Pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara

3.547,49 Km² atau 23,22 dari wilayah Sulawesi Utara dan Kota Tomohon merupakan wilayah dengan luas terkecil dengan 146,60 Km² 0,96. Persentase distribusi penduduk menurut kabupatenkota bervariasi dari yang terendah sebesar 2,51 di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan hingga yang tertinggi sebesar 18,08 di Kota Manado. Jumlah nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara hanya sekitar 78.000 orang, sebagian terdapat di Sangihe dan Talaud. Kehidupan nelayan kota termarjirnalkan oleh kegiatan pembangunan jalan pantai, sehingga mereka perlu mendapat prioritas DKP 2012. Sayangnya selama ini perhatian pemerintah Provinsi Sulawesi Utara terhadap kehidupan nelayan lokal sangat minim. Banyak nelayan menganggur, karena tergusur pembangunan jalan pantai. Nelayan tidak mendapat jaminan hidup saat tidak melaut karena ombak tinggi. Padahal pemerintah telah mencanangkan pemberian beras kepada nelayan yang gagal melaut karena ombak. Tetapi sampai hari ini hal tersebut belum terealisasikan.

5.1.3 Pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara

Pendapatan Nasional disebut juga pendapatan masyarakat, pada umumnya dipergunakan sebagai tolak ukur keberhasilan, kemakmuran dan kemajuan perekonomian suatu masyarakat. Namun ukuran tersebut bukan merupakan satu- satunya alat ukur, melainkan pula digunakan tolak ukur lain, seperti tingkat kesempatan kerja, lapangan kerja, tingkat harga, volume penjualan dan sebagainya. Selain itu pendapatan uang disebut juga dengan “income” yaitu imbalan yang diterima oleh seluruh rumah tangga pada lapisan masyarakat dalam suatu negaradaerah, dari penyerahan faktor-faktor produksi atau setelah melakukan kegiatan perekonomian. Pendapatan tersebut digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan sisanya merupakan tabungan saving untuk memenuhi hari depan. Sementara itu yang dimaksud dengan pendapatan nelayan adalah hasil yang diterima oleh seluruh rumah tangga nelayan setelah melakukan kegiatan penangkapan ikan pada waktu tertentu. Namun hasil tangkap ikan yang diperoleh belum bisa dikatakan sebagai pendapatan, jika belum terjadi transaksi jual beli. Transaksi yang dimaksud yaitu transaksi jual beli antara nelayan produsen dengan pembeli konsumen dan transaksi antara nelayan produsen dengan bandar ikan distributor. Pendapatan yang diterima oleh masyarakat nelayan Provinsi Sulawesi Utara digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan konsumen dalam setiap rumah tangga mereka, misalnya membeli perlengkapan rumah tangga, membayar listrik bulanan, membayar bunga atas pinjaman atau utang lainnya, membeli sarana dan prasarana penangkapan ikan, biaya untuk melaut seperti bensin bagi yang punya mesin, es, rokok dan lain-lain dan bahkan digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Akan tetapi pendapatan yang diperoleh para nelayan tidak seluruhnya berasal dari hasil penangkapan ikan saja, melainkan dapat diperoleh dari hasil kegiatan ekonomi lainnya sebagai profesi sampingan untuk mengisi waktu luang. Selain itu peran istri dan anak juga dibutuhkan untuk mendukung profesi untuk meningkatkan jumlah pendapatan serta campur tangan pemerintah juga sangat penting dalam mengatasi masalah peningkatan pendapatan nelayan, misalnya menciptakan program kerja nelayan dan sekaligus memberikan bantuan kepada nelayan berupa perahu, mesin dan rakit. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara yang berkisar antara Rp.500.000-Rp.750.000bulan menduduki persentasi terbesar 26.25 dan pendapatan Rp.1.000.000- Rp.1.250.000bulan menduduki persentasi terendah 10.75 Gambar 9. Hasil tersebut menunjukkan betapa nelayan di Provinsi Sulawesi Utara masih miskin. Gambar 10 menunjukkan jumlah nelayan miskin 78.612 orang lebih banyak dibanding nelayan tidak miskin 7.255 orang. Nelayan-nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara enggan terus menerus berkubang dalam kemiskinan, akhirnya mereka mencari alternatif untuk keluar dari lingkaran setan tersebut, alternatif pilihan mereka adalah mobilitas dengan harapan dapat menaikan jumlah pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan mereka. Pendapatan nelayan Sulawesi Utara banyak dipengaruhi oleh alat bantu yang digunakan dalam penangkapan ikan seperti alat pancing dan kapal atau perahu. Semakin tradisional alatkapal dan perahu mereka, semakin rendah pendapatan yang mereka dapat, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan perahukapal penangkap ikan, nelayan pemilik dibagi menjadi nelayan tradisional dan nelayan bermotor. Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesinmotor. Bila perahu mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel, bila perahukapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor. Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan gross ton GT, kapal motor dibagi menjadi: kapal kecil, yaitu 5GT – 10GT, kapal sedang, yaitu 10GT – 30GT, kapal besar, yaitu 30GT Tarigan 2002. Kapal yang dipakai nelayan Sulawesi Utara ada dua macam yaitu kapal tanpa motor dan kapal dengan motor. Gambar 8 menunjukkan bahwa nelayan tradisionalnon tradisional Provinsi Sulawesi Utara yang menggunakan kapal dengan atau tanpa motor terbanyak di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah: kapal tanpa motor: jukung atau disebut perahu bolotu Gambar 22 1.507 buah, perahu papan kecil 157 buah dan motor tempel 2.151 buah; untuk kapal dengan motor 5 GT 161 buah, 5-10 GT 62 buah dan 10-20 GT 4 buah. Rumah tangga perikanan RTP yang memiliki kapal motor berjumlah 373 RTP, sebagian besar 217 RTP motor tempelnya berukuran sangat kecil, yaitu kurang dari 5 GT. Ukuran 5-10 GT dimiliki oleh 96 RTP. Selanjutnya di Bolaang Mangondow, perahu jukung sebanyak 822 buah dan yang paling sedikit di Kota Manado sebanyak 131 buah. Pemakaian jukung tetap dipertahankan karena memang sudah menjadi tradisi, lagipula minimnya modal menyebabkan mereka tidak mampu memiliki perahu motor tempel apalagi kapal motor. Sebagian besar nelayan di Manado menggunakan perahu jukung hanya untuk konsumsi hari itu juga. Ini menunjukkan bahwa kepemilikan kapal motor yang berukuran kecil mengakibatkan sulit terjangkaunya daerah penangkapan ikan yang lebih jauh, sehingga kadang-kadang nelayan tidak membawa ikan, walaupun mereka seharian melaut. Gambar 8 juga memperlihatkan bahwa masih cukup banyak jumlah nelayan yang menggunakan perahu jukung padahal jenis perahu ini terlalu rawan bencana di laut. Jenis perahu yang masih tradisional, sangat mudah terbawa arus dan dihantam gelombang, sehingga nelayan sangat sulit mencapai daerah penangkapan ikan DPI dan memburu ikan target, akhirnya nelayan hanya bisa beroperasi di daerah sekitar desa tempat bermukim dan itu menghasilkan hasil tangkapan yang sedikit dan pendapatan yang rendah. Padahal bila nelayan mampu menentukan daerah penangkapan ikan secara baik tentunya akan berdampak kepada peningkatan pendapatan yang akan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan akan bahan bakar minyak sangat menentukan fishing ground menjadi pertimbangan utama para nelayan dalam menentukan daerah pengoperasian alat tangkap. Simbolon 2009 mengatakan bahwa kendala yang sering ditemukan pada masyarakat nelayan, mereka sering sekali bertumpuk pada satu area penangkapan sehingga sering menimbulkan konflik dan ketersediaan sumber daya menjadi langka akibat eksploitasi secara terus menerus. Gambar 20 Perahu Londe Gambar 8 juga memperlihatkan bahwa motor tempel sangat besar jumlahnya dibandingkan dengan perahu jukung dan perahu tanpa motor. Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kota Bitung paling banyak jumlah motor tempelnya dibandingkan daerah-daerah lainnya. Ini juga terkait dengan banyaknya industri perikanan di Kota Bitung yang memerlukan pasokan ikan segar dari nelayan. Pembuatan kapal pelang di desa Kema, Bitung dapat dilihat pada Gambar 21. Sebagian besar motor tempel berukuran 15 PK dan 40 PK, tetapi masih banyak pula perahu yang hanya dilengkapi dengan satu motor tempel saja. Sehingga daerah penangkapan hanya berkisar di wilayah pesisir dan ini mengakibatkan hasil tangkapan sangat kurang dan kadang-kadang tidak ada sama sekali. Gambar 22 Perahu BolotuJukung Selain itu pula nelayan tradisional yang masih menggunakan perahu kecil mengakibatkan rendahnya tingkat pemanfaatan perikanan laut. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan data tahun terakhir yaitu tahun 2009, dimana potensi perikanan laut adalah 691.4 ribu tontahun, dengan MSY sebesar 345.7 ribu tontahun dan jumlah produksi adalah 210 ribu tontahun sehingga didapatkan Gambar 21 Pembuatan kapal pelang di Desa Kema, Bitung hasil tingkat pemanfaatan sebesar 60.74. Besarnya perahukapal yang digunakan nelayan akan mempengaruhi pendapatan nelayan tersebut. Hasil pemanfaatan yang rendah mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara. Selain tingkat pemanfaatan ada juga beberapa faktor utama yang saling berhubungan yakni: 1 Kualitas sumber daya manusia nelayan masih rendah, serta mereka masih kurang kesadaran untuk mengembangkan kegiatan ekonomi. 2 Ketergantungan campur tangan dari luar terutama dari pemerintah. 3 Manajemen usaha yang masih bersifat kekeluargaan yang dilakukan secara turun-temurun. 4 Cara penangkapan ikan masih bersifat tradisional. Dikarenakan beberapa faktor di atas yang masih mendominasi kondisi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara menyebabkan para nelayan sulit untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, sehingga mereka terus berputar pada lingkaran setan Gambar 1 yang menyebabkan kemiskinan berkepanjangan. Gambar 10 menunjukkan bahwa nelayan miskin masih banyak terdapat di Kabupaten Kepulauan Sangihe sebanyak 13.983 orang 89 dari total jumlah nelayan 15.758 orang. Gambar 10 memperlihatkan bahwa hampir setiap daerah di Provinsi Sulawesi Utara nelayannya masih miskin 80. Meskipun telah banyak program pembangunan perikanan dan kelautan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah khususnya dalam upaya mengembangkan kemampuan wilayah penangkapan, meningkatkan hasil tangkapan serta mengembangkan manajemen usaha penangkapan ikan, antara lain berupa kegiatan motorisasi perahukapal penangkapan ikan dan pengembangan skala usaha penangkapan ikan, namun kehidupan perekonomian nelayan tetap saja selalu termarjinalkan. Kondisi yang terjadi adalah ombak besar, disertai turunnya hujan dan angin bersamaan. Saat ini nelayan tidak turun ke laut dan alat tangkap seperti bagan tancap biasanya sudah dicabut terlebih dahulu agar tidak roboh. Hasil tangkapan menjadi sedikit bahkan seringkali tidak ada. Bulan Maret sampai Mei kembali menjadi musim pancaroba, ombak dan angin sudah mulai mereda sehingga nelayan mulai turun ke laut dan menurunkan alat tangkapnya dan hasil tangkapanpun sudah mulai meningkat.

5.1.4 Perumahan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara