Meninjau kembali pola hubungan patron-klien dan sistem bagi hasil

-Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 dua mil laut sampai dengan 4 empat mil laut. b Jalur penangkapan ikan II. Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 dua belas mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. c Jalur penangkapan ikan III. Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II. 3 Memberdayakan badan yang mengawasi usaha penangkapan di setiap wilayah tangkap. 4 Mengkombinasikan penguasaan pribadiswasta dengan kolektivisme negara. Hal ini akan membuat semua pihak merasa dihargai kehadirannya dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam.

5.7.3 Meninjau kembali pola hubungan patron-klien dan sistem bagi hasil

yang berkeadilan Jalinan sosial antar nelayan Sulawesi Utara membentuk pola hubungan yang dapat dijabarkan secara horizontal dan vertikal. Hubungan sesama kerabat, saudara sedarah dan bentuk-bentuk afinitas merupakan contoh pola horizontal. Pola tersebut menggambarkan bahwa individu-individu akan lebih kuat berinteraksi jika antara satu dengan yang lain tidak mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang terlalu lebar. Interaksi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara membentuk pola hubungan patron-klien yang umum terjadi antara nelayan kaya juragan dan tengkulak dengan nelayan miskin buruh. Pola vertikal terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh dan juragan maupun tengkulak. Nelayan pemilik memperoleh bagian lebih besar dari pada nelayan buruh dalam sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang sangat tidak berpihak pada nelayan selalu terjadi pada pola patron-klien di lokasi penelitian. Sistem bagi hasil dikalangan masyarakat nelayan antara nelayan pemilik patron dan nelayan penangkap klien masih mengikuti pola kelembagaan tradisi masyarakat pantai dengan kebiasaan sebagian besar masih menggunakan hukum adat tidak tertulis konvensi, dimana hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dari masa ke masa. Jadi, sistem bagi hasil tidak bisa dihilangkan secara penuh dari dunia kenelayanan, namun harus memodifikasinya agar menjadi sistem yang lebih baik, yang memihak kepada nelayan buruh, yang tidak merugikan nelayan juragan. Upah nelayan didapat dari sistem bagi hasil antara pemilik kapalmodal dengan ABK adalah 60:40 persen hasil penjualan bersih laba bersih. Bagian 40 untuk ABK tersebut masih dibagi untuk juru mudi 50, juru mesin 30 dan ABK mendapat 20. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pemilik yang tidak ikut melaut akan mengikut sertakan anggota keluarganya sebagai jurumudi sehingga pendapatan yang diperoleh pemilik akan bertambah besar. Kecenderungan ini menyebabkan posisi ABK semakin lemah dengan perbedaan pendapatan yang diperoleh semakin besar. Maka dibutuhkan sistem bagi hasil alternatif yang lebih baik. Sistem bagi hasil tersebut tidak bisa dan tidak mungkin dimodifikasi dari jumlah persentase yang paling memungkinkan hanya dari segi perhitungan keuntungan, tidak dari laba bersih, namun dari laba kotor. Perhitungan seperti itu akan sedikit lebih menguntungkan ABK, namun demikian perlu penelitian yang lebih komperhensif dan sistematis untuk mengetahui komposisi sistem bagi hasil yang lebih optimal. Bagi hasil alternatif harus menunjukkan keseimbangan pembagian hasil tangkapan antar alat tangkap dan kesesuain dengan prinsip-prinsip ekonomi. Perbaikan-perbaikan lainnya yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1 Mengurangi biaya operasi dan biaya bekal dari nilai produksi dan mengembalikannya kepada yang mengeluarkan biaya tersebut secara langsung, tetapi kompensasinya tetap dihitung. 2 Mengurangi biaya tetap yang berupa penyusutan, bunga modal, sedekah laut, pajak dan perizinan dari nilai produksi dengan cara membaginya pada setiap trip. 3 Menghitung kompensasi modal yang dikeluarkan oleh pemilik sebesar 50 dari hasil bersih dan kompensasi tenaga pemilik dalam mengelola modal biaya manajemen dihitung 10 dari hasil bersih sehingga jumlah bagian pemilik menjadi 60 hasil bersih. 4 Bila pemilik ikut melaut maka biaya manajemen 10 dari hasil bersih akan hilang dan dimasukkan menjadi bagian penggarap sehingga bagian penggarap menjadi 50. Kompensasi pemilik yang ikut melaut dihitung sebagai bagian penggarap sesuai dengan posisinya saat melaut. Pendapatan penggarap dengan bagi hasil alternatif yang lebih kecil dari pada dengan bagi hasil lokal dan bagi hasil yang sesuai dengan Undang-Undang Bagi Hasil Perikanan No. 16 Tahun 1964 UUBHP yang berisi bahwa sistem bagi hasil UUBHP, biaya yang menjadi tanggungan bersama adalah biaya bekal dan sedekah laut Pasal Ig UUBHP, sedangkan biaya operasi BBM dan bahan tambahan, kompensasi modal penyusutan dan bunga modal dan biaya tetap lainnya pajak dan perijianan tidak diperhitungkan dalam menghitung hasil bersih, merupakan konsekuensi yang secara ekonomis sesuai dengan dasar pembagian hasil usaha bersama, yaitu keseimbangan antara yang diberikan dengan yang didapatkan. Namun demikian, perbedaan pendapatan antara pemilik dan penggarap dengan bagi hasil aIternatif akan terlihat wajar karena pemilik terdorong untuk tidak ikut melaut sehingga bagian yang akan diterima penggarap sesuai dengan pengorbanan yang diberikan. Selain itu dengan bagi hasil alternatif keseimbangan antara yang diberikan dengan yang diterima akan menjadi lebih merata antar pelaku usaha perikanan pemilik dan penggarap dan antar alat tangkap yang berbeda atau keseimbangan antara yang diberikan dengan yang diterima akan terjadi antara pemilik alat tangkap yang berbeda dan antara penggarap alat tangkap yang berbeda. Struktur sosial dalam masyarakat nelayan Sulawesi Utara umumnya dicirikan dengan kuatnya patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi nelayan klien selain bergantung pada pemilik modal patron. Satria 2009 menyatakan bahwa bagi nelayan menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Mengacu pada struktur sosial tersebut, bahwa masyarakat nelayan Sulawesi Utara menunjukkan adanya pelapisan sosial, pelapisan sosial merupakan dimensi struktur sosial yang bersifat vertikal yang melihat masyarakat secara bertingkat yang nampak pada stratifikasi sosial, kelas sosial dan status sosial dalam masyarakat. Artinya, patron menguasai sumber daya tersebut menyebabkan ikatan patron-klien terjalin. Hubungan patron-klien merupakan bentuk paling sering terjadi di Provinsi Sulawesi Utara, nelayan seringkali menjadi golongan yang terpinggirkan dan tidak menjadi prioritas pemerintah. Mereka adalah kaum yang terdesak pada keadaan, karena hanya punya kemampuan untuk melaut dan tidak punya pilihan lain dalam bekerja. Hal tersebut berpengaruh besar terhadap dinamika mobilitas nelayanalih status nelayan dikarenakan sistem patron klien ini sudah menjadi relasi yang sangat mendarah daging dan sulit untuk dilepaskan. Untuk mengatasi hal tersebut hubungan patron-klien di Provinsi Sulawesi Utara pemerintah meluncurkan beberapa program yang bertujuan untuk meminimalisir efek buruk dari pola hubungan patron-klien tersebut akan tetapi saat program- program pemerintah tersebut berhenti, para nelayan kembali lagi ke tengkulak, karena itu satu-satunya pilihan yang mereka punya. Namun hal tersebut tidak baik bagi para nelayan di Provinsi Sulawesi Utara karena pola patron-klien sungguh merugikan bagi nelayan, sering terjadieksploitasi tak terkendali, bentuk eksploitasi yang terjadi adalah dalam bentuk akumulasi modal, penekanan terhadap harga, monosponi satu pembeli memaksa nelayan menjual hasilnya ke tengkulak. Biasanya tengkulak berani membayar di awal ijon, sehingga nelayan tertarik untuk menjual kepada tengkulak. Kebiasaan nelayan yang seringkali menghabiskan uang muka dari tengkulak untuk hal yang berlebihan, sehingga bahkan sebelum musim panen uang tersebut sudah habis dan mereka terpaksa meminjam kepada tengkulak lagi, maka dari itu diperlukan penyuluhan yang berkaitan dengan manajemen uang bagi nelayan, agar mereka lebih mampu mengelola uang yang mereka miliki sehingga mereka bisa menentukan kebutuhan primer dan sekunder atau bahkan bisa menabung. Jadi, pola patron-klien ini tidak bisa dihilangkan secara total. Walaupun sangat merugikan nelayan akan tetapi sistem ini ternyata bukan hanya relasi ekonomi saja, akan tetapi ada relasi sosial yang terjadi, para tengkulak pun rela meminjamkan uang besar saat ada anggota keluarga dari nelayan yang sakit atau butuh uang lebih. Pola yang sama terjadi di setiap daerah.

5.7.4 Meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan pada daerah penangkapan yang potensial