2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mobilitas dan Alih Status
Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata
sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok
warga dalam kelompok sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain. Alih
berarti pindah, tukar; sedangkan status berarti keadaan atau kedudukan seseorang Pusat Bahasa Indonesia 2001.
Tumin 1978 yang diacu dalam Satria 2000 telah menyumbangkan kerangka bahwa ada beberapa hal yang perlu dibatasi berkaitan dengan studi
mobilitas, seperti: 1 aspek-aspek apa saja yang akan diukur, apakah ekonomi, pendidikan, atau prestise profesi, 2 bagaimana unit analisisnya, apakah individu,
keluarga atau strata, 3 siapa yang akan dibandingkan: ayah dengan anak, kelompok anak dengan kelompok anak lainnya, kelompok orang pada suatu
waktu dibandingkan dengan yang lain, 4 dari mana starting point pengukurannya dan sampai mana terminating point, 5 klasifikasi apa dalam profesi atau faktor
lainnya yang akan diukur; sensus klasifikasi profesi; blue collar vs white collar, tingkat pendidikan dan 6 apakah analisis mencakup dimensi objektif dan
subjektif dalam mobilitas. Selanjutnya Turner 1960 yang diacu dalam Satria 2000 menulis bahwa
dilihat dari tipenya mobilitas terdiri atas 2 tipe, masing-masing adalah: 1 contest mobility yakni mobilitas yang terjadi karena kemampuannya dalam persaingan
dan 2 sponsored mobility yakni mobilitas yang terjadi berdasarkan dukungan. Apabila pola contest mobility yang dominan maka hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat tersebut terbuka. Sebaliknya bila sponsored mobility yang dominan maka hal ini menunjukkan bahwa keahlian atau kemampuan seseorang tidak
selamanya mampu membawanya ke status yang lebih tinggi. Penguasaan kapital semakin besar, maka semakin besar kesempatan
mobilitas ke kelas atas. Kelas sosialnya semakin ke atas, maka semakin besar pula
kesempatan untuk mempengaruhi proses politik, kebijakan publik dan seterusnya Satria 2002.
Herwantiyoko dan Katuuk 1991 mendefinisikan mobilitas sosial sebagai perpindahan posisi dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain atau dari satu
dimensi ke dimensi yang lain. Mobilitas sosial menurut arahnya terdiri atas mobilitas horizontal dan vertikal. Mobilitas vertikal adalah perpindahan posisi
dari yang rendah ke lapisan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Mobilitas sosial vertikal dapat terjadi secara intra-generasi ataupun inter-generas, sedangkan
mobilitas horizontal merupakan perpindahan posisi antar bidang-bidang suatu dimensi atau antar dimensi dalam lapisan yang sama.
Pada konsep mengenai pelapisan sosial dalam sistem pelapisan sosial di masyarakat, Lawang 1989 melihat adanya peluang-peluang dari individu untuk
meningkatkan posisinya pada lapisan yang lebih tinggi di masyarakat. Usaha untuk meraih posisi yang lebih tinggi ini dapat terjadi dalam satu generasi intra-
generasi ataupun pada keturunannyagenerasi berikutnya inter-generasi. Suryana 1989 menyatakan mobilitas profesi sebagai perpindahan mata
pencaharian tanpa memperhatikan adanya perpindahan geografi, yaitu perpindahan penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu
tertentu. Batas wilayah yang digunakan adalah batas administrasi seperti provinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan.
Perpindahan mata pencaharian ini senantiasa disebabkan oleh faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor penarik adalah sutu keadaan dimana para
pekerja melihat kemungkinan kesempatan kerja di luar profesinya, yang diharapkan dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi atau lebih kontinu,
sedangkan faktor pendorong diartikan sebagai keadaan yang mengharuskan para pekerja mencari alternatif lain karena jenis profesi yang ada sudah semakin sulit
atau tidak ada. Proses-proses sosial, yang disertai dengan perbedaan-perbedaan alamiah
antara satu orang dengan orang lain, segera menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam pemilikan atau kontrol terhadap sumber-sumber alam serta alat-alat
produksi. Pemilikan atas kontrol atas alat produksi merupakan dasar utama bagi
kelas-kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat bangsa primitif sampai kapitalisme modern Johnson 1988.
Ossowski 1972 diacu dalam Amaluddin 1987, menyatakan bahwa gradasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gradasi sederhana dan gradasi
sintetik. Pembagian kelas menurut model gradasi sederhana didasarkan atas satu kriteria objektif tertentu, misalnya berdasarkan kriteria tingkat pendapatan maka
suatu masyarakat dapat dibagi menjadi: 1
Rumah tangga berpendapatan per kapita kurang dari Rp 10.000,00 per bulan.
2 Rumah tangga berpendapatan per kapita antara Rp 10.000,00 sampai
Rp25.000,00 per bulan. 3
Rumah tangga berpendapatan per kapita lebih dari Rp 25.000,00 per bulan.
Pembagian kelas pada model gradasi sintetik didasarkan atas kombinasi antara dua atau lebih kriteria objektif tertentu, misalnya berdasarkan kombinasi
kriteria tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, nilai sewa rumah tinggal dan peringkat profesi, masyarakat dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan atas,
lapisan menengah dan lapisan bawah. Menurut Ibrahim 2000, mobilitas sosial adalah perubahan status yang terjadi pada diri seseorang. Mobilitas sosial terdiri
dari dua bagian yaitu mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas sosial vertical merupakan perubahan status dari tingkatan yang lebih rendah ke tingkatan
yang lebih tinggi atau sebaliknya dari yang tinggi ke yang lebih rendah. Seorang putra petani yang mempunyai tekad belajar yang tinggi sehingga
mampu menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi dan akhirnya menduduki posisi vertikal intra-generasi. Orang-orang tua yang mendorong dan
mengusahakan anaknya agar memperoleh pendidikan dan profesi yang lebih baik merupakan upaya mobilitas sosial vertikal inter-generasi.
Hasil penelitian Kusnadi 2002 menyatakan bahwa dalam peta masyarakat Jawa Timur, nelayan-nelayan Madura tidak hanya ditemukan di
pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Banyuwangi. Kehadiran nelayan-nelayan Madura mengadakan mobilitas kemaritiman karena etos kerja dan tradisi maritim.
Sebaliknya pada saat musim ikan di Desa Pesisir, tidak hanya penduduk setempat
yang mengais rezeki dari sumber daya perikanan laut tetapi penduduk dari desa- desa sekitarnya atau nelayan dari daerah lain yang disebut sebagai nelayan andun
juga mencari penghasilan di perairan ini. Nelayan andun ini dengan kondisi peralatan tangkap yang sangat sederhana bertujuan untuk memperoleh
penghasilan yang lebih baik disaat musim ikan di daerah tujuan andun. Menurut Kusnadi 2002, penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan,
pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap perahu, jaring dan perlengkapan
yang lain, struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat
produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat
terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil.
Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru
sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan
nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.
Pengetahuan lokal atau pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup masyarakat tradisional. Pengetahuan
tersebut didapatkan melalui proses “uji coba”, dengan meneruskan praktek- praktek yang dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan
praktek-praktek yang dianggap merusak lingkungan dan sumber daya alam. Oleh karena itu hubungan mereka yang dekat dengan lingkungan, maka masyarakat
lokal melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal. Masyarakat ini tidak selalu hidup secara harmoni
dengan alam, karena mereka juga menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada saat yang sama, karena kehidupan mereka bergantung pada
dipertahankannya integritas ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan rumah, kesalahan besar biasanya tidak akan terulang. Pemahaman mereka tentang
sistem alam yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta biasanya tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah Mitchell et al. 2003.
Pengetahuan ekologis tradisional dan pengetahuan teknik tradisional membuat masyarakat memilih cara yang digunakan untuk memanfaatkan sumber
daya alam Sambo dan Woytek 2001. Teknik eksploitasi secara tradisional yang digunakan masyarakat merupakan sistem eksploitasi berkelanjutan, mengurangi
kerusakan ekosistem dan penurunan keanekaragaman hayati Pinedo-Vaquez et al. 2001. Jadi, pengetahuan dan teknik tradisional masyarakat nelayan
mengeksploitasi sumberdaya alam secara berkelanjutan. 2.2
Sumber daya Perikanan
Effendi et al. 2006 mengatakan bahwa sumber daya perikanan mencakup sumber daya air Sumber daya Alam, sumber daya ikan dan sumber daya
manusia sebagai pelaku usaha perikanan terdiri dari nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah hasil perikanan, serta sumber daya buatan yang mencakup fasilitas
perikanan dan teknologi. Sumber daya perikanan merupakan sumber daya alam yang didukung oleh
sumber daya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh potensi di lautan maupun di perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk
kegiatan usaha perikanan Setyohadi 1997. Pengelolaan sumber daya perikanan laut dihadapkan pada tantangan-tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang
menyangkut perkembangan penduduk, perkembangan sumber daya dan lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup internasional Salim
1984. FAO 1997 melaporkan bahwa potensi sumber daya perikanan laut
Indonesia adalah sebesar 5.649.600 ton dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil small pelagic yaitu sebesar 4.041.800 ton 18,30 dan perikanan
skipjack sebesar 295.000 ton 5,22. Tetapi di tengah sedikit rasa pesimisme tentang peranan perikanan tangkap ikan di laut sebagai pemasok utama ikan
Indonesia, rasa tersebut ditepis dengan disadarinya bahwa Indonesia memiliki potensi pengembangan budidaya ikan yang cukup luas.
Pembangunan perikanan tidak terlepas dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Kalau begitu, maka sektor-sektor pendukung harus memberi
dukungan. Untuk itu, maka kabinet harus memutuskan bahwa perikanan merupakan sektor dan komoditas unggulan. Membangun perikanan tidak akan
membuat negara makin miskin. Sebaliknya, membangun perikanan berarti memanfaatkan sumber daya yang tidak dilirik selama ini, membangun raksasa
ekonomi yang sedang tidur, mengabdi kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta yang telah menganugrahi bangsa ini dengan laut dan perairan yang lebih luas dari
daratan. Maka adalah dosa kepada Tuhan dan sesama manusia apabila sumber daya yang diberikan-Nya ini tidak dimanfaatkan dengan baik, apalagi
ditelantarkan dan bahkan dirusak Nikijuluw 2005. Sasaran pengelolaan perikanan secara lebih operasional dirumuskan oleh
Gulland 1974 menjadi tiga sasaran yaitu untuk mencapai hasil: hasil tangkapan maksimum berimbang yang lestari atau ” Maximum Sustainable Yield ” MSY;
hasil produksi yang secara ekonomi memberikan keuntungan yang maksimum atau ”Maximum Economic Yield” MEY; kondisi sosial optimal atau mengurangi
pertentangan yang terjadi dalam sektor perikanan. Memang masih sering dikatakan bahwa laut Indonesia memiliki peluang yang melimpah. Kata melimpah
berarti berlebihan dan tidak bisa ditampung. Lebih tepat dikatakan bahwa laut Indonesia masih memiliki peluang untuk memberikan tambahan hasil perikanan.
Peluang itu memang ada, namun tidak begitu banyak lagi. Data yang ada memberikan pertanda bahwa ekspansi penangkapan ikan masih bisa ditingkatkan.
Pembenaran lainnya yaitu adanya fakta bahwa perairan Indonesia masih merupakan lahan subur bagi kegiatan penangkapan ikan ilegal oleh nelayan asing.
Akhirnya timbul pemikiran, dari pada ditangkap dan dikuras habis oleh nelayan asing, lebih baik oleh nelayan sendiri. Pandangan ini benar, objektif dan
nasionalis. Konsep pemanfaatan sumber daya ikan secara besar-besaran untuk
menghindari illegal fishing barangkali akan dikritik oleh pemerhati lingkungan, LSM dan mereka yang ingin mengorbankan generasi sekarang demi anak cucu.
Padahal tanpa generasi sekarang, tidak akan ada generasi anak cucu. Jadi apa yang harus diperbuat? Bila memang data masih valid untuk pengembangan kegiatan
penangkapan tersebut harus terus dilakukan oleh nelayan sendiri. Tetapi di saat yang sama adalah keharusan untuk membangun sistem pengawasan perikanan
sehingga praktek ilegal dapat dikurangi atau ditiadakan. Kehendak politis pemerintah untuk meniadakan penangkapan illegal masih perlu lebih banyak lagi
dimanisfestasikan dalam bentuk kegiatan nyata, terkoordinir, terpadu dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara Nikijuluw 2005.
2.3 Pengelolaan Usaha Perikanan Tangkap