5.1.2 Tipe dan jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Tipe nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara dikategorikan atas 3 jenis yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan tambahan yang jumlahnya
secara keseluruhan hampir sama namun angka terbanyak untuk status nelayan penuh terdapat di Kota Bitung dan Kabupaten Kepulauan Sangihe demikian juga
dengan nelayan sambilan utama dan sambilan tambahan dan jumlah terkecil yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang Mongondow Timur karena
kedua kabupaten tersebut baru saja mengalami pemekaran pada tahun 2010. Sumber daya perikanan di Provinsi Sulawesi Utara lebih dari cukup untuk
memperkaya para nelayan sehingga dapat menjadikan mereka sebagai nelayan pemilik, tetapi sebaliknya nelayan kurang mengeksploitasi sumber daya perikanan
yang ada. Dominasi nelayan penuh disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah
kurangnya pendidikan, kurangnya keahliah di bidang lain dan menjadi nelayan adalah profesi turun temurun, meskipun demikian, umumnya mereka mengaku
bangga menjadi nelayan. Nelayan yang umumnya rendah pendidikan dan pengetahuan ini hanya memikirkan tentang kebutuhan hari ini dan cara
memenuhinya, biasanya mereka tidak memikirkan tentang hari esok, padahal hari esok memiliki masalah dan kesusahan tersendiri Nikijuluw 2008.
Untuk dominasi jumlah nelayan terdapat di Kota Bitung dan Sangihe hal tersebut dikarenakan beberapa hal diantaranya karena Kota Bitung adalah kota
industri, industri perikanan, kota pelabuhan, yang menyebabkan profesi nelayan menjadi berkembang, itu menarik bagi nelayan skala kecil. Akhirnya mereka
berdatangan dari berbagai daerah, untuk mengadu nasib di Kota Bitung sebagai nelayan. Nelayan Bitung adalah nelayan multi etnis, para nelayan tersebut bukan
seluruhnya penduduk asli Bitung, ada yang dari Maluku, Sangihe, Ambon, Talaud dan lain-lain. Hal tersebut yang menyebabkan Kota Bitung memiliki nelayan
terbanyak di Provinsi Sulawesi Utara. Selanjutnya Kota Sangihe sebagai daerah dengan jumlah nelayan terbanyak, hal tersebut dikarenakan profesi nelayan adalah
profesi turun temurun, keahlian turun temurun, sehingga sebagian besar penduduk menjadi nelayan, karena orang tua mereka adalah nelayan yang menurunkan
keahlian mereka kepada anak cucunya. Menjadi nelayan telah mendarah daging pada nelayan di Sangihe, hal itulah yang menyebabkan Sangihe menjadi daerah
dengan jumlah nelayan terbanyak setelah Bitung. Selanjutnya untuk status nelayan pemilik, di Provinsi Sulawesi Utara
berjumlah 39,727 orang. Hasil di lapangan sebagian besar dari nelayan pemilik ini berada di Kota Bitung karena Bitung sebagai kota industri perikanan di Provinsi
Sulawesi Utara. Untuk kategori nelayan sambilan utama berada di posisi pertama dengan jumlah 25,306 orang, namun mereka bukanlah nelayan yang memiliki
kapal sendiri biasanya mereka adalah ABK yang mendapat penghasilan terendah karena dampak dari sistem bagi hasil yang cukup merugikan mereka dan
keluarganya. Apapun kategori dari pada nelayan ini, mereka seluruhnya termasuk pada tipe nelayan skala kecil artinya tidak mempunyi modal sendiri dalam
menjalankan usaha perikanannya dan mereka termasuk para buruh dan ABK. Berdasarkan kondisi seperti ini maka hasil yang mereka peroleh tidak
sanggup membiayai kebutuhan hidup mereka sehari-hari bahkan seringkali mereka terlibat dalam lingkaran utang yang berkepanjangan, kadang-kadang
nelayan juga menggadaikan barang-barang yang mereka miliki jika tingkat kebutuhan keuangan tidak terlalu banyak, jika tingkat kebutuhan uang relatif
banyak maka mereka akan mengambil jalan terakhir yaitu meminjam pada rentenir. Hal tersebut dikarenakan pendapatan yang diperoleh dari usaha melaut
belum menjamin kesejahteraan mereka dan keluarganya. Kegiatan-kegiatan ekonomi tambahan yang dilakukan oleh anggota-
anggota keluarga nelayan istri dan anak merupakan sebagian dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.
Ragam peluang kerja yang bisa dimasuki mereka sangat bergantung pada sumber-sumber daya yang tersedia di desa-desa nelayan tersebut. Setiap desa
nelayan memiliki karakteristik kondisi sosial ekonomi yang berbeda dengan desa-desa lainnya. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh anggota-anggota
rumah tangga nelayan seperti di atas, semata-mata untuk memenuhi tuntutan kebutuhan konsumtif yang bersifat subsistensi dan bukannya yang bersifat
produktif.
Menurut Kusnadi 2002, tingkat kesejahteraan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan masyarakat nelayan dimanapun dia berada. Bahkan secara
kuantitatif, dibandingkan dengan masyarakat lain seperti petani, masyarakat nelayan pada umumnya terkategori masyarakat yang berpenghasilan rendah
marjinal. Disadari sepenuhnya bahwa ada beberapa faktor kompleks yang menyebabkan terciptanya tingkatan sosial ekonomi yang rendah dari para
masyarakat nelayan atau pesisir pantai ini, seperti adanya fluktuasi musim ikan, modernisasi dan motorisasi unit penangkapan ikan, serta adanya eksploitasi yang
berlebihan yang dapat berdampak pada pemiskinan atau destruktifikasi sumber daya perikanan laut yang ada.
Meningkatkan kesejahteraan nelayan adalah tujuan pembangunan perikanan dibanyak negara, khususnya negara berkembang, dalam situasi ketika tidak ada
atau kurang alternatif profesi di sektor lain, profesi sebagai nelayan menjadi penampung terakhir last resort bagi banyak penduduk pedesaan yang umumnya
kurang ketrampilan dan pengetahuan. Oleh karena itu, pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, menaruh perhatian untuk meningkatkan
kesejahteraan nelayan yang mengandalkan sumber daya ikan sebagai sandaran nafkah hidupnya Nikijuluw 2003.
Hasil-hasil studi terdahulu tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan masyarakat nelayan menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial
ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi oleh nelayan hingga saat ini. Hal ini sulit diatasi karena selalu
berdampak pada pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan pusat sehingga pada akhirnya masalah kemiskinan
telah menjadi suatu fenomena kendala dalam pencapaian tujuan pembangunan. Tingkat kesejahteraan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan masyarakat
nelayan dimanapun berada Kusnadi 2002. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan melaut nelayan di Provinsi Sulawesi Utara dapat dijelaskan
pada pembahasan selanjutnya.
Jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Utara secara administratif terdiri dari 11 kabupaten dan 4 kota. Kabupaten Bolaang Mongondow merupakan wilayah terluas dengan luas
3.547,49 Km² atau 23,22 dari wilayah Sulawesi Utara dan Kota Tomohon merupakan wilayah dengan luas terkecil dengan 146,60 Km² 0,96.
Persentase distribusi penduduk menurut kabupatenkota bervariasi dari yang terendah sebesar 2,51 di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan hingga
yang tertinggi sebesar 18,08 di Kota Manado. Jumlah nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara hanya sekitar 78.000
orang, sebagian terdapat di Sangihe dan Talaud. Kehidupan nelayan kota termarjirnalkan oleh kegiatan pembangunan jalan pantai, sehingga mereka perlu
mendapat prioritas DKP 2012. Sayangnya selama ini perhatian pemerintah Provinsi Sulawesi Utara
terhadap kehidupan nelayan lokal sangat minim. Banyak nelayan menganggur, karena tergusur pembangunan jalan pantai. Nelayan tidak mendapat jaminan
hidup saat tidak melaut karena ombak tinggi. Padahal pemerintah telah mencanangkan pemberian beras kepada nelayan yang gagal melaut karena ombak.
Tetapi sampai hari ini hal tersebut belum terealisasikan.
5.1.3 Pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara