178 Penguasaan guru sebagai media untuk melaksanakan indoktrinasi ideologi dan
politik Orde Baru itu berlangsung sangat efektif, sehingga dalam waktu dua dekade terakhir masa Orde Baru, institusi pendidikan telah menjadi sarana yang efektif
untuk mendukung status quo. Institusi pendidikan menjadi institusi yang paling konservatif untuk melakukan perubahan sama sekali. Ini jelas sebagai dampak dari
pengkerdilan jiwa dan penghilangan otonomi guru. Dalam pengertian ini, jelas bahwa pendidikan sejak masa Orde Baru cenderung sebagai proses pemiskinan ideologi dan
politik masyarakat.
b. Pembangunan Pendidikan
Jika pada era Orde Lama pendidikan dikuasai oleh politik Manipol USDEK serta peraturan perundangan yang didasarkan kepada arah politik yang berbau
Manipol dan USDEK. Maka Orde Baru berupaya meluruskan kembali arah pendidikan nasional supaya sejalan dengan cita-cita nasional. Berikut ini adalah
uraian dari Tilaar: Repelita pertama dicanangkan mulai berlaku pada tanggal 1 April 1969, maka
pada tanggal 28-30 April 1969 pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar pemikir
pendidikan di Cipayung untuk mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional. Di dalam pertemuan para pakar tersebut diambil kesimpulan bahwa
perkembangan pendidikan ditentukan oleh faktor-faktor luar seperti politik, ekonomi, sosial budaya, serta faktor-faktor intern. Kedua faktor tersebut harus
diidentifikasi secara cermat baru kemudian disusun suatu strategi serta program penanggulangannya. Disadari pada waktu itu bahwa pemerintah
belum mempunyai strategi umum yang menyeluruh dan jelas yang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, badan-badan pemerintah yang menyelenggarakan
pendidikan tidak mempunyai otoritas yang jelas. Artinya, tanggungjawab dan fungsi badan-badan tersebut simpangsiur sehingga arahnya kurang jelas dan
efisien. Kedua, para penyelenggara pendidikan belum profesional. Artinya, tingkat kemampuan dari para penyelenggara pendidikan belum sanggup untuk
melaksanakan proses pendidikan secara profesional, bukan hanya jumlahnya yang masih kurang tetapi banyak dicampuri oleh unsur-unsur politik. Ketiga,
179 pelaksanaan pendidikan terlalu dibawah pengaruh politik. Keempat, badan-
badan penyelenggara pendidikan yang kurang profesional, serta tidak diperkuat oleh tim-tim peneliti. Pada saat itu politik adalah panglima
sedangkan profesionalisme berada di nomor dua. Jumlah pakar pendidikan pada saat itu juga masih sangat terbatas. Tilaar, 1995: 113.
Konferensi Cipayung mempunyai tiga tujuan. Pertama, mengidentifikasi semua persoalan di bidang pendidikan. Kedua, meyusun prioritas berbagai persoalan
untuk dipecahkan sesuai arah pembangunan nasional. Ketiga, mencari alternatif pemecahan. Dalam konferensi yang terkenal itu sudah dengan lugas dinyatakan
bahwa strategi dasar pembangunan pendidikan nasional ialah bukan hanya sekedar merumuskan untuk mencapai target kuantitatif, tetapi juga merumuskan isi sistem
pendidikan seperti struktur, kurikulum, dan metodologi pendidikan. Masalah pendidikan bukan hanya ditentukan masalah-masalah intern tetapi juga tergantung
kepada masalah-masalah ekstern, seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya. Selanjutnya, ada dua hal yang ditonjolkan di dalam konferensi tersebut ialah
pentingnya “hubungan” dan “inovasi”. Lebih lanjut Tilaar 1995: 114 menjelaskan: Konferensi juga memberikan perhatian kepada lima krisis pendidikan yang
dikemukakan oleh Philip Coombs, sebagai berikut: 1 Terjadi ledakan jumlah anak yang ingin mendapatkan pendidikan. 2 Tidak adanya keserasian antara
kebutuhan masyarakat dengan apa yang diajarkan di sekolah. 3 Sumber pembiayaan pendidikan yang serba terbatas. 4 Mutu pendidikan perlu
ditingkatkan. 5 Belum adanya efisiensi kerja.
Kelima faktor krisis pendidikan menurut pemikiran Philip Coombs tersebut di atas, masih perlu dilengkapi lagi dengan faktor kurang jelasnya arah pendidikan
nasional. Memang UU No. 4 Tahun 1950 tentang Pendidikan, tidak memadai lagi dalam pembangunan masyarakat yang mulai berubah. Demikian pula UU yang
mengatur pendidikan tinggi masih didasarkan ideologi Orde Lama, begitu juga
180 pendidikan untuk sekolah dasar dan menengah masih didasarkan kepada Pantja
Wardhana yang tidak lain merupakan cerminan dari Manipol USDEK. Dalam konferensi Cipayung para pakar minta perhatian mengenai rumusan arah pendidikan
nasional. Meskipun lambat tetapi pasti harapan para pakar tersebut baru dapat terpenuhi setelah duapuluh tahun dengan keluarnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Tilaar, 1995: 115.
c. Produk MPR Berkaitan Pendidikan