Sistem Multi Partai Mewujudkan Kebebasn Pers Pembebasan Tapol

144 Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Koordinator A. Malik Fadjar. Tim nasional Reformasi ini berhasil menyusun sebuah laporan tentang dasar pemikiran, kerangka strategi dan kebijakan tentang transformasi masyarakat madani dari perspektif sosial- budaya, ekonomi, politik, hukum, kelembagaan, pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, serta tekno-industri. Masing-masing perspektif tersebut oleh Tim Nasional Reformasi dipandang sebagai satu kesatuan sistemik yang harus diwujudkan dalam proses transformasi bangsa menuju masyarakat madani. Guna mewujudkan tujuan reformasi tersebut, telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Sistem Multi Partai

Sekalipun menuai banyak kritik, UU Pemilu memberi landasan yang memadai bagi terselenggaranya Pemilu 1999. Salah satu langkah reformatif adalah diberlakukannya sistem multi partai berdasarkan UU tentang partai politik, menggantikan sistem satu partai ala Orde Baru yang otoriter. Euforia politik periode pasca-Soeharto antara lain melahirkan 141 partai politik, yang 48 diantaranya dianggap memenuhi syarat untuk ikut bertarung di ajang Pemilu 1999. Belakangan, sistem multi partai ini ikut berperan kuat dalam menelurkan perdebatan kaya pemikiran dan lebih terbuka sebelum keempat perubahan UUD 1945 disahkan Denny Indrayana, 2007: 172.

b. Mewujudkan Kebebasn Pers

Pemerintah Soeharto menerapkan sistem sensor yang ketat untuk membatasi kebebasan pers. Menteri Penerangan kala itu mengeluarkan Peraturan Menteri No. 1 Tahun 1984 tentang Izin Penerbitan. Peraturan ini memberi kewenangan kepada Menteri Penerangan untuk mencabut SIUPP, atau lisensi penerbitan milik perusahaan media mana pun yang tidak mendukung kebijakan pemerintah. Pada bulan Juni 1998, 145 pemerintah Habibie mencabut peraturan ini dan menyederhanakan prosedur pemberian surat izin bagi dunia penerbitan Kebijakan ini melahirkan ratusan penerbitan baru dan era baru dalam kebebasan pers Denny Indrayana, 2007: 172.

c. Pembebasan Tapol

Di bawah rezim Soeharto, setiap pemimpin oposisi harus siap bila sewaktu- waktu dicokok dan dijebloskan ke dalam penjara, menjadi tahanan politik. Menjelang tumbangnya rezim Soeharto, terdapat lebih dari 200 orang tapol, mulai dari pemimpin mahasiswa, aktivis muslim, orang Timor Timur, dan kader komunis berusia lanjut, yang beberapa di antaranya bahkan sudah mendekam di penjara selama lebih dari 25 tahun. Setelah ambruknya rezim Soeharto, tekanan-tekanan internasional maupun domestik untuk membebaskan semua tahanan ini pun menguat. Menaggapi tekanan demikian, Habibie memerintahkan 179 orang tapol, yang terdiri dari oang-orang Indonesia dan Timor-Timur, dibebaskan. Muladi, menteri Kehakiman pada kabinet Habibie, mengakui bahwa kebijakan ini merupakan satu upaya pemerintah untuk mendongkrak citranya di bidang penegakkan hak-hak asasi manusia. Apapun tujuannya, pembebasan tapol ini adalah salah satu proses yang menghilangkan praktik otoritarianisme yang umum terjadi selama rezim Soeharto berkuasa. Lagi pula, tindakan demikian memperkuat iklim politik yang lebih terbuka yang dibutuhkan untuk membahas isu-isu penting seperti reformasi konstitusi Denny Indrayana, 2007: 173.

d. Pemilu yang Dipercepat 1999