bukan perikanan seperti bangunan, alat transportasi; tenaga kerja keluarga yang bekerja di lahan sendiri, lahan orang lain, sektor industri, sektor pelayanan
masyarakat Panayotou 1985. Tingkat pendapatan atau konsumsi merupakan salah satu indikator tingkat
kemiskinan. Pada umumnya tingkat pendapatan diukur berdasarkan pendapatan per kapita atau tingkat konsumsi per kapita. Selanjutnya tingkat pendapatan atau
konsumsi dibandingkan dengan garis kemiskinan. Indikator bukan pendapatan antara lain tingkat kejahatan, diskriminasi dan pengangguran Hentschel dan
Seshagiri 2000. Menurut Kepetsky dan Barg 1997, pada perikanan tangkap skala kecil
biasanya hasil tangkap sekitar 1 – 2 tonorangtahun. Jika kurang dari itu maka merupakan indikasi terjadinya penangkapan berlebih atau penurunan kualitas
lingkungan yang menyebabkan penurunan potensi perikanan.
2.10 Karakteristik Kemiskinan Nelayan
Tingkat sosial ekonomi yang rendah merupakan ciri umum kehidupan nelayan dimanapun berada. Nelayan kecil atau nelayan tradisional dapat
digolongkan sebagai lapisan sosial yang miskin. Perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh
suatu karakteristik yang kompleks. Gambaran umum yang pertama kali bisa dilihat dari kondisi kemiskinan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang
bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasikan dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah
yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantaikan tanah berpasir, beratap daun rumbia dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah
tempat tinggal para nelayan tradisional. Selain gambaran fisik di atas, untuk mengidentifikasikan kehidupan
nelayan tradisional yang miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan dari anak- anak nelayan, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat pendapatan. Nelayan yang
umumnya rendah pendidikan dan pengetahuan ini hanya memikirkan tentang kebutuhan hari ini dan cara memenuhinya, biasanya mereka tidak memikirkan
tentang hari esok, padahal hari esok memiliki memiliki masalah dan kesusahan
tersendiri. Oleh karena hanya memikirkan hari ini, bagi mereka kerusakan sumber daya bukan menjadi tanggung jawabnya Nikijuluw 2008.
Dikarenakan tingkat pendapatan nelayan tradisional yang begitu rendah maka sangat masuk akal apabila tingkat pendidikan anak-anaknya juga rendah dan
ini dikarenakan oleh faktor biaya. Banyak anak yang harus berhenti sebelum lulus Sekolah Dasar atau kalaupun lulus ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke
Sekolah Menengah Pertama. Selain itu, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar atau kebutuhan primer bagi rumah tangga nelayan
tradisional karena merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan tersebut dapat bertahan walaupun keadaan keuangan sangat terbatas. Kebutuhan yang lain
yaitu kelayakan perumahan, sandang yang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder Kusnadi 2002.
Secara sosial, kemiskinan terjadi karena manusia terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan vicious circle of poverty. Secara ekonomi,
kemiskinan terjadi karena keserakahan greedy. Ingin cepat kaya, manusia berfikir instan, eksploitasi sumber daya alam pesisir secara besar-besaran.
Terjadilah kelebihan investasi, kelebihan kapital, ketidak-efisienan, penurunan produktivitas, kerusakan lingkungan, penurunan penipisan sumber daya alam
dan pada akhirnya kemiskinan. Hubungan kausalitas antara kemiskinan dan kerusakan lingkungan pun tercipta. Miskin membuat lingkungan rusak dan
sebaliknya lingkungan rusak mengakibatkan kemiskinan Nikijuluw 2005. Kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat
nelayan disebabkan oleh tiga hal utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural. Berbagai faktor yang menjadi penyebab
kemiskinan sangat kompleks dan seringkali berhubungan satu sama lain. Faktor- faktor tersebut adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia SDM,
penguasaan teknologi dan keahlian lain, pemilikan modal, produktivitas, nilai tukar hasil produksi dan pada gilirannya menyebabkan rendahnya pendapatan dan
faktor-faktor yang berkaitan dengan lemahnya peranan lembaga-lembaga masyarakat, akses pada fasilitas dan hasil pembangunan disertai dengan
kesenjangan antara yang kaya dan miskin Nikijuluw 2001.
Dalam kehidupan nelayan banyak faktor yang menyebabkan mereka miskin. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan kedalam faktor alamiah dan
non-alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Faktor non-
alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja
yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan
yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini. Selain itu juga salah satu penyebab miskinnya nelayan yaitu masih banyak yang mempergunakan alat
tangkap atau jaring yang sederhana. Karena masih mempergunakan alat tangkap tersebut sehingga jarak daerah penangkapan dari nelayan tradisional hanya
beberapa kilometer saja dari pantai dan hal ini menyebabkan rata-rata hasil tangkapan nelayan per kapita relatif sedikit dan pada saat dijual tidak banyak
memperoleh uang yang cukup untuk menunjang kehidupan yang layak. Pada saat ini, armada perikanan tangkap didominasi armada tradisional,
mencakup: perahu tanpa motor 50,1, motor tempel 26, 2 dan kapal motor kurang dari lima gross ton GT sebanyak 16, 4, jadi totalnya 92,7. Jumlah
armada tersebut tidak otomatis menggambarkan jumlah nelayan, karena setiap kategori armada terdiri dari jumlah nelayan yang berbeda. Diperkirakan jumlah
nelayan di bawah lima GT sebanyak 1,3 juta orang atau 66,8. Sulit untuk mengatakan bahwa nelayan di bawah lima GT pasti miskin atau di atas lima GT
pasti tidak miskin. Nelayan perahu tempel menangkap ikan kerapu tentu hasilnya relatif lebih baik dari seorang ABK biasa yang ikut di kapal 50–100 GT selama 40
hari. Jadi alat tangkap belum bisa menjadi indikator kemiskinan Satria 2009. Di samping sebab-sebab di atas, yang juga memberi kontribusi terhadap akselerasi
kemiskinan di kalangan nelayan adalah dampak negatif dari kebijakan motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap yang populer disebut dengan istilah
“Revolusi Biru” Blue Revolution. Kebijakan ini telah mendorong timbulnya tingkat pendapatan nelayan tradisional menurun. Kesenjangan sosial ekonomi di
kalangan masyarakat nelayan semakin melebar dan kemiskinan menjadi tidak terhindarkan. Bagi nelayan modern, munculnya modernisasi perikanan telah
menjadikan berkah tersendiri sedang bagi nelayan tradisional tampaknya harus membayar mahal harga sebuah kemajuan teknologi. Dalam arti mereka tidak bisa
menikmati kemudahan dan sumbangan kemajuan. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan nelayan tradisional yang relatif
rendah sehingga tidak mampu menerima modernisasi dalam usaha meningkatkan teknologi untuk mengefisienkan kegiatan ekonomi mereka. Dengan demikian
sebenarnya keadaan sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional boleh dikatakan belum menginginkan adanya keterlibatan mereka dalam kancah
pembangunan, terutama pembangunan dengan menggunakan padat modal dan yang mempergunakan teknologi maju. Nelayan tradisional tampak merupakan
korban dari keterbelakangan dan kemiskinan. Keadaan tersebut sudah barang tentu menjadi suatu mata rantai yang tidak ada putusnya. Oleh karena itu hasilnya
pun sementara ini akan terus berputar di sekitar itu. Hampir sebagian besar nelayan kita masih hidup di bawah garis
kemiskinan dengan pendapatan kurang dari USUS 10kapitabulan. Jika dilihat dalam kontes millenium develpment goal, pendapatan sebesar itu sudah termasuk
dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari USUS 1 per hari Satria 2002. Berkaitan dengan masalah kemiskinan, maka pada umunya masyarakat
yang tinggal di wilayah pesisir sering identik dengan kemiskinan. Sejak tahun 1980 sejumlah penelitian tentang kehidupan sosial ekonomi rumah tangga nelayan
telah dilakukan di desa pesisir Sulawesi Utara. Hasilnya menunjukkan bahwa rumah tangga nelayan yang profesinya semata-mata tergantung pada usaha
menangkap ikan atau nelayan penuh memperoleh pendapatan hanya untuk membeli konsumsi minimum. Sedikit jika ada uang yang tersisa, itu untuk biaya
sekolah anak dan membeli pakaian dan memperbaiki tempat tinggalnya. Meskipun hanya berdasarkan indikator sederhana ini, tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa mereka masih dikungkung oleh masalah kemiskinan. Kemiskinan ini juga pada umumnya dialami oleh sebagian besar masyarakat
pesisir di Indonesia. Temuan studi pada berbagai komunitas nelayan di luar negri menunjukkan bahwa organisasi sosial ekonomi maupun lembaga tekait lainnya
yang ada di desa pesisir memegang peranan penting dalam perbaikan taraf hidup masyarakat pesisir. Dengan kata lain bahwa organisasi sosial ekonomi bisa jadi
Produktivitas Rendah
Pendapatan Riil
Rendah Tabungan
Rendah Investasi
Rendah
Kekurangan Modal penunjang dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir. Tanpa
organisasi sosial ekonomi nelayan akan bekerja dan hidup sendirian tanpa ada yang memperjuangkan dan melindungi kepentingan mereka Mantjoro 1988.
Ada satu pandangan yang menyatakan bahwa suatu masyarakat sangat sulit untuk keluar dari kemiskinan apabila tanpa ada uluran tangan dari pihak lain.
Ini terjadi karena mereka sudah terjebak dalam suatu lingkaran, yang hanya bisa diterobos melalui bantuan pihak lain. Hal ini terjadi juga pada masyarakat
nelayan. Walaupun sebagian dari mereka tidak bisa dikatakan miskin, namun untuk bisa meningkat lebih baik lagi tidak mungkin dilakukan tanpa ada peraturan
pemerintah yang mendukungnya, ataupun campur tangan langsung dari pihak luar Wahyono 2001.
Upaya mensejahterahkan nelayan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Pemerintah masih menganggap bahwa wilayah pesisir nusantara adalah halaman
belakang. Dengan pengertian belum adanya political will pemerintah untuk permasalahan minimnya infrastruktur, berbelitnya prosedur atau peraturan yang
ada dan lain sebagainya. Pola ini diperkuat dengan skema “Lingkaran Setan Kemiskinan” yang dikenalkan oleh Ragnar Nurkse, 1953 yang diacu Satria 2002
yang dapat dilihat pada Gambar 1:
Gambar 1 Lingkaran setan kemiskinan Ragnar Nurkse 1953 yang diacu dalam Satria 2002
Berdasar bentuk lingkaran seperti pada Gambar 1 sukar ditentukan awal putaran dimulai. Jika berpegang pada teori ekonomi maka awal putaran dimulai
dari investasi. Dimulai dari investasi karena seseorang tidak perlu menabung lebih dahulu untuk mendapatkan modal uang. Modal tersebut bisa diperoleh dari
pinjaman pada lembaga keuangan seperti bank atau koperasi Mantjoro 1993. Berdasarkan Gambar 1, dengan investasi modal yang rendah maka
otomatis mengakibatkan kekurangan modal sehingga mengakibatkan produktivitas yang rendah dari nelayan. Dampak dari produktivitas yang rendah
ini yaitu pendapatan rendah sehingga kemampuan untuk menabung juga rendah. Kemiskinan masyarakat nelayan adalah suatu simfoni yang terus bersenandung
hampir seluruh kawasan Indonesia. Meskipun pembangunan negara ini sudah berlangsung selama 60 tahun, simfoni kemiskinan nelayan itu tetap bersaudara,
bahkan cenderung semakin keras dan bergema. Nelayan memang sering dicap sebagai the poorest of the poor, alias kelompok termiskin di antara yang miskin.
Mereka miskin ide, gagasan, serta tindakan dan aksi pendidikan, pengetahuan dan kemampuan usaha. Mereka tinggal ditengah lingkungan yang miskin sarana,
prasarana,serta pranata sosial ekonomi yang seharusnya adalah prasyarat atau modal dasar bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk
sosial ekonomi. Mereka hidup di antara sesama masyarakat yang juga miskin perhatian dan empati. Mereka dipimpin, dibina dan dinaungi oleh suatu sistem
kepemerintahan yang juga miskin gagasan dan kebijakan yang berpihak bagi mereka. Jadilah masyarakat nelayan secara terstruktur hidup dalam kemiskinan.
Kelemahan-kelemahan dari aspek lingkungan dan sumber daya alam, kelembagaan dan organisasi, pemerintahan, serta ekonomi dan pasar secara
bersama menciptakan strukur yang membuat nelayan tinggal dan terbenam dalam kemiskinan, kalau tidak harus mengatakan bahwa struktur itu justru memiskinkan
nelayan. Maka nelayan yang sudah miskin menjadi bertambah miskin, terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan poverty vicious circle yang tidak jelas ujung
pangkalnya, yang saling terkait sebab-musababnya Nikijuluw 2005. Perspektif sosial ekonomi pembangunan kelautan nasional masa lalu
menciptakan kesenjangan tingkat kemakmuran antara pelaku pembangunan perikanan tradisional dan pelaku skala besar. Sebagian besar nelayan sekitar
70 masih hidup di bawah garis kemiskinan, hanya sekitar 15 pelaku perikanan laut tergolong maju dan makmur Dahuri 2001.
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Bagi mereka yang tergolong miskin, kemiskinan adalah sesuatu yang
nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari karena mereka merasakan dan menjalani sendiri bagaimana hidup dalam kemiskinan. Orang-orang yang
termasuk ke dalam golongan miskin antara lain disebabkan oleh pendapatan, pendidikan serta ketrampilan yang rendah dan juga kepemilikan modal yang
rendah pula. Kemiskinan antara lain ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan seakan-akan tidak dapat diubah lagi, yang semuanya tercermin
di dalam lemahnya kemampuan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya
pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Apabila kondisi seperti yang telah diuraikan di atas tadi dilihat dari pola
hubungan sebab-akibat, maka orang miskin adalah mereka yang serba kurang mampu dan terbelit di dalam lingkungan ketidakberdayaan. Rendahnya
pendapatan mengakibatkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mempengaruhi produktivitas. Orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki
apapun melainkan orang yang mempunyai sesuatu walaupun hanya sedikit. Kondisi sosial ekonomi nelayan yang hidup di daerah perkotaan dan di daerah
pedesaan bervariasi. Nelayan di daerah perkotaan sudah memiliki sarana penangkapan ikan yang modern sedangkan nelayan di daerah pedesaan sarana
penangkapan ikannya masih tradisional. Dapat dilihat bahwa keberadaan kondisi kehidupan rumah tangga nelayan
yang berada di desa nelayan sangatlah memprihatinkan, dimana rumah tangga nelayan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti kebutuhan
konsumsi untuk hidup secara layak, baik fisik maupun mental spiritual. Pada umumnya nelayan yang hidup di pedesaan memiliki taraf hidup yang masih
rendah dan dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah sehingga mereka miskin dalam hal pengetahuan dan teknologi, alat penangkapan ikan yang masih
tradisional, transportasi tidak lancar, kelembagaan ekonomi tidak ada dan kondisi alam yang tidak menunjang sehingga rumah tangga nelayan tetap berada pada
garis kemiskinan. Dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, masyarakat nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional sederhana harus menuju ke tengah-
tengah lautan yang tidak terlepas dari benturan badai lautan sehingga belum tentu hasil yang dicapai bisa untuk menghidupi keluarganya, mengingat alat yang
digunakan relatif sederhana walaupun kekayaan laut yang seharusnya dicapai masih melimpah Anonim 1995.
Menurut Nikijuluw 2005, pembangunan yang berhasil diindikasikan dengan peningkatan produksi perikanan tangkap tetapi akhirnya kegiatan
penangkapan harus dikendalikan karena over-capacity, over-investment dan over- fishing. Sumber daya ikan yang ada di perairan tertorial harus dikendalikan
eksploitasinya karena peningkatan eksploitasi tidak akan secara signifikan meningkatkan produksi rata-rata, bahkan sebaliknya bisa menurunkan produksi.
Tragedi milik bersama mulai menampakkan dirinya pada eksploitasi sumber daya ikan di perairan teritorial. Produksi rata-rata per nelayan sulit ditingkatkan dan
akhirnya nelayan terperangkap oleh kemiskinan. Lalu bagaimana caranya Indonesia bisa mendapatkan tambahan produksi ikan? Bagaimana caranya agar
nelayan bisa bekerja? Bagaimana masyarakat yang nenek moyangnya pelaut bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai pelaut.
Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin.
Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari USUS 2 atau sekitar Rp 19.000,– per hari. BPS, dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank Dunia,
mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang 15,42. Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan
ditetapkan sebesar USUS 1,55. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdebatkan masalah
banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Banyak studi empiris yang menyoroti hal kemiskinan. Bailey et al. 1987 yang diacu dalam Nikijuluw 2005 melakukan telaah komperhensif tentang
perikanan Indonesia, tiba pada kesimpulan bahwa memang nelayan Indonesia secara umum tergolong miskin. Hasil studi Mubayarto dan Dove 1984 di Jepara,
Jawa Tengah, mengelompokan nelayan ke dalam kelompok kaya dan kaya sekali disatu pihak serta kelompok ekonomi sedang, miskin dan miskin sekali dipihak
lain. Kelompok miskin umumnya berusia 40 tahun, mereka menilai diri mereka telah hilang kesempatan untuk memperbaiki status ekonomi keluarganya. Mereka
sering mendramatisir kehidupan mereka dengan sukarnya penghidupan dan profesi mereka serta kecilnya pendapatan yang mereka peroleh. Mereka mengeluh
bahwa pendapatan mereka hanya cukup atau bahkan kurang untuk menutupi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Kusnadi 2002 dalam melakukan beberapa studi di Jawa Timur, khususnya di Madura, juga muncul dengan kesimpulan tentang kemiskinan
nelayan, khususnya nelayan buruh. Kemiskinan tersebut bisa dilihat dengan cepat dari kondisi pemukiman nelayan.
Menurut Mulyadi 2005, kemiskinan nelayan terdiri atas kemiskinan prasarana dan kemiskinan keluarga. Kemiskinan prasarana dapat diindikasikan
dengan ketidaktersediaan prasarana pedesaan untuk menghasilkan air bersih, pasar dan bahan bakar. Kemiskinan prasarana ini secara tidak langsung memiliki
andil munculnya kemiskinan keluarga. Misalnya tidak tersedia air bersih memaksa keluarga nelayan mengeluarkan uang lebih untuk membeli air bersih.
BPS 2009 Sulawesi Utara mengatakan, penurunan tingkat kemiskinan lebih signifikan terjadi di daerah rural pedesaan yakni mencapai 0,91
sebanyak 9,97 ribu orang, dibandingkan daerah perkotaan turun 0,39 2,88 ribu orang. Penurunan angka kemiskinan pada tahun 2010 ini merupakan lanjutan dari
trend yang terjadi sejak tahun 2007, yang merupakan titik balik setelah terjadi peningkatan pada beberapa periode sebelumnya. Kendati terjadi penurunan
penduduk miskin di desa, tetapi jumlah penduduk desa masih mendominasi penduduk miskin yakni mencapai 130.350 orang sedangkan di perkotaan 76.370
orang. Tingkat kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah
perkotaan. Pada kehidupan nelayan tradisional, masalah kemiskinan seakan sudah menjadi warisan yang turun-temurun bagi kehidupan mereka. Rendahnya tingkat
pendidikan nelayan beserta keluarganya menyebabkan mereka sukar untuk menerima teknologi baru di bidang penangkapan sehingga otomatis mereka selalu
menggunakan alat tangkap yang masih tradisional. Selain itu juga produktivitas yang rendah dan modal yang kurang menyebabkan mereka selalu berada pada
keadaan yang ada dari nenek moyang mereka. Kondisi ini menyebabkan mereka terus menerus terperangkap ke dalam jeratan lingkaran setan kemiskinan.
Kemiskinan yang telah melanda nelayan telah mempersulit mereka dalam
membentuk kehidupan generasi berikutnya yang lebih baik dari keadaan mereka
saat ini. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah bahkan ada yang tidak pernah mendapatkan pendidikan
formal dikarenakan ketidakmampuan ekonomi orang tua mereka. Dengan kondisi generasi yang demikian, maka anak-anak tersebut akan tetap mewarisi profesi dan
tingkat kesejahteraan hidup seperti yang dialami oleh orang tuanya. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia tetap rendah dan kemiskinan dikalangan nelayan
akan diwariskan serta diabadikan dari generasi ke generasi. Menurut Bank Dunia, seseorang dikatakan miskin apabila pengeluarannya
di bawah US 2 per hari. Dikatakan miskin absolut bila pengeluaran di bawah US 1 per hari. Dengan demikian mereka digolongkan miskin apabila mereka
membelanjakan US 60 per bulan. Miskin absolut jika membelanjakan US 30 per bulan. Berdasarkan indikator ini dan dengan pendapatan nelayan per kapita
hanya sekitar US15 per bulan, dengan tertinggi US 41 dan terendah US 4.5 per bulan, maka dapat disimpulkan bahwa umumnya nelayan Indonesia adalah
miskin absolut. Apa yang menyebabkan nelayan miskin? Bukankah mereka menangkap ikan yang hidup liar? Bukankah setiap saat mereka dapat turun ke
laut? Bukankah ikan masih menjadi menu utama keluarga Indonesia? Bukankah ikan masih merupakan komiditi ekspor yang dapat mendongkrak harga di tingkat
nelayan? Semuanya ini memang benar tetapi bukan merupakan alasan utama kemiskinan atau kesejahteraan nelayan. Lalu apa alasan utama itu? Jawabannya
Malthusian Overfishing. Iclaram 1992 yang diacu Nikijuluw 2005 memperkenalkan gradasi overfishing kedalam 6 tahap yaitu: growth overfishing,
recuiretment overfishing, biological overfishing, economic overfishing, ecosistem overfishing dan malthusian overfishing. Overfishing sendiri adalah jumlah upaya
penangkapan yang besar dan berlebihan terhadap stok ikan. Dunia yang percaya dan yang tidak percaya akan prediksi Malthus
memang melihat perkembangan populasi yang begitu cepat, sementara disisi lain ilmu dan teknologi baru mendorong pertumbuhan produksi pangan. Gejela
pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan pertambahan jumlah pangan yang diproduksi ini jugalah terjadi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
perikanan. Sumber daya ikan yang tersedia terbatas jumlahnya, pertumbuhan alami sumber daya ikan tidak terlalu besar, sementara disisi lain jumlah nelayan
bertambah dengan sangat cepat. Pertambahan jumlah nelayan ini terjadi karena tenaga kerja beralih dari sektor non-perikanan ke perikanan.
Bagi sebagian nelayan, bekerja di bidang perikanan adalah pilihan terakhir kegiatan ekonomi yang diharapkan dapat menghidupi diri mereka karena sudah
tidak tersedia lagi kesempatan kerja di sektor lain. Akses menuju sektor perikanan yang terbuka membuat pengalihan tenaga kerja lancar dan tanpa halangan. Namun
yang terjadi selanjutnya adalah terlalu banyak nelayan, sementara stok ikan tetap bahkan semakin sedikit jumlahnya karena lingkungan yang sudah rusak. Karena
begitu banyak nelayan yang sudah ada sebelumnya dan yang baru masuk, berkompetisi secara bebas maka mereka cenderung menggunakan segala cara dan
upaya guna memperoleh ikan. Dari sini munculah penggunaan alat-alat dan metode penangkapan ikan yang destruktif yang merusak sumber daya. Kompetisi
membuat nelayan sering melanggar hukum dan aturan tentang batas wilayah penangkapan ikan.
Bagi kapal ukuran besar yang seharusnya tidak boleh menangkap ikan di perairan dekat pantai cenderung masuk ke perairan yang dilarang. Akhirnya
timbul kompetisi yang tidak berimbang yang akhirnya melahirkan konflik yang diwarnai dengan isu pelanggaran hak penangkapan ikan oleh nelayan pendatang
dari daerah lain atau daerah tetangga. Sehingga hasil tangkapan setiap nelayan semakin berkurang. Sebagai dampak akumulasinya adalah ikan yang dihasilkan
pun adalah ikan yang tidak begitu tinggi harganya. Akhir dari semuanya, sangat kecilnya pendapatan, kemiskinan dan nelayan yang terperangkap dalam
kemiskinan itu. Situasi ini dikenal dengan sebutan Malthuism Overfishing. Seseorang bisa menyalahkan sistem ekonomi yang dianut yang tidak
memperhatikan orang kecil. Yang lain bisa mengatakan bahwa itu terjadi karena pemerintah yang tidak memberikan perhatian kepada orang kecil karena terlalu
disibukan dengan persoalan-persoalan berprespektif makro. Mungkin juga ada yang menyalahkan sistem hukum dan kelembagaan yang selama ini dianut yang
tidak memberikan perlindungan kepada orang kecil. Demikian juga ada yang meletakan kesalahan kepada sistem pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan
yang terlanjur salah yang membuat telah terjadinya gradasi sumber daya alam. Memang banyak alasan yang bisa dibuat. Tapi pada skala global dan
internasional, Rick Warren dengan konsep Purpose-Driven memvonis Five Global Giants sebagai biang kerok terjadinya ketidak beresan di bawah kolong
langit ini. Pada skala nasional, barangkali pandangan Rick Warren ini perlu dicermati. The Five Global Giants tersebut adalah 1 lostness, 2 lack of servant
leader, 3 poverty, 4 sickness, 5 ignorance. Disebut giants raksasa karena kekuatan, kuasa dan pengaruhnya sangat kuat.
Menurut Simbolon 2006, usaha penangkapan yang didominasi oleh nelayan tradisional masih menerapkan cara-cara tradisional yang turun-temurun
dari nenek moyang mereka dalam kegiatan penangkapan ikan. Kebanyakan nelayan khususnya nelayan tradisional, berangkat ke laut kemudian mencari
scooling ikan dan setelah mereka menemukan ikan baru menurunkan alat tangkap. Waktu pencarian ikan akan lebih lama lagi apabila nelayan tidak menemukan
tanda-tanda alamiah yang mengindikasikan keberadaan ikan, seperti burung- burung laut yang menyambar ikan pelagis di permukaan air, gelembung-
gelembung udara dalam bentuk buih perairan dan bongkahan-bongkahan kayu yang terapung dipermukaan air. Sebagai konsekuensi logis dari pada sistem
penangkapan tersebut di atas, maka lama trip akan lebih lama lagi, tenaga, bahan dan biaya operasi lebih tinggi, namun tingkat ketidakpastian hasil tangkapan tetap
tinggi. Nelayan Indonesia dewasa ini masih didominasi oleh kategori nelayan radisional dan mereka melakukan operasi penangkapan di seitar perairan pantai.
Dengan terkonsentrasinya unit penangkapan skala trdisional di perairan pantai, maka akan terjadi konflik sosial di antara nelayan dalam memperebutkan daerah
penangkapan. Dampak negatif lainnya adalah terjadinya kelebihan tangkap di wilayah tertentu, sementara di wilayah perairan lain belum tentu telah
termanfaatkan. Untuk itu perlu dilakukan alokasi unit penangkapan dan sumber daya ikan secara optimum agar tercapai pemanfaatan daerah penangkapan yang
seimbang antar wilayah perairan. Upaya yang strategis dilakukan untuk meningkatkan kemampuan nelayan tradisional adalah sebagai berikut: 1
pemberdayaan nelayan melalui wadah koperasi, 2 motorisasi nelayan tradisional, 3 pola kemitraan inti plasma dan 4 pengaturan zonasi penangkapan ikan untuk
meminimumkan friksi sosial antar nelayan dan menghindari kepunahan sumber daya ikan Simbolon 2006.
Haluan dan Rakhmadevi 2006 menuliskan dalam buku yang berjudul Teknologi Perikanan Tangkap yang bertanggung jawab, bahwa pengelolaan
sedemikian banyak aspek sumber daya laut dan pesisir ditekankan pada suatu hal yang esensial yaitu ”berbasis masyarakat”. Berbasis masyarakat ini juga dapat
dikatakan ”oleh dan untuk masyarakat; tentunya dengan bimbingan dan dukungan awal dari pemerintah”, ini merupakan suatu proses yang ”bottom up”. Pengelolaan
ini dengan sendirinya mempunyai tujuan utama untuk pemberdayaan, pengembangan dan memajukan berbagai aspek kehidupan masyarakat pesisir.
Namun terdapat berbagai keterbatasan yang dapat menghambat kemajuan ekonomi masyarakat wilayah pesisir atau pantai. Oleh karena itu diperlukan suatu
cara yang dapat membantu membuka wawasan, pengetahuan dan menjadi bekal atau dapat diterapakan dalam mengelola dan mengembangkan usaha bidang
perikanan yang mereka lakukan. Menurut Satria 2002, berdasarkan ukurannya, kemiskinan dibagi
menjadi dua jenis yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan poverty
line.Sampai saat ini definisi baku tentang garis kemiskinan poverty line untuk mengklasifikasikan seseorang itu miskin atau tidak sejauh ini memang belum ada.
Tetapi Badan Pusat Statistik BPS selama ini menggunakan kriteria penetapan nilai rupiah kebutuhan minimum makanan sebesar 2100 kalori per kapita per hari,
nilai kemudian ditambah dengan nilai rupiah kebutuhan makanan yang mencakup kebutuhan perumahan, bahan bakar, sandang, pendidikan, kesehatan dan
transportasi. Definisi ini selalu berubah dari waktu ke waktu dan juga berbeda antara wilayah. Tahun 1996 misalnya, BPS menentukan batas garis kemiskinan
senilai Rp. 38.246 untuk daerah perkotaan dan Rp. 27.413 untuk daerah pedesaan di Indonesia. Sesuai dengan perubahan berbagai indikator sosial ekonomi sebagai
akibat krisis moneter saat ini, batas garis kemiskinan pada pertengahan tahun 1998 juga mengalami perubahan, yaitu Rp. 52.470 untuk daerah perkotaan dan
Rp. 41.588 untuk daerah pedesaan. Sementara itu, Bank Dunia menggunakan ukuran pendapatan untuk orang desa yaitu apabila pendapatannya kurang dari 50
dolar pertahun, maka mereka digolongkan miskin. Menurut Rahardjo 2001, dikatakan bahwa berdasarkan standar tahun
1992 Bank Dunia menggolongkan sebuah negara dikatakan miskin bila PDB per kapitanya lebih kecil dari pada US US 450,00 dan negara dapat dikatakan
makmur jika PDB per kapitanya lebih besar dari US US 8,000.00. Meski demikian, hingga saat ini masih sulit ditemukan data kemiskinan absolut terbaru,
padahal data tersebut sangatlah penting sebagai dasar pertimbangan bagi program- program penanggulangan kemiskinan nelayan.
Basri 1999 menyatakan bahwa kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang ditentukan dengan terlebih dulu menetapkan garis tingkat
pendapatan minimum. Orang-orang yang berpendapatan di atas tingkat pendapatan minimum tersebut dikategorikan sebagai bukan orang miskin,
sedangkan orang-orang yang pendapatannya kurang dari itu disebut sebagai orang miskin. Dengan demikian, masalah penentuan jumlah penduduk miskin sangat
erat kaitannya dengan persoalan dimana garis kemiskinan diletakkan. Menurut Satria 2002, kemiskinan relatif merupakan kemiskinan yang
diukur dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan lainnya. Misalnya, suatu kelompok nelayan berpenghasilan Rp.
1.000.000bulan, jelaslah mereka tidak tergolong miskin berdasarkan ukuran garis kemiskinan. Meski demikian, boleh jadi kelompok nelayan tersebut dapat
dikatakan miskin jika dibandingkan dengan pengusaha cold storage. Selain itu juga, kemiskinan relatif diartikan sebagai suatu kemiskinan yang dilihat
berdasarkan perbandingan antara tingkat pendapatan suatu kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan kelompok masyarakat lainnya Basri 1999.
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa tekanan kemiskinan struktural yang melanda kehidupan nelayan tradisional, sesungguhnya disebabkan
oleh faktor -faktor yang kompleks. Faktor–faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal
serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan atau
Revolusi Biru yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan.
Proses demikian masih terus berlangsung hingga sekarang dan dampak lebih lanjut yang sangat terasakan oleh nelayan adalah semakin menurunnya
tingkat pendapatan mereka dan sulitnya memperoleh hasil tangkapan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan nelayan, telah menunjukkan
bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan tidak mudah untuk di atasi.
Contohnya di Provinsi Jawa Timur, menurut catatan,dari sekitar 1,7 juta orang penduduk yang menekuni profesi sebagai nelayan 10,6 dari total nelayan di
Indonesia diperkirakan sekitar 70 masih tergolong miskin. Di berbagai desa dan kota pantai di Provinsi Jawa Timur, modernisasi perikanan selain
menyebabkan terjadinya proses marginalisasi nelayan tradisional dan nelayan kecil, kebijakan ini juga telah mendorong timbulnya situasi overfishing di
sejumlah kawasan perairan. Gejala demikian dan tidak terkontrolnya penggunaan peralatan tangkap
yang bisa merusak kelestarian lingkungan telah menimbulkan kompetisi yang semakin ketat dalam memperebutkan sumber daya perikanan, sehingga ujung-
ujungnya bisa ditebak, yaitu konflik menjadi terbuka, pembakaran kapal trawl terjadi di berbagai perairan, kesenjangan sosial ekonomi makin menjadi-jadi dan
kemiskinan bertambah meluas di kawasan pesisir. Nelayan perkotaan nasibnya lebih parah dibandingkan dengan nelayan yang berada di pedesaan, karena
nelayan perkotaan acapkali selalu dalam posisi yang terpinggirkan dalam program pembangunan kota, dengan alasan bukan merupakan jenis profesi yang mayoritas
dilakukan oleh penduduk kota. Keadaan ini justru memperparah kemiskinan para nelayan kota, sehingga mereka terperangkap dalam kubangan kemiskinan.
Ada juga yang disebut dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu
tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan struktural dapat diartikan
sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang
berlaku adalah sedemikian rupa keadaannya, sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak
mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun-temurun selama bertahun-
tahun. Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar Kusnadi 2002.
Kemiskinan struktural, biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat dimana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka
yang hidup dalam kemewahan dan kaya-raya. Mereka itu, walaupun merupakan mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apa-
apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya, sedangkan minoritas kecil masyarakat yang kaya-raya biasanya berhasil memonopoli dan mengontrol
berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama golongan kecil yang kaya-raya itu masih menguasai berbagai
kehidupan masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku akan bertahan. Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan kemiskinan
struktural. Golongan yang menderita kemiskinan struktural itu, terdiri atas para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau kaum migran di kota yang bekerja
di sektor informal dengan hasil yang tidak menentu, sehingga pendapatannya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya.
Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh, pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh, pedagang asongan dan lain-lain yang tidak
terpelajar dan tidak terlatih, atau apa yang dengan kata asing disebut unskilled labour. Golongan miskin ini meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa
fasilitas dari pemerintah yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi sangat lemah struktural ialah tidak terjadinya kalaupun terjadi sifatnya lamban
sekali apa yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya, sedangkan yang kaya akan tetap
menikmati kekayaannya. Hal tersebut dikarenakan pendekatan struktural, adalah terletak pada kungkungan struktural sosial yang menyebabkan mereka kekurangan
hasrat untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Umpamanya kelemahan ekonomi tidak
memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan. Ciri lain dari kemiskinan struktural adalah
timbulnya ketergantungan yang kuat pihak si miskin terhadap kelas sosial ekonomi di atasnya. Adanya ketergantungan inilah yang selama ini berperan besar
dalam memerosotkan kemampuan si miskin untuk bargaining dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik tanah dan penggarap, antara
majikan dan buruh. Buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil tidak bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang mereka
jual, pendek kata, pihak yang miskin relatif tidak dapat berbuat banyak atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang dialaminya karena mereka tidak
memiliki alternatif pilihan menentukan nasib ke arah yang lebih baik. Inti dari masalah yang berhubungan dengan kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang
disebut dengan deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima unsur: 1 kemiskinan itu sendiri; 2 kelemahan
fisik; 3 keterasingan atau kadar isolasi; 4 kerentanan; dan 5 ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain sehingga
merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.
Berdasarkan teknologi penangkapan ikan yang dipergunakan oleh nelayan, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. yang namanya komunitas
nelayan umumnya bisa digolongkan menjadi empat kelompok. Pertama, peasant- fisher atau nelayan tradisional yang biasanya bersifat subsisten, menggunakan alat
tangkap yang masih tradisional seperti dayung, sampan yang tidak bermotor dan hanya melibatkan anggota keluarga sendiri sebagai tenaga kerja utama Satria
2002. Secara lebih rinci, ciri-ciri usaha nelayan tradisional: 1 teknologi
penangkapan bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas dan perahu
dilajukan dengan layar, dayung, atau mesin ber PK kecil; 2 besaran modal usaha terbatas; 3 jumlah anggota organisasi penangkapan kecil antara 2-3 orang,
dengan pembagian peran bersifat kolektif non-spesifik dan umumnya berbasis kerabat, tetangga dekat dan atau teman dekat; dan 4 orientasi ekonomisnya
terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari Kusnadi 2002. Kedua, dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari
peasant-fisher menjadi post-peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju atau modern. Meski mereka masih
beroperasi di wilayah pesisir, tetapi daya jelajahnya lebih luas dan memilki surplus untuk diperdagangkan di pasar. Ketiga, commercial fisher, yakni nelayan
yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar, yang dicirikan dengan banyaknya jumlah
tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang dipergunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam
pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. Keempat, industrial fisher yang memiliki ciri-ciri: 1 diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan
agro industri di negara maju; 2 lebih padat modal; 3 memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana; dan 4 menghasilkan produk
ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan berskala besar ini umumnya memiliki organisasi kerja yang kompleks dan benar -benar berorientasi
pada keuntungan. Kusnadi 2002, membedakan faktor penyebab kemiskinan nelayan dalam
dua kelompok yaitu akibat faktor eksternal dan internal. Penyebab kemiskinan nelayan yang bersifat internal, mencakup: 1 keterbatasan kualitas sumber daya
manusia nelayan; 2 keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkap-an; 3 hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali
kurang meng-untungkan buruh; 4 kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; 5 ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; dan 6 gaya
hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Penyebab kemiskinan yang bersifat eksternal, mencakup: 1 kebijakan
pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; 2 sistem pemasaran hasil
perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; 3 kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan
dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; 4 penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah
lingkungan; 5 penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; 6 terbatasnya teknologi pengolahan paska panen; 7 terbatasnya peluang kerja di
sektor non-perikanan yang tersedia di desa nelayan; 8 kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan 9 isolasi
geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia. Kemiskinan yang diderita masyarakat nelayan bersumber dari dua hal.
Pertama, faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Kedua, faktor non-
alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan
sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya lembaga koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif
kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini Kusnadi 2002.
Secara lebih mendalam, Adiwibowo 2000 membedakan paling sedikit ada 6 enam macam kemiskinan, yaitu: 1 kemiskinan subsisten penghasilan
rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal, 2 kemiskinan perlindungan lingkungan buruk, sanitasi, sarana pembungan sampah,
polusi, kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan, 3 kemiskinan pemahaman kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi
yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan, 4 kemiskinan partisipasi, 5 kemiskinan
identitas terbatasnya pembauran, terfragmentasi anatara kelompok sosial dan 6 kemiskinan kebebasan stres, rasa tidak perdaya, tidak aman baik tingkat pribadi
maupun komunitas. Menurut Sayogyo 1997, klasifikasi tingkat kesejahteraan kemiskinan
didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu:
4 Miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara
320 kg beras untuk pedesaan dan 480 untuk daerah kota.
5 Miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari
240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota. 6
Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg beras untuk daerah kota.
Kebijakan modernisasi perikanan perlu digaris-bawahi, karena tekanan kemiskinan dan terjadinya polarisasi sosial yang makin mencemaskan di
lingkungan komunitas desa pantai sesungguhnya banyak dipicu oleh kebijakan seperti ini. Studi yang dilakukan Siahaan dan Singgih 1990, pernah menemukan
kebijakan negara tentang modernisasi perikanan blue revolution di kawasan Pesisir Utara Jawa Timur yang dicanangkan pada awal tahun 1970-an, telah
mempengaruhi secara signifikan kondisi sumber daya setempat. Kebijakan yang berorientasi ekspor dan hanya menekankan aspek peningkatan produktivitas ini
telah mendorong perairan Pesisir Utara Jawa Timur berada dalam situasi lebih tangkap overfishing.
Hasil yang relatif sama juga ditemukan Kusnadi ketika mengkaji kehidupan masyarakat nelayan di Jawa Timur. Dalam struktur sosial keluarga
nelayan tradisional ini umumnya tergolong keluarga miskin atau maksimal mereka berada sedkit di atas garis kemiskinan atau near poor. Bisa dibayangkan,
apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika hasil sehari-hari yang mereka peroleh tidak menentu, sementara kebutuhan sehari-hari terus melambung
tak terkendali? Jika selama ini banyak kajian menyatakan bahwa nelayan pada umumnya merupakan kelompok masyarakat yang tergolong paling miskin, maka
yang namanya keluarga nelayan tradisional boleh jadi adalah lapisan yang lebih miskin lagi. Mereka adalah korban pertama yang paling menderita dan mengalami
marginalisasi akibat proses modernisasi perikanan dan tekanan krisis. Mubyarto 1984; Kusnadi 2002
2.11 Analisis Deskriptif