Komponen Kurikulum Kajian Teori 1. Pendidikan Nasional

88 Tabel 1 Kurikulum dalam Perspektif Teori Teori Ide Sentral Pendidikan Kurikulum Proses Belajar Sumber Daya Manusia Didasarkan pada konsep rasionalitas, kebebasan, dan kesamaan. Pendidikan harus demokratis dan rasional, dengan perlakuan yang berimbang antara kebebasan dan kesamaan pada subyek didik. Berimbang yang dimaksud adalah antara hak dan kewajiban. Pemberian materi menurut kemampuan dan bakat subyek didik. Ruang lingkup: membaca, menulis, dan aritmatika. Cirinya: luwes, eksperimental, ada keterkaitan aspek-aspek akademik dan vokasional. Guru berperan untuk mencapai kemandirian anak dengan cara yang demokratis. Proses pembelajaran berpusat pada siswa. Revitalisasi Budaya Didasarkan pada dua aliran, yakni esensialisme yang menghendaki agar pendidikan bersendikan atas norma dan nilai yang telah teruji oleh waktu. Sedangkan parinialisme menghendaki pendidikan kembali pada pandangan kefilsafatan pada abad pertengahan. Wahana perkembangan subyek didik yang meterinya ditentukan lebih dahulu. Cirinya: ada kelompok penting dan kurang penting. Memberikan pengetahuan dasar seperti halnya: matematika, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, bahasa, sastra, logika, seni dan musik yang secara fungsional untuk meningkatkan kecakapan membaca, menulis, berpikir, dan berimajinasi. Siswa diarahkan untuk penguasaan terhadap pengetahuan, ilmu dan kecakapan yang sangat diperlukan. Guru sangat dominan dalam proses pembelajaran. Rekonstruksianisme Didasarkan pada pemikiran bahwa nilai tertinggi yang dimiliki manusia adalah memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi secara alami dan secara penuh. Pendidikan sebagai transformasi nilai-nilai budaya mengantarkan subyek memahami sebagian segmen kehidupan kebudayaan dan kemasyarakatan. Pendidikan perlu mengeliminasi pengaruh dari kurikulum semu dan menaruh perhatian adanya kotak hitam. Ide-ide asasi agar siswa dapat mengembangkan potensinya secara penuh dapat direalisasikan Wahana pengembangan kepribadian dan percaya diri. Kurikulum didesain untuk dapat menghindari budaya hegemoni. Pengetahuan yang diberikan tidak hanya ditransferkan, tetapi ditransformasikan. Kurikulum yang diberikan meliputi pengetahuan dasar, fisika, kimia, sosiologi, dan juga tentang industrialisasi, media massa, teknologi, dan ekologi. Cirinya: perlu dicegah budaya hegemoni bercorak teknologi dan industri. Guru perlu memiliki kemampuan yang transformatif yakni dengan cara dapat menjalankan materi kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Siswa dengan bekal pengetahuan dasar dan kemampuannya menjadi individu yang aktif dan kreatif. Sumber: Imam Barnadib dalam Siti Irine Astuti, 2009: 58.

b. Komponen Kurikulum

Menurut Nana Syaodih Sukmadinata 2010: 102, kurikulum terdiri dari enam komponen, yaitu: 1 Tujuan, 2 Bahan ajar, 3 Strategi mengajar, 4 Media 89 mengajar, 5 Evaluasi, dan 6 Penyempurnaan pengajaran. Senada dengan pendapat Nana Syaodih, menurut Soetopo Soemanto 1993: 26 ada lima komponen kurikulum, yaitu: 1 Tujuan, 2 Isi dan struktur program, 3 Organisasi dan strategi, 4 Sarana, dan 5 Evaluasi. Selanjutnya Nasution 1993: 4 membagi komponen kurikulum menjadi empat, yaitu: 1 Tujuan, 2 Bahan pelajaran, 3 Proses belajar mengajar, dan 4 Penilaian. Sedangkan menurut Subandijah 1993: 4 komponen kurikulum ada lima, terdiri dari: 1 Tujuan, 2 Isi atau materi, 3 Organisasi atau strategi, 4 Media dan 5 Proses belajar mengajar. 1 Komponen tujuan Dalam kurikulum tujuan memegang peranan penting, karena akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama perkembangan tuntutan, kebutuhan, dan kondisi masyarakat. Kedua, didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara. Ada beberapa kategori tujuan pendidikan, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, serta tujuan jangka panjang, menengah, dan jangka pendek. Tujuan-tujuan mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan perilaku yang menjadi sasarannya. Gagne dan Briggs mengemukakan lima kategori tujuan, yaitu intellectual skills, cognitive strategies, verbal information, motor skills, and attitudes Gagne and Briggs, 1974: 23. Bloom mengemukakan tiga kategori tujuan mengajar sesuai dengan domain-domain perilaku individu, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan kemampuan-kemampuan intelektual atau berpikir. Domain afektif berkenaan dengan 90 penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai. Domain psikomotor menyangkut penguasaan dan pengembangan keterampilan-keterampilan motorik. Tujuan-tujuan khusus mengajar juga memiliki tingkat kesukaran yang berbeda-beda. Bloom membagi domain kognitif atas enam tingkatan dari yang paling rendah, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Untuk domain afektif Krathwohl dan kawan-kawan membaginya atas lima tingkatan yang juga berjenjang, yaitu: menerima, merespons, menilai, mengorganisasi nilai, dan karakterisasi nilai-nilai. Untuk domain psikomotor Anita Harrow membaginya atas enam jenjang, yaitu: gerakan refleks, gerakan-gerakan dasar, kecakapan mengamati, kecakapan jasmaniah, gerakan-gerakan keterampilan, dan komunikasi yang berkesinambungan Nana Syaodih Sukmadinata, 2010: 104. Tujuan pendidikan nasional menghendaki pencapaian ketiga domain yang ada secara integral dalam rangka memperoleh lulusan pendidikan yang relevan dengan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan yang berkaitan dengan perwujudan domain-domain anak didik diupayakan melalui suatu proses pendidikan, yang kalau dibuat secara berurutan, tujuan pendidikan itu adalah sebagai berikut: 1 Tujuan pendidikan nasional, 2 Tujuan institusional, 3 Tujuan kurikuler, 4 Tujuan instruksional umum dan khusus. 2 Komponen bahan ajar Untuk mencapai tiap tujuan mengajar yang telah ditentukan diperlukan bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-topik dan sub topik tertentu. Tiap topik atau sub topik mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan. 91 Topik-topik atau sub topik tersebut tersusun dalam sekuens tertentu yang membentuk suatu sekuens bahan ajar. Komponen bahan ajar merupakan komponen yang diprogramkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Bahan ajar yang dimaksud biasanya berupa materi bidang studi, misalnya: Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan sebagainya. Bidang studi tersebut disesuaikan dengan jenis, jenjang dan jalur pendidikan yang ada, dan bidang studi tersebut biasanya dicantumkan dalam struktur program kurikulum sekolah. 3 Komponen strategi mengajar Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Rowntree 1974: 93-97 membagi strategi mengajar menjadi dua yaitu, sebagai exposition- discovery learning dan role learning-meaningful learning. Exposition-discovery learning adalah strategi mengajar yang dilakukan dengan cara menyampaikan keseluruhan bahan ajar pada siswa dalam bentuk jadi, baik secara lisan maupun tertulis. Siswa tidak dituntut untuk mengolah, atau melakukan aktivitas lain kecuali menguasainya. Sedang dalam discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk jadi, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mengorganisasikan bahan, serta membuat kesimpulan-kesimpulan. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya. Rote learning-meaningful learning. Dalam rote learning bahan ajar disampaikan kepada siswa tanpa memperhatikan arti atau maknanya bagi siswa. 92 Siswa menguasai bahan ajar dengan menghafalkannya. Dalam meaningful learning penyampaian bahan mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausabel and Robinson 1970: 52 sesuatu bahan ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif yang ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas fakta-fakta, data, konsep, proposisi, dalil, hukum, dan teori-teori yang telah dikuasai siswa sebelumnya, yang tersusun membentuk suatu struktur dalam pikiran anak. 4 Komponen media Media merupakan alat bantu untuk memudahkan dalam mengaplikasikan isi kurikulum agar lebih mudah dimengerti oleh anak didik dalam proses belajar mengajar. Ketepatan memilih media merupakan suatu hal yang dituntut bagi seorang pendidik, agar proses belajar mengajar bisa tercapai dengan baik. Media mengajar merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa belajar. Pengertian di atas mencakup berbagai bentuk perangsang belajar yang sering disebut sebagai audio visual, alat-alat elektronika seperti mesin pengajaran, film, audio cassette, video cassatte, televisi, dan komputer. 5 Komponen evaluasi Untuk melihat sejauh mana keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum, diperlukan evaluasi. Mengingat komponen evaluasi berhubungan erat dengan komponen lain, maka cara penilaian ini akan menentukan tujuan kurikulum, materi atau bahan, serta proses belajar mengajar. Evaluasi sangat penting, karena hasil evaluasi menjadi ukuran atas keberhasilan proses belajar mengajar pada suatu sekolah 93 dan berkaitan erat dengan masa depan anak didik. Evaluasi juga sangat penting untuk upaya perbaikan dan pembaharuan suatu kurikulum. Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan- tujuan belajar dan proses pelaksanaan mengajar. Umpan balik tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha penyempurnaan baik bagi penentuan dan perumusan tujuan mengajar, penentuan sekuen bahan ajar, strategi, dan media mengajar. 6 Komponen penyempurnaan pengajaran Hasil evaluasi baik evaluasi hasil belajar, maupun evaluasi pelaksanaan mengajar secara keseluruhan, merupakan umpan balik bagi penyempurnaan lebih lanjut, komponen apa yang disempurnakan, dan bagaimana penyempurnaan tersebut dilaksanakan. Pada dasarnya semua komponen mengajar mempunyai kemungkinan untuk disempurnakan. Suatu komponen mendapatkan prioritas lebih dulu atau mendapatkan penyempurnaan lebih banyak, dilihat dari peranannya dan tingkat kelemahannya. Penyempurnaan juga dapat dilakukan secara langsung begitu didapatkan sesuatu informasi umpan balik, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu bergantung pada urgensinya dan kemungkinannya mengadakan penyempurnaan Nana Syaodih Sukmadinata, 2010: 113. Kurikulum dapat mencakup lingkup yang sangat luas, yaitu sebagai program pengajaran pada suatu jenjang pendidikan, dan dapat pula menyangkut lingkup yang sangat sempit, seperti program pengajaran suatu mata pelajaran untuk beberapa jam 94 pelajaran. Apakah dalam lingkup luas ataupun sempit, kurikulum membentuk desain yang menggambarkan pola organisasi dari komponen-komponen kurikulum dengan perlengkapan penunjangnya. Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi, kesesuaian tersebut meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian antar komponen dalam kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujun, proses sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan kurikulum.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Untuk mengetahui peta penelitian yang terkait dengan Pendidikan Kewarganegaraan, serta untuk menunjukkan keaslian dari penelitian ini, berikut ini disampaikan kajian penelitian yang relevan. Pertama. Penelitian yang berjudul “Transformasi Gagasan Masyarakat Kewargaan Civil Society Melalui Reformasi Pendidikan Kewarganegaraan”, dilakukan oleh Samsuri, tahun 2010. Penelitian ini dilakukan di Indonesia, untuk menggali dan melacak seluruh proses dan produk pengembangan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan. Tujuan penelitian ini ialah untuk menemukan upaya kebijakan pendidikan nasional di Indonesia mentranformasikan gagasan masyarakat kewargaan melalui pengembangan dan implementasi Pendidikan Kewarganegaraan pada pendidikan dasar dan menengah era reformasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa: 1 Gerakan reformasi telah mempengaruhi gagasan konstruksi masyarakat kewargaan; 2 Kebijakan pendidikan sama sekali tidak bisa dipisahkan dari lingkungan politik yang melatarinya, sehingga