Lewat
pengajaran Burgerkunde tentunya dimaksudkan oleh pemerintah Hindia Belanda agar rakyat  jajahan  lebih  memahami  hak  dan  kewajibannya  terhadap  pemerintah  Hindia
Belanda, sehingga diharapkan tidak menganggap pemerintah Belanda sebagai musuh tetapi  justru  memberikan  dukungan  dengan  penuh  kesadaran  dalam  jangka  waktu
yang panjang.
Pada awal
kemerdekaan belum
ada mata
pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan  yang  berdiri  sendiri  dan  diajarkan  pada  pendidikan  formal.  Yang ada  pada  saat  itu  adalah  Pendidikan  Budi  Pekerti,  yang  berisi  nilai-nilai
kemasyarakatan,  adat,    dan  agama.  Belum  ada  Pendidikan  Kewarganegaraan  yang bersifat eksplisit.
Tahun  1957  mulai  diperkenalkan  mata  pelajaran  Kewarganegaraan,  yang  isi pokoknya  meliputi:  1  Cara  memperoleh  kewarganegaraan;  2  Hak  dan  kewajiban
warga  negara;  3  Tata  Negara  dan  Tata  Hukum.  Ketiga  hal  tersebut  semata-mata beraspek kognitif Soenarjati dan Cholisin, 1989: 17.
321 Tahun 1959 terjadi perubahan arah politik di negara Indonesia. UUDS 1950,
dinyatakan tidak berlaku oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan berlaku kembali UUD 1945.  Dengan  berlakunya  kembali  UUD  1945,  nampak  dalam  bidang  pendidikan
diadakan  perubahan  arah.  Perubahan  ini  tampak  dengan  diperkenalkannya  mata pelajaran
Civics pada
tahun 1961
sebagai pengganti
mata pelajaran
Kewarganegaraan. Mata pelajaran Civics berisi: 1 Sejarah kebangkitan nasional; 2 UUD; 3 Pidato-pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk nation and
character building bagi bangsa Indonesia”. Muchson dkk., 2001: 16. Dalam  kurikulum  Civics  di  SMP  dan  SMA  isinya  meliputi:  1  Sejarah
nasional;  2  Sejarah  proklamasi;  3  UUD  1945;  4  Pancasila;  5  Pidato-pidato kenegaraan  presiden;  6  Pembinaan  persatuan  dan  kesatuan  bangsa.  Buku  sumber
yang  dipergunakan  adalah  “Civics  Manusia  Indonesia  Baru”  dan  “Tujuh  Bahan Pokok  Indoktrinasi”  yang  lebih  dikenal  dengan  singkatan  TUBAPI.  Metode
pengajarannya  lebih  bersifat  indoktrinatif.  Buku  pegangan  untuk  murid  belum  ada Soenarjati  dan  Cholisin,  1989:  17-18.  TUBAPI  isinya  meliputi:  1  Lahirnya
Pancasila;  2  UUD  1945;  3  Manipol,  merupakan  pidato  presiden  tanggal  17 Agustus  1959  yang  berjudul  “Penemuan  Kembali  Revolusi  Kita”  yang  intinya
ditegaskan  pada  pidato  presiden  pada  tanggal  17  agustus  1960  meliputi  caturlogi, yakni:  semanagt  nasional,  konsepsi  nasional,  keamanan  nasional,  dan  perbuatan
nasional; 4 Jalannya Revolusi Kita Jarek; 5 Pidato presiden RI di depan Sidang Umum  PBB,  30  September  1960  yang  berjudul  “Membangun  Dunia  Baru”  dinilai
sebagai  salah  satu  tonggak  sejarah  bagi  berdirinya  Gerakan  Non  Blok;  6  Manipol USDEK;    7  Amanat  presiden  tentang  Pembangunan  Semesta  Berencana  di  depan
322 DEPERNAS, tanggal 9 Januari 1960. Pada tahun 1962 istilah Civics diganti dengan
istilah  Kewargaan  Negara,  atas  anjuran  Dr.  Sahardjo,  SH,  yang  pada  waktu  itu menjabat  sebagai  Menteri  Kehakiman.  Perubahan  itu  didasarkan  atas  tujuan  yang
ingin dicapainya, yaitu membentuk warga negara yang baik. Pengelompokan  mata  pelajaran  berubah-ubah  pada  tiap  kurikulum  yang
diberlakukan. Pada Kurikulum SMA 1952, misalnya, pengelompokan mata pelajaran dibagi  dalam  tiga  bagian:  pokok,  penting,  dan  pelengkap.  Setelah  tahun  1960-an,
komposisi mata pelajaran dikategorikan ke dalam kelompok dasar, khusus, penyerta, prakarya,  dan  krida.  Ketika  pengaruh  PKI  menguat  maka  penjabarannya  mengikuti
Instruksi Menteri menyangkut Kurukulum Pancawardana, sebagaimana yang berlaku di  SD,  meliputi  kelompok  perkembangan  moral,  perkembangan  intelektual,
perkembangan  emosional  artistik,  perkembangan  keprigelan,  dan  perkembangan jasmani. Setelah PKI dibubarkan, pendidikan diarahkan kepada pemurnian Pancasila,
maka  mata  pelajarannya  pun  dirubah  berdasarkan  pengelompokan  pembinaan  jiwa Pancasila,  pembinaan  pengetahuan  dasar,  dan  pembinaan  kecakapan  khusus.
Perubahan pola pengelompokan mata pelajaran masih terus berlanjut pada kurikulum 1975.  Pada  kurikulum  ini  mata  pelajaran  dikelompokkan  dalam  tiga  bagian:
pendidikan  umum,  pendidikan  akademis,  dan  pendidikan  keterampilan,  dan  hal  ini berlaku sampai dengan Kurikulum 1984 untuk SDMI dan SMPMTs.
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 1968 berada dalam kelompok “Pembinaan  Jiwa  Pancasila”,  baik  di  sekolah  dasar  maupun  sekolah  menengah.
Bedanya  di  sekolah  dasar  kelompok  mata  pelajaran  terdiri  dari  Pendidikan  Agama, Kewarganegaraan,  Bahasa  Indonesia,  Bahasa  Daerah  dan  Olah  Raga.  Sedangkan  di
323 SMA  tanpa  Bahasa  Daerah.  Bahan-bahan  pengajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan
menurut  Kurikulum  1968  tersebut  digunakan  sampai  dengan  ditetapkannya Pendidikan  Kewarganegaraan  dalam  Kurikulum  1975  dengan  nama  “Pendidikan
Moral  Pancasila”  PMP  sebagai  nama  bidang  studi  untuk  Pendidikan Kewarganegaraan  yang  tujuannya  adalah  membentuk  warganegara  Pancasilais  yang
beriman  dan  bertaqwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa.  Dengan  ditetapkannya Ketetapan  MPR  No.  IIMPR1978  tentang  Pedoman  Penghayatan  dan  Pengamalan
Pancasila P4 maka materi bidang studi Pendidikan Moral Pancasila dilengkapi atau bahkan  didominasi  oleh  materi  dan  bahan-bahan  P4.  Dampak  selanjutnya  P4
cenderung  sebagai  bahan  indoktrinasi  untuk  pendidikan  dan  pelatihan  warganegara, sebagai  produk  formal  yang  dihasilkan  oleh  lembaga  legislatif  dan  oleh  lembaga
eksekutif  dijadikan  instrumen  yang  birokratik  untuk  digunakan  baik  di  lingkungan sekolah, pendidikan tinggi maupun di masyarakat Abdul Azis Wahab, 2007: 699.
Perubahan  Kurikulum  1968  menjadi  Kurikulum  1975,  berdampak  sebagai berikut:  Mata  pelajaran  Pendidikan  Kewarganegaraan  atas  dasar  Keputusan  MPR
1978  diganti  dengan  nama  baru  yang  dikenal  dengan  Pendidikan  Moral  Pancasila PMP.  Pendidikan  Moral  Pancasila  merupakan  mata  pelajaran  yang  menyangkut
Pancasila  dan  UUD  1945  dipisahkan  dari  mata  pelajaran  yang  bersangkut  paut diantaranya  mata  pelajaran  sejarah,  ilmu  bumi,  dan  ekonomi.  Sedangkan  gabungan
mata  pelajaran  sejarah,  ilmu  bumi,  dan  ekonomi  menjadi  bidang  studi  Ilmu Pengetahuan  Sosial,  dan  saat  ini  diberi  nama  Pendidikan  Ilmu  Pengetahuan  Sosial.
Hal  yang  sama  masih  tetap  berlaku  saat  diberlakukannya  Kurikulum  1984  sebagai penyesuaian Kurikulum 1975 Abdul Azis Wahab, 2007: 701.
324 Sesuai dengan amanat Ketetapan MPR No. IVMPR1973, mata pelajaran ini
berubah  nama  menjadi  Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP  pada  kurikulum  1975. Dengan  ditetapkannya  Ketetapan  MPR  No.  IIMPR1978  tentang  P-4,  maka
terjadilah perkembangan yang cukup substantif mengenai materi pelajaran ini, yakni sangat dominannya materi P-4 dalam PMP. Bahkan dalam penjelasan ringkas tentang
PMP  oleh  Depdikbud  1982  dinyatakan  bahwa:  Hakikat  PMP  tidak  lain  adalah pelaksanaan  P-4  melalui  jalur  pendidikan  formal.  Hal  ini  tetap  berlangsung  hingga
berlakunya  Kurikulum  1984  maupun  Kurikulum1994,  dimana  PMP  telah  berubah nama menjadi PPKn. Dalam perkembangannya yang terakhir, materi P-4 secara resmi
tidak  lagi  dipakai  dalam  Kurikulum  Suplemen  1999,  apalagi  Ketetapan  MPR No.IIMPR1978  tentang  P-4  telah  dicabut  dengan  Ketetapan  MPR  No.
XVIIIMPR1998. Pendidikan  Pancasila  dan  Kewarganegaraan  PPKn  Kurikulum  1994  adalah
merupakan:  Wahana  untuk  mengembangkan  dan  melestarikan  nilai  luhur  dan  moral yang  berakar  pada  budaya  bangsa  Indonesia  yang  diharapkan  dapat  diwujudkan
dalam  bentuk  perilaku  melalui  kehidupan  sehari-hari  siswa,  baik  sebagai  individu maupun sebagai anggota masyarakat, warganegara, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha  Esa.  Perilaku-perilaku  yang  dimaksud  di  atas  adalah  perilaku  seperti  yang tercantum  di  dalam  penjelasan  UU  No.  2  Tahun  1989  Pasal  39  Ayat  2,  yaitu
perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat  yang  terdiri  dari  berbagai  golongan  agama,  perilaku  yang  bersifat
kemanusiaan  yang  adil  dan  beradab,  perilaku  yang  mendukung  persatuan  bangsa dalam  masyarakat  yang  beraneka  ragam  kepentingan,  perilaku  yang  mendukung
325 kerakyatan  yang  mengutamakan  kepentingan  bersama  di  atas  kepentingan
perseorangan  dan  golongan  sehingga  perbedaan  pemikiran,  pendapat,  ataupun kepentingan  dapat  di  atasi  melalui  musyawarah  dan  mufakat,  serta  perilaku  yang
mendukung  upaya  untuk  mewujudkan  keadilan  sosial  bagi  seluruh  rakyat  Indonesia Kosasih Djahiri, 1997: 2.
Tumbangnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, menyebabkan isi dan visi  Pendidikan  Kewarganegaraan  perlu  disesuaikan  dengan  semangat  reformasi.
Pendidikan  Kewarganegaraan  era  Reformasi  berdasar  KBK  2004  dan  KTSP  2006 ternyata  juga  menuai  kritikan.  Oleh  banyak  kalangan  Pendidikan  Kewarganegaraan
ini dinilai sangat kering dengan muatan nilai moral, khususnya nilai moral Pancasila, namun sarat dengan kajian konsep-konsep politik dan hukum.
Idealnya Pendidikan Kewarganegaraan untuk membentuk warga negara yang baik seharusnya bebas dari kepentingan politik jangka pendek dari rezim yang sedang
berkuasa.  Dengan  demikian,  siapapun  yang  memerintah  atau  apapun  program pemerintah,  idealnya  substansi  kajian  Pendidikan  Kewarganegaraan  tidak  semata-
mata  mengikuti  perubahan  haluan  politik  yang  ada,  tetapi  ditujukan  untuk memperkuat  basis  nilai-nilai  dalam  sebuah  sistem  politik  yang  disepakati  dalam
konstitusi.  Dari  hasil  pembahasan  yang  telah  dipaparkan  di  atas  dapat  disimpulkan sebagai berikut:
a. Dinamika Politik Pendidikan era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi Tahun  1945-1966  Indonesia  di  bawah  pemerintahan  Soekarno  Orde  Lama.
Politik  pendidikan  era  Orde  Lama  dapat  dibagi  dalam  tiga  periode  seiring  dinamika politik  yang  mempengaruhinya.  1  Periode  1945-1950,  diwarnai  oleh    semangat
326 revolusi,    pendidikan  bertujuan  untuk  menanamkan  semangat  dan  jiwa  patriotisme.
2 Periode 1950-1959, diwarnai oleh demokrasi liberal, pendidikan bertujuan untuk membentuk  manusia  susila  yang  cakap  dan  warga  negara  yang  demokratis  serta
bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. 3 Periode 1959- 1966, diwarnai oleh Manipol USDEK, pendidikan bertujuan melahirkan warganegara
sosialis  Indonesia  yang  susila.  Pendidikan  nasional  pada  era  Orde  Lama  yang berlangsung sejak 1945 hingga 1966, tetap berlandaskan Pancasila. Meskipun selama
periode  ini  Indonesia  menggunakan  tiga  UUD,  tetapi  dalam  perjalanannya  megarah pada  bentuk  demokrasi  terpimpin  dengan  kepemimpinan  revolusioner  untuk
membangun masyarakat sosialis.
Tahun 1966-1998  Indonesia diperintah oleh Soeharto Orde Baru. Peralihan dari  Orde  Lama  ke  Orde  Baru  membawa  konsekuensi  perubahan  politik  pendidikan
nasional.  Implikasi  dari  pembubaran  PKI,  menimbulkan  penutupan  sekolah-sekolah yang  bernaung  di  bawah  PKI  dan  organisasi  yang  ada  di  bawahnya.  Ketika  PKI
dibubarkan, serta dilakukan pemurnian Pancasila, tujuan pendidikan nasional berubah menjadi  ”membentuk  manusia  Pancasilais  sejati  berdasarkan  ketentuan-ketentuan
yang  dikehendaki  oleh  pembukaan  UUD  1945”.  Perubahan  mendasar  tersebut menunjukkan  bahwa  ideologi  Manipol  USDEK  telah  diganti  secara  tegas  menjadi
falsafah Pancasila. Orde Baru diwarnai semangat pembangunan ekonomi di satu  sisi dan  di  sisi  lain  meletakkan  kembali  Pancasila  sebagai  dasar  negara.  Semangat  itu
selalu  ditekankan  dalam  pendidikan.  Penataran  P-4  wajib  diberikan  kepada    setiap siswa  yang  diterima  di  sekolah,  di  samping  masih  adanya  mata  pelajaran  Pancasila.
Mata  pelajaran  PMP  dan  PPKn  sangat  didominasi  materi  P-4.  PMP  termasuk  yang
327 mempengaruhi  kenaikan  kelas  dan  kelulusan  sekolah.  Setelah  EBTANAS
diberlakukan,  PMP  menjadi  komponen  bidang  studi  yang  mempengaruhi  nilai komulatif  DANEM  Daftar  Nilai  EBTANAS  Murni.  DANEM  berfungsi  sebagai
standar memasuki jenjang pendidikan di atasnya. Tujuan pendidikan diarahkan untuk menyiapkan  para  siswa  menjadi  manusia  pembangunan  yang  memiliki  jiwa
Pancasila.
Era  Reformasi  dimulai  sejak  1998.  Reformasi  adalah    pembaharuan, perubahan  paradigma  lama  ke  dalam  paradigma  baru,  sebagai  langkah  perbaikan
terhadap kondisi sebelumnya. Politik pendidikan pada era Reformasi didasarkan pada UU  Sisdiknas  No.  20  Tahun  2003,  yang  menyatakan  bahwa  tujuan  pendidikan
nasional  adalah  untuk,  mengembangkan  kemampuan  dan  membentuk  watak  serta peradaban  bangsa  yang  bermartabat  dalam  rangka  mencerdaskan  kehidupan  bangsa,
bertujuan  untuk  berkembangnya  potensi  peserta  didik  agar  menjadi  manusia  yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Politik pendidikan  pada  masa  ini  lebih  diwarai  upaya  membangun  kehidupan  sekolah  yang
demokratis, religius, berakhlak, cerdas, kreatif, dan mandiri. b. Dinamika Kurikulum PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan  Menengah  era
Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi Kurikulum  Pendidikan  Kewarganegaraan  era  Orde  Lama:  1  Tujuan
menanamkan semangat dan jiwa patriotisme, dalam rangka membentuk warga negara yang  baik,  yakni    warga  negara  sosialis  Indonesia  yang  susila.  2  Materi  isi
pelajaran  didominasi  oleh  Manipol  USDEK  sehingga  akar  keilmuannya  menjadi
328 tidak jelas. Dirancang untuk mendukung penguatan negara, patuh kepada rezim, serta
pendukung setia status quo. 3 Metode pembelajarannya menggunakan  indoktrinasi dan hegemoni.
Kurikulum  Pendidikan  Kewarganegaraan  era  Orde  Baru:  1  Tujuan membentuk  manusia  pembangunan  yang  berjiwa  Pancasila  serta  manusia  Indonesia
seutuhnya. Materi isi pelajaran mencakup  P-4 sangat  dominan, UUD 1945,  GBHN, dan  Sejarah  Kebangsaan.  Sebagaimana  Orde  Lama,  PKn  Orde  Baru  juga  dirancang
untuk  mendukung  penguatan  negara,  patuh  kepada  rezim,  serta  pendukung  setia status  quo.  Metode  indoktrinasi  melalui  penataran  P-4  dilakukan  kepada  seluruh
siswa dan mahasiswa, bahkan PNS, Korpri, birokrat, guru, dan tokoh masyarakat. Kurikulum  Pendidikan  Kewarganegaraan  pada  era  Reformasi:  1  Tujuan
memberdayaan  warga  negara,  yakni  membentuk  warganegara  yang  aktif berpartisipasi  dalam  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara,  berbudaya  politik
kewargaan,    berpikir  kritis  dan  kreatif.  2  Materiisi  pelajaran  terdiri  dari  politik, hukum, dan moral. PKn pada era ini akar keilmuannya jelas, intervensi rezim sangat
minim, berfungsi sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan hukum, dan pendidikan moral. 3 Metode pembelajarannya menggunakan  dialog kritis.
c. Dinamika Makna PKn pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi
Makna PKn pada masa Orde Lama sesuai dengan tujuan pendidikan nasional waktu  itu,  yaitu  menanamkan  jiwa  patriotisme  dan  nasionalisme,  semangat
melakukan revolusi untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia.
329 Makna PKn pada  masa  Orde Baru sesuai dengan tujuan  pendidikan nasional
waktu  itu,  yaitu  membentuk  manusia  pembangunan  yang  berjiwa  Pancasila  untuk mendukung  kemajuan ekonomi dan moral Pancasila.
Makna  PKn  pada  era  Reformasi  sesuai  dengan  tujuan  pendidikan  nasional pada  saat  ini,  yaitu  untuk  pemberdayaan  warga  negara,  mewujudkan  masyarakat
Indonesia  yang  demokratis  dalam    kemajemukan,  menjunjung  tinggi  hak  asasi manusia, taat pada hukum, dan berwawasan global.
2. Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan ke Depan
Secara konseptual Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk menyiapkan generasi  muda  menjadi  warga  negara  yang  baik,  warga  negara  yang  memiliki
pengetahuan,  kecakapan,  dan  nilai-nilai  yang  diperlukan  untuk  berpartisipasi  aktif dalam  masyarakatnya.  Pendidikan  Kewarganegaraan  tidak  boleh  semata-mata
menjadi alat kepentingan kekuasaan rezim, tetapi harus mendasarkan diri pada politik negara sebagaimana dimuat dalam konstitusi nasional.
Pendidikan  Kewarganegaraan  seharusnya  menjadi  perhatian  semua  pihak, pemerintah,  LPTK  yang  memiliki  Prodi  PKn,  Komunitas  PKn,  maupun  para  guru
PKn  di  lapangan.  Tidak  ada  tugas  yang  lebih  penting  bagi  sebuah  bangsa  selain mengembangkan  warganegara  yang  bertanggungjawab,  dan  terdidik.  Demokrasi
dipelihara  oleh  warganegara  yang  memiliki  pengetahuan,  kemampuan,  dan  karakter yang  dibutuhkan.  Tanpa  adanya  komitmen  yang  benar  dari  warganegara  terhadap
nilai dan prinsip fundamental demokrasi,  maka  masyarakat  yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud. Oleh karena itu tugas dari para pendidik, pembuat kebijakan,
330 dan  angota  civil  society  lainnya,  adalah  mengkampanyekan  pentingnya  Pendidikan
Kewarganegaraan kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi dan jajaran pemerintahan.
Saat  ini  Pendidikan  Kewarganegaraan  sudah  menjadi  bagian  dari  instrumen pendidikan nasional. Mata pelajaran ini dibangun dengan paradigma sebagai berikut:
Pertama,  secara  kurikuler  dirancang  sebagai  pembelajaran  yang  bertujuan  untuk mengembangkan  potensi  individu  agar  menjadi  warganegara  Indonesia  yang
berakhlak  mulia,  cerdas,  partisipatif,  dan  bertanggungjawab.  Kedua,  secara  teoritik dirancang  sebagai  pembelajaran  yang  memuat  dimensi  kognitif,  afektif,  dan
psikomotorik  yang  terintegrasi  dengan  nilai-nilai  Pancasila,  demokrasi,  dan  bela negara.  Ketiga,  secara  pragmatik  dirancang  sebagai  pembelajaran  yang  bertujuan
mewujudkan  perilaku  sehari-hari  warganegara  dalam  kehidupan  bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar sesuai dengan moral Pancasila.
Akan  tetapi  sejak  diimplementasikan  pada  berbagai  jenis  dan  jenjang, Pendidikan  Kewarganegaraan belum sesuai dengan harapan.  Indikasi  dari  terjadinya
salah  arah  tersebut  antara  lain  sebagai  berikut:  1  Pembelajaran  dan  penilaian Pendidikan  Kewarganegaraan  lebih  menekankan  pada  dimensi  kognitif  saja.
Pengembangan  dimensi-dimensi  lainnya  belum  mendapat  perhatian  yang  memadai. 2  Pengelolan  kelas  belum  kondusif    untuk  memberikan  pengalaman  belajar  yang
bermakna  dalam  mengembangkan    perilaku  siswa.  Hasil  belajar  Pendidikan Kewarganegaraan  yang  belum  mencapai  keseluruhan  dimensi  secara  optimal
menunjukkan  bahwa  tujuan  kurikulernya  belum  dapat  tercapai  sepenuhnya.  Selain
331 kendala  internal,  Pendidikan  Kewarganegaraan  juga  menghadapi  kendala  eksternal
yaitu  tuntutan  dari  berbagai  lapisan  masyarakat  berkaitan  dengan  semangat demokratisasi  yang  semakin  meningkat  dengan  segala  eksesnya.    Pendidikan
Kewarganegaraan yang seharusnya sarat dengan muatan afektif namun dilaksanakan secara  kognitif.  Pendidikan  Kewarganegaraan  dianggap  obat  mujarab  panacea
untuk  mengatasi  persoalan  kehidupan  para  siswa  khususnya  yang  menyangkut perilaku  dan  moral.    Namun  demikian,  kritikan  dan  tuntutan  tersebut  sudah
seharusnya  direspon  dan  diakomodasikan  secara  proporsional  karena  memang pendidikan  secara  umum  dan  Pendidikan  Kewarganegaraan  secara  khusus  bukan
hanya tanggungjawab pemerintah saja tetapi juga tanggungjawab seluruh komponen masyarakat,  bangsa,  dan  negara  Indonesia.  Tanggungjawab  bersama  untuk
menyelenggarakan  pendidikan  yang  berkualitas  pada  hakikatnya  merupakan perwujudan dari amanat nasional.
Kendala  eksternal  lainnya  yaitu  pendidikan  di  Indonesia  dihadapkan  pada berbagai persoalan dan situasi global yang berkembang cepat setiap waktu baik yang
bermuatan  positif  maupun  yang  bermuatan  negatif.  Ketidakmampuan  bangsa Indonesia  dalam  merancang  program  pendidikan  yang  mengakomodasikan
kecenderungan dan persoalan global tersebut berarti akan menghilangkan kesempatan untuk  mengejar  ketertinggalan  untuk  secara  bertahap  dapat  mensejajarkan  dirinya
dengan bangsa-bangsa yang sudah maju dalam bidang pendidikannya. Untuk  menjawab  berbagai  persoalan  tersebut  di  atas,  Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai mata  pelajaran di sekolah formal,  yang berperan  sebagai wahana  pemuliaan  dan  pemberdayaan  anak  dan  pemuda  sesuai  dengan  potensinya
332 agar menjadi warganegara  yang cerdas dan baik.  Pemikiran ini didasari oleh asumsi
bahwa  untuk  mendidik  anak  menjadi  warganegara  yang  cerdas  dan  baik  harus dilakukan  secara  sadar  dan  terencana  dalam  suatu  proses  pembelajaran  agar  mereka
secara  aktif  mengembangkan  potensi  dirinya  untuk  memiliki  kekuatan  spiritual keagamaan,  pengendalian  diri,  kepribadian,  kecerdasan,  akhlak  mulia,  serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan  Kewarganegaraan  ke  depan  harus  berupaya  memberdayakan
warganegara  agar  mampu  berperan  aktif  dalam  sistem  pemerintahan  yang demokratis.  Pendidikan  demokrasi  menjadi  strategis  dan  mutlak  bagi  perwujudan
masyarakat dan negara demokrasi. Hal ini sejalan dengan adagium yang menyatakan bahwa  demokrasi  dalam  suatu  negara  hanya  akan  tumbuh  subur  apabila  dijaga  oleh
warganegara  yang  demokratis.  Warganegara  yang  demokratis  hanya  bisa  dibentuk melalui pendidikan demokrasi.
Visi  bahwa  Pendidikan  Kewarganegaraan  ke  depan  bertujuan  mewujudkan masyarakat demokratis merupakan reaksi atas kesalahan masa lalu paradigma lama
yang  ketika  itu  berlabel  Pendidikan  Moral  Pancasila  PMP  ataupun  Pendidikan Pancasila dan  Kewarganegaraan PPKn. Baik PMP maupun  PPKn Orde Baru lebih
dimaksudkan  untuk  menciptakan  warga  negara  yang  patuh.  PMP  dan  PPKn  pada masa  itu  sesungguhnya  merupakan  Pendidikan  Kewarganegaraan  yang  berfungsi
sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Berdasar fakta tersebut tidak aneh bila muncul penilaian bahwa PMP dan PPKn merupakan pelajaran yang bersifat
politis  daripada  akademis.  Akibat  lebih  lanjut  mata  pelajaran  ini  kurang  diminati siswa.
333 Pengembangan  Pendidikan  Kewarganegaraan  ke  depan  memerlukan
restrukturisasi  kurikulum  dan  substansi  materinya.  Jika  pada  masa  Orde  Lama  dan Orde  Baru  PMP  dan  PPKn  seakan    tidak  memiliki  vitalitas,  kurang  berdaya,    dan
tidak  dapat  berfungsi  baik  dalam  meningkatkan  kompetensi  kewarganegaraan  para peserta  didik.  Para  siswa  tidak  banyak  menyukai  pelajaran  ini  bahkan  merasakan
bosan.  Para  guru  sendiri  tidak  jarang  bingung  dengan  pembelajaran  yang  dilakukan karena tidak  mantapnya arah, tujuan, dan isi mata pelajaran PMP serta PPKn. Salah
satu  kelemahan  mendasar  dari  PMP  dan  PPKn  adalah  materi  yang  diajarkan  tidak memiliki batang keilmuan yang jelas. Materi yang diajarkan bukan ilmu tetapi nilai,
seperti keadilan, kejujuran, gotong royong, dan sebagainya. Maka yang terjadi, PMP dan  PPKn  bukanlah  mata  pelajaran  yang  bersifat  ilmiah,  atau  lemah  dalam  hal
keilmuannya.  Hal  demikian  justru    menyusahkan  para  guru  yang  mengajarkan  dan siswa  yang  menerimanya.  Layaknya  sebuah  mata  pelajaran,  maka  seharusnya
memiliki landasan ilmu yang jelas. Restrukturisasi  materi  merupakan  bagian  yang  penting  bahkan  umumnya
dianggap terpenting dalam pembaharuan kurikulum. Pendidikan Kewarganegaraan ke depan  harus  terus  dikembangkan  substansi  materinya.  Materi  Pendidikan
Kewarganegaraan  sebaiknya  bersumber  dari  ilmu  politik,  ilmu  hukum  dan  moral. Dengan demikian, mata pelajaran ini nantinya akan memiliki batang ilmu yang jelas.
Dengan memperhatikan
konsep dan
perkembangan Pendidikan
Kewarganegaraan  di  Indonesia,  nampaknya  para  pengambil  keputusan  di  bidang pendidikan  khususnya  di  bidang  kurikulum,  harus  dapat  menggunakan  pengalaman
masa lalu itu untuk merancang masa depan Pendidikan Kewarganegaraan secara lebih
334 baik.  Pengalaman  masa  lalu  telah  menempatkan  Pendidikan  Kewarganegaraan
sebagai alat kekuasaan semata karena itu bersifat mono vision, serta rentan terhadap perubahan-perubahan  politik.  Jika  akan  dilakukan  perbaikan  terhadap  Pendidikan
Kewarganegaraan  lebih  mengedepankan  dan  menempatkan  warganegara  sebagai subyek untuk dikembangkan agar menjadi warganegara yang lebih berpikir kritis dan
kreatif,  proaktif,  inovatif,  demokratis,  menghargai  sesama  manusia,  berbudaya  serta mematuhi  berbagai  hukum  dan  peraturan  yang  berlaku  bagi  kemajuan  dan
kesejahteraan masyarakat Abdul Azis Wahab, 2007: 708. Bangsa  Indonesia  tidak  boleh  lagi  mengulangi  langkah-langkah  politik  yang
keliru, yang cenderung lebih menekankan kepada kekuasaan dengan menomorduakan rakyat dan masyarakat dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengakuan
terhadap  hak-hak  individu  yang  didasari  rasa  tanggung  jawab  harus  terus ditumbuhkan, penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta
pada  kemajuan  dan  kesejahteraan  rakyat  harus  sudah  mulai  menjadi  dasar-dasar kebijakan  nasional  dengan  senantiasa  membuka  diri  terhadap  perubahan  global  dan
dengan  respon  yang  dilakukan  secara  cerdas.  Paradigma  baru  Pendidikan Kewarganegaraan  menuntut  dilakukannya  redefinisi  dan  revitalisasi  implementasi
konsep  Pendidikan  Kewarganegaraan  sehingga  benar-benar  menjadi  wadah  yang dapat  membangun  dan  mengembangkan  berbagai  kemampuan  warganegara  agar
dapat  lebih  sensitif,  proaktif,  inovatif,  kreatif,  dan  cerdas  sehingga  dapat berpartisipasi  secara aktif dan efektif  dalam  kehidupannya sebagai warganegara dan
warga  masyarakat  Abdul  Azis  Wahab,  2007:  709.    Redefinisi  dan  revitalisasi pengertian  serta  tujuan  Pendidikan  Kewarganegaraan  akan  mendorong  lahirnya
335 paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan. Paradigma baru tersebut harus disusun
di atas pilar-pilar demokrasi, antara lain sebagai berikut: 1 Konstitusionalisme; 2 Percaya  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa;  3  Warganegara  yang  cerdas;  4
Penghargaan terhadap hak-hak individu; 5 Pers yang bebas; 6 Supremasi hukum; 7 Hak asasi manusia; 8 Pembagian dan pembatasan kekuasaan; 9 Peradilan yang
independen; 10 Desentralisasi dan otonomi; 11 Kesejahteraan sosial dan keadilan sosial; 12 Patriotisme dan nasionalisme.
Paradigma  baru  Pendidikan  Kewarganegaraan  tersebut  menuntut  adanya perubahan  dalam  seluruh  aspek  pembelajaran  mulai  dari  tujuan  sampai  pada
pengembangan  bahan  ajar,  metode  mengajar  dan  penilaiannya.  Dari  sisi  tujuan misalnya  yang  umumnya  diketahui  dari  berbagai  literatur  bahwa  tujuan  Pendidikan
Kewarganegaraan  adalah  untuk  membentuk  warganegara  yang  baik.  Yaitu warganegara  yang  mampu  melaksanakan  hak-hak  dan  kewajiban-kewajibannya.
Warganegara juga dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan serta nilai- nilai  sosial  dan  budaya  yang  berubah.  Warganegara  yang  tahu  tentang  hak  dan
kewajibannya,  tetapi  juga  mampu  melakukan  yang  lebih  luas  dari  pada  itu  sebagai akibat  dari  perubahan-perubahan  yang  cepat  dalam  era  informasi  dan  globalisasi
tersebut, yang
oleh Cogan
dan Derricott
disebut warganegara
yang “multidimensional.” Abdul Azis Wahab, 2007: 710.
Pengalaman  masa  lalu  mengajarkan  kepada  kita,  bahwa  Pedidikan Kewarganegaraan  pada  era  Orde  Lama  dan  Orde  Baru  sangat  miskin  konsep  dan
teori,  sehingga  lebih  dominan  unsur  indoktrinasinya.  Oleh  karena  itu  Pendidikan Kewarganegaraan di era Reformasi ini harus diperjelas konsep dan teori keilmuannya
336 sehingga  lebih  bersifat  ilmiah.  Metode  indoktrinasi  harus  diakhiri,  metode  dialogis
yang ilmiah harus dikembangkan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah.
Pendidikan  Kewarganegaraan  pada  era  Orde  Lama  dan  Orde  Baru  saat  itu dikembangkan  berdasarkan  teori  hegemoni,  yakni  sosialisasi  politik  dari  negara
kepada warganegaranya untuk menguatkan rezim yang sedang berkuasa. Cara seperti itu  harus  ditinggalkan  pada  era  Reformasi  ini.  Pendidikan  Kewarganegaraan  harus
dijadikan  sarana  untuk  memberdayakan  warga  negara  dalam  rangka  membentuk masyarakat madani, suatu masyarakat dimana negara dan warga negara dalam posisi
seimbang.  Hegemoni  negara  yang  terlalu  kuat  mengakibatkan  otonomi  guru  dan otonomi  pendidikan  pada  pada  era  Orde  Lama  dan  Orde  baru  sangat  minim  dan
bahkan hilang. Pada era Reformasi ini otonomi guru dan otonomi pendidikan dalam batas-batas tertentu harus segera dipulihkan, agar pendidikan tidak dijadikan alat bagi
rezim yang sedang berkuasa untuk kepentingannya. Paradigma  baru  Pendidikan  Kewarganegaraan  harus  memiliki  struktur
keilmuan  yang  jelas  yakni  berbasis  pada  ilmu  politik,  hukum  dan  filsafat  moral filsafat Pancasila. Memiliki visi yang kuat mengenai: nation and character building,
untuk    pemberdayaan  warga  negara,  dalam  rangka  mengembangkan  masyarakat madani.  Perlu  cara  pandang  yang  sama,  dari  berbagai  komponen  dalam
mengembangkan  Pendidikan  Kewarganegaraan  di  era  Reformasi  saat  ini,  antara Dikdasmen,  Pusat  Kurikulum,  Lemhannas,  LPTK,  serta  berbagai  komunitas
Pendidikan  Kewarganegaraan  di  Indonesia.  Semua  komponen  tersebut  perlu  duduk
337 bersama  untuk  merumuskan  Pendidikan  Kewarganegaraan  yang  terbaik  bagi
Indonesia. Berdasarkan  analisis  terhadap  hasil  penelitian  tetang  dinamika  Pendidikan
Kewarganegaraan  PKn  yang  terjadi  sejak  Orde  Lama,  Orde  Baru,  hingga  era Reformasi,  peneliti  merekomendasikan,  pengembangan  PKn  di  masa  depan  yang
ideal  bagi  Indonesia  adalah  sebagai  berikut:  1    PKn  yang  memiliki  akar  keilmuan yang jelas,  yakni politik, hukum, dan  moral, sehingga bersifat ilmiah. 2 PKn  yang
bebas dari hegemoni, indoktrinasi, dan kepentingan pragmatis dari rezim yang sedang berkuasa.  3  PKn  yang  mengadopsi  nilai-nilai    universal,  yang  digunakan  oleh
negara-negara demokrasi. 4 PKn yang tidak lepas dari bingkai filosofi Pancasila. 5 PKn  yang  diwarnai  identitas  nasional,  budaya  Indonesia,  Bhineka  Tunggal  Ika,
NKRI.  6  PKn  yang  berpedoman  pada  politik  negara  dan  bangsa  yang  ada  dalam konstitusi.  7  PKn  yang  mengembangkan  civic  knowledge,  civic  skill,  dan  civic
dispotition  secara  proporsional.  8  PKn  yang  menghasilkan  warga  negara  religius, yang  menjadi  pembeda  dengan  yang  dikembangkan  oleh  negara-negara  maju  di
Barat.  9  PKn  yang  memberdayakan  warga  negara,  bukan  PKn  yang  hanya membentuk  kepatuhan  tanpa  daya  kritis.  10  PKn  yang  mengantarkan  menuju
masyarakat madani.
338
BAB V KESIMPULAN, REFLEKSI,  DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan 1. Dinamika Politik Pendidikan Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi