Kondisi Sosial Politik Indonesia Tahun 1945-1950 Kondisi Sosial Politik Indonesia Era Demokrasi Liberal 1950-1959

122 dari penentuan arah sistem politik macam apa yang dipakai sesudah Indonesia merdeka Shiraishi Takhasi, dalam Sodiq A Kuntoro, 2007: 158. Sebenarnya sejak berdirinya Republik Indonesia sudah ditetapkan satu sistem politik nasional yaitu negara Republik Indonesia yang didasarkan pada ideologi Pancasila. Tetapi pertentangan terjadi antara kelompok ideologi yang ingin memasukkan pengaruh ideologinya pada sistem politik kenegaraan tersebut. Kelompok nasionalis, agama, dan komunis mempunyai interpretasi yang berbeda mengenai Pancasila dan berusaha membawa Pancasila sesuai dengan kepentingannya.

a. Kondisi Sosial Politik Indonesia Tahun 1945-1950

Sebulan setelah Indonesia diproklamasikan, sistem pemerintahan parlementer berlaku di Indonesia, padahal UUD 1945 tidak menghendaki demikian. Menurut Husain Haikal: Hal ini ditunjang dengan adanya pengumuman pemerintah yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik, yang mendapat sambutan antusias dari rakyat. Secara politis lembaga legislatif sebagai pembawa aspirasi rakyat adalah Komite Nasional Indonesia Pusat. Dilihat dari segi historis, maka kehidupan partai-partai politik ini sebenarnya bermula dari penjajahan Belanda dan Jepang. Namun pada awal Indonesia mengenyam kemerdekaan, tampaknya konsentrasi seluruh masyarakat dihadapkan sepenuhnya terhadap aksi-aksi militer dan politik Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, sehingga segenap potensi rakyat dikerahkan untuk mensukseskan revolusi bersenjata ini. wawancara, 7 Juli 2011. Sistem parlementer ini merupakan produk dari Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945. Pengumuman Badan Pekerja, 11 November 1945 dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 menyatakan bahwa tanggung jawab politik terletak 123 ditangan menteri. Hal ini dipertahankan praktis sampai dikeluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mencabut UUDS 1950 dan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara.

b. Kondisi Sosial Politik Indonesia Era Demokrasi Liberal 1950-1959

Pada periode demokrasi liberal berkembang sistem politik yang mengutamakan kebebasan individu, mengikuti demokrasi model Barat. Menurut Armaidy Armawi: Sistem pemerintahannya mengikuti pemerintahan parlementer yang meletakkan presiden hanya sebagai kepala negara dan bukan sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan tanggung jawab pemerintahan ada di tangan para menteri yang bertanggung jawab pada parlemen. Pelaksanaan demokrasi liberal menimbulkan ketidakstabilan politik, keamanan, dan juga ekonomi sebab kabinet sering berganti sehingga program-program pemerintah tidak dapat dilaksanakan secara baik. wawancara, 8 Juli 2011. Persaingan secara terbuka antar partai sangat kentara dalam panggung politik nasional, masing-masing berusaha untuk mencapai cita-cita politiknya. Sehingga dalam Pemilu yang pertama sejak Indonesia diproklamirkan sangat banyak partai yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat kabinet baru yang akan berjalan, akan mantap bila di dalamnya terdapat koalisi Ukasah Martadisastra, 1987:144. Adanya koalisi antara berbagai partai yang besar ini dikarenakan tidak ada satupun partai yang menang secara mayoritas mutlak. Sehingga efek negatifnya dalam kabinet adalah jatuh bangunnya kabinet dalam tempo waktu sesingkatnya, karena partai yang berkuasa kehilangan dukungan di parlemen, sehingga bubarlah kabinet. Akibat selanjutnya program kerja kabinet yang bersangkutan tidak dilaksanakan. Pemilu pertama dalam sejarah Indonesia tahun 1955, diikuti lebih dari 124 39 juta orang memberikan suara, mewakili 91,5 dari para pemilih yang terdaftar. Walaupun pasti banyak pemilih yang memberikan suara sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh para pemimpin keagamaan, para kepala desa, para pejabat, para tuan tanah, atau para atasan lainnya Ricklefs, 2008: 496. Bagaimanapun juga, ini adalah pemilihan umum nasional yang terpenting dalam sejarah Indonesia merdeka. Pemilihan umum ini menawarkan pilihan yang paling bebas di kalangan partai-partai yang tak terbatas, yang kesemuanya berkampanye dengan penuh semangat. Hasil-hasil yang paling penting adalah sebagai berikut: Tabel 8 Perolehan Suara Pemilihan Umum 1955 Partai Suara yang sah Suara yang sah Kursi parlemen Kursi parlemen PNI 8.434.653 22,3 57 22,2 Masyumi 7.903.886 20,9 57 22,2 NU 6.955.141 18,4 45 17,5 PKI 6.176.914 16,4 39 15,2 PSII 1.091.160 2,9 8 3,1 Parkindo 1.003.325 2,6 8 3,1 Partai Katholik 770.740 2,0 6 2,3 PSI 753.191 2,0 5 1,9 Murba 199.588 0,5 2 0,8 Lain-lain 4.496.701 12,0 30 11,7 Jumlah 37.785.299 100 257 100 Sumber, Ricklefs, 2008: 496. Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Jumlah partai bertambah banyak, dengan 20 partai mendapat kursi. Hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai politik dalam negara demokrasi merupakan keharusan untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Menurut Muchson: 125 Partai yang begitu banyak tanpa adanya mayoritas mutlak dalam parlemen, sering berakibat instabilitas dalam jalannya pemerintahan. Melihat kenyataan itu pengaruh terhadap sistem pemerintahan yang sangat buruk, bahkan menimbulkan perpecahan. Padahal UUDS itu sendiri memberikan landasan yang cukup bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik, dimana didalamnya memuat pokok-pokok bagi pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan sosial serta hak-hak asasi manusia. Dalam kenyataannya Pancasila hanyalah merupakan pemanis pidato saja. Yang menonjol adalah individualisme dengan latar belakang kepentingan golongan atau partai. wawancara, 15 Desember 2010. Demokrasi politik dipakai alasan untuk tumbuhnya oposisi yang destruktif. Demokrasi ekonomi tidak lagi untuk membebaskan kemiskinan, tetapi malah mengaburkan tujuan semula dengan tumbuh suburnya persaingan bebas. Demokrasi sosial bukannya menciptakan tata masyarakat yang bersih dari unsur-unsur feodalisme, malah semakin menutup kemungkinan rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. Inilah yang menyebabkan macetnya tugas-tugas pemerintahan. Secara politis kondisi demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah satu buktinya adalah ketidak mampuan dari Konstituante untuk menetapkan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Yang menonjol adalah persaingan antar partai politik dari golongannya. Sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terabaikan. Dilihat dari kepentingan nasional tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Sehingga Presiden Soekarno selaku Kepala Negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Konstituante dibubarkan, serta kembalinya ke UUD 1945, yang kemudian menghendaki terbentuknya MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu pula dimulainya babak baru pelaksanaan demokrasi terpimpin. 126

c. Kondisi Sosial Politik Indonesia Era Demokrasi Terpimpin