174 Memasuki Pelita II, penguasa Orde Baru semakin percaya diri karena secara
ekonomis Rezim Orde Baru sudah semakin kuat. Secara ekonomis Rezim Orde Baru sudah mampu melahirkan calon-calon konglomerat baru,
sedangkan secara politik dukungan dari ABRI dan Golkar semakin menguat melalui birokrasinya yang sangat efektif. Dengan dua modal tersebut,
intervensi yang dilakukan Rezim Orde Baru ke dalam sistem pendidikan nasional semakin intensif. Rezim Orde Baru menyadari sepenuhnya bahwa
institusi pendidikan dapat menjadi mekanisme kontrol yang efektif terhadap pikiran-pikiran liar yang ada di masyarakat. Oleh karena itu berbagai
mekanisme kontrol fisik dan pikiran melalui pendidikan terus dilakukan oleh rezim Orde Baru. Pertama-tama melalui seragam sekolah, kemudian
berlanjut pada isi materi pelajaran, dan dilanjutkan pada yang lebih detail lagi, yaitu pengawasan perilaku individu-individu yang terlibat dalam pengelolaan
pendidikan. Sebenarnya akar masalah pendidikan bukan hanya masalah terbatasnya anggaran tetapi juga kuatnya intervensi penguasa Orde Baru yang
menjadikan beban ideologis dan politik yang dipikul oleh pendidikan nasional itu teramat berat, sedangkan proses pencerdasan itu sendiri semakin
berkurang. Darmaningtyas, 2004: 9.
a. Indoktrinasi Ideologi
Beban politik dalam pendidikan mulai terasa ketika adanya pergantian pelajaran dari Civic atau Kewarganegaraan menjadi pelajaran PMP Pendidikan
Moral Pancasila sejak tahun 1976. Penggantian pelajaran Civic menjadi PMP itu memiliki implikasi politik yang cukup besar. Menurut Darmaningtyas:
Dalam pelajaran Civic yang dipelajari adalah mengenal hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan juga kewajiban negara terhadap
warganya. Dengan demikian sejak kecil setiap murid sudah diajarkan untuk bersikap kritis terhadap hak-haknya sebagai warga negara dan kewajiban
negara terhadap warganya. Dengan kata lain, pelajaran Civic itu akan menumbuhkan sikap kritis kepada setiap murid. Hal itu jelas kurang
menguntungkan bagi penguasa. Sebab bila setiap lulusan sekolah menjadi sangat kritis, maka penguasa akan kebingungan memberikan jawaban kepada
setiap tuntutan warganya. Sedangkan pada mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada ideologi negara saja, tapi
kurang dikenalkan dengan hak-haknya. Maka wajar bila kemudian produk pendidikan yang lahir dari mata pelajaran PMP ini adalah orang-orang yang
taat, dan tidak kritis. Darmaningtyas, 2004: 10.
175 Setelah hadirnya Tap MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila P-4, Husain Haikal menyatakan bahwa: Beban politik pada pendidikan nasional itu makin terasa berat ketika pelajaran
PMP itu tidak hanya berhenti di situ saja. Tapi berlanjut pada bentuk penataran P-4 yang harus diikuti oleh setiap murid dari Taman Kanak-kanak
sampai Perguruan Tinggi, dan juga para gurunya. Sejak tahun 1983-1997 penataran P-4 menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh setiap murid baru.
Penataran P-4 pun kemudian menjadi proyek baru bagi para pengampu mata pelajaran Pancasila. wawancara, 7 Juli 2011.
Selain mata pelajaran PMP, mata pelajaran Sejarah juga banyak dimanfaatkan
oleh penguasa untuk mendukung kepentingannya. Sebagai contohnya adalah mata pelajaran Sejarah Nasional yang sangat menonjolkan materi peristiwa 1965-1966
yang menampilkan penguasa Orde Baru sebagai Hero. Lebih lanjut Husain Haikal menyatakan:
Buku-buku Sejarah Nasional sejak masa awal Orde Baru lebih banyak bersifat sebagai kampanye anti PKI. Oleh sebab itu, dalam seluruh materi sejarah,
terutama peristiwa 1965-1966 ditekankan pada kekejaman Partai Komunis Indonesia PKI dan heroiknya Angkatan Darat dalam menyelamatkan
Pancasila sebagai dasar negara sehingga kemudian memunculkan peringatan ”Hari Kesaktian Pancasila” yang selalu diperingati setiap tahunnya. Namun
sejak Gur Dur menjadi Presiden peringatan tersebut diganti istilah dengan nama ”peringatan 1 Oktober. wawancara, 7 Juli 2011.
Selain pergantian pelajaran yang lebih memiliki beban politis daripada pencerdasan itu, pada Pelita III juga ditandai dengan adanya ketentuan seragam
secara nasional, yaitu Merah-Putih untuk SD, Biru-Putih untuk SLTP, dan Abu-abu- Putih untuk SMTA. Sebelumnya seragam pelajar itu ditentukan oleh masing-masing
sekolah dan fungsinya hanya untuk menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat saja. Ketentuan seragam secara nasional itu baru mulai diberlakukan sejak
176 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Daoed Josoef dari CSIS 1987-
1993, sebelumnya seragam sekolah itu amat berwarna-warni. Mulai saat itu sebetulnya telah terjadi penguasaan institusi pendidikan
nasional baik secara fisik maupun mental melalui politik penyeragaman. Secara fisik melalui ketentuan pakaian seragam nasional dari tingkat SD, SMTA, sedangkan
secara mental melalui penggantian pelajaran Civic dengan PMP dan Penataran P-4 bagi murid baru, serta materi pelajaran Sejarah yang ditekankan sebagai kampanye
anti PKI. Penguasa Orde Baru menyadari betul, bahwa pendidikan merupakan wahana yang strategis untuk melakukan indoktrinasi ideologi yang efektif, oleh
karena itu pendidikan harus dikuasai. Pada perkembangan berikutnya, upaya menambah beban politik pada institusi pendidikan nasional itu dilakukan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto 1983-1985 dengan menambah mata pelajaran PSPB Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa pada
Kurikulum 1984. Jika sebelumnya kampanye anti-PKI di satu pihak dan heroisme Angkatan
Darat itu hanya masuk ke dalam materi pelajaran Sejarah saja, maka oleh Menteri Nugroho Notosusanto diformalkan dalam bentuk pelajaran PSPB
yang dinilai tumpang tindih dengan materi Sejarah Nasional itu sendiri. Oleh para sejarawan yang kritis, seperti Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan G.
Moedjanto ditolak. Bahkan Prof. Dr. Sartono Guru Besar Fakultas Sastra UGM tidak mau terlibat dalam penyusunan materi PSPB. Karena materi ini
dinilai lebih bermuatan politis daripada proses pencerdasan bangsa, karena fokus perjuangan yang ditunjukkan hanya pada perjuangan bersenjata dan itu
pun secara waktu hanya terfokus pada peran Angkatan Darat dalam menghadapi PKI tahun 1965-1966. Perjuangan kaum cendekiawan melalui
diplomasi tidak ditempatkan sebagai bagian dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, penambahan pelajaran PSPB itu sebetulnya lebih
dimaksudkan untuk menyenangkan kekuatan politik dominan pada saat itu, yaitu ABRI khususnya Angkatan Darat. Melalui pelajaran PSPB itu
diharapkan secara evolutif para lulusan pendidikan formal memiliki apresiasi yang tinggi terhadap ABRI, khususnya Angkatan Darat. Keputusan Menteri
177 Nugroho Notosusanto itu ditengarahi sebagai upaya untuk mencari muka di
hadapan militer, karena ia dikenal sebagai sastrawan dan rektor UI yang dekat dengan militer. Sebelum menjadi rektor UI tahun 1982, Nugroho Notosusanto
adalah bekerja di Pusat Kajian Sejarah Militer, Angkatan Darat. Setelah Nugroho Notosusanto meninggal dunia Juni 1985 dan Menteri P dan K
dijabat oleh Fuad Hassan sejak 31 Juli 1985, mata pelajaran PSPB itu kemudian dihapuskan dan diintegrasikan kembali ke materi Sejarah Nasional
dan PMP. Darmaningtyas, 2004: 13.
Penguasaan institusi pendidikan sebagai wahana indoktrinasi ideologi dan politik Orde Baru tidak hanya berhenti pada penggantian desain materi pelajaran
Civic menjadi PMP, mengubah substansi pelajaran Sejarah Nasional, menambahkan pelajaran PSBP, atau penyeragaman pakaian secara nasional saja, tapi juga
penguasaan guru. Organisasi guru, yang kemudian dikenal dengan nama PGRI yang pada saat
didirikan pada 25 November 1945 berbentuk Serikat Pekerja pada Konggresnya tanggal 23-25 Novenber 1973 di Jakarta berubah status menjadi
Organisasi Profesi. Bersamaan dengan perubahan status itu juga terjadi perubahan afiliasi politik. Selama masa Orde Baru PGRI dikenal sebagai
salah satu organisasi profesi yang menjadi basis pendukung Golongan Karya Golkar
sehingga anggota
PGRI diidentikkan
dengan Golkar.
Darmaningtyas, 2004: 17. Adanya perubahan status itu jelas mempengaruhi ruang gerak organisasi guru,
yaitu Serikat Pekerja yang bertujuan memperjuangkan hak-hak guru menjadi organisasi yang diikat oleh kode etik profesi tertentu. Apalagi perannya sebagai
pendukung Golkar, jelas dapat melupakan nasib anggotanya sekiranya anggota itu tidak sejalan dengan tuntutan Golkar. Menurut Husain Haikal:
Begitu besarnya cengkeraman birokrasi yang diperkuat oleh organisasi guru, menyebabkan guru kehilangan otonominya. Guru kemudian sangat terbiasa
bekerja atas dasar petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis saja. Semua perintah akan dijalankan bila sudah ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis, karena mereka takut disalahkan. wawancara, 7 Juli 2011.
178 Penguasaan guru sebagai media untuk melaksanakan indoktrinasi ideologi dan
politik Orde Baru itu berlangsung sangat efektif, sehingga dalam waktu dua dekade terakhir masa Orde Baru, institusi pendidikan telah menjadi sarana yang efektif
untuk mendukung status quo. Institusi pendidikan menjadi institusi yang paling konservatif untuk melakukan perubahan sama sekali. Ini jelas sebagai dampak dari
pengkerdilan jiwa dan penghilangan otonomi guru. Dalam pengertian ini, jelas bahwa pendidikan sejak masa Orde Baru cenderung sebagai proses pemiskinan ideologi dan
politik masyarakat.
b. Pembangunan Pendidikan