Latar Belakang Mobilitas dan alih status nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari 11 daerah kabupaten dan 4 daerah kota, yang terdiri dari 150 kecamatan, 306 kelurahan dan 1.200 desa. Luas daerah kabkota sekitar 15.273,10 BPS 2008. Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Utara adalah 2.265.937 orang, yang terdiri atas 1.157.559 laki- laki dan 1.108.378 perempuan. Mata pencaharian pendudukan di Provinsi Sulawesi Utara meliputi bidang pertanianperikanan 22, angkutan 8, bidang jasa-jasa besar 37.57 dan buruh 31.80. Terdapat 85,867 orang yang menjadi nelayan dari total jumlah penduduk Sulawesi Utara BPS-PSU 2010. Nelayan yang berjumlah 85,867 orang tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan skala usaha, menjadi nelayan skala besar dan nelayan skala kecil. Nelayan skala besar menurut Pollnac 1988 memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1 diorganisir dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro-industri di negara-negara maju, 2 relatif lebih padat modal, 3 memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana bagi pemilik maupun awak perahu dan 4 menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku berorientasi ekspor. Mereka lebih berorientasi kepada keuntungan profit-oriented. Nelayan skala kecil termasuk buruh dan anak buah kapal ABK tidak mempunyai modal sendiri dalam menjalankan usaha perikanan, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1 Memiliki skala usaha relatif kecil modal terbatas dan bersifat usaha keluarga. 2 Menggunakan armada penangkapan ikan yang berukuran relatif kecil yang digerakkan dengan tenaga penggerak seperti dayung dan layar dan beberapa dengan motor tempel bertenaga kecil ketinting 8 PK, motor tempel 1525 PK, dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang berukuran kecil dan relatif sederhana dengan biaya murah. 3 Produktivitas relatif rendah karena sederhananya teknologi armada dan alat penangkapan ikan yang digunakan. 4 Daerah operasi penangkapan ikan fishing ground terbatas pada pantai yang relatif padat tangkap. 5 Operasi penangkapan ikan tergantung cuaca dan kondisi perairan laut. 6 Dikelola dengan pengetahuan dan pemahaman manajemen usaha yang sangat terbatas. Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan operasi penangkapan, Ditjen Perikanan yang diacu dalam Satria 2002 mengklasifikasikan tiga kategori nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapanpemeliharaan. Pertama, nelayan penuh yaitu orang yang seluruh waktunya digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapanpemeliharaan ikanbinatang air lainnyatanaman air. Kedua, nelayanpetani ikan sambilan utama yaitu orang yang sebagian besar waktunya digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapanpemeliharaan ikanbinatang air lainnyatanaman air. Selain melakukan profesi penangkapanpemeliharaan, nelayan kategori ini dapat mempunyai profesi lain. Ketiga, nelayan sambilan tambahan yaitu orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan profesi penangkapanpemeliharaan ikanbinatang lainnyatanaman air. Berdasarkan data yang diperoleh jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara adalah 85.867 orang, sebanyak 39.727 46 diantaranya adalah nelayan pemilik. Hal ini menjelaskan bahwa nelayan buruh lebih dominan yaitu 46.140 orang 54 dibandingkan dengan nelayan pemilik. Diantara nelayan buruh tersebut, terdapat nelayan penuh sebanyak 17.521 orang 20, nelayan sambilan utama sebanyak 13.014 orang 15 dan nelayan sambilan tambahan sebanyak 15.605 orang 18 DKP 2010. Menurut Kusnadi 2002, dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap perahu, jaring dan perlengkapan yang lain, nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Dilihat dari sisi kepemilikan perahukapal penangkap ikan, nelayan pemilik dibagi menjadi dua kategori menurut Tarigan 2002 yaitu nelayan tradisional dan nelayan bermotor. Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesinmotor. Bila perahu mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel dan bila perahukapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor. Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan gross ton GT, kapal motor dibagi menjadi: kapal kecil, yaitu 5GT– 10GT, kapal sedang, yaitu 10GT–30GT, kapal besar, yaitu 30GT. Berdasarkan tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional Kusnadi 2002. Nelayan tradisional merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan oleh sikap mental yang tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, disamping kepemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan relatif rendah dan miskin, umumnya hanya memiliki perahu tanpa motor, dengan alat tangkap yang sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan untuk membedakannya dengan nelayan modern atau non-tradisional, sebagai penyederhanaan gambaran klasik sistem ekonomi dualistik Bailey dan Zerner 1992. Nelayan tradisional pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini disebabkan ciri-ciri yang melekat pada mereka yaitu suatu kondisi yang subsisten, dengan modal yang kecil, teknologi yang digunakan dan kemampuanskill serta perilaku yang tradisional baik dari segi ketrampilan, psikologi dan mentalitas nelayan, di samping itu degradasi lingkungan yang terjadi juga memprihatinkan. Salah satu penyebab rendahnya kinerja perikanan adalah karena terjadinya economic overfishing, bukan Malthusian overfishing Fauzi 2001. Nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara sangat dominan dengan jumlah 78.612 orang 92 sedangkan nelayan tidak miskin hanya berjumlah 7.255 orang 8. Selanjutnya untuk status nelayan pemilik, di Provinsi Sulawesi Utara berjumlah 39,727 orang DKP 2012. Rendahnya penghasilan nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara merupakan masalah yang sudah lama, namun masalah ini masih belum dapat diselesaikan hingga sekarang, karena terlalu kompleks. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan sosial ekonomi, namun terkait pula dengan lingkungan, pendidikan nelayan dan anak nelayan, kesejahteraan nelayan dan keluarganya dan juga teknologi yang digunakan nelayan tradisional. Pendidikan untuk nelayan pada hakekatnya merupakan human investmen dan social capital, baik untuk kepentingan pembangunan daerah maupun pembangunan nasional. Pendidikan merata dan bermutu, baik melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah akan berdampak pada kecerdasan dan kesejahteraan nelayan. Demikian pula halnya dengan pendidikan memadai, paling tidak dapat dijadikan modal untuk mencari dan menciptakan peluang-peluang kerja yang dapat menjadi sumber kehidupan dan peningkatan kesejahteraan. Dalam banyak hal, terjadinya kemiskinan nelayan bukan semata-mata karena masalah ekonomi akan tetapi salah satu penyebabnya ialah pendidikan yang rendah. Sumber daya manusia merupakan faktor yang paling menentukan dalam mempercepat proses pembangunan. Manusia mampu menciptakan dan menggunakan teknologi hingga produktifitas meningkat. Pengembangan sumber daya manusia perikanan dapat ditempuh dengan cara informal seperti: penyuluhan, latihan, magang, studi banding, serta dengan cara formal melalui pendidikan reguler di sekolah-sekolah perikanan. Namun sayangnya, masyarakat nelayan lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Utara umumnya memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah. Hal tersebut terbukti dari jenjang pendidikan yang ditempuh tertinggi hanya sampai Sekolah Menengah Pertama SMP, itupun hanya sebagian kecil, sebagian besarnya hanya sampai di Sekolah Dasar SD, terkadang juga tidak lulus. Dengan tingkat pendapatan nelayan tradisional yang begitu rendah dan kendala biaya yang terbatas, maka sangat masuk akal apabila tingkat pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan tradisional yang harus berhenti sebelum lulus Sekolah Dasar atau kalaupun lulus ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama. Kendala ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan. Dengan demikian nelayan tradisional yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki ketrampilan alternatif, mutlak menggantungkan mata pencahariannya pada sektor perikanan, termasuk perikanan tangkap yang pendapatannya tidak menentu. Usaha perikanan merupakan komoditas unggulan yang diusahakan oleh nelayan, yang memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan rumah tangga. Pendapatan nelayan adalah hasil yang diterima oleh seluruh rumah tangga nelayan setelah melakukan kegiatan penangkapan ikan pada waktu tertentu. Namun ikan yang ditangkap belum bisa dikatakan sebagai pendapatan, jika belum terjadi transaksi jual beli. Transaksi yang dimaksud yaitu transaksi jual beli antara nelayan produsen dengan pembeli konsumen dan transaksi antara nelayan produsen dengan bandar ikan distributor. Pendapatan yang diterima oleh masyarakat nelayan Sulawesi Utara digunakan untuk memenuhi segala kebutuhannya dalam setiap rumah tangga mereka, misalnya membeli perlengkapan rumah tangga, membayar listrik bulanan, membayar bunga atas pinjaman atau utang lainnya, membeli sarana dan prasarana penangkapan ikan, biaya untuk melaut seperti bensin bagi yang punya mesin, es, rokok dan lain-lain dan bahkan digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Berdasarkan hasil prasurvei, diperoleh informasi bahwa, para nelayan sangat kesulitan mengatur rumah tangga dan keluarganya disebabkan karena pendapatan yang tidak mencukupi. Hal ini terjadi karena banyak hal antara lain, ikan bersifat musiman, alat tangkap yang kurang memadai, daerah penangkapan potensial yang dikuasai oleh nelayan asing, kebijakan kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak bagi nelayan dan lain-lain. Pendapatan nelayan Sulawesi Utara banyak dipengaruhi oleh tingkat teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan seperti alat pancing dan kapal atau perahu. Semakin tradisional alat tangkap dan perahu yang digunakan, semakin rendah pendapatan yang mereka dapat, begitu juga sebaliknya. Teknologi penangkapan yang umum digunakan di Provinsi Sulawesi Utara untuk memanfaatkan potensi sumber daya ikan adalah purse seine dan pancing pole and line,pancing tonda, pancing ulur dan long line. Kendala teknologi penangkapan ikan berhubungan dengan alat tangkap, mesin, motor atau infrastruktur pendorong lainnya seperti panjang kapal, fasilitas cool storage, atau peralatan pemrosesan yang dapat meningkatkan kualitas ikan. Nelayan tradisional yang hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai di lepas pantai offshore, sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pantai. Bagi nelayan tradisional, jelas dengan tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka makin terpuruk tatkala sumber daya laut makin langka. Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan pantai inshore. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali melaut one day a fishing trip. Beberapa contoh nelayan yang termasuk tradisional adalah nelayan jukung, nelayan pancingan, nelayan udang dan nelayan teri nasi Kusnadi, 2002. Namun sayangnya teknologi yang lebih modern, membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. Teknologi juga adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan. Menurut Kusnadi 2002, tingkat kesejahteraan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan masyarakat nelayan dimanapun dia berada. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan nelayan, telah menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan tidak mudah untuk diatasi. Menurut Sayogyo 1997, klasifikasi tingkat kesejahteraan kemiskinan didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu: 1 Miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 untuk daerah kota. 2 Miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota. 3 Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg beras untuk daerah kota. Bagi warga masyarakat Provinsi Sulawesi Utara yang berada di pesisir pantai seperti keluarga nelayan tradisional, tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama makin langka. Kondisi sumber daya laut di sekitar perairan Manado umumnya sudah over exploited. Nelayan tradisional yang hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Hasil tangkapan yang mereka dapat hanya mampu untuk makan sehari- hari. Dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan laut, berbagai usaha dilakukan oleh nelayan untuk beradaptasi. Usaha yang dilakukan nelayan bisa saja sesuai dengan yang diharapkan, namun bisa juga gagal. Apapun usaha yang dilakukan untuk “menaklukan” lingkungan, pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua: 1 diversifikasi, yaitu perluasan alternatif pilihan matapencaharian dan 2 intensifikasi, yaitu strategi untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan yang lebih eksploitatif, agar produksi ikan yang dipeoleh bisa lebih banyak. Ketidakberdayaan nelayan juga disebabkan oleh usaha mereka yang sangat bergantung pada alam, yang penuh ketidakpastian uncertainly. Dengan tergantung pada kondisi alam yang tidak menentu, maka hasil tangkapannya juga tidak menentu. Dalam kondisi yang demikian maka bentuk-bentuk penyesuaian matapencaharian yang dilakukan oleh nelayan adalah diversifikasi usaha di luar kenelayanan, seperti menjadi tukang ojek, sopir, penjual sayur dan lain-lain. Kondisi seperti ini terjadi di Provinsi Sulawesi Utara, karena alternatif profesi lain hampir tidak ada, maka usaha lain yang dilakukan adalah kecuali berkebun atau menjadi buruh nelayan pada kelompok usaha penangkapan purse seine. Penyesuaian lain yang dilakukan nelayan adalah penggunaan bahan kimia atau peledak dalam kegiatan penangkapan ikan, yang dampaknya sangat merusak habitat ikan dan kerusakan fungsi lingkungan laut. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan kimia ini jelas merupakan jalan pintas dari reaksi ketidakberdayaan menghadapi nelayan yang lebih maju alat tangkapnya. Dengan ketidakberdayaan yang dialami, maka para nelayan berupaya untuk selalu meningkatkan pendapatannya. Berbagai cara yang ditempuh antara lain adalah berusaha untuk meningkatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta mencari peluang pasar yang lebih menguntungkan atau dengan melakukan mobilitas baik secara geografi ataupun profesi demi meningkatan kesejahteraan dan beralih status ke arah yang lebih baik. Mobilitas penduduk adalah semua bentuk perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya yang terjadi dalam jarak yang berbeda-beda, baik perpindahan tersebut bersifat permanen atupun sementara. Mobilitas penduduk dapat dibagi menjadi dua, yaitu: mobilitas penduduk permanen atau disebut migrasi dan mobilitas penduduk non permanen. Migrasi adalah perpindahan penduduk menuju wilayah lain dengan maksud untuk menetap, sedangkan mobilitas penduduk non permanen adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan maksud untuk tidak menetap. Mobilitas geografi penduduk merupakan suatu gerak penduduk dari suatu tempat menuju tempat lain karena adanya perbedaan insentif antara wilayah asal dengan wilayah tujuan. Mantra 2000, mengungkapkan mobilitas penduduk adalah suatu gerak penduduk melintasi batas wilayah menuju wilayah lain dalam periode waktu tertentu. Daerah-daerah yang dituju oleh para migran pada umumnya adalah daerah perkotaan yang mengalami pertumbuhan ekonomi, misalnya ibukota kabupaten atau provinsi. Disamping itu intensitas arus migrasi juga dipengaruhi faktor biaya migrasi, aksesibilitas dan sarana transportasi antara daerah asal dengan daerah tujuan. djoko Pada dasarnya terdapat dua pola mobilitas berpindah tempat yang dikenal di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu yang disebut pindah dan merantau. Pindah diartikan sebagai berpindah tempat tinggal untuk selama-lamanya permanen, sedangkan merantau berarti berpindah tempat untuk mencari kerja atau berdagang, biasanya tidak membawa keluarga. Bentuk migrasi merantau tersebut bersifat sementara karena mereka masih memiliki harapan untuk kembali ke kampung asalnya, jika harta benda yang terkumpul sudah cukup banyak. Secara sosiologis, merantau paling sedikit mengandung enam unsur pokok, yaitu meninggalkan kampung halaman; dengan kemauan sendiri; untuk jangka waktu panjang atau pendek;dengan tujuan mencari nafkah, menuntut ilmu, atau mencari pengalaman; biasanya dengan maksud kembali pulang; dan merantau sebagai pranata sosial yang membudaya. kusnadi Menurut Suryana 1989 mobilitas profesi adalah perpindahan mata pencaharian tanpa memperhatikan adanya perpindahan geografi, yaitu perpindahan penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Batas wilayah yang digunakan adalah batas administrasi seperti provinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan. Perpindahan mata pencaharian ini senantiasa disebabkan oleh faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor penarik adalah sutu keadaan dimana para pekerja melihat kemungkinan kesempatan kerja di luar profesinya, yang diharapkan dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi atau lebih kontinu, sedangkan faktor pendorong diartikan sebagai keadaan yang mengharuskan para pekerja mencari alternatif lain karena jenis profesi yang ada sudah semakin sulit atau tidak ada. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata alih berarti pindah atau tukar; sedangkan status berarti keadaan atau kedudukan seseorang. Jadi, alih status adalah perpindahan atau pertukaran status seseorang. Penelitian terdahulu terkait dengan mobilitas sudah pernah dilakukan, tetapi jumlahnya masih relatif terbatas. Armin Ginting 1994 melakukan penelitian dengan judul “Analisis faktor penentu keputusan mobilitas profesi sektor pertanian ke non pertanian” yang bersifat studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor- faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan mobilitas profesi desa kota adalah rasio pendapatan desa kota, usia dan pengusahaan lahan. Analisis regresi menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan luas lahan milik pada tingkat kepercayaan α=10 tidak berpengaruh nyata terhadap peluang mobilitas profesi, sedangkan faktor-faktor lain berpengaruh nyata. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan mobilitas profesi tersebut, ternyata pengaruh ekonomi terhadap migran terjadi karena adanya perbedaan pendapatan desa kota dan jumlah beban tanggungan. Dengan demikian maka dalam penelitian tersebut faktor ekonomi masih dianggap dominan pengaruhnya terhadap keputusan mobilitas profesi. Disarankan bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja di desa guna menambah keterkaitan antara penduduk kota dengan desa, sehingga menurunkan keinginan untuk melakukan mobilitas profesi di kota atau desa lain. Bagi masyarakat disarankan untuk mencari profesi di bidang industri pedesaan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat. Maria 1996 melakukan penelitian judul “Mobilitas profesi nelayan ke non-nelayan di Kelurahan Kali Baru” yang bersifat survei. Hasil survei menunjukkan bahwa faktor yang signifikan terhadap mobilitas profesi adalah: pendidikan, jumlah tanggungan dan pendapatan juga faktor usia dan pengalaman. Faktor pendorong dalam mobilitas kerja adalah: pendapatan nelayan, persediaan ikan, kejenuhan, modal, profesi yang terlalu berat, ingin mencari pengalaman, kondisi fisik nelayan kesehatan dan usia. Faktor penariknya adalah: peningkatan pendapatan, kenyamanan kerja dan jaminan hari tua. Jenis jenis profesi non-nelayan adalah: dagang, supir, bengkel, wiraswasta, pelayaran dan karyawan pabrik. Akibat dari mobilisasi kerja ini 60 dari pelaku mobilisasi tersebut kondisi perumahannya, mengalami peningkatan dan, 40 sisanya tetap. Widodo 2002 melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh industrialisasi terhadap mobilitas sosial masyarakat pedesaan” yang bersifat studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pencetus mobilisasi sosial masyarakat adalah: pendidikan, penguasaan modal, tingkat ketrampilan dan hubungan dengan elit Wanaherang memberi pengaruh pada munculnya peluang kerja dan usaha yang berakibat pada peningkatan pendapatan, penguasaan kekayaan materil dan status sosial. Hal ini membuat masyarakat terobsesi untuk menjadi karyawanpegawai di sektor industri, karena selain peningkatan pendapatan juga peningkatan prestisepenghormatan. Tapi untuk menjadi karyawan dipengaruhi pendidikan, pengalaman kerja, ketrampilan dan hubungan dengan elit desa maupun manajemen perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Djoko Joewono 2003 dengan judul penelitian “Mobilitas penduduk dalam wilayah Jabotabek” yang bersifat survei. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang mendorong masyarakat bermobilisasi adalah sebagai berikut: faktor demografi jenis kelamin, pendidikan berikut mengaharapkan pendapatan lebih tinggi di perkotaan dari pada di desa, kecilnya lahan di desa bahkan tidak adaterbatasnya kerja di bidang pertanian. Faktor penariknya adalah: ada kesempatan kerja di sektor lain dengan teknologi komunikasi. Penelitian yang dilakukan oleh Armin Ginting, Widodo dan Djoko Joewono sulit diterapkan pada bidang perikanan tangkap, karena nelayan sebagai pelaku utama pada perikanan tangkap memiliki karakteristik sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan yang berprofesi di darat. Selanjutnya, penelitian Maria hanya mengkover faktor-faktor penarik dan pendorong bagi nelayan untuk melakukan mobilitas profesi pada wilayah yang terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang terintegrasi untuk dapat memetakan tipe mobilitas nelayan, baik secara geografi, maupun kombinasi profesi dan geografi; faktor yang berpengaruh pada setiap tipe mobilitas; dampak yang ditimbulkan oleh mobilitas terhadap alih status yang lebih baik; serta solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik.

1.2 Perumusan Masalah