memutuskan bahwa memberikan lisensi kepada pihak swasta untuk mengelola daerah pesisir dan pulau-pulau kecil akan mematikan hajat hidup nelayan skala
kecili. Namun banyak kendala yang muncul sejak subsidi minyak tanah dicabut, dari 20 perahu yang berbahan bakar minyak tanah, tinggal 3 perahu yang masih
sering melaut, sisanya sudah tidak mencari ikan lagi, karena tidak mampu membeli minyak tanah, karena mesin pelang dan katinting nelayan di Manado
kebanyakan menggunakan minyak tanah, hanya beberapa saja yang menggunakan premium.
5.3 Tipe Mobilitas Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
Suryana 1989 menyatakan mobilitas profesi sebagai perpindahan mata pencaharian tanpa memperhatikan adanya perpindahan geografi, yaitu
perpindahan penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Batas wilayah yang digunakan adalah batas administrasi seperti provinsi,
kabupaten, kecamatan dan kelurahan. Perpindahan mata pencaharian ini senantiasa disebabkan oleh faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor penarik
adalah sutu keadaan dimana para pekerja melihat kemungkinan kesempatan kerja di luar profesinya, yang diharapkan dapat memberikan pendapatan yang lebih
tinggi atau lebih kontinu, sedangkan faktor pendorong diartikan sebagai keadaan yang mengharuskan para pekerja mencari alternatif lain karena jenis profesi yang
ada sudah semakin sulit atau tidak ada. Mobilitas yang terjadi pada nelayan Sulawesi Utara adalah mobilitas
geografis yang disebut juga mobilitas lateral, karena mobilitas yang terjadi di Provinsi Sulawesi Utara melibatkan perpindahan daerah, mobilitas profesipun
dilakukan bersamaan dengan mobilitas geografi atau mobilitas lateral, dengan mobilitas lateral diharapkan akan terjadi mobilitas vertikal naik, dalam arti bahwa
status sosial nelayan berubah ke arah yang lebih baik. Mobilitas terjadi karena ada faktor pendorong dan penarik, seperti yang dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya. Menurut Ransford dalam Sunarto 2001 mobilitas dibedakan menjadi
empat yaitu mobilitas sosial vertikal, horizontal, lateral dan struktural. 1
M o b i l i t a s s o s i a l v e r t i k a l
Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Jadi
pergerakannya vertikal; dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas. Mobilitas ini dibedakan menjadi dua yaitu; 1 mobilitas sosial naik
social climbing mobility atau upward mobility. Dua bentuk utama dalam mobilitas ini adalah masuknya individu yang mulanya memiliki
kedudukan lebih rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi dan pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian ditempatkan pada
derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu pembentuk kelompok tersebut; 2 mobilitas sosial turun social sinking mobility atau
downward mobility Mobilitas vertikal turun artinya perpindahan seseorang ke kelas sosial yang lebih rendah dari sebelumnya. Dalam
mobilitas ini juga terdapat dua bentuk utama, yaitu; Turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah dari sebelumnya;Turunnya
derajat suatu kelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok dalam suatu kesatuan.
2 Mobil itas sosia l
horiz ont al Mobilitas sosial horizontal merupakan peralihan individu atau kelompok
sosial dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Mobilitas sosial horizontal tidak menimbulkan pengaruh sosial
secara langsung terhadap status sosial seseorang dan skala wibawanya tidak berubah menjadi naik atau turun. Selain itu dalam mobilitas sosial
horizontal dapat pula terjadi perpindahan objek-objek sosial lainnya. 3 M o b i l i t a s
s o s i a l l a t e r a l
Mobilitas lateral disebut juga mobilitas geografis. Mobilitas lateral mengacu pada mobilitas perpindahan orang-orang, baik secara individual
maupun kelompok, dari wilayah satu ke wilayah lain yang secara tidak langsung mengubah status sosial seseorang. Mobilitas lateral dibagi
menjadi dua, yaitu; Mobilitas permanen, yaitu mobilitas yang bermaksud melakukan perpindahan
permanen; Mobilitas tidak permanen, segala bentuk mobilitas individu atau kelompok yang bersifat sementara. Ciri
khas dari mobilitas sosial lateral adalah adanya permobilitasan atau
perpindahan individu atau kelompok secara fisik dari satu tempat ke tempat lain.
4 M o b i l i t a s s t r u k t u r a l
Menurut Basis, mobilitas struktural adalah mobilitas yang disebabkan oleh inovasi teknologi, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, peperangan dan
kejadian-kejadian lainnya yang mengubah struktur dan jenis kelompok- kelompok dalam masyarakat. Jadi mobilitas struktural meliputi kesatuan
yang luas dan kompleks. Mobilitas struktural juga dapat mengarah pada mobilitas ke atas dan dapat pula mobilitas ke bawah, dengan kata lain,
mobilitas struktural cenderung mengarah pada mobilitas sosial vertikal. Bagi tenaga kerja nelayan, beberapa orang telah mengalami perpindahan
kerja. Secara pasti jumlah ini belum diketahui disebabkan antara lain belum ada pendataan dan sebagian nelayan yang berpindah kerja juga melakukan
perpindahan tempat tinggal. Sebelumnya menurut keterangan beberapa tokoh setempat di lokasi penelitian, sekitar tahun 1970-an masyarakat yang bekerja
sebagai nelayan masih banyak. Kemudian seiring dengan berkembangnya daerah tersebut yang diikuti dengan berdirinya industri di sekitarnya, mulai terbuka
lapangan kerja baru. Adanya kesempatan tersebut mendorong minat penduduk untuk bekerja di darat.
Sebagian dari masyarakat pekerja di sektor perikanan, terutama golongan usia muda, merasa tertarik untuk bekerja di industripabrik. Hal ini disebabkan
bekerja di sektor industri mempunyai resiko yang relatif lebih kecil, juga mereka memperoleh penghasilan yang kontinu setiap bulan dengan tidak ada resiko gagal
panen atau hasil tangkapan kosong seperti yang dialami oleh masyarakat nelayan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa bekerja di bidang industri
memberikan prestise tersendiri yang lebih tinggi di kalangan masyarakat setempat, meskipun pada prakteknya mereka hanya menempati posisi buruh yang
pendapatannya seringkali lebih kecil dari hasil pada profesi sebelumnya. Tidak dipungkiri juga bahwa untuk bekerja di pabrik terutama saat
sekarang ini dibutuhkan ketrampilan dan pendidikan formal yang memadai. Bukti empiris terbaru menunjukkan bahwa terdapat komplementaritas antara investasi
dalam adopsi teknologi baru dan akumulasi modal manusiainvestasi di
pendidikan dan bahwa pekerja berpendidikan memiliki keunggulan komparatif dalam memperoleh dan menerapkan teknologi baru Chander dan Thangavelu
2003. Masyarakat nelayan lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Utara umumnya
memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah. Keadaan ini menyebabkan kesempatan kerja yang ada menjadi terbatas dan banyak dimanfaatkan oleh para
pendatang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Namun demikian, ada juga beberapa pemuda dari keluarga nelayan yang memilih bekerja
di pabrik dari pada harus pergi melaut. Tetapi secara keseluruhan, masih sangat banyak nelayan yang tetap memilih bekerja sebagai nelayan. Masyarakat yang
tetap bekerja di sektor perikanan adalah mereka yang tetap memilih bidang perikanan atau nelayan sebagai sumber utama pendapatannya. Sebagian dari
mereka melakukan profesi nelayan karena terpaksa, disebabkan mereka tidak mampu untuk mendapatkan jenis profesi baru.
Nelayan Sulawesi Utara yang memilih bekerja sebagai nelayan menyatakan bahwa profesi sebagai nelayan sudah dilakukan bertahun-tahun mulai
dari orang tua mereka, sehingga mereka sudah terbiasa dengan profesi tersebut. Nelayan yang demikian percaya bahwa penghasilan mereka datang dari laut
sehingga sudah siap bila suatu saat tidak mendapatkan apa-apa. Nelayan yang bertahan atau terpaksa bekerja sebagai nelayan disebabkan karena mereka tidak
memiliki pendidikan formal dan juga ketrampilankeahlian cukup. Sementara untuk menjadi buruh pabrik saja saat ini sudah membutuhkan ijazah minimal
SMP. Alasan lain yang membuat nelayan masih mempertahankan profesinya adalah faktor usia. Selama nelayan masih sanggup bekerja keras dan usia
memungkinkan, nelayan masih sanggup bekerja di laut. Sama halnya seperti yang dinyatakan oleh Rahim 2011 di daerah wilayah pesisir pantai Sulawesi Selatan,
bahwa umur nelayan perahu motor berpengaruh nyata positif terhadap pendapatan artinya, meningkatnya umur nelayan akan meningkatkan pendapatan per trip
selama musim penangkapan. Pengambilan keputusan seseorang untuk berpindah mata pencaharian
didasarkan pada beberapa alasan. Ada yang disebabkan jenis profesi lain yang dinilai lebih menguntungkan bukan hanya secara ekonomis. Selanjutnya akan
diuraikan secara lebih terinci faktor-faktor yang menyebabkan seseorang untuk berpindah.
Terbukanya peluang kerja dipengaruhi oleh karakteristik dari masing- masing individu, antara lain: tingkat pendidikan, ketrampilan, pengalaman kerja,
penguasaan modal dan hubungan dengan manajemen perusahaan atau hubungan dengan elit desa. Maka demikian tidak semua individu mempunyai peluang yang
sama untuk bekerja atau membuka usaha. Sebab hanya mereka yang berasal dari lapisan atas yang mempunyai peluang kerja dan usaha yang cukup besar,
akibatnya terjadi kesenjangan dalam penguasaan kekayaan meteriil seseorang. Semakin tinggi tingkat penguasaan kekayaan materiil seseorang, maka semakin
besar peluangnya untuk naik pada lapisan sosial yang lebih tinggi. Berkembangnya sektor industri memberikan peluang pada individu-
individu tertentu untuk meningkatkan penguasaan kekayaan materiilnya sehingga posisinya dapat naik pada lapisan sosial yang lebih tinggi. Sedangkan pada orang-
orang yang tidak dapat menguasai akses ekonomi keadaannya akan lebih buruk dari masa lalu sehingga posisinya menjadi turun pada lapisan yang lebih rendah.
Selain itu ada juga orang-orang yang kedudukannya tidak jauh berbeda dari masa sebelumnya meskipun profesinya mengalami perubahan.
Berdasarkan hasil identifikasi status mobilitas nelayan baik secara geografi maupun profesi yang terjadi di Provinsi Sulawesi Utara maka didapatkan 4 tipe
nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu:
1 Mobilitas geografi
Berdasarkan Gambar 23 didapatkan bahwa tipe nelayan yang melakukan mobilitas geografi melakukan mobilitas ke Maluku, Laut Sulawesi, Laut Arafura,
Sorong, Merauke, Papua, Ternate. Tujuan mobilitas terbanyak adalah ke Laut Arafura, terbukti dari 100 responden ada 21 responden yang melakukan mobilitas
ke Laut Arafura dan tujuan mobilitas yang paling sedikit adalah ke Ternate dan Laut Sulawesi, hanya 1 nelayan yang menyatakan pernah bermobilitas ke Ternate
dan Laut Sulawesi. Jarak tempuh yang jauh bukan faktor penghalang bagi para nelayan untuk bermobilitas, hal tersebut dikarenakan faktor pendorong dan
penarik yang kuat sehingga faktor jarak bukan menjadi masalah. Adapun faktor penarik yang kuat adalah informasi dari nelayan lain yang sudah berpengalaman
bermobilitas, informasi tentang musim ikan di tempat lain misalnya, jadi meskipun jauh jarak tempuhnya asalkan ada informasi tentang musim ikan
mereka tetap berusaha mendatangi daerah tersebut. Faktor pendorong yang kuat dari nelayan itu sendiri adalah motivasi untuk menaikan pendapatan demi
merubah keadaan ekonomi ke arah yang lebih baik, baik untuk nelayan itu sendiri maupun keluarganya. Tujuan mobilitas geografi nelayan skala kecil di Provinsi
Sulawesi Utara dapat digambarkan sebagai berikut Gambar 23.
Gambar 23 Pemetaan tujuan mobilitas geografi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
Beberapa faktor internal lainnya yaitu kurangnya persediaan ikan dan kejenuhan. Selanjutnya sebagai faktor eksternal yang cukup berpengaruh adalah
modal yang terkait dengan ukuran kapal yang mereka gunakan untuk bermobilitas. Biasanya yang melakukan mobilitas adalah nelayan buruh ABK,
mereka bermobilitas mengikuti kapal nelayan juragan, sehingga sejauh apapun mereka bermobilitas tetap saja penghasilan mereka tidak banyak berubah, karena
dengan ikut kapal nelayan juragan mereka terjebak sistem bagi hasil yang tidak memihak para nelayan buruh ABK.
Nelayan pemilik memperoleh bagian lebih besar dari pada nelayan buruh dalam sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang sangat tidak berpihak pada
nelayan selalu terjadi pada pola patron-klien di lokasi penelitian. Sistem bagi hasil dikalangan masyarakat nelayan antara nelayan pemilik patron dan nelayan
penangkap klien masih mengikuti pola kelembagaan tradisi masyarakat pantai dengan kebiasaan sebagian besar masih menggunakan hukum adat tidak tertulis
konvensi, dimana hukum yang dipertahankan sebagai peraturan kebiasaan masa ke masa. Jadi, sistem bagi hasil tidak bisa dihilangkan secara penuh dari dunia
kenelayanan, namun harus dimodifikasi agar menjadi sistem yang lebih baik, yang memihak kepada nelayan buruh, yang tidak merugikan nelayan juragan.
Upah nelayan didapat dari sistem bagi hasil antara pemilik kapalmodal dengan ABK adalah 60:40 persen hasil penjualan bersih laba bersih. Dari bagian
40 untuk ABK tersebut dibagi untuk juru mudi 50, juru mesin 30 dan ABK mendapat 20. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pemilik yang tidak
ikut melaut akan mengikut sertakan anggota keluarganya sebagai jurumudi sehingga pendapatan yang diperoleh pemilik akan bertambah besar.
Kecenderungan ini menyebabkan posisi ABK semakin lemah dengan perbedaan pendapatan yang diperoleh semakin besar. Maka dibutuhkan sistem bagi hasil
alternatif yang lebih baik. Sistem bagi hasil tersebut tidak bisa dan tidak mungkin dimodifikasi dari
jumlah persentase yang paling memungkinkan hanya dari segi perhitungan keuntungan, tidak dari laba bersih, namun dari laba kotor. Dengan perhitungan
seperti itu akan sedikit lebih menguntungkan ABK. Bagi hasil alternatif harus menunjukkan keseimbangan pembagian hasil tangkapan antar alat tangkap dan
kesesuaian dengan prinsip-prinsip ekonomi. Perbaikan-perbaikan lainnya yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
1 Biaya operasi dan biaya bekal tidak perlu dikurangi dari nilai produksi
kotor. 2
Biaya tetap berupa penyusutan, bunga modal, sedekah laut, pajak dan perizinan harus dikurangi dari nilai produksi dengan cara dibagi-bagi pada
setiap trip. 3
Kompensasi modal yang dikeluarkan oleh pemilik dihitung 50 dari hasil kotor dan kompensasi tenaga pemilik dalam mengelola modal biaya
manajemen dihitung 10 dari hasil kotor sehingga jumlah bagian pemilik menjadi 60 hasil kotor.
4 Bila pemilik ikut melaut maka biaya manajemen 10 dari hasil kotor
akan hilang dan dimasukkan menjadi bagian penggarap sehingga bagian penggarap menjadi 50. Kompensasi pemilik yang ikut melaut dihitung
sebagai bagian penggarap sesuai dengan posisinya saat melaut. Pendapatan penggarap dengan bagi hasil alternatif yang lebih kecil dari
pada dengan bagi hasil lokal dan bagi hasil UUBHP merupakan konsekuensi yang secara ekonomis sesuai dengan dasar pembagian hasil usaha bersama, yaitu
keseimbangan antara yang diberikan dengan yang didapatkan. Namun demikian, perbedaan pendapatan antara pemilik dan penggarap dengan bagi hasil aIternatif
akan terlihat wajar karena pemilik terdorong untuk tidak ikut melaut sehingga bagian yang akan diterima penggarap sesuai dengan pengorbanan yang diberikan.
Selain itu dengan bagi hasil alternatif keseimbangan antara yang diberikan dengan yang diterima akan menjadi lebih merata antar pelaku usaha perikanan pemilik
dan penggarap dan antar alat tangkap yang berbeda atau keseimbangan antara yang diberikan dengan yang diterima akan terjadi antara pemilik alat tangkap
yang berbeda dan antara penggarap alat tangkap yang berbeda. Sehubungan dengan pengetahuan nelayan Sulawesi Utara tentang illegal
fishing dan UU Perikanan, sebagian besar dari mereka menjawab sudah tahu dan mengerti. Tapi pada kenyataannya, nelayan tipe inilah yang sering terjebak dalam
masalah illegal fishing. Sebagai contoh nelayan-nelayan di Kema, Minahasa Utara sering melakukan penangkapan ikan sampai ke batas perairan Australia, sehingga
kerap kali mereka ditangkap oleh petugas, dalam kondisi ini mereka dipaksakan untuk membayar denda sampai Rp. 25.000.000,-barulah kapal dilepas. Namun,
seringkali nelayan-nelayan ini menyembunyikan diri sampai berhari-hari lamanya untuk menghindari petugas. Alat tangkap yang digunakan tipe nelayan ini adalah
pancing dasar dengan jumlah ABK 15-20 orang. Ikan hasil tangkapan dijual ke pedagang besar atau perusahaan ikan yang menjadi langganan mereka dengan
harga terendah Rp15.000kg dan harga tertinggi sebesar Rp25.000kg. Nelayan tipe ini berusia antara 30-60 tahun, sebagian besar dari mereka berpendidikan SD
dan SMP dan hanya jumlah yang kecil saja yang berpendidikan SMA. Kemudian
pengalaman melaut nelayan tipe ini antara 5-30 tahun, pengalaman ini sangat menunjang dalam memperoleh jumlah hasil tangkapan, makin lama pengalaman
melaut makin besar peluang mendapat jumlah yang besar. Padahal dalam jurnal, Lassen 1998 mengatakan bahwa teknis interaksi antara penangkapan spesies
yang berbeda tergantung pada teknologi dan bagaimana subsistem biologinya. Teknologi yang tersedia dapat meninggalkan spesies tertentu yang tidak ekonomis
untuk dieksploitasi, misalnya seperti ikan pelagis kecil. Selanjutnya, rumah yang mereka tempati, sebagian besar semi permanen
dan sebagiannya lagi papan dan berukuran kecil dan menengah. Nelayan tipe ini dan keluarganya makan 3 kali sehari, dimana nasi sebagai makanan pokok dan ubi
atau jagung atau pisang sebagai makanan tambahan atau pengganti. Nelayan tipe ini membeli keperluan sandang hanya 1-2 kali dalam setahun dan itupun di kala
hari raya. Pendapatan sebagai nelayan antara Rp250.000 – Rp1.250.000.
2 Mobilitas geografi dan mobilitas profesi
Berdasarkan Gambar 24 didapatkan bahwa tipe nelayan yang melakukan mobilitas geografi pada tipe nelayan mobilitas geografi dan mobilitas profesi
namun tetap sebagai nelayan melakukan mobilitas ke Manado, Bitung, Sorong, Papua, Merauke dan Batam. Tujuan mobilitas geografi dan profesi nelayan skala
kecil di Provinsi Sulawesi Utara dapat digambarkan sebagai berikut Gambar 24.
Gambar 24 Pemetaan tujuan mobilitas geografi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
Jarak yang ditempuh memang cukup jauh namun itu bukan merupakan penghalang bagi para nelayan untuk tetap bermobilitas, hal tersebut dikarenakan
adanya faktor pendorong dan penarik yang kuat sehingga faktor jarak tidak jadi masalah. Informasi dari nelayan lain yang sudah berpengalaman bermobilitas
menjadi kunci utama, faktor penarik yang kuat tentang adanya musim ikan target di tempat lain yang jauh dari tempat domisili asli mereka dan motivasi untuk
menaikan pendapatan demi merubah keadaan ekonomi ke arah yang lebih baik menjadi faktor pendorong yang kuat dari nelayan itu sendiri maupun keluarganya.
Sedangkan yang melakukan mobilitas geografi namun berubah profesi bermobilitas dengan tujuan ke Maluku, Rotena, Bentenan, Manado, Kema,
Bitung, Likupang. Tujuan mobilitas terbanyak adalah ke Bentenan, terbukti dari 100 responden ada 27 responden yang melakukan mobilitas ke Bentenan dan
tujuan mobilitas yang paling sedikit adalah ke Kema, hanya 3 nelayan yang menyatakan pernah bermobilitas ke Kema. Hal tersebut dimotifasi oleh beberapa
faktor, yaitu minimnya pendapatan, kurangnya persediaan ikan, pengalaman kerja, minimnya lapangan kerja non nelayan di tempat asal dan modal. Faktor
yang paling berpengaruh pada nelayan tipe ini adalah modal. Nelayan tipe mobilitas geografi dan profesi di Provinsi Suawesi Utara tetap melakukan
mobilitas geografi meskipun ke daerah tujuan yang jauh dan berubah profesi menjadi bukan nelayan di tempat lain, dikarenakan informasi dari nelayan lain
tentang banyaknya lahan profesi di tempat tersebut, menjadi pelayan toko misalnya atau menjadi satpam, buruh bangunan, kuli pelabuhan dan lain
sebagainya. Hal tersebut memberi harapan bagi mereka untuk mendapatkan tambahan pendapatan demi menopang perekonomian para nelayan dan
keluarganya, paling tidak sampai musim paceklik di desa asal mereka berlalu. Berdasarkan Gambar 15 sebelumnya didapat angka sebesar 54 orang
nelayan yang alih profesi menjadi petani. Hal tersebut dikarenakan nelayan Sulawesi Utara memiliki keahlian dalam bertani sehingga mereka akan menjadi
petani apabila kondisi perairan tidak mendukung untuk melakukan penangkapan ikan. Nelayan tipe mobilitas geografi dan mobilitas profesi lebih sedikit menjadi
penjual sayur dikarenakan hasil pendapatan dari profesi ini sangat sedikit.
Pada umumnya nelayan Sulawesi Utara tidak termasuk dalam kelompok nelayan. Sehubungan dengan pengetahuan mereka tentang illegal fishing dan UU
Perikanan, sebagian besar dari mereka menjawab sudah tahu dan mengerti. Tapi pada kenyataannya, nelayan tipe inilah yang sering terjebak dalam masalah illegal
fishing. Kegiatan illegal fishing yang umum terjadi di perairan Sulawesi Utara adalah: a penangkapan ikan tanpa izin; b penangkapan ikan dengan mengunakan
izin palsu; c penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang; d penangkapan ikan dengan jenis spesies yang tidak sesuai dengan izin.
Pelanggaran yang sering dilakukan oleh nelayan Sulawesi Utara adalah penangkapan ikan tanpa izin.
Alat tangkap yang digunakan nelayan tipe ini sebagian besar adalah pukat cincin, pancing ulur, soma dampar, soma paka-paka dan jubi, dengan jumlah
ABK 15-20 orang. Ikan hasil tangkapan dijual ke pedagang eceran, pedagang besar, pedagang kecil, petibo dan sebagian kecil ke perusahaan perikanan dan ke
TPI dengan harga ikan terendah Rp. 5000kg dan tertinggi Rp. 25.000kg. Nelayan tipe ini berusia antara 20-60 tahun, sebagian besar dari mereka
berpendidikan SD dan SMP dan hanya sedikit yang berpendidikan SMA. Pengalaman melaut nelayan tipe ini antara 5-30 tahun.
Selanjutnya, r
umah yang mereka tinggali, sebagian besar permanen, semi permanen dan sebagiannya lagi
papan dan berukuran kecil dan menengah. Nelayan tipe ini dan keluarganya makan 3 kali sehari, dimana nasi sebagai makanan pokok dan ubi atau jagung atau
pisang sebagai makanan tambahan atau pengganti. Seperti yang dikatakan oleh Wasak 2012 dalam jurnalnya, menyatakan bahwa dari hasil pengamatan dan
wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa mereka yang bekerja sebagai nelayan pada umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan primer mereka
yaitu mencari makan. Nelayan tipe ini membeli keperluan sandang hanya 1-2 kali dalam setahun
dan itupun di kala hari raya karena pendapatan sebagai nelayan hanya antara Rp 250.000–Rp1.250.000bulan, mereka tidak mampu membeli keperluan sandang
sesering yang mereka inginkan dan pendapatan itu pula tidak menentu, tetapi pendapatan sebagai non-nelayan Rp250.000– Rp 1.250.000bulan bisa dikatakan
pasti.
3 Mobilitas profesi
Berdasarkan Gambar 17, ada 54 nelayan yang alih profesi menjadi petani, 19 nelayan menjadi buruh bangunan, 6 nelayan menjadi tukang bongkar muat, 8
orang menjadi tukang ojek, 3 orang sebagai sopir, 1 orang menjadi penjual sayur, 9 orang memilih menjadi kuli dan tidak ada yang memilih menjadi pedagang
karena modal untuk menjadi pedagang cukup besar. Para nelayan beralih profesi menjadi non-nelayan karena adanya faktor penarik dan pendorong, informasi
pengalaman nelayan lain yang beralih profesi merupakan faktor kuat yang menarik mereka melakukan alih profesi ketika musim paceklik ikan, biasanya
nelayan lain yang dianggap akrab mengajak nelayan tersebut untuk melakukan alih profesi yang sama dengan mereka, contohnya jika seorang nelayan beralih
profesi menjadi buruh bangunan maka nelayan tersebut akan mengajak nelayan lain yang se desa untuk alih profesi menjadi buruh bangunan pula, mereka
menganggap akan lebih mudah memasukan nelayan lain di profesi yang sama karena pengalaman dan kedekatan mereka dengan mandor atau lainnya, namun
alih profesi ini biasanya tidak lama, mereka hanya melakukan peralihan profesi ini selama dua atau tiga musim paceklik ikan, setelah itu pasti mereka kembali
menjadi nelayan. Mobilitas profesi adalah hal lumrah dikalangan nelayan seperti yang
dikatakan oleh Wasak 2012 yaitu bahwa di samping berprofesi sebagai nelayan, nelayan juga mempunyai profesi sampingan, seperti petani, buruh, pedagang dan
tukang yang dilakukan bila tidak melakukan usaha penangkapan di laut karena faktor cuaca yang tidak memungkinkan untuk melaut menangkap ikan.
Hal tersebut dikarenakan nelayan Sulawesi Utara memiliki sedikit ketrampilan dalam profesi di bidang bangunan di sekitar wilayah mereka sehingga
mereka akan menjadi buruh bangunan apabila kondisi perairan tidak mendukung untuk melakukan penangkapan ikan. Nelayan tipe mobilitas profesi lebih sedikit
menjadi pedagang dikarenakan butuh modal yang besar. Pada umumnya nelayan Sulawesi Utara tidak termasuk dalam kelompok
nelayan. Sehubungan dengan pengetahuan mereka tentang illegal fishing dan UU Perikanan, sebagian besar dari mereka menjawab sudah tahu dan mengerti.
Adapun yang dimaksud illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan: 1 yang
dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2 yang bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional; 3 yang dilakukan
oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan
ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Nelayan tipe ini memutuskan
untuk bermobilisasi ke profesi lain karena sering terlibat masalah-masalah illegal fishing namun tidak mampu mengatasi permasalah yang muncul akibat illegal
fishing. Alat tangkap yang digunakan sebagian besar nelayan tipe ini adalah pukat
cincin, pukat cincin berukuran mini purse seine, pancing ulur dan soma paka- paka, dengan jumlah ABK 10-20 orang. Ikan hasil tangkapan dijual ke pedagang
eceran, pedagang besar, petibo dan TPI dengan harga ikan terendah Rp. 10.000kg dan tertinggi Rp. 15.000kg. Nelayan tipe ini berusia antara 20-65 tahun, sebagian
besar dari mereka berpendidikan SD dan SMP dan hanya sebagian kecil saja yang berpendidikan SMA. Pengalaman melaut nelayan tipe ini antara 5-30 tahun.
Rumah yang nelayan tipe ini tinggali, sebagian besar permanen, semi permanen dan sebagiannya lagi papan dan ada juga yang masih tinggal di rumah bambu
dengan ukuran kecil dan menengah. Nelayan tipe ini dan keluarganya makan 3 kali sehari, dimana nasi sebagai
makanan pokok dan ubi atau jagung atau pisang sebagai makanan tambahan atau pengganti. Nelayan tipe ini membeli keperluan sandang hanya 1-2 kali dalam
setahun dan itupun di kala hari raya. Pendapatan nelayan tipe ini sebagai nelayan antara Rp250.000 – Rp750.000bulan, tapi hal itu tidak menentu dan pendapatan
sebagai non-nelayan Rp250.000 – Rp500.000bulan bisa dikatakan pasti.
4 Tidak mobilitas
Nelayan tipe tidak mobilitas adalah tipe nelayan yang pasif dan bersikap masa bodo, ketika datang musim paceklik yang terjadi selama 4 bulan seperti
yang dikatakan oleh Kekenusa 2006 dalam jurnalnya musim tangkap ialah pada bulan Januari sampai April, Juni, Juli dan September, sedangkan bulan Mei,
Agustus dan Oktober sampai Desember bukan musim tangkap, pada musim tersebut mereka lebih memilih tetap di lokasi asal mereka dan mereka hanya
melakukan hal-hal yang berhubungan dengan perawatan perahu, memperbaiki jaring atau mengecat kapal. Mereka beranggapan tidak perlu melakukan mobilitas
karena kebutuhan hidup mereka sehari-hari didapat dengan berhutang yang akan dibayar jika kelak mereka kembali melaut. Mereka merasa cukup dengan pola
seperti itu dan memang pada kenyataannya pendapatan nelayan tipe tidak mobilitas ini hampir sama dengan pendapatan nelayan yang bermobilitas, baik
yang geografi maupun yang profesi. Selanjutnya, dikaitkan dengan masalah illegal fishing dan UU Perikanan,
sebagian besar dari mereka menjawab sudah tahu dan mengerti dan sebagian besar dari mereka menjawab belum pernah terlibat dengan perkara illegal fishing.
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan tipe ini adalah pajeko, pancing, pukat, hand line, jubi. Bagi nelayan yang menggunakan pukat cincin membutuhkan ABK
sebanyak 10-20 orang, sedang untuk nelayan pancing ulur hanya dibantu satu orang saja, terkadang hanya mereka sendiri. Ikan hasil tangkapan dijual ke
pedagang eceran, pedagang besar, petibo dan TPI bahkan ada yang menjualnya dengan cara door to door dengan harga ikan terendah Rp5.000kg dan tertinggi
Rp15.000kg. Nelayan tipe ini berusia antara 20-65 tahun namun bahkan ada yang sudah
70 tahunan dan nelayan tipe inilah yang masih menggunakan perahu molotu. Sebagian besar dari mereka berpendidikan SD dan SMP dan hanya jumlah yang
kecil saja yang berpendidikan SMA. Pengalaman melaut nelayan tipe ini antara 5- 30 tahun. Kemudian, rumah yang mereka tinggali, sebagian besar permanen, semi
permanen dan sebagiannya lagi papan dan ada juga yang masih tinggal di rumah bambu dengan ukuran kecil dan menengah. Selanjutnya, nelayan tipe ini dan
keluarganya makan 3 kali sehari, dimana nasi sebagai makanan pokok dan ubi atau jagung atau pisang sebagai makanan tambahan atau pengganti.
Nelayan tipe ini membeli keperluan sandang hanya 1-2 kali dalam setahun dan itupun di kala hari raya karena pendapatan mereka sebagai nelayan antara
Rp250.000–Rp 750.000bulan dan hal itu juga tidak menentu.
Meskipun dua pilar paradigma lama tentang perikanan dikutip oleh Bene 2003 miskin karena menjadi nelayan dan menjadi nelayan karena miskin,
namun kenyataannya bahwa eksploitasi berlebihan tidak menyebabkan pemiskinan, dengan ikan yang dibawa pulang untuk keluarga untuk dikonsumsi,
sedangkan jika ikan yang tertangkap memiliki nilai komersial tinggi, seluruh tangkapan akan diperdagangkan untuk membeli item lainnya seperti daging
sapi demi meningkatkan pendapatan final Carvalho AR 2008.
5.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Mobilitas Nelayan