Nelayan dan Pendapatan Mobilitas dan alih status nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara

dapat dilaksanakan. Semakin tinggi RC ratio, maka semakin tinggi prioritas yang dapat diberikan pada proyek tersebut. Pakar kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri menyatakan untuk mengetahui tingkat pendapatan nelayan, bisa dilakukan dengan melihat proporsi produksi ikan dengan jumlah nelayan per hari. Indonesia yang memiliki potensi ikan lestarinya 6,4 juta ton per tahun, namun produksi nelayan Indonesia per harinya hanya mencapai 5,5 kgnelayanhari, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang potensi perikanannya tidak sebesar Indonesia. Nelayan Rusia bisa mencapai 140 kgnelayanhari, Jepang memperoleh 70 kgnelayanhari, dan Amerika Serikat dapat memperoleh 100 kgnelayanhari. Angka-angka itu menunjukkan bahwa nelayan Indonesia belum mampu memanfaatkan sumber daya ikan yang dimilki Indonesia untuk kesejahteraan mereka FPIK-IPB 2009.

2.9 Nelayan dan Pendapatan

Menurut Pusat Bahasa Indonesia 2001, nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Profesi sebagai nelayan menjadi pilihan masyarakat pesisir karena tidak adanya peluang kerja di daratan. Biasanya profesi ini dilakukan oleh nelayan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan disebabkan karena mereka hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi oleh ketidakpastian dalam menjalankan usahanya Fahrudin 2004. Secara umum, yang disebut nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri. Dalam arti alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya pangan dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Berbeda dengan nelayan modern yang acapkali mampu merespons perubahan dan lebih kenyal dalam menyiasati tekanan perubahan dan kondisi overfishing, nelayan tradisional seringkali justru mengalami proses marginalisasi dan menjadi korban dari program pembangunan dan modernisasi perikanan yang sifatnya a-historis. Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan pantai inshore. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali melaut one day a fishing trip. Beberapa contoh nelayan yang termasuk tradisional adalah nelayan jukung, nelayan pancingan, nelayan udang dan nelayan teri nasi Kusnadi 2002. Sejak krisis mulai merambah ke berbagai wilayah pada pertengahan tahun 1997, nelayan tradisional boleh dikata adalah kelompok masyarakat pesisir yang paling menderita dan merupakan korban pertama dari perubahan situasi sosial ekonomi yang terkesan tiba-tiba, namun berkepanjangan. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan nelayan tradisional untuk bertahan dan melangsungkan kehidupannya, jika dari hari ke hari potensi ikan di luat makin langka karena cara penangkapan yang berlebihan? Dengan hanya mengandalkan pada perahu tradisional dan alat tangkap ikan yang sederhana, jelas para nelayan tradisional ini tidak akan pernah mampu bersaing dengan nelayan modern yang didukung perangkat yang serba canggih dan kapal besar yang memiliki daya jangkau yang jauh lebih luas. Terkait dengan pendapatan masyarakat pesisir, Manggabarani 2006 dalam jurnalnya pula mengatakan sampai saat ini tingkat pendapatan sebagian besar masyarakat pesisir masih rendah dengan kondisi pemukiman yang memprihatinkan. Selain itu, selama ini sengketa yang timbul, baik antar nelayan maupun antara nelayan dengan masyarakat pesisir lainnya diselesaikan melalui Hukum Adat yang berlaku di daerah setempat. Dalam buku Sejarah Perikanan Indonesia ditulis bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan, sedangkan petani ikan adalah orang yang mata pencahariannya membudidayakan ikan.Kegiatan nelayanpetani ikan, baik berkoperasi maupun secara perorangan bersifat subsistence, sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Perkembangan perikanan laut relatif lebih ketinggalan dari pada perikanan darat yang pada waktu itu terbawa oleh perkembangan pertanian Soewita 2000. Menurut Katiandagho et al. 1994, nelayan tradisional adalah orang yang melakukan penangkapan ikan menurut kebiasaan nenek moyangnya. Mereka belum menerapkan teknologi baru yang lebih baik dan semata-mata bekerja menurut pembawaan dengan teknologi seadanya sesuai dengan yang diperoleh dari pengalaman nenek moyangnya. Nelayan tradisional ini mempunyai arti dan peranan yang sangat besar bagi perikanan Indonesia, karena walaupun mereka masih tergolong tradisional tapi mereka sudah bisa menambah pemasukan devisa negara walaupun hanya sedikit. Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini antara lain mengenai taraf hidup yang masih rendah, masih bergelut dengan teknologi yang masih sederhana terutama menyangkut usaha-usaha peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional yang belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kemampuan untuk meningkatkan usaha karena pendidikan dan pengetahuan yang belum memadai. Ditjen Perikanan dalam Satria 2002 menyatakan bahwa, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan profesi dalam operasi penangkapan ikanbinatang air lainnyatanaman air. Nelayan diartikan sebagai orang yang melakukan penangkapan ikan di laut atau perairan umum Mantjoro dan Otniel 2003. Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No Per 05MEN2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, ditulis bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, sedangkan nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari JICA 2009. Nelayan dapat dibedakan kedalam dua kelompok menjadi nelayan besar large scale fishermen dan nelayan kecil small scale fishermen. Perbedaan keduanya dijelaskan oleh Pollnac 1988, yang menyebutkan bahwa ciri-ciri perikanan skala besar adalah: 1 diorganisir dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju, 2 relatif lebih padat modal, 3 memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana bagi pemilik maupun awak perahu dan 4 menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku berorientasi ekspor. Mereka lebih berorientasi kepada keuntungan profit- oriented. Nelayan kecil dapat dilihat dari kapasitas teknologi alat tangkap dan armada maupun budaya yang keduanya terkait satu sama lain. Misalnya seorang nelayan yang belum menggunakan alat tangkap maju, masih menggunakan dayung dan motor tempel biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri subsistensi sehingga sering disebut sebagai peasant-fisher. Perikanan skala kecil lebih beroperasi di daerah kecil yang bertumpang tindih dengan kegiatan budidaya dan bersifat padat karya Pollnac 1988 yang diacu dalam Satria 2002. Nelayan Indonesia sangat besar jumlahnya dan jika dihitung dengan seluruh keluarganya dan multiplier effects-nya akan dapat mencakup jumlah sekitar 20 juta manusia di seluruh Indonesia yang peranannya dalam pembangunan ekonomi cukup besar tapi dalam kehidupannya termasuk masyarakat terbelakang, khususnya di bidang ekonomi. Karena itu perlu benar meningkatkan kemampuan mereka bukan saja dalam kemampuan menangkap ikan, memproses dan memasarkannya tetapi juga dalam memelihara kelestarian lingkungan laut dan keamanan pada umumnya. Potensi ini masih belum banyak yang digali FPIK-IPB 2009. Saat ini kondisi nelayan Indonesia sangat memprihatinkan. Mereka masih terjerat oleh kemiskinan, baik kemiskinan kultural maupun struktural. Mereka juga masih terbelenggu oleh kemiskinan ekonomi, kemiskinan informasi, kemiskinan permodalan, kemiskinan pendidikan, kemiskinan kesehatan dan bahkan kemiskinan politik. Apabila kita berbicara tentang nelayan, selalu terbayang dibenak kita sebuah komunitas masyrakat yang miskin, kukuh, terbelakang, tidak berpendidikan dan tidak sehat FPIK-IPB 2009. Panayotou 1985 mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu. Pendapat Panayotou ini dijelaskan oleh Subade dan Abdullah 1993 dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang dengan memiliki kepuasan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi peda peningkatan pendapatan. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupannya. Dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan laut, berbagai usaha dilakukan nelayan untuk beradaptasi. Usaha yang dilakukan bisa saja sesuai dengan apa yang diharapkan, namun bisa juga gagal. Apapun usaha yang dilakukan untuk ”menaklukkan” lingkungan, pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua: 1 diversifikasi, perluasan alternatif pilihan mata pencaharian dan 2 intensifikasi strategi untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan yang lebih eksploitatif, agar produksi ikan lebih banyak Wahyono 2001. Kusnadi 2002 mengatakan bahwa masyarakat nelayan di Pesisir Kabupaten Situbondo yang melakukan diversifikasi profesi pada umumnya merasa puas dengan penghasilan yang diterima. Sebagian dari mereka justru melakukan konversi profesi secara total, seperti menjadi tukang becak. Smith 1979 menyimpulkan bahwa kekakuan aset perikanan adalah alasan utama nelayan tetap terperangkap dalam kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kapal dan alat penangkap ikan sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas rendah, nelayan tidak mampu mengalihfungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu walaupun rendah produktivitasnya, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang mungkin tidak efektif secara ekonomis. Campbell 2000 mengenalkan konsep kerangka mata pencaharian yang berkelanjutan The Sustainable Livelihoods Framework. Dalam kerangka tersebut dikatakan bahwa untuk membangun mata pencaharian yang berkelanjutan, perlu diperhatikan aset-aset yang dimiliki oleh masyarakat pesisir nelayan, di antaranya 1 human assets, meliputi pengetahuan, kecakapan dan kemampuan; 2 natural assets, aset sumber daya yang disekitarnya; 3 sosial assets, dukungan yang didapat dari masyarakat sekitar dan keluarga; 4 physical assets infrastruktur yang dapat dimanfaatkan seperti jalan, suplai air bersih, pelabuhan dan sebagainya; serta 5 financial assets, modal yang dapat diperoleh untuk aktivitas usaha yang dijalankan. Sebagaimana diketahui secara luas, komunitas nelayan yang berjumlah kira-kira 4 juta rumah tangga, hingga kini masih tergolong miskin. Indikasinya, pendapatan per kapita per bulan mereka masih sekitar Rp 300.000 sampai Rp 400.000, tingkat pendidikan rata-rata sekolah dasar dan pemukiman yang kumuh. Akar kemiskinan nelayan teridentifikasi, antara lain, akses permodalan yang terbatas dan belum tumbuhnya kultur kewirausahaan enterprenuership. Pertumbuhan kultur kewirausahaan berkaitan dengan tingkat pendidikan, baik manajemen maupun teknologi Saad 2007. Ditjen Perikanan, yang diacu dalam Satria 2002 mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapanpemeliharaan, yaitu: Nelayanpetani ikan penuh adalah orang yang seluruh waktunya digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapanpemeliharaan ikanbinatang air lainnyatanaman air. Nelayanpetani ikan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktunya digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapanpemeliharaan ikanbinatang air lainnyatanaman air. Di samping melakukan profesi penangkapanpemeliharaan, nelayan kategori ini dapat mempunyai profesi lain. Nelayanpetani ikan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan profesi penangkapanpemeliharaan ikanbinatang lainnyatanaman air. Wahyuningsih et al. 1997 membagi masyarakat nelayan menjadi tiga kelompok dilihat dari sudut pemilikan modal, yaitu: 1 Nelayan juragan. Nelayan ini merupakan nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang mampu mengubah para nelayan pekerja sabagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan ini mempunyai tanah yang digarap pada waktu musim paceklik. Nelayan juragan ada tiga macam yaitu nelayan juragan laut, nelayan juragan darat yang mengendalikan usahanya dari daratan dan orang yang memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli, yang disebut tauke toke atau cukong. 2 Nelayan pekerja, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan modal, tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Nelayan ini disebut juga nelayan penggarap atau sawi awak perahu nelayan. Hubungan kerja antara nelayan ini berlaku perjanjian tidak tertulis yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Juragan dalam hal ini berkewajiban menyediakan bahan makanan dan bahan bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan dan bahan makanan untuk dapur keluarga yang ditinggalkan selama berlayar. Hasil tangkapan di laut dibagi menurut peraturan tertentu yang berbeda-beda antara juragan yang satu dengan juragan lainnya, setelah dikurangi semua biaya operasi. 3 Nelayan pemilik merupakan nelayan yang kurang mampu. Nelayan ini hanya mempunyai perahu kecil untuk keperluan dirinya sendiri dan alat penangkap ikan sederhana, karena itu disebut juga nelayan per-orangan atau nelayan miskin. Nelayan ini tidak memiliki tanah untuk digarap pada waktu musim paceklik angin barat. Nelayan ini sebagian besar tidak mempunyai modal kerja sendiri, tetapi meminjam dari pelepas uang dengan perjanjian tertentu. Nelayan yang umumnya memulai usahanya dari bawah, semakin lama meningkat menjadi nelayan juragan. Hubungan sosial masyarakat nelayan terkait dengan karakteristik sosial nelayan tersebut. Karakteristik masyarakat nelayan dan petani berbeda secara sosiologi. Masyarakat petani menghadapi sumber daya terkontrol, yaitu lahan untuk produksi suatu komoditas. Nelayan menghadapi sumber daya yang bersifat terbuka dan menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Resiko profesi yang relatif besar menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka Satria 2002 . Purwanti 1994 menyatakan bahwa nelayan dapat debedakan berdasarkan status hubungan kerja dan kepemilikan modal, yaitu: 1 Nelayan pemilik alat produksi perahu dan alat tangkap yang tidak ikut melaut. Nelayan ini disebut dengan juragan darat. Juragan darat umumnya memiliki profesi lain diluar bidang perikanan, seperti sopir, guru, aparat desa dan pedagang pengumpul ikan. 2 Nelayan pemilik alat produksi yang ikut melaut, nelayan ini disebut dengan juragan laut. 3 Buruh nelayan, yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Nelayan Ini hanya mengandalkan tenaga dan ketrampilannya dalam operasi penangkapan ikan dilaut. Kelompok nelayan ini disebut nelayan pandega. Jalinan sosial antar nelayan membentuk pola hubungan yang dapat dijabarkan secara horizontal dan vertikal. Hubungan sesama kerabat, saudara sedarah dan bentuk-bentuk afinitas merupakan contoh pola horizontal. Pola tersebut menggambarkan bahwa individu-individu akan lebih kuat berinteraksi jika antara satu dengan yang lain tidak mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang terlalu lebar. Interaksi nelayan membentuk pola hubungan patron-klien yang umum terjadi antara nelayan kaya juragan dan tengkulak dengan nelayan miskin buruh. Pola vertikal terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh dan juragan maupun tengkulak. nelayan pemilik memperoleh bagian lebih besar dari pada nelayan buruh dalam sistem bagi hasil. Bagi hasil ini berlaku pada setiap tingkat skala usaha penangkapan, bahkan dalam unit penangkapan modern, tingkat kesenjangan perolehan pendapatan antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh sangat besar. Tingkat pendapatan yang diperoleh nelayan buruh semakin kecil karena biaya operasi dan pemeliharaan peralatan tangkap cukup besar. Biaya tersebut harus ditanggung bersama antara nelayan pemilik dan nelayan buruh Kusnadi 2002. Pengalaman selama ini telah menunjukkan bahwa tidak mudah mengatasi kemiskinan struktural yang membelenggu nelayan tradisional di berbagai segi kehidupan. Kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional, selain dipengaruhi sejumlah kelemahan internal, juga karena pengaruh faktor eksternal. Keterbatasan pendidikan, kurangnya kesempatan untuk mengakses dan menguasai teknologi yang lebih modern dan tidak dimilikinya modal yang cukup adalah faktor-faktor internal yang seringkali menyulitkan usaha-usaha untuk memberdayakan kehidupan para nelayan tradisional. Faktor–faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan atau Revolusi Biru yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Pendapatan rumah tangga nelayan merupakan penjumlahan pendapatan sektor perikanan dan bukan sektor perikanan. Pendapatan dari sektor perikanan diperoleh dari kepemilikan aset perikanan seperti alat tangkap, perahu dan mesin; atau dari kepemilikan atau hak atas sumber daya ikan. Pendapatan bukan sektor perikanan dapat bersal dari kepemilikan lahan yang produktif, kepemilikan aset bukan perikanan seperti bangunan, alat transportasi; tenaga kerja keluarga yang bekerja di lahan sendiri, lahan orang lain, sektor industri, sektor pelayanan masyarakat Panayotou 1985. Tingkat pendapatan atau konsumsi merupakan salah satu indikator tingkat kemiskinan. Pada umumnya tingkat pendapatan diukur berdasarkan pendapatan per kapita atau tingkat konsumsi per kapita. Selanjutnya tingkat pendapatan atau konsumsi dibandingkan dengan garis kemiskinan. Indikator bukan pendapatan antara lain tingkat kejahatan, diskriminasi dan pengangguran Hentschel dan Seshagiri 2000. Menurut Kepetsky dan Barg 1997, pada perikanan tangkap skala kecil biasanya hasil tangkap sekitar 1 – 2 tonorangtahun. Jika kurang dari itu maka merupakan indikasi terjadinya penangkapan berlebih atau penurunan kualitas lingkungan yang menyebabkan penurunan potensi perikanan.

2.10 Karakteristik Kemiskinan Nelayan