Pemilu yang Dipercepat 1999 Sistematika Disertasi

145 pemerintah Habibie mencabut peraturan ini dan menyederhanakan prosedur pemberian surat izin bagi dunia penerbitan Kebijakan ini melahirkan ratusan penerbitan baru dan era baru dalam kebebasan pers Denny Indrayana, 2007: 172.

c. Pembebasan Tapol

Di bawah rezim Soeharto, setiap pemimpin oposisi harus siap bila sewaktu- waktu dicokok dan dijebloskan ke dalam penjara, menjadi tahanan politik. Menjelang tumbangnya rezim Soeharto, terdapat lebih dari 200 orang tapol, mulai dari pemimpin mahasiswa, aktivis muslim, orang Timor Timur, dan kader komunis berusia lanjut, yang beberapa di antaranya bahkan sudah mendekam di penjara selama lebih dari 25 tahun. Setelah ambruknya rezim Soeharto, tekanan-tekanan internasional maupun domestik untuk membebaskan semua tahanan ini pun menguat. Menaggapi tekanan demikian, Habibie memerintahkan 179 orang tapol, yang terdiri dari oang-orang Indonesia dan Timor-Timur, dibebaskan. Muladi, menteri Kehakiman pada kabinet Habibie, mengakui bahwa kebijakan ini merupakan satu upaya pemerintah untuk mendongkrak citranya di bidang penegakkan hak-hak asasi manusia. Apapun tujuannya, pembebasan tapol ini adalah salah satu proses yang menghilangkan praktik otoritarianisme yang umum terjadi selama rezim Soeharto berkuasa. Lagi pula, tindakan demikian memperkuat iklim politik yang lebih terbuka yang dibutuhkan untuk membahas isu-isu penting seperti reformasi konstitusi Denny Indrayana, 2007: 173.

d. Pemilu yang Dipercepat 1999

Legitimasi Habibie dipersoalkan bukan hanya oleh kekuatan-kekuatan oposisi, melainkan juga oleh rakyat. Liddle mengatakan: 146 Habibie memulai sebagai seorang Presiden yang luar biasa lemah, tidak disukai secara pribadi dan diremehkan secara politik, oleh hampir setiap kelompok penting dalam masyarakat Indonesia, termasuk elemen-elemen penting di lingkungan Golkar, partainya sendiri. Liddle, 2000:10. Seandainya saja Habibie punya legitimasi yang lebih kuat, sangat mungkin masa jabatannya tidak akan tamat sebelum 2003. Sebab, menurut Pasal 8 UUD 1945, seharusnya Habibie meneruskan masa jabatannya sebagai Presiden hingga berakhirnya masa jabatan Soeharto 1998-2003. Jadi, mestinya, Pemilu baru akan digelar satu tahun sebelum masa jabatan itu berakhir, atau tepatnya pada tahun 2002. Tetapi karena kepresidenannya miskin legitimasi, Habibie pun merasa wajib menggelar Pemilu lebih dini, yaitu pada tahun 1999. Dewi Fortuna Anwar menjelaskan bahwa: ...kendati secara konstitusional masa jabatan Habibie berlangsung hingga 2003, jelas bahwa mandat politik pemerintahannya yang lemah itu membuat opsi semacam ini menjadi mustahil....Untuk membentuk suatu pemerintah yang memiliki legitimasi konstitusional dan politik yang kuat, sebuah pemilu baru harus dilakukan sesegera mungkin. Dewi Fortuna Anwar, 1999: 34-35. Dengan melaksanakan pemilihan umum selekas mungkin setelah lengsernya Soeharto, Indonesia memulai transisinya dari kekuasaan otoriter sebagaimana mestinya. Menurut Liddle, Pemilu pasca Soeharto ini merupakan sebuah titik balik atau momentum yang menentukan dalam transisi Indonesia. Baginya, Pemilu yang demokratis menjadi indikasi bahwa “ambang pintu peralihan dari otoritarianisme ke demokrasi sudah dilalui” oleh Indonesia Liddle, 2000: 373. 147 Dalam Pemilu 1999, dari empat puluh delapan partai kontestan Pemilu, hanya 21 yang berhasil meraih kursi di DPR. Tabel berikut menunjukkan hasil ini dan distribusi kursi di DPR secara keseluruhan. Tabel 10 Hasil-Hasil Pemilu 1999 dan Komposisi DPR No Partai Total Jumlah Suara Jumlah Kursi Total Jumlah Kursi 1 PDIP 33,73 153 30,6 2 Golkar 22,46 120 24 3 PPP 10,72 58 11,6 4 PKB 12,66 51 10,2 5 TNI-Polri 38 7,6 6 PAN 7,12 34 6,8 7 PBB 1,94 13 2.6 8 15 Partai lainnya 11,4 33 5,2 Total 100 500 100 Sumber: Wiliam Liddle, 2000: 373. Tabel tersebut menunjukkan bahwa situasi, konfigurasi politik masih didominasi oleh ketiga partai yang eksis di bawah rezim otoriter Soeharto, dengan PDIP, Golkar, dan PPP sebagai tiga partai terbesar di DPR. Di sisi yang lain, dari 500 anggota DPR, sebanyak 116 orang atau 23 dari jumlah total itu adalah anggota lama. Sedangkan 77 sisanya adalah anggota baru. Sebagian besar anggota-anggota baru itu adalah wirausahawan, birokrat, dan guru. Ini menunjukkan terjadinya perubahan radikal dalam latar belakang profesi para anggota Dewan, dimana jumlah birokrat dan pensiunan perwira-perwira militer merosot tajam, digantikan oleh mereka yang berlatarkan wirausaha National Democratic Institute, The 1999 Presidential Elections and Post-Elections Stament Number 4, Post Election 148 Developments in Indonesia, the Formation of the DPR and the MPR, Jakarta, 26 Agustus 1999, h.8. B. Dinamika Politik Pendidikan Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi 1. Politik Pendidikan Orde Lama Pendidikan di Indonesia pada era Orde Lama berlandaskan Pancasila. Landasan pendidikan ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 1945 ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Meskipun selama periode ini Indonesia sudah menggunakan tiga UUD, tetapi setiap UUD tersebut Pancasila tetap dijadikan falsafah negara dan dengan demikian secara otomatis menjadi landasan pendidikan di Indonesia. Politik pendidikan pada era ini tercermin pada UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, dengan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. UU No.4 Tahun 1950, Bab II, Pasal 3. Pada tahun 1954 dikeluarkan UU No. 12 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. UU ini merupakan pemberlakuan kembali UU No. 4 Tahun 1950 untuk seluruh wilayah RI bekas RIS. Ketetapan yang tercantum di dalamnya sama dengan ketetapan yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun 1950. Demikian pula mengenai tujuan pendidikan yang tercantum dalam Bab II, Pasal 3 pada kedua undang-undang tersebut. 149 Sejak tahun 1959 Indonesia berada di bawah gelora Manipol-Usdek yang seolah-olah menjadi panglima dalam kehidupan politik Indonesia dan dalam bidang kehidupan lain. Bidang pendidikan pun tak luput dari pengaruh tersebut. Keputusan Presiden No. 145 Tahun 1965 merumuskan tujuan nasional pendidikan Indonesia sesuai dengan Manipol-Usdek. Manusia sosialis Indonesia adalah cita-cita utama setiap usaha pendidikan di Indonesia, sedangkan kepentingan kehidupan pribadi agar dinomorduakan Tilaar, 1995: 91. Dalam Keputusan Presiden RI, No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan ditetapkan sebagai berikut: Tujuan Pendidikan Nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, dari pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan Warga Negara Sosialis, yang bertanggungjawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila. Di era pemerintahan Soekarno Orde Lama, pendidikan nasional memasuki suatu masa di mana pendidikan betul-betul merupakan alat politik tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Periode ini merupakan suatu era dimana metode indoktrinasi merupakan sarana untuk mewujudkan suatu cita-cita politik. Tilaar, 1995: 92. Kegagalan Konstituante untuk menyusun undang-undang dasar baru menyebabkan Indonesia dalam keadaan yang tidak menentu. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Konstituante dibubarkan dan kembali kepada UUD 1945. Dengan Dekrit Presiden tersebut maka terjadilah suatu perubahan yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Era kehidupan pada masa itu dikenal dengan era “Manifesto Politik”. 150 Manifesto Politik Manipol merupakan keseluruhan isi pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959. Pidato tersebut merupakan penjelasan resmi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Manipol mula-mula diintrodusir oleh Menteri Penerangan Maladi dalam rangka mengantisipasi pidato Presiden 17 Agustus 1959. Menurut Tilaar: Dalam pidato tersebut Presiden memberikan sejenis pertangungjawaban mengapa Dekrit 5 Juli tersebut dikeluarkan. Di dalam Manipol tersebut dikemukakan mengenai persoalan-persoalan pokok revolusi Indonesia, program umum, dan usaha-usaha pokok revolusi tersebut. Selanjutnya, Manipol dianggap sebagai garis-garis besar haluan negara, suatu konsep yang tentunya bertentangan dengan apa yang kita kenal sekarang ini. Seharusnya garis-garis besar haluan negara ditetapkan oleh MPR dan memberikan mandat kepada Presiden untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, Presiden adalah mandataris MPR. Akan tetapi yang terjadi saat itu tidak sesuai dengan ketentuan UUD. Bermula dari pidato Presiden dan kemudian MPRS mengukuhkannya sebagai garis-garis besar haluan negara. Manipol kemudian dijadikan sebagai doktrin negara dan setiap warga negara wajib mengetahuinya. Dalam perkembangan selanjutnya, dirangkumkan intisari Manipol yang terkenal dengan kependekan USDEK. USDEK adalah singkatan dari kata-kata Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Istilah USDEK itu sendiri berasal dari Ketua DPRD Jawa Barat Kosasih, yang menganjurkan untuk menghafalkan lima unsur Manipol dalam rangkaian kata USDEK. Tilaar, 1995: 94. Secara ideologis, Manipol memang bertentangan dengan Pancasila. Kita lihat misalnya ungkapan mengenai kekuatan-kekuatan sosial revolusi Indonesia yang dirumuskan sebagai berikut, seperti yang dipidatokan Presiden Soekarno pada waktu itu: Jadi jelaslah bahwa kekuatan-kekuatan sosial revolusi Indonesia, yaitu seluruh rakyat Indonesia dengan kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya tanpa melupakan peranan penting dari golongan-golongan lain, adalah sangat besar dan meyakinkan akan menangnya revolusi Indonesia. Tilaar, 1995: 94. 151 Dengan menyebut secara jelas mengenai kekuatan kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokok, maka arahnya ialah sesuai ajaran komunisme mengenai kelas-kelas tani dan buruh sebagai tulang punggung revolusi. Manipol USDEK ini secara sistematis diindoktrinasikan pada seluruh lapisan rakyat Indonesia termasuk di semua jenjang dan jenis pendidikan. Cara penyampaiannya adalah dengan cara indoktrinasi karena tidak dibenarkan adanya penafsiran-penafsiran yang lain selain dari yang telah dirinci oleh pemerintah, yaitu yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertimbangan Agung DPA tentang perincian persoalan-persoalan pokok dan program umum revolusi Indonesia yang diambil dari Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959. Di dalam rumusan DPA tersebut dikatakan bahwa Manipol adalah sangat penting karena telah menjawab persoalan-persoalan revolusi dan telah mengemukakan usaha-usaha pokok untuk menyelesaikan revolusi Indonesia. Seperti kita ketahui, Manipol sebagai garis besar haluan negara di dalam sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan ketapan TAP MPRSXXII1967 ditinjau kembali Tilaar, 1995: 95. Menurut Abd. Rachman Assegaf, politik pendidikan era Orde Lama dapat dibagi dalam tiga periode seiring dinamika politik yang mempengaruhinya. Periode pertama: sejak proklamasi kemerdekaan sampai terbentuknya Undang-undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950. Periode kedua: dari akhir periode pertama sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden tahun 1959. Periode ini dalam konteks politik saat itu dikenal sebagai masa Demokrasi Liberal atau Parlementer 1951-1959. Periode ketiga: dari akhir periode kedua sampai berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin 152 1959-1965. Keseluruhan periode tersebut tergolong dalam Orde Lama 1945-1965. Uraian berikut ini mengikuti spesifikasi ketiga periode dimaksud Abd. Rachman Assegaf, 2005: 54.

a. Periode 1945-1950