168 memurnikan Pancasila, dan pelaksanaan pendidikan agama pun menjadi kewajiban
setiap peserta didik. Perubahan kebijakan di atas membuktikan bahwa popularitas Manipol ini
berlaku sangat singkat. Terlebih lagi dengan meletusnya peristiwa G-30 SPKI tahun 1965, tujuan dan kebijakan pendidikan ini ditinggalkan. Tujuan pendidikan nasional
Indonesia tahun 1966 dirumuskan melalui TAP MPRS No. XXVII MPRS 1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Pasal 2 membicarakan tentang dasar
pendidikan. Dinyatakan bahwa: ”Dasar pendidikan adalah falsafah negara Pancasila”. Pasal 3 menetapkan bahwa: ”Tujuan pendididkan adalah membentuk manusia
Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945” Abd. Rachman Assegaf, 2005: 83.
Dalam pasal 4 memuat isi pendidikan, yaitu: pertama, mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan. Kedua, mempertinggi kecerdasan
dan keterampilan. Ketiga, membina mengembangkan fisik yang kuat dan sehat Abd. Rachman Assegaf, 2005: 83. Pasal 5 memuat ketentuan, perlunya meninjau kembali
peraturan pendidikan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 termasuk Penetapan Presiden No. 19 Tahun 1965 tersebut di atas Abd. Rachman Assegaf, 2005: 83.
Terjadi pergeseran tujuan pendidikan dari membentuk Manusia Sosialis, atas pengaruh Manipol, menjadi Manusia Pancasilais Sejati, sebagai upaya pemurnian
Pancasila yang sesuai dengan kehidupan Orde Baru.
2. Politik Pendidikan Orde Baru
Fokus perhatian Orde Baru ditujukan pada empat tahap. Semuanya berpengaruh langsung bagi kebijakan pendidikan nasional, yaitu:
169 Tahap pertama, penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari kehidupan
politik bangsa, serta membersihkan semua lembaga dan kekuatan sosial- politik dari kader-kader PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh aspek
kehidupan bangsa. Tahap kedua, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan UUD 1945. Tahap ketiga, menghapuskan dualisme dalam
kepemimpinan nasional. Dan tahap keempat, mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan. Abd. Rahman Assegaf, 2005: 84.
Implikasi pada tahap pertama pembubaran PKI, menimbulkan penutupan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah PKI dan organisasi yang ada di bawahnya.
Menurut Abd. Rahman Assegaf : Sejak tahun 1966 sampai 1971 terdapat penurunan sekolah. Setelah resmi
dibubarkan, PKI praktis tidak terlibat dalam birokrasi pemerintahan. Kondisi ini menguatkan posisi kelompok nasionalis dan kelompok muslim. Kurikulum
yang semula dijabarkan dalam Sapta Usaha Tama dan Pancawardana, yang berkarakter kiri, diganti dengan kurikulum bermuatan pembinaan Pancasila.
Prestasi penting lainnya adalah diberlakukannya UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan Kurikulum 1994. Abd. Rahman Assegaf, 2005: 85.
Tahap kedua, dilakukan konsolidasi pemerintahan, serta pemurnian Pancasila. Hal ini berpengaruh besar bagi perubahan redaksi tujuan pendidikan nasional.
Konsolidasi pemerintahan dilakukan dengan pembentukan kabinet baru dan penyusunan program pembangunan. Adapun upaya pemurnian Pancasila menjadi
prioritas. Sebagaimana telah disebut pada bagian sebelumnya, ketika pengaruh ide Manipol masih kuat, maka tujuan pendidikannya diarahkan agar ”melahirkan warga
negara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965 tentang
Nama dan Rumusan Sistem Pendidikan Nasional. Dan ketika PKI dibubarkan, serta dilakukan pemurnian Pancasila, tujuan pendidikan nasional berubah menjadi
”membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
170 dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945. Perubahan mendasar di atas menunjukkan
bahwa ide Manipol USDEK telah diganti secara tegas menjadi falsafah Pancasila. Orde Baru diwarnai semangat serba Pancasila. Semangat itu selalu
ditekankan, baik dalam bidang politik maupun pendidikan. Menurut Udin S. Winataputra:
Penataran P-4 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila wajib diberikan kepada setiap siswa yang diterima di sekolah, di samping masih
adanya mata pelajaran Pancasila. Mata pelajaran PMP Pendidikan Moral Pancasila termasuk yang mempengaruhi kenaikan kelas atau kelulusan
sekolah. Setelah EBTANAS Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional diberlakukan, PMP menjadi komponen bidang studi yang mempengaruhi nilai
komulatif DANEM Daftar Nilai EBTANAS Murni, DANEM berfungsi sebagai standar memasuki jenjang pendidikan di atasnya. Penataran P-4 juga
berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil PNS. Di tingkat desa, penduduk di data untuk memperoleh pembinaan P-4. sejak 1984, semua parpol dan ormas
diharuskan menganut asas tunggal, Pancasila. wawancara, 6 Agustus 2011.
Pada tahap ketiga, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional. untuk itu diadakan Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan hasil diangkatnya
Soeharto sebagai presiden, juga menghapuskan dualisme penafsiran tentang Pancasila dan UUD 1945.
Tahap keempat, mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan. Pembangunan dilakukan pada semua bidang, terutama ekonomi dan
pendidikan. Pembangunan ekonomi menunjukkan prestasi yang membanggakan.
Pertumbuhan ekonomi selama Orde Baru rata-rata sebesar 6,8 per tahun. Pendapatan perkapita meningkat secara mencolok. Kemajuan sektor
pendidikan juga tampil dengan mengesankan. Selama PJP Pembangunan Jangka Panjang I tahun 1969-1991, sekolah, guru dan murid SD meningkat
secara mencolok, lebih dari 3,5 kali lipat. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama secara kelembagaan mengalami peningkatan lebih dari 4 kali lipat. Sekolah
lanjutan tingkat atas meningkat lebih dari 5,5 kali lipat. Jumlah murid dan guru SLTA meningkat lebih dari 8 kali lipat. Jumlah perguruan tinggi secara
171 kelembagaan meningkat 3,5 kali lipat. Jumlah dosen dan mahasiswa
meningkat 9 kali lipat. Semua peningkatan itu dicapai tahun 1991, bila dibandingkan awal Repelita I, 1969. Sekretariat Jenderal DPP Golkar, 1992:
7.
Data di atas adalah sebuah prestasi. Akan tetapi, prioritas pembangunan ekonomi berjalan tidak seimbang dengan demokrasi. Konsentrasi pembangunan
ekonomi menyebabkan kehidupan demokrasi agak terlantar. Pemilu dilaksanakan tanpa sistem multi partai sebagaimana Pemilu 1955, bahkan sejak 1973 jumlah partai
disederhanakan menjadi 3 saja. Menurut William Liddle: Pada tahun 1984 semua partai diharuskan berasas tunggal, yakni Pancasila
Kebebasan pers dan kebebasan mimbar diawasi secara ketat. Dari tahun 1960 hingga tahun 1980, terjadi banyak insiden kekerasan yang diklaim oleh
pemerintah sebagai ekstrim kanan, dan dijadikan alasan pemerintah Orde Baru untuk mewaspadai gerakan Islam militan. William Liddle, 1996: 5.
Ketimpangan antara
pembangunan ekonomi
dengan demokratisasi
menjadikan pembangunan bersifat semu, karena tampak di permukaan gedung- gedung menjulang tinggi, melambangkan keberhasilan ekonomi, sementara pada
lapis bawah rakyat tidak merasakan adanya pemerataan hasil pembangunan. Alokasi dana pendidikan juga relatif kecil, bila dibandingkan dengan alokasi dana bidang
pembangunan dan industri. Produk kebijakan pendidikan pada era Orde Baru tercermin dalam GBHN, Undang-undang sistem pendidikan nasional No. 2 Tahun
1989, berbagai Peraturan Pemerintah, serta berbagai Surat Keputusan Menteri, dan lain-lainnya.
Berikut ini adalah uraian singkat mengenai pola isi dan tema pokok GBHN yang menunjukkan adanya perubahan kebijakan pendidikan nasional. GBHN 1973,
1978, 1983, 1988, dan 1993 memiliki pola isi dan tema yang tidak jauh berbeda,
172 sebagai berikut: a Dasar dan tujuan pendidikan nasional; b Pedoman penghayatan
dan pengamalan Pancasila P-4; c Pendidikan Moral Pancasila PMP; d Pendidikan sejarah perjuangan bangsa PSPB; e Wajib belajar; f Kesempatan
belajar; g Sistem pendidikan nasional; h Pendidikan umum dan kejuruan; i Pendidikan luar sekolah; j Perguruan swasta; k Perguruan tinggi; l Tenaga
pendidik; m Sarana dan prasarana; n Pendidikan olah raga; o Pendidikan bahasa Indonesia; p Perpustakaan. Berikut ini kutipan GBHN 1978 yang terkait dengan
pendidikan: 1 Bahwa pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan
untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia- manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa. 2 Dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional perlu diambil langkah-langkah yang
memungkinkan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat. 3 Pendidikan Pancasila termasuk Pendidikan Moral Pancasila
dan unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-
sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai universitas, baik negeri maupun swasta. 4 Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan
di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan
pemerintah. 5 Perguruan swasta mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam usaha melaksanakan pendidikan nasional. untuk itu perlu
dikembangkan pertumbuhan sesuai kemampuan yang ada berdasarkan pola pendidikan nasional yang mantap, dengan tetap mengindahkan ciri-ciri khas
perguruan yang bersangkutan. 6 Pendidikan juga menjangkau program- program luar sekolah yaitu pendidikan yang bersifat kemasyarakatan,
termasuk kepramukaan, latihan-latihan keterampilan dan pemberantasan buta huruf dengan mendayagunakan sarana dan prasarana yang ada. 7 Mutu
pendidikan ditingkatkan untuk mengejar ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutlak diperlukan untuk mempercepat
pembangunan. 8 Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan segala bidang yang memerlukan segala jenis keahlian dan
keterampilan serta dapat sekaligus meningkatkan produktivitas mutu dan efisiensi kerja . TAP MPR No. IVMPR1978.
173 Kebijakan politik di Indonesia selalu berpengaruh besar dan langsung bagi
pendidikan nasional. Perubahan politik selalu menimbulkan perubahan kebijakan pendidikan. Pada masa kolonial, kebijakan pendidikan dilaksanakan menurut
kepentingan penjajah. Setelah merdeka, orientasi pendidikan untuk kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara. Perkembangan politik selalu lebih cepat
daripada perubahan pendidikan. Keputusan politik yang diambil oleh individu kelompok dalam pemerintahan tertentu memiliki implikasi luas bagi masyarakat.
Oleh karena itu membenahi praktik pendidikan haruslah disertai dengan pembenahan dan pembaharuan kebijakannya. Berikut ini hasil wawancara dengan Husain Haikal:
Menguatnya peran pemerintah Orde Baru secara fisik dan finansial dijadikan titik pijak untuk melakukan intervensi ke dalam pendidikan secara lebih jauh.
Sampai pertengahan dekade 1970-an atau sepuluh tahun pertama Orde Baru, sebetulnya masih ada yang disebut sebagai otonomi guru dan otonomi
pendidikan. Tapi selepas tahun tersebut, bersamaan dengan makin menguatnya peran politik penguasa Orde Baru, maka otonomi guru dan
otonomi pendidikan itu makin berkurang dan lama-lama menghilang. wawancara, 7 Juli 2011.
Pelita II dan III menjadi titik awal penggarapan sistem pendidikan nasional oleh rezim Orde Baru, karena pada saat itu politik Orde Baru sudah memperoleh
basis ekonomi dan politiknya yang cukup kuat. Secara ekonomis, Rezim Orde Baru diuntungkan oleh meningkatnya harga minyak di pasaran dunia yang begitu tajam,
sehingga negara memiliki banyak uang. Uang minyak itu kemudian dipakai untuk mendirikan SD Inpres baru di seluruh wilayah Indonesia; dan sekaligus pengangkatan
guru baru. Pendirian SD Inpres yang diikuti dengan pengangkatan guru baru itu telah menjadi titik awal menguatnya peran pemerintah dalam sektor pendidikan. Menurut
Darmaningtyas:
174 Memasuki Pelita II, penguasa Orde Baru semakin percaya diri karena secara
ekonomis Rezim Orde Baru sudah semakin kuat. Secara ekonomis Rezim Orde Baru sudah mampu melahirkan calon-calon konglomerat baru,
sedangkan secara politik dukungan dari ABRI dan Golkar semakin menguat melalui birokrasinya yang sangat efektif. Dengan dua modal tersebut,
intervensi yang dilakukan Rezim Orde Baru ke dalam sistem pendidikan nasional semakin intensif. Rezim Orde Baru menyadari sepenuhnya bahwa
institusi pendidikan dapat menjadi mekanisme kontrol yang efektif terhadap pikiran-pikiran liar yang ada di masyarakat. Oleh karena itu berbagai
mekanisme kontrol fisik dan pikiran melalui pendidikan terus dilakukan oleh rezim Orde Baru. Pertama-tama melalui seragam sekolah, kemudian
berlanjut pada isi materi pelajaran, dan dilanjutkan pada yang lebih detail lagi, yaitu pengawasan perilaku individu-individu yang terlibat dalam pengelolaan
pendidikan. Sebenarnya akar masalah pendidikan bukan hanya masalah terbatasnya anggaran tetapi juga kuatnya intervensi penguasa Orde Baru yang
menjadikan beban ideologis dan politik yang dipikul oleh pendidikan nasional itu teramat berat, sedangkan proses pencerdasan itu sendiri semakin
berkurang. Darmaningtyas, 2004: 9.
a. Indoktrinasi Ideologi