Mobilitas dan alih status nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara

(1)

VICTORIA ERA NICOLINE MANOPPO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Mobilitas dan Alih Status Nelayan Skala Kecil di Provinsi Sulawesi Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Pebruari 2013

Victoria E N Manoppo


(3)

Small Scale Fisherman in North Sulawesi Province. Under Direction DOMU SIMBOLON, RUDY C TARUMINGKENG and VICTOR P H NIKIJULUW

Fisherman in North Sulawesi Province divided to 2 categories, those are: small scale fisherman (traditional fisherman) and big scale fisherman (modern fisherman). They do arrest of fish in same fishing ground, so that cause various problem for example decreasing the result of cached, followed by decreasing their earnings. For increase of haul, they conducted variously. Which is conducted by fisherman in North Sulawesi Province that is mobility. Target of this research are to; 1) mapping fisherman’s mobility types in North Sulawesi Province; 2) determining factors having an effect on to fisherman mobility; 3) determining the impact of fisherman mobility; 4) formulating strategic solution to quicken to displace fisherman status toward better. Data analysis which is used in this research cover: (a) descriptive-qualitative analysis; (b) structure equation modeling (SEM) analyses; and (c) SWOT analyses. Type of fisherman in North Sulawesi Province are: 1) mobility of geography that is fisherman that conducting mobility of its residence countryside to other place, but linger as fisherman; 2) mobility of geography fisherman and mobility of profession that is fisherman that conducting mobility of its residence countryside to other place, but nonliving as a fisherman; 3) profession mobility that is fisherman which do not conduct mobility of its residence countryside to other place, but linger as non-fisherman ;and 4) do not mobility fisherman that is fisherman which do not conduct any mobility. Factors that having an effect on to fisherman mobility in North Sulawesi Province: a) job experience; b) family responsibility; c) earnings; d) supply of fish; e) saturation; and f) capital. Mobility of fisherman in North Sulawesi Province do not affect significantly to small scale fisherman status, because it does not change to displace their status up at better. Strategic solution to quicken to displace fisherman status toward better, those are: a) SO: to get fishermen who could operate a new modern technology to make finding new fish catching-area become easier; make local role that easy to do by small scale fisherman; b) WO: the government should give easiness to the fishermen to get loan for them; The government provide fisheries extension to make them know about weakness of geography mobility or job changing ; c) ST: Rebserve the law of sharing system; d) WT: giving hard dubious to government officer who is making Illegal fishing for the shake of advantage of person.


(4)

Kecil di Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON, RUDY C TARUMINGKENG dan VICTOR P H NIKIJULUW.

Mobilitas merupakan salah satu alternatif yang dipilih nelayan untuk menyiasati berbagai masalah yang timbul akibat paceklik, yaitu diantaranya padatnya persaingan antara nelayan skala besar dan nelayan skala kecil di area penangkapan ikan sehingga hasil tangkapan ikan dan pendapatan menurun. Fenomena serupa pula terjadi di Provinsi Sulawesi Utara, dimana nelayan melakukan mobilitas dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan dan perubahan alih status ke arah yang lebih baik.

Maka dari itu dilakukan penelitian dengan tujuan: 1) memetakan tipe mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara. 2) menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan. 3) menentukan dampak terkait perubahan alih status nelayan ke arah yang lebih baik. 4) memformulasikan solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik. Adapun jenis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a) analisis deskriptif-kualitatif; b) analisis SEM; dan c) analisis SWOT.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa terdapat empat tipe nelayan yang bermobilitas yaitu: 1) mobilitas geografi: nelayan yang melakukan perpindahan wilayah penangkapan ikan, 2) mobilitas geografi dan profesi: nelayan yang melakukan perpindahan lokasi penangkapan ikan dan nelayan yang melakukan perubahan pekerjaan, 3) mobilitas profesi: nelayan yang melakukan perubahan pekerjaan, 4) tidak mobilitas: nelayan yang tidak melakukan perpindahan lokasi penangkapan ikan maupun melakukan perubahan pekerjaan.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan skala kecil untuk bermobilitas yaitu: a) pengalaman kerja, b) tanggungan keluarga, c) pendapatan, d) persediaan ikan, e) kejenuhan, dan f) modal. Mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara tidak berdampak secara signifikan terhadap status nelayan skala kecil, karena tidak merubah alih status mereka ke arah yang lebih baik.

Solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik, yaitu: a) kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang (SO): menghasilkan nelayan yang mampu mengoperasikan teknologi modern guna mempermudah pencarian DPI baru; membuat peraturan daerah yang memihak nelayan skala kecil, b) pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang (WO): pemerintah memberi kemudahan bagi nelayan untuk memperoleh modal; pemerintah mengadakan penyuluhan tentang kelemahan alih profesi atau pindah wilayah penangkapan, c) kebijakan berdasarkan penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST): meninjau kembali sistem bagi hasil yang sementara berlaku saat ini, d) kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman (WT): memberi sangsi yang keras terhadap aparat yang menjadikan illegal fishing demi keuntungan pribadi.

Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik adalah: 1) memberikan pemahaman ecology approach kepada nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, 2) mengatasi konflik nelayan di


(5)

alih teknologi terhadap mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, 6) mempelajari pengaruh budaya terhadap dinamika mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, dan 7) mempelajari faktor penarik dan pendorong pada mobilitas profesi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara.

Tipe Nelayan Provinsi Sulawesi Utara yaitu 1) mobilitas geografi, 2) mobilitas geografi dan profesi, 3) mobilitas profesi, 4) tidak mobilitas. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh yaitu 1) pengalaman kerja, 2) tanggungan keluarga, 3) pendapatan, 4) persediaan ikan, 5) kejenuhan, 6) modal. Dampak mobilitas nelayan bagi status nelayan bisa dikatakan tidak berpengaruh secara signifikan.

Solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik yaitu 1) menghasilkan nelayan yang mampu mengoperasikan teknologi modern guna mempermudah pencarian DPI baru; membuat peraturan daerah yang memihak nelayan skala kecil, 2) pemerintah memberi kemudahan bagi nelayan untuk memperoleh modal, pemerintah mengadakan penyuluhan tentang kelemahan alih profesi atau pindah wilayah penangkapan, 3) meninjau kembali sistem bagi hasil yang sementara berlaku saat ini, 4) memberi sangsi yang keras terhadap aparat yang menjadikan illegal fishing demi keuntungan pribadi.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap Mobilitas dan Alih Status Nelayan Skala Kecil di Provinsi Sulawesi Utara, dapat disarankan sebagai berikut: 1) menyediakan penyuluh yang lebih bertanggung jawab dan memahami aspek sosial-ekonomi nelayan, 2) memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang bisa dilakukan oleh nelayan ketika musim paceklik tiba, 3) sebaiknya nelayan tidak melakukan mobilitas baik lokasi maupun profesi, dan tetap tinggal di desa/wilayah masing-masing kemudian mengusahakan penangkapan dengan alat yang lebih baik dan komitmen waktu yang lebih banyak, 4) meninjau ulang dan merevisi Undang-undang Sistem Bagi Hasil, 5) menyediakan lembaga yang memberikan pinjaman modal dengan mudah dan tidak memberatkan, 6) menindak keras aparat yang menjadikan illegal fishing demi keuntungan pribadi, 7) memberikan pemahaman ecology approach kepada nelayan demi kelangsungan sumberdaya alam, dan 8) membantu nelayan dalam pengadaan dan penggunaan teknologi tepat guna seperti alat pendeteksi daerah penangkapan ikan, motorisasi yang lebih tepat sasaran dan lain sebagainya.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2013

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(7)

OLEH :

VICTORIA ERA NICOLINE MANOPPO

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Dr.Eko Sri Wiyono, S. Pi, M.Si 2. Dr.Ir.Sugeng Hari Wisodo, M.Si

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Prof.Dr.Ir. Daniel Monintja, MSc 2. Dr.Ir.Husni Manggabarani, M.Si


(9)

Judul Disertasi : Mobilitas dan Alih Status Nelayan Skala Kecil di Provinsi Sulawesi Utara

Nama Mahasiswa : Victoria Era Nicoline Manoppo

NRP : C462080031

Program Studi : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Domu Simbolon. MSi Ketua

Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng,MF Dr. Ir. Victor P H Nikijuluw, MSc. Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi SPT Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro ,MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr


(10)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas karunia-Nya sehingga Disertasi dengan judul Mobilitas dan Alih Status Nelayan Skala Kecil di Provinsi Sulawesi Utara dapat diselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada: Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si, Bapak Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng, M.F, Bapak Dr. Ir. Victor P H Nikijuluw, M.Sc atas kesediannya membimbing penulis. Terima kasih pula kepada Bapak Dr. Eko Wiyono, S.Pi, M.Si dan Dr. Ir. Sugeng Hari Wisodo, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R O Monintja, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Husni Manggabarani, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku mantan Ketua Mayor SPT, Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. selaku Ketua Departemen PSP, Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc selaku Ketua Program Studi SPT, Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc selaku Dekan FPIK IPB dan Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh Dosen Civitas Akademika Departemen PSP IPB atas segala bantuannya; juga terima kasih disampaikan kepada Civitas Akademika FPIK UNSRAT atas segala kesempatan yang diberikan kepada kami selama ini. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada mama dan papa (Alm.), anak-anakku Jiandrie dan Jereniel, adik-adikku: Stephanny, Olivia, Maudy dan Esther dan juga Mamawoed atas segala bantuan dan kesabaran, dorongan dan pengertian secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman: Indra Erwinda, Marwah, Babe, Gladys dan Senly atas doa dan bantuannya.

Penulis menyadari disertasi ini jauh dari sempurna, untuk itu dengan penuh kerendahan hati, penulis berharap semoga dapat dimaklumi dan mohon bantuan untuk perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bogor, Pebruari 2013

Victoria E N Manoppo C462080031


(11)

Penulis dilahirkan di Kota Manado, pada tanggal 17 September 1961 dari ayah Sigfried B Manoppo (Almarhum) dan ibu Prof. Dr. Geraldine Y J Watupongoh (Almarhummah). Penulis merupakan putri tertua dari lima bersaudara.

Pendidikan Sarjana ditempuh di jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT Manado), lulus pada tahun 1988. Pada tahun 2004 penulis diterima di program studi Ilmu Perairan pada Program Pascasarjana UNSRAT. Pada tahun 2008 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap (SPT) Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari BPPS DIKTI.

Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar (dosen tetap) sejak tahun 1992 pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado sampai sekarang.


(12)

i

DAFTAR GAMBAR ……… iv

DAFTAR LAMPIRAN ………. vi

DAFTAR ISTILAH ………. vii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1 

1.2  Perumusan Masalah ... 11 

1.3  Tujuan Penelitian ... 12 

1.4  Manfaat Penelitian ... 12 

1.5  Kerangka Pikir Penelitian ... 13

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 17

2.1  Mobilitas dan Alih Status ... 17 

2.2  Sumber daya Perikanan ... 21 

2.3  Pengelolaan Usaha Perikanan Tangkap ... 23 

2.4  Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil ... 29 

2.5  Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap ... 35 

2.6  Pengaruh Kegiatan Perikanan Tangkap Terhadap Lingkungan ... 39 

2.7  Wilayah Pesisir ... 40 

2.8  Konsep Pendapatan dan Kelayakan Investasi ... 43 

2.9  Nelayan dan Pendapatan ... 44 

2.10 Karakteristik Kemiskinan Nelayan ... 52 

2.11 Analisis Deskriptif ... 71

2.12 Analisis SEM ... 72

2.13 Analisis SWOT ... 74

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 77

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 77 

3.2  Pengambilan Sampel ... 77 

3.3  Jenis dan Sumber Data ... 80 

3.4  Analisis Data ... 81 

3.4.1 Penentuan status mobilitas nelayan ... 81

3.4.2 Penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas nelayan dan dampak yang ditimbulkan mobilitas nelayan ... 82

3.4.3 Strategis untuk alih status nelayan ke arah yang lebih baik ... 93

4 HASIL ... 96

4.1  Kondisi Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 96 

4.2  Mobilitas Nelayan Provinsi Sulawesi Utara ... 103 

4.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan ... 111 


(13)

ii 4.5  Solusi Strategis untuk Mempercepat Alih Status Nelayan Kearah yang

Lebih Baik ... 118

5 PEMBAHASAN ... 122

5.1  Kondisi Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 122 

5.1.1 Karakteristik nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara ... 122

5.1.2 Tipe dan jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 124

5.1.3 Pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 128

5.1.4 Perumahan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 133

5.2  Potensi dan Produksi Perikanan di Provinsi Sulawesi Utara ... 135

5.3  Tipe Mobilitas Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 137 

5.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Mobilitas Nelayan ... 151 

5.5  Dampak Mobilitas Nelayan Terhadap Status Nelayan ... 157

5.6  Solusi Strategis untuk Mempercepat Alih Status Nelayan Kearah yang Lebih Baik ... 162

5.7  Tindakan konkrit untuk Mempercepat Alih Status Nelayan ke Arah yang Lebih Baik ………. 167 

5.7.1 Memberikan pemahaman ecosystem approach nelayan ... 167

5.7.2 Mengatasi konflik nelayan. ... 168

5.7.3 Meninjau kembali pola hubungan patron-klien dan sistem bagi hasil yang berkeadilan ... 174

5.7.4 Meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan pada daerah penangkapan yang potensial………. 178

5.7.5 Menentukan teknologi penangkapan ikan yang tepat guna... 181

5.7.6 Merubah kebiasaan nelayan yang cenderung melakukan mobilitas geografi ketika musim paceklik tiba... 182

5.7.7 Faktor penarik dan pendorong pada mobilitas profesi nelayan….183 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 185

6.1  Kesimpulan ... 185 

6.2  Saran ... 186

DAFTAR PUSTAKA ... 188


(14)

iii

DAFTAR TABEL

 

1 Perbandingan situasi technico-socio-economic antara nelayan tradisional

dengan nelayan industri ...32

2 Hasil penelitian terkait dengan mobilitas ... 86 

3 Goodness of fit index ... 91 

4 Kerangka analisis yang dipakai dalam analisis SWOT ... 95

5 Karateristik mobilitas nelayan berdasarkan indikator jenis profesi dan lokasi ... 104 

6 Karakteristik nelayan berdasarkan tipe mobilitas di Sulawesi Utara…….... 105

7 Komposisi jumlah nelayan (orang) yang melakukan mobilisasi geografi di Provinsi Sulawesi Utara ... 110

8 Hasil Kriteria Kesesuaian Model SEM tahap 1 ... 111 

9 Hasil Kriteria Kesesuaian Model SEM tahap 2 ... 114 

10 Dampak X1, X2, X3, X4 terhadap Y ... 116 

11 Matriks faktor strategi eksternal solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan kearah yang lebih baik ...118

12 Matrix faktor strategi internal solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan kearah yang lebih baik ...119


(15)

iv

DAFTAR GAMBAR

1 Lingkaran setan kemiskinan Ragnar Nurkse (1953) yang diacu dalam

(Satria 2002) ...56

2 Lokasi penelitian mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 77

3 Tahap pengambilan sampel penelitian ...79

4 Konseptualisasi mobilitas profesi dan alih status nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara ...88

5 Diagram Analisis SWOT ... 94

6 Komposisi gambaran nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 96

7 Persentase nelayan pemilik versus nelayan buruh di Provinsi Sulawesi Utara... 99

8 Jumlah perahu / kapal perikanan di Provinsi Sulawesi Utara ... 101

9 Pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 101

10 Prosentasi nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara ... 102

11 Komposisi Jenis Perumahan Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 103

12 Arah/tujuan mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ...106

13 Komposisi tujuan mobilisasi dan jumlah nelayan yang melakukan mobilitas geografi ...107

14 Komposisi tujuan mobilisasi dan jumlah nelayan yang melakukan mobilitas geografi tipe mobilitas geografi dan profesi ... 108

15 Komposisi nelayan yang melakukan mobilitas profesi tipe mobilitas geografi dan profesi ... 108

16 Komposisi tujuan mobilisasi dan jumlah nelayan yang bermobilitas profesi 109 17 Mobilitas profesi nelayan ... 109


(16)

v

18 Estimasi model non-fit ... 112

19 Estimasi model fit ... 113

20 Perahu Londe ... 131

21 Pembuatan kapal pelang di Desa Kema, Bitung ... 132

22 Perahu Bolotu/Jukung ... 132

23 Pemetaantujuan mobilitas geografi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 142

24 Pemetaantujuan mobilitas geografi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ... 145


(17)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tahapan 1 Analisis Structure Equation Modeling (SEM) ... 202 2 Tahapan 2 Analisis Structure Equation Modeling (SEM) ... 216


(18)

vii

DAFTAR ISTILAH

ABK Anak buah kapal atau dapat pula berarti seseorang yang

mengemudikan kapal atau membantu dalam operasi, perawatan atau pelayanan dari sebuah kapal. Hal ini mencakup seluruh orang yang bekerja di atas kapal.

Alih Status Alih berarti pindah, tukar; sedangkan status berarti keadaan

atau kedudukan seseorang.

BBM Bahan bakar minyak yang berupa materi cair yang bisa diubah

menjadi energi dan digunakan oleh nelayan pada saat operasional penangkapan.

Berkelanjutan Pemanfaatan sumberdaya secara lestari, yaitu dimana laju

pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumberdaya tersebut.

BPS Badan Pusat Statistik , dahulu Biro Pusat Statistik, adalah

Lembaga non Pemerintah di Indonesia yang mempunyai fungsi

pokok sebagai penyedia data statistik dasar, baik untuk

pemerintah maupun untuk masyarakat umum, secara nasional maupun regional.

Cold storage Media pendingin/merupakan salah satu sarana penunjang

dalam proses penanganan pasca penangkapan.

Devisa Semua barang yang dapat digunakan sebagai alat

pembayaran internasional.

DKP Departemen dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi

urusan kelautan dan perikanan. Sekarang disebut sebagai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Door to door Cara pemasaran langsung “menjemput bola” dari pintu ke

pintu, cara penjualan langsung oleh pemilik barang kepada pembeli dari rumah ke rumah.

DPI Daerah Penangkapan Ikan yaitu suatu daerah perairan dimana

ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis.

Ekologi Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara


(19)

viii

Ekosistem Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal

balik yang tak terpisahkan antara mahluk hidup dengan lingkungannya.

Faktor Internal Pengaruh yang berasal dari dalam lingkungan.

Faktor Eksternal Pengaruh yang berasal dari luar lingkungan sekitar.

Fish Finder Alat yang digunakan untuk mendeteksi besarnya gerombolan

ikan pada lokasi yang ditunjukkan pada peta zona potensi ikan. Dapat mudah digunakan nelayan untuk mengetahui posisi ikan.

Geografi Ilmu yang mempelajari tentang lokasi serta persamaan dan

perbedaan (variasi) keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi.

GPS Global Positioning System adalah sistem satelit dimana alat ini

dipasang di kapal, biasanya dilengkapi dengan sounder untuk mengukur kedalaman, radar atau alat pelacak ikan.

GT Gross Ton adalah satuan volume dalam palka dan

kompartemen kapal, biasanya dipakai untuk kapal perikanan.

Hasil Tangkapan Semua ikan yang tertangkap oleh suatu alat penangkap ikan.

Investasi Istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan

dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai penanaman modal.

IUU Fishing Illegal Unreported Unregulated Fishing diartikan sebagai

kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.

JTB Jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah banyaknya

sumber daya alam hayati yang boleh ditangkap dengan memperhatikan pengamanan konservasinya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Jukung Perahu tanpa motor yang banyak digunakan oleh sebagian

besar nelayan tradisional khususnya di Provinsi Sulawesi Utara.


(20)

ix

Kapal Perikanan Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung

lainnya yang dipergunakan, untuk melakukan penangkapan ikan, termasuk kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan survei atau eksplorasi perikanan.

Kebijakan Arah kegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah

ditetapkan; atau investasi pemerintah untuk mencari pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik.

Kemiskinan Keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi

kebutuhan seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.

Konflik Persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived

divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa

aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai

secara simultan.

Konservasi Sumber daya alam adalah segala upaya yang bertujuan untuk

melindungi dan melestarikan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Konsumsi Suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan

daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.

MEY Maximum economic yields keuntungan maksimum dalam

usaha penangkapan.

Miskin Keadaan yang serba kurang mampu dan termasuk di dalamnya

adalah lingkungan ketidakberdayaan.

Mobilitas Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah

dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain.

MSY Maximum sustainable yield adalah hasil tangkapan maksimum

lestari.

Nelayan Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi

penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Nelayan diartikan sebagai orang yang melakukan penangkapan ikan di laut atau perairan umum.


(21)

x

Nelayan Penuh Orang yang seluruh waktunya digunakan untuk melakukan

pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

Nelayan Sambilan Orang yang sebagian besar waktunya digunakan untuk

Utama melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan

ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Di samping melakukan pekerjaan penangkapan/pemeliharaan, nelayan ini dapat mempunyai pekerjaan lain.

Nelayan Sambilan Orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk

Tambahan melakukan penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air

lainnya/tanaman air.

Nelayan Tradisional Nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana.

Overfishing Jumlah upaya penangkapan yang besar dan berlebihan terhadap

stok ikan.

Patron-Klien Hubungan antara masyarakat sosial atas/juragan (patron) dan

sosial bawah/buruh (klien).

PDB Pendapatan domestik bruto adalah nilai pasar semua barang

dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu.; PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.

Pembangunan Pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang

tanpa mengganggu kemampuan sumberdaya dalam memenuhi kebutuhan generasi mendatang.

Penangkap Ikan Penangkapan ikan atau organisme air lainnya. Kapal

pengangkut tidak termasuk kapal penangkap.

Pengalaman Melaut Lamanya nelayan melakukan usaha penangkapan ikan di laut.

Perahu/Kapal Perahu atau kapal yang langsung dipergunakan dalam operasi.

Pengelolaan Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam

Perikanan pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,

pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai


(22)

xi kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah di sepakati.

Perikanan Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi yang terdiri

dari sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan serta sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan.

Perikanan Tangkap Kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya.

PK Paardenkracht adalah tenaga mesin dengan satuan daya kuda. Istilah ini berasal dari James Watt, ilmuwan abad 19 asal Skotlandia yang menemukan bahwa pada masa itu, seekor kuda poni miliknya rata-rata mampu mengangkat beban seberat 550 pounds (249,4 kg) sejauh 1 kaki (30,48 cm) per detik. Dari 550 pounds dikali 60 detik lalu keluarlah angka sebesar 33.000 foot pounds per min (ft lbs/min)m istilah inilah yang lalu disebut 1 horsepower (daya kuda); 1 PK adalah gaya yang dibutuhkan untuk menggerakkan benda seberat 75 kg sejauh 1 meter dalam waktu 1 detik.

1 PK = 75 kg.m/s 1 PK = 735,5 W

PMA Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal

untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Potensi Merupakan sesuatu yang mungkin dicapai atau dikembangkan

atau dimiliki atau terjadi pada seseorang maupun pada sesuatu.

Potensi Lestari Jumlah atau bobot ikan maksimum dalam suatu stok yang

dapat diambil oleh penangkap tanpa mengganggu kelestarian stok tersebut.

PPI Pangkalan Pendaratan Ikan pada hakekatnya merupakan

prasarana ekonomi perikanan yang dibangun dengan maksud untuk memperlancar kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran ikan serta merupakan pusat pengembangan masyarakat perikanan.


(23)

xii

Produktivitas Perbandingan antara hasil yang dicapai (keluaran) dengan

keseluruhan sumber daya (masukan) yang terdiri dari beberapa faktor.

Profesi Pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan

terhadap suatu pengetahuan khusus.

Pungutan Perikanan Pungutan perikanan adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh perusahaan perikanan asing yang mendapat izin penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia.

RTP Rumah tangga perikanan adalah rumah tangga yang melakukan

kegiatan penangkapan ikan atau organisme air lainnya dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual.

SDM Sumberdaya manusia adalah sebagai bagian integral dari

sistem yang membentuk suatu organisasi. melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi.

SEM Structur Equation Modeling adalah teknik statistik yang

digunakan untuk membangun dan menguji model statistik yang biasanya dalam bentuk model-model sebab akibat.

Soma Pajeko Alat tangkap ikan di Sulawesi Utara yang digunakan untuk

menangkap ikan pelagis yang membentuk gerombolan.

Soma Dampar Pukat yang dioperasikan di tepi pantai untuk penangkapan

ikan-ikan atau gerombolan ikan yang bermigrasi menyusur pantai, alat penangkap ikan ini terdiri dari lembaran jaring dan tali-temali baik tali untuk pelampung maupun untuk pemberat. Pada prinsipnya alat ini dioperasikan untuk mengurung ikan dan menarik jaring ke arah pantai.

Stakeholder Pihak yang berkepentingan atau para pemangku kepentingan.

Stok Ikan Bagian dari suatu populasi ikan yang berada dalam suatu

wilayah sebar yang kontinu dan memiliki parameter populasi yang sama.

Sumberdaya Ikan Potensi semua jenis ikan.

SWOT Analisis SWOT yang terdiri atas kekuatan (strengths),

kelemahan (weaknesses), kesempatan (opportunities), dan

ancaman (threats) artinya adalah metode perencanaan strategis


(24)

xiii peluang, dan ancaman dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis.

Tauke Juragan nelayan yang memiliki perahu, alat penangkap ikan

dan uang tetapi bukan nelayan asli.

Trip Perjalanan pergi melakukan operasi penangkapan dan kembali

ke darat.

Unit Penangkapan Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan

Ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan.

UUBHP Undang-undang Bagi Hasil Perikanan adalah konsekuensi yang

secara ekonomis sesuai dengan dasar pembagian hasil usaha bersama, yaitu keseimbangan antara yang diberikan dengan yang didapatkan..

Wilayah Pesisir Suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.

ZEE Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil dari

garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.


(25)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari 11 daerah kabupaten dan 4 daerah kota, yang terdiri dari 150 kecamatan, 306 kelurahan dan 1.200 desa. Luas daerah kab/kota sekitar 15.273,10 (BPS 2008).

Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Utara adalah 2.265.937 orang, yang terdiri atas 1.157.559 laki-laki dan 1.108.378 perempuan. Mata pencaharian pendudukan di Provinsi Sulawesi Utara meliputi bidang pertanian/perikanan (22%), angkutan (8%), bidang jasa-jasa besar (37.57%) dan buruh (31.80%). Terdapat 85,867 orang yang menjadi nelayan dari total jumlah penduduk Sulawesi Utara (BPS-PSU 2010). Nelayan yang berjumlah 85,867 orang tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan skala usaha, menjadi nelayan skala besar dan nelayan skala kecil. Nelayan skala besar menurut Pollnac (1988) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) diorganisir dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro-industri di negara-negara maju, 2) relatif lebih padat modal, 3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana bagi pemilik maupun awak perahu dan 4) menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku berorientasi ekspor. Mereka lebih berorientasi kepada keuntungan (profit-oriented).

Nelayan skala kecil termasuk buruh dan anak buah kapal (ABK) tidak mempunyai modal sendiri dalam menjalankan usaha perikanan, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Memiliki skala usaha relatif kecil (modal terbatas) dan bersifat usaha

keluarga.

2) Menggunakan armada penangkapan ikan yang berukuran relatif kecil yang

digerakkan dengan tenaga penggerak seperti dayung dan layar dan beberapa dengan motor tempel bertenaga kecil (ketinting 8 PK, motor tempel 15/25 PK), dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang berukuran kecil dan relatif sederhana dengan biaya murah.

3) Produktivitas relatif rendah karena sederhananya teknologi armada dan alat penangkapan ikan yang digunakan.


(26)

4) Daerah operasi penangkapan ikan (fishing ground) terbatas pada pantai yang relatif padat tangkap.

5) Operasi penangkapan ikan tergantung cuaca dan kondisi perairan laut.

6) Dikelola dengan pengetahuan dan pemahaman manajemen usaha yang sangat

terbatas.

Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan operasi

penangkapan, Ditjen Perikanan yang diacu dalam Satria (2002)

mengklasifikasikan tiga kategori nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapan/pemeliharaan. Pertama, nelayan penuh yaitu orang yang seluruh waktunya digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Kedua,

nelayan/petani ikan sambilan utama yaitu orang yang sebagian besar waktunya

digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Selain melakukan profesi penangkapan/pemeliharaan, nelayan kategori ini dapat mempunyai profesi lain.

Ketiga, nelayan sambilan tambahan yaitu orang yang sebagian kecil waktu

kerjanya digunakan untuk melakukan profesi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang lainnya/tanaman air. Berdasarkan data yang diperoleh jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara adalah 85.867 orang, sebanyak 39.727 (46%) diantaranya adalah nelayan pemilik. Hal ini menjelaskan bahwa nelayan buruh lebih dominan yaitu 46.140 orang (54%) dibandingkan dengan nelayan pemilik. Diantara nelayan buruh tersebut, terdapat nelayan penuh sebanyak 17.521 orang (20%), nelayan sambilan utama sebanyak 13.014 orang (15%) dan nelayan sambilan tambahan sebanyak 15.605 orang (18%) (DKP 2010).

Menurut Kusnadi (2002), dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan yang lain), nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas.

Dilihat dari sisi kepemilikan perahu/kapal penangkap ikan, nelayan pemilik dibagi menjadi dua kategori menurut Tarigan (2002) yaitu nelayan


(27)

tradisional dan nelayan bermotor. Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel dan bila perahu/kapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor. Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan gross ton (GT), kapal motor dibagi menjadi: kapal kecil, yaitu < 5GT– 10GT, kapal sedang, yaitu 10GT–30GT, kapal besar, yaitu > 30GT.

Berdasarkan tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional (Kusnadi 2002). Nelayan tradisional merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan oleh sikap mental yang tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, disamping kepemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan relatif rendah dan miskin, umumnya hanya memiliki perahu tanpa motor, dengan alat tangkap yang sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan untuk membedakannya dengan nelayan modern atau non-tradisional, sebagai penyederhanaan gambaran klasik sistem ekonomi dualistik (Bailey dan Zerner 1992).

Nelayan tradisional pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini disebabkan ciri-ciri yang melekat pada mereka yaitu suatu kondisi yang subsisten, dengan modal yang kecil, teknologi yang digunakan dan

kemampuan/skill serta perilaku yang tradisional baik dari segi ketrampilan,

psikologi dan mentalitas nelayan, di samping itu degradasi lingkungan yang terjadi juga memprihatinkan. Salah satu penyebab rendahnya kinerja perikanan adalah karena terjadinya economic overfishing, bukan Malthusian overfishing (Fauzi 2001).

Nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara sangat dominan dengan jumlah 78.612 orang (92%) sedangkan nelayan tidak miskin hanya berjumlah 7.255 orang (8%). Selanjutnya untuk status nelayan pemilik, di Provinsi Sulawesi Utara berjumlah 39,727 orang (DKP 2012).

Rendahnya penghasilan nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara merupakan masalah yang sudah lama, namun masalah ini masih belum dapat


(28)

diselesaikan hingga sekarang, karena terlalu kompleks. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan sosial ekonomi, namun terkait pula dengan lingkungan, pendidikan nelayan dan anak nelayan, kesejahteraan nelayan dan keluarganya dan juga teknologi yang digunakan nelayan tradisional.

Pendidikan untuk nelayan pada hakekatnya merupakan human investmen

dan social capital, baik untuk kepentingan pembangunan daerah maupun pembangunan nasional. Pendidikan merata dan bermutu, baik melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah akan berdampak pada kecerdasan dan kesejahteraan nelayan. Demikian pula halnya dengan pendidikan memadai, paling tidak dapat dijadikan modal untuk mencari dan menciptakan peluang-peluang kerja yang dapat menjadi sumber kehidupan dan peningkatan kesejahteraan. Dalam banyak hal, terjadinya kemiskinan nelayan bukan semata-mata karena masalah ekonomi akan tetapi salah satu penyebabnya ialah pendidikan yang rendah.

Sumber daya manusia merupakan faktor yang paling menentukan dalam mempercepat proses pembangunan. Manusia mampu menciptakan dan menggunakan teknologi hingga produktifitas meningkat. Pengembangan sumber daya manusia perikanan dapat ditempuh dengan cara informal seperti: penyuluhan, latihan, magang, studi banding, serta dengan cara formal melalui pendidikan reguler di sekolah-sekolah perikanan. Namun sayangnya, masyarakat nelayan lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Utara umumnya memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah. Hal tersebut terbukti dari jenjang pendidikan yang ditempuh tertinggi hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), itupun hanya sebagian kecil, sebagian besarnya hanya sampai di Sekolah Dasar (SD), terkadang juga tidak lulus.

Dengan tingkat pendapatan nelayan tradisional yang begitu rendah dan kendala biaya yang terbatas, maka sangat masuk akal apabila tingkat pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan tradisional yang harus berhenti sebelum lulus Sekolah Dasar atau kalaupun lulus ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama. Kendala ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan. Dengan demikian nelayan tradisional yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki ketrampilan alternatif, mutlak


(29)

menggantungkan mata pencahariannya pada sektor perikanan, termasuk perikanan tangkap yang pendapatannya tidak menentu.

Usaha perikanan merupakan komoditas unggulan yang diusahakan oleh nelayan, yang memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan rumah tangga. Pendapatan nelayan adalah hasil yang diterima oleh seluruh rumah tangga nelayan setelah melakukan kegiatan penangkapan ikan pada waktu tertentu. Namun ikan yang ditangkap belum bisa dikatakan sebagai pendapatan, jika belum terjadi transaksi jual beli. Transaksi yang dimaksud yaitu transaksi jual beli antara nelayan (produsen) dengan pembeli (konsumen) dan transaksi antara nelayan (produsen) dengan bandar ikan (distributor).

Pendapatan yang diterima oleh masyarakat nelayan Sulawesi Utara digunakan untuk memenuhi segala kebutuhannya dalam setiap rumah tangga mereka, misalnya membeli perlengkapan rumah tangga, membayar listrik bulanan, membayar bunga atas pinjaman atau utang lainnya, membeli sarana dan prasarana penangkapan ikan, biaya untuk melaut (seperti bensin bagi yang punya mesin, es, rokok dan lain-lain) dan bahkan digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka.

Berdasarkan hasil prasurvei, diperoleh informasi bahwa, para nelayan sangat kesulitan mengatur rumah tangga dan keluarganya disebabkan karena pendapatan yang tidak mencukupi. Hal ini terjadi karena banyak hal antara lain, ikan bersifat musiman, alat tangkap yang kurang memadai, daerah penangkapan potensial yang dikuasai oleh nelayan asing, kebijakan kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak bagi nelayan dan lain-lain.

Pendapatan nelayan Sulawesi Utara banyak dipengaruhi oleh tingkat teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan seperti alat pancing dan kapal atau perahu. Semakin tradisional alat tangkap dan perahu yang digunakan, semakin rendah pendapatan yang mereka dapat, begitu juga sebaliknya. Teknologi penangkapan yang umum digunakan di Provinsi Sulawesi Utara untuk memanfaatkan potensi sumber daya ikan adalah purse seine dan pancing (pole and line,pancing tonda, pancing ulur dan long line).

Kendala teknologi penangkapan ikan berhubungan dengan alat tangkap, mesin, motor atau infrastruktur pendorong lainnya seperti panjang kapal, fasilitas


(30)

cool storage, atau peralatan pemrosesan yang dapat meningkatkan kualitas ikan. Nelayan tradisional yang hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai di lepas pantai (offshore), sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pantai. Bagi nelayan tradisional, jelas dengan tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka makin terpuruk tatkala sumber daya laut makin langka.

Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan pantai (inshore). Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali

melaut (one day a fishing trip). Beberapa contoh nelayan yang termasuk

tradisional adalah nelayan jukung, nelayan pancingan, nelayan udang dan nelayan teri nasi (Kusnadi, 2002). Namun sayangnya teknologi yang lebih modern, membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. Teknologi juga adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan.

Menurut Kusnadi (2002), tingkat kesejahteraan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan masyarakat nelayan dimanapun dia berada. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan nelayan, telah menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan tidak mudah untuk diatasi.

Menurut Sayogyo (1997), klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu:

1) Miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara

320 kg beras untuk pedesaan dan 480 untuk daerah kota.

2) Miskin sekali,apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari

240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota.

3) Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari


(31)

Bagi warga masyarakat Provinsi Sulawesi Utara yang berada di pesisir pantai seperti keluarga nelayan tradisional, tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama makin langka. Kondisi sumber daya laut di sekitar perairan Manado umumnya sudah over exploited. Nelayan tradisional yang hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Hasil tangkapan yang mereka dapat hanya mampu untuk makan sehari-hari.

Dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan laut, berbagai usaha dilakukan oleh nelayan untuk beradaptasi. Usaha yang dilakukan nelayan bisa saja sesuai dengan yang diharapkan, namun bisa juga gagal. Apapun usaha yang dilakukan untuk “menaklukan” lingkungan, pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua: 1) diversifikasi, yaitu perluasan alternatif pilihan matapencaharian dan 2) intensifikasi, yaitu strategi untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan yang lebih eksploitatif, agar produksi ikan yang dipeoleh bisa lebih banyak.

Ketidakberdayaan nelayan juga disebabkan oleh usaha mereka yang sangat

bergantung pada alam, yang penuh ketidakpastian (uncertainly). Dengan

tergantung pada kondisi alam yang tidak menentu, maka hasil tangkapannya juga tidak menentu.

Dalam kondisi yang demikian maka bentuk-bentuk penyesuaian matapencaharian yang dilakukan oleh nelayan adalah diversifikasi usaha di luar kenelayanan, seperti menjadi tukang ojek, sopir, penjual sayur dan lain-lain. Kondisi seperti ini terjadi di Provinsi Sulawesi Utara, karena alternatif profesi lain hampir tidak ada, maka usaha lain yang dilakukan adalah kecuali berkebun atau

menjadi buruh nelayan pada kelompok usaha penangkapan purse seine.

Penyesuaian lain yang dilakukan nelayan adalah penggunaan bahan kimia atau peledak dalam kegiatan penangkapan ikan, yang dampaknya sangat merusak habitat ikan dan kerusakan fungsi lingkungan laut. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan kimia ini jelas merupakan jalan pintas dari reaksi ketidakberdayaan menghadapi nelayan yang lebih maju alat tangkapnya.


(32)

Dengan ketidakberdayaan yang dialami, maka para nelayan berupaya untuk selalu meningkatkan pendapatannya. Berbagai cara yang ditempuh antara lain adalah berusaha untuk meningkatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta mencari peluang pasar yang lebih menguntungkan atau dengan melakukan mobilitas baik secara geografi ataupun profesi demi meningkatan kesejahteraan dan beralih status ke arah yang lebih baik.

Mobilitas penduduk adalah semua bentuk perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya yang terjadi dalam jarak yang berbeda-beda, baik perpindahan tersebut bersifat permanen atupun sementara. Mobilitas penduduk dapat dibagi menjadi dua, yaitu: mobilitas penduduk permanen atau disebut migrasi dan mobilitas penduduk non permanen. Migrasi adalah perpindahan penduduk menuju wilayah lain dengan maksud untuk menetap, sedangkan mobilitas penduduk non permanen adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan maksud untuk tidak menetap. Mobilitas geografi penduduk merupakan suatu gerak penduduk dari suatu tempat menuju tempat lain karena adanya perbedaan insentif antara wilayah asal dengan wilayah tujuan. Mantra (2000), mengungkapkan mobilitas penduduk adalah suatu gerak penduduk melintasi batas wilayah menuju wilayah lain dalam periode waktu tertentu. Daerah-daerah yang dituju oleh para migran pada umumnya adalah daerah perkotaan yang mengalami pertumbuhan ekonomi, misalnya ibukota kabupaten atau provinsi. Disamping itu intensitas arus migrasi juga dipengaruhi faktor biaya migrasi, aksesibilitas dan sarana transportasi antara daerah asal dengan daerah tujuan. (djoko)

Pada dasarnya terdapat dua pola mobilitas (berpindah tempat) yang dikenal di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu yang disebut pindah dan merantau. Pindah diartikan sebagai berpindah tempat tinggal untuk selama-lamanya (permanen), sedangkan merantau berarti berpindah tempat untuk mencari kerja atau berdagang, biasanya tidak membawa keluarga. Bentuk migrasi merantau tersebut bersifat sementara karena mereka masih memiliki harapan untuk kembali ke kampung asalnya, jika harta benda yang terkumpul sudah cukup banyak. Secara sosiologis, merantau paling sedikit mengandung enam unsur pokok, yaitu


(33)

meninggalkan kampung halaman; dengan kemauan sendiri; untuk jangka waktu panjang atau pendek;dengan tujuan mencari nafkah, menuntut ilmu, atau mencari pengalaman; biasanya dengan maksud kembali pulang; dan merantau sebagai pranata sosial yang membudaya. (kusnadi)

Menurut Suryana (1989) mobilitas profesi adalah perpindahan mata pencaharian tanpa memperhatikan adanya perpindahan geografi, yaitu perpindahan penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Batas wilayah yang digunakan adalah batas administrasi seperti provinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan.

Perpindahan mata pencaharian ini senantiasa disebabkan oleh faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor penarik adalah sutu keadaan dimana para pekerja melihat kemungkinan kesempatan kerja di luar profesinya, yang diharapkan dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi atau lebih kontinu, sedangkan faktor pendorong diartikan sebagai keadaan yang mengharuskan para pekerja mencari alternatif lain karena jenis profesi yang ada sudah semakin sulit atau tidak ada.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata alih berarti pindah atau tukar; sedangkan status berarti keadaan atau kedudukan seseorang. Jadi, alih status adalah perpindahan atau pertukaran status seseorang. Penelitian terdahulu terkait dengan mobilitas sudah pernah dilakukan, tetapi jumlahnya masih relatif terbatas. Armin Ginting (1994) melakukan penelitian dengan judul “Analisis faktor penentu keputusan mobilitas profesi sektor pertanian ke non pertanian” yang bersifat studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan mobilitas profesi desa kota adalah rasio pendapatan desa kota, usia dan pengusahaan lahan. Analisis regresi menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan luas lahan milik pada tingkat kepercayaan α=10% tidak berpengaruh nyata terhadap peluang mobilitas profesi, sedangkan faktor-faktor lain berpengaruh nyata. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan mobilitas profesi tersebut, ternyata pengaruh ekonomi terhadap migran terjadi karena adanya perbedaan pendapatan desa kota dan jumlah beban tanggungan. Dengan demikian maka dalam penelitian tersebut faktor ekonomi masih dianggap dominan pengaruhnya terhadap keputusan


(34)

mobilitas profesi. Disarankan bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja di desa guna menambah keterkaitan antara penduduk kota dengan desa, sehingga menurunkan keinginan untuk melakukan mobilitas profesi di kota atau desa lain. Bagi masyarakat disarankan untuk mencari profesi di bidang industri pedesaan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat.

Maria (1996) melakukan penelitian judul “Mobilitas profesi nelayan ke non-nelayan di Kelurahan Kali Baru” yang bersifat survei. Hasil survei menunjukkan bahwa faktor yang signifikan terhadap mobilitas profesi adalah: pendidikan, jumlah tanggungan dan pendapatan (juga faktor usia dan pengalaman). Faktor pendorong dalam mobilitas kerja adalah: pendapatan nelayan, persediaan ikan, kejenuhan, modal, profesi yang terlalu berat, ingin mencari pengalaman, kondisi fisik nelayan (kesehatan dan usia). Faktor penariknya adalah: peningkatan pendapatan, kenyamanan kerja dan jaminan hari tua. Jenis jenis profesi non-nelayan adalah: dagang, supir, bengkel, wiraswasta, pelayaran dan karyawan pabrik. Akibat dari mobilisasi kerja ini 60% dari pelaku mobilisasi tersebut kondisi perumahannya, mengalami peningkatan dan, 40% sisanya tetap.

Widodo (2002) melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh industrialisasi terhadap mobilitas sosial masyarakat pedesaan” yang bersifat studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pencetus mobilisasi sosial masyarakat adalah: pendidikan, penguasaan modal, tingkat ketrampilan dan hubungan dengan elit Wanaherang memberi pengaruh pada munculnya peluang kerja dan usaha yang berakibat pada peningkatan pendapatan, penguasaan kekayaan materil dan status sosial. Hal ini membuat masyarakat terobsesi untuk menjadi karyawan/pegawai di sektor industri, karena selain peningkatan pendapatan juga peningkatan prestise/penghormatan. Tapi untuk menjadi karyawan dipengaruhi pendidikan, pengalaman kerja, ketrampilan dan hubungan dengan elit desa maupun manajemen perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Djoko Joewono (2003) dengan judul penelitian “Mobilitas penduduk dalam wilayah Jabotabek” yang bersifat survei. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang mendorong masyarakat bermobilisasi adalah sebagai berikut: faktor demografi (jenis kelamin,


(35)

pendidikan) berikut mengaharapkan pendapatan lebih tinggi di perkotaan dari pada di desa, kecilnya lahan di desa bahkan tidak ada/terbatasnya kerja di bidang pertanian. Faktor penariknya adalah: ada kesempatan kerja di sektor lain dengan teknologi komunikasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Armin Ginting, Widodo dan Djoko Joewono sulit diterapkan pada bidang perikanan tangkap, karena nelayan sebagai pelaku utama pada perikanan tangkap memiliki karakteristik sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan yang berprofesi di darat. Selanjutnya, penelitian Maria hanya mengkover faktor-faktor penarik dan pendorong bagi nelayan untuk melakukan mobilitas profesi pada wilayah yang terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang terintegrasi untuk dapat memetakan tipe mobilitas nelayan, baik secara geografi, maupun kombinasi profesi dan geografi; faktor yang berpengaruh pada setiap tipe mobilitas; dampak yang ditimbulkan oleh mobilitas terhadap alih status yang lebih baik; serta solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik.

1.2 Perumusan Masalah

Pertanyaan mendasar yang timbul dengan adanya mobilitas nelayan adalah apakah mobilitas berpengaruh positif terhadap perubahan status nelayan? Hal ini perlu dikaji, mengingat mobilitas yang dilakukan oleh nelayan membutuhkan tenaga, waktu dan biaya, bahkan kehilangan berbagai kesempatan padahal belum tentu mobilitas tersebut membawa dampak yang positif, sebagaimana yang diharapkan oleh nelayan.

Beberapa implikasi negatif yang akan timbul jika mobilitas gagal diantaranya adalah waktu terbuang sia-sia akibat mobilitas padahal belum tentu hasilnya positif, kebersamaan keluarga akan hilang. Perhatian terhadap anak juga akan berkurang atau hilang, mengingat waktu yang dihabiskan lebih banyak di tempat lain akibat mobilitas nelayan itu sendiri.

Ketika musim paceklik tiba, hasil tangkap nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara cenderung berkurang, sehingga mereka seringkali berpindah ke perairan lain sebagai nelayan andun. Sebagian dari mereka dapat melakukan mobilitas profesi ke bidang pekerjaan yang tidak membutuhkan ketrampilan


(36)

khusus, yang memadai. Hal ini mengindikasikan bahwa mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara cukup beragam dan informasi tentang tipe mobilitas nelayan ini masih sangat terbatas.

Banyak hal yang menyebabkan nelayan bermobilitas dan untuk itu perlu dikaji faktor apa saja yang mempengaruhi atau memotivasi nelayan melakukan mobilitas, baik secara geografi sebagai nelayan andun, profesi, maupun kombinasi geografi dan profesi. Selain itu, informasi tentang dampak dari mobilitas nelayan Sulawesi Utara terhadap perubahan alih status nelayan itu sendiri (positif atau negatif) belum diketahui secara pasti.

Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas nelayan dan dampak yang ditimbulkan oleh mobilitas nelayan itu sendiri, seyogyanya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah: untuk mengkaji mobilitas dan alih status nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara. Untuk melengkapi tujuan umum tersebut, secara lebih spesifik tujuan khusus penelitian ini adalah:

1) Memetakan tipe mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara.

2) Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan.

3) Menentukan dampak terhadap perubahan alih status nelayan ke arah yang

lebih baik.

4) Memformulasikan solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan

ke arah yang lebih baik.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu-ilmu dalam bidang sosial ekonomi perikanan, terkait dengan masalah pendapatan nelayan yang akhirnya menuju pada tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan tangkap. Hasil penelitian ini juga dapat memberi manfaat praktis bagi para

penentu kebijakan dan stakeholders lainnya dalam mengembangkan dan


(37)

dapat dijadikan acuan untuk menentukan penting tidaknya mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara.

1.5 Kerangka Pikir Penelitian

Pembangunan sektor perikanan di Indonesia sesungguhnya adalah sektor yang memberikan sumbangan/devisa yang cukup tinggi bagi negara, tetapi sungguh dilematis karena tenaga kerja yang bekerja di sektor ini adalah tenaga kerja terbelakang (pendidikan dan pendapatan sangat rendah) termasuk nelayan di Provinsi Sulawesi Utara. Akibatnya, nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, belum mampu berperan dalam mengelola potensi perikanan yang begitu besar dikarenakan rendahnya kualitas sumber daya manusianya, padahal jika dikelola dengan baik, maka taraf hidup para nelayan dan keluarganya bisa lebih baik lagi. Strategi yang ditempuh dalam rangka pencapaian program pembangunan perikanan di Provinsi Sulawesi Utara adalah upaya peningkatan pendapatan, kebutuhan pokok dan taraf hidup masyarakat nelayan. Cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat nelayan, antara lain dengan meningkatkan produksi hasil tangkapannya. Produksi ini dapat ditingkatkan dengan mengusahakan unit penangkapan yang produktif, yakni yang tinggi dalam jumlah dan nilai hasil tangkapannya. Namun, hal ini belum berhasil disebabkan beberapa faktor antara lain alat tangkap yang masih tradisional, daerah penangkapan yang sulit dijangkau dan lain-lain.

Nelayan sangat kesulitan mengatur rumah tangga dan keluarganya disebabkan karena pendapatan yang tidak mencukupi. Nelayan mengeluh ingin mengubah kondisi perekonomian mereka ataupun ingin beralih status dari nelayan buruh menjadi nelayan pemilik, namun situasi dan kondisi sampai sekarang belum memungkinkan. Akibatnya, nelayan di Provinsi Sulawesi Utara banyak melakukan mobilitas geografi dengan cara melakukan mobilitas geografi sampai ke perairan desa tetangga atau dengan kata lain mereka melakukan perpindahan wilayah penangkapan ikan karena di wilayah perairan mereka sendiri tidak atau sulit menemukan ikan untuk dikonsumsi sehari-hari apalagi untuk dijual. Nelayan-nelayan ini bergerak dari tempat tinggal mereka untuk mencari daerah penangkapan yang diharapkan masih memberikan harapan baru bagi mereka. Ada sebagian nelayan justru mengatasi kesulitan tidak adanya ikan dengan


(38)

mengadakan mobilitas ke profesi yang lain, misalnya: menjadi tukang, buruh, ojek, baik di wilayah mereka sendiri maupun di wilayah lain. Sebagian dari nelayan dapat tinggal berlama-lama di daerah tetangga sampai wilayah perairan mereka kembali normal, tapi ada yang tidak kembali lagi karena berbagai alasan. Sebagian nelayan ada yang tetap tinggal di desanya dan mencari profesi baru sampai musim paceklik/sulit ikan berlalu. Banyak pula yang tetap tinggal di daerahnya sambil menunggu musim paceklik berlalu tanpa mencari profesi baru.

Data utama yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah antara lain: 1) nelayan mana saja yang mengadakan dan atau pernah mengadakan mobilisasi geografi atau mobilitas profesi di Sulawesi Utara; 2) jenis-jenis nelayan yang ada di Sulwesi Utara; 3) jenis-jenis alat penangkapan ikan yang dominan digunakan oleh nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara, 4) keadaan umum nelayan skala kecil yang berpengaruh terhadap mobilitas profesi, seperti pendapatan, pendidikan, umur,pengalaman, jumlah tanggungan keluarga dan lain-lain dan 5) apa dampak mobilitas terhadap perubahan status nelayan, serta 6) kebijakan strategis dan program-program pemerintah khususnya dalam rangka upaya memperbaiki usaha perikanan nelayan skala kecil.

Adapun analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif kualitatif, SEM dan SWOT. Analisis deskriptif-kualitatif yaitu kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Penelitian deskriptif menentukan dan melaporkan keadaan sekarang. Seperti penelitian sejarah tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang telah terjadi demikian pula penelitian deskriptif tidak memiliki

kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang sementara terjadi dan hanya dapat

mengukur apa yang ada (exist).

Salah satu kegunaan analisis deskriptif adalah dapat memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan melalui pemberian informasi keadaan muktahir dan dapat membantu kita dalam mengindentifikasi faktor-faktor yang berguna untuk pelaksanaan penelitian, juga dapat menganalisis keadaan yang mungkin terdapat dalam situasi tertentu (Sevilla et al. 1993).


(39)

Analisis SEM dimaksudkan untuk memperoleh suatu gambaran tentang mobilitas nelayan skala kecil yang meliputi mobilisasi kerja dan hidup sebagai nelayan di tempat lain, mobilisasi kerja dan hidup sebagai non-nelayan di tempat lain, mobilisasi kerja dari nelayan ke non-nelayan tapi tetap di desa sendiri, tidak melakukan mobilisasi kerja maupun mobilisasi tempat tinggal. Analisis ini juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas dan dampak yang ditimbulkan oleh mobilitas tersebut. Dengan adanya mobilitas profesi nelayan skala kecil ini apakah bisa tercapai pengalihan status mereka ke tingkat yang lebih baik untuk memperoleh pendapatan yang layak sehingga menjamin kesejahteraan nelayan dan keluarganya.

Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats (SWOT)

dilakukan dengan cara mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dalam penyusunan kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman dengan tujuan mencari solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik.

Pembangunan merupakan suatu upaya yang dilakukan secara sadar untuk mengubah kondisi yang kurang baik menjadi lebih baik, yang disusun dalam suatu rencana pembangunan. Secara umum pembangunan mencakup segi ekonomi, sosial budaya dan politik, karena pembangunan pada prinsipnya meniadakan ketimpangan, mengurangi ketidakmerataan dan menghalau kemiskinan. Proses pembangunan seperti ini tidak hanya mencakup segi fisik mengolah sumber daya alam untuk menghasilkan barang dan jasa tapi juga mencakup segi nilai, mengubah sistem nilai manusia dan masyarakat agar serasi dengan perkembangan pembangunan. Pembangunan berorientasi pada perhatian terhadap masyarakat dan keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan yaitu, orang atau keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan materiil dan kepada kelompok kaya akan sumber-sumber pendapatan untuk dapat disalurkan kepada keluarga yang masih tertinggal dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup. Umumnya keluarga nelayan dianggap kelompok yang dikategorikan miskin.

Kegiatan pembangunan nasional diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dan keluarga untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan kesenjangan


(40)

sosial yang sudah menjadi fenomena utama (Usman 1998). Pembangunan yang selama ini dilaksanakan tidak mencakup implementasi program peningkatan kesejahteraan keluarga tetapi lebih merupakan suatu spectrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam kebutuhan sehingga segenap anggota masyarakat dan keluarga dapat mandiri, percaya diri, tidak tergantung dan dapat lepas dari belenggu struktural yang membuat hidup jadi sengsara. Paradigma pembangunan nasional seperti ini timbul secara ilmiah dari berbagai kenyataan seperti; pertumbuhan pendidikan, pemanfaatan sumber daya alam potensi sumber daya yang ada (Anonim 1998). Sejalan dengan hal tersebut, pembangunan sumber daya nelayan di Provinsi Sulawesi Utara perlu diarahkan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir batin, guna membentuk manusia dan masyarakat yang sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai individu, keluarga dan warga masyarakat terutama keluarga nelayan yang statusnya lebih baik.


(41)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mobilitas dan Alih Status

Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah

dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain. Alih berarti pindah, tukar; sedangkan status berarti keadaan atau kedudukan seseorang (Pusat Bahasa Indonesia 2001).

Tumin (1978) yang diacu dalam Satria (2000) telah menyumbangkan

kerangka bahwa ada beberapa hal yang perlu dibatasi berkaitan dengan studi mobilitas, seperti: 1) aspek-aspek apa saja yang akan diukur, apakah ekonomi, pendidikan, atau prestise profesi, 2) bagaimana unit analisisnya, apakah individu, keluarga atau strata, 3) siapa yang akan dibandingkan: ayah dengan anak, kelompok anak dengan kelompok anak lainnya, kelompok orang pada suatu waktu dibandingkan dengan yang lain, 4) dari mana starting point pengukurannya dan sampai mana terminating point, 5) klasifikasi apa dalam profesi atau faktor lainnya yang akan diukur; sensus klasifikasi profesi; blue collar vs white collar, tingkat pendidikan dan 6) apakah analisis mencakup dimensi objektif dan subjektif dalam mobilitas.

Selanjutnya Turner (1960) yang diacu dalam Satria (2000) menulis bahwa dilihat dari tipenya mobilitas terdiri atas 2 tipe, masing-masing adalah: 1) contest mobility yakni mobilitas yang terjadi karena kemampuannya dalam persaingan dan 2) sponsored mobility yakni mobilitas yang terjadi berdasarkan dukungan.

Apabila pola contest mobility yang dominan maka hal ini menunjukkan bahwa

masyarakat tersebut terbuka. Sebaliknya bila sponsored mobility yang dominan maka hal ini menunjukkan bahwa keahlian atau kemampuan seseorang tidak selamanya mampu membawanya ke status yang lebih tinggi.

Penguasaan kapital semakin besar, maka semakin besar kesempatan mobilitas ke kelas atas. Kelas sosialnya semakin ke atas, maka semakin besar pula


(42)

kesempatan untuk mempengaruhi proses politik, kebijakan publik dan seterusnya (Satria 2002).

Herwantiyoko dan Katuuk (1991) mendefinisikan mobilitas sosial sebagai perpindahan posisi dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain atau dari satu dimensi ke dimensi yang lain. Mobilitas sosial menurut arahnya terdiri atas mobilitas horizontal dan vertikal. Mobilitas vertikal adalah perpindahan posisi dari yang rendah ke lapisan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Mobilitas sosial vertikal dapat terjadi secara intra-generasi ataupun inter-generas, sedangkan mobilitas horizontal merupakan perpindahan posisi antar bidang-bidang suatu dimensi atau antar dimensi dalam lapisan yang sama.

Pada konsep mengenai pelapisan sosial dalam sistem pelapisan sosial di masyarakat, Lawang (1989) melihat adanya peluang-peluang dari individu untuk meningkatkan posisinya pada lapisan yang lebih tinggi di masyarakat. Usaha untuk meraih posisi yang lebih tinggi ini dapat terjadi dalam satu generasi (intra-generasi) ataupun pada keturunannya/generasi berikutnya (inter-(intra-generasi).

Suryana (1989) menyatakan mobilitas profesi sebagai perpindahan mata pencaharian tanpa memperhatikan adanya perpindahan geografi, yaitu perpindahan penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Batas wilayah yang digunakan adalah batas administrasi seperti provinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan.

Perpindahan mata pencaharian ini senantiasa disebabkan oleh faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor penarik adalah sutu keadaan dimana para pekerja melihat kemungkinan kesempatan kerja di luar profesinya, yang diharapkan dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi atau lebih kontinu, sedangkan faktor pendorong diartikan sebagai keadaan yang mengharuskan para pekerja mencari alternatif lain karena jenis profesi yang ada sudah semakin sulit atau tidak ada.

Proses-proses sosial, yang disertai dengan perbedaan-perbedaan alamiah antara satu orang dengan orang lain, segera menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam pemilikan atau kontrol terhadap sumber-sumber alam serta alat-alat produksi. Pemilikan atas kontrol atas alat produksi merupakan dasar utama bagi


(43)

kelas-kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat bangsa primitif sampai kapitalisme modern (Johnson 1988).

Ossowski (1972) diacu dalam Amaluddin (1987), menyatakan bahwa

gradasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gradasi sederhana dan gradasi sintetik. Pembagian kelas menurut model gradasi sederhana didasarkan atas satu kriteria objektif tertentu, misalnya berdasarkan kriteria tingkat pendapatan maka suatu masyarakat dapat dibagi menjadi:

1) Rumah tangga berpendapatan per kapita kurang dari Rp 10.000,00 per

bulan.

2) Rumah tangga berpendapatan per kapita antara Rp 10.000,00 sampai

Rp25.000,00 per bulan.

3) Rumah tangga berpendapatan per kapita lebih dari Rp 25.000,00 per

bulan.

Pembagian kelas pada model gradasi sintetik didasarkan atas kombinasi antara dua atau lebih kriteria objektif tertentu, misalnya berdasarkan kombinasi kriteria tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, nilai sewa rumah tinggal dan peringkat profesi, masyarakat dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah. Menurut Ibrahim (2000), mobilitas sosial adalah perubahan status yang terjadi pada diri seseorang. Mobilitas sosial terdiri dari dua bagian yaitu mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas sosial vertical merupakan perubahan status dari tingkatan yang lebih rendah ke tingkatan yang lebih tinggi atau sebaliknya dari yang tinggi ke yang lebih rendah.

Seorang putra petani yang mempunyai tekad belajar yang tinggi sehingga mampu menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi dan akhirnya menduduki posisi vertikal intra-generasi. Orang-orang tua yang mendorong dan mengusahakan anaknya agar memperoleh pendidikan dan profesi yang lebih baik merupakan upaya mobilitas sosial vertikal inter-generasi.

Hasil penelitian Kusnadi (2002) menyatakan bahwa dalam peta masyarakat Jawa Timur, nelayan-nelayan Madura tidak hanya ditemukan di pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Banyuwangi. Kehadiran nelayan-nelayan Madura mengadakan mobilitas kemaritiman karena etos kerja dan tradisi maritim. Sebaliknya pada saat musim ikan di Desa Pesisir, tidak hanya penduduk setempat


(44)

yang mengais rezeki dari sumber daya perikanan laut tetapi penduduk dari desa-desa sekitarnya atau nelayan dari daerah lain yang disebut sebagai nelayan andun juga mencari penghasilan di perairan ini. Nelayan andun ini dengan kondisi peralatan tangkap yang sangat sederhana bertujuan untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik disaat musim ikan di daerah tujuan andun.

Menurut Kusnadi (2002), penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan, pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.

Pengetahuan lokal atau pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup masyarakat tradisional. Pengetahuan tersebut didapatkan melalui proses “uji coba”, dengan meneruskan praktek-praktek yang dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan praktek-praktek yang dianggap merusak lingkungan dan sumber daya alam. Oleh karena itu hubungan mereka yang dekat dengan lingkungan, maka masyarakat lokal melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal. Masyarakat ini tidak selalu hidup secara harmoni dengan alam, karena mereka juga menyebabkan kerusakan lingkungan.

Pada saat yang sama, karena kehidupan mereka bergantung pada dipertahankannya integritas ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan rumah, kesalahan besar biasanya tidak akan terulang. Pemahaman mereka tentang


(45)

sistem alam yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta biasanya tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah (Mitchell et al. 2003).

Pengetahuan ekologis tradisional dan pengetahuan teknik tradisional membuat masyarakat memilih cara yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam (Sambo dan Woytek 2001). Teknik eksploitasi secara tradisional yang digunakan masyarakat merupakan sistem eksploitasi berkelanjutan, mengurangi

kerusakan ekosistem dan penurunan keanekaragaman hayati (Pinedo-Vaquez et

al. 2001). Jadi, pengetahuan dan teknik tradisional masyarakat nelayan

mengeksploitasi sumberdaya alam secara berkelanjutan.

2.2 Sumber daya Perikanan

Effendi et al. (2006) mengatakan bahwa sumber daya perikanan mencakup sumber daya air (Sumber daya Alam), sumber daya ikan dan sumber daya manusia sebagai pelaku usaha perikanan (terdiri dari nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah hasil perikanan), serta sumber daya buatan yang mencakup fasilitas perikanan dan teknologi.

Sumber daya perikanan merupakan sumber daya alam yang didukung oleh sumber daya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh potensi di lautan maupun di perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan usaha perikanan (Setyohadi 1997). Pengelolaan sumber daya perikanan laut dihadapkan pada tantangan-tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut perkembangan penduduk, perkembangan sumber daya dan lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup internasional (Salim 1984).

FAO (1997) melaporkan bahwa potensi sumber daya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 5.649.600 ton dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil (small pelagic) yaitu sebesar 4.041.800 ton (18,30%) dan perikanan skipjack sebesar 295.000 ton (5,22%). Tetapi di tengah sedikit rasa pesimisme tentang peranan perikanan tangkap ikan di laut sebagai pemasok utama ikan Indonesia, rasa tersebut ditepis dengan disadarinya bahwa Indonesia memiliki potensi pengembangan budidaya ikan yang cukup luas.

Pembangunan perikanan tidak terlepas dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Kalau begitu, maka sektor-sektor pendukung harus memberi


(46)

dukungan. Untuk itu, maka kabinet harus memutuskan bahwa perikanan merupakan sektor dan komoditas unggulan. Membangun perikanan tidak akan membuat negara makin miskin. Sebaliknya, membangun perikanan berarti memanfaatkan sumber daya yang tidak dilirik selama ini, membangun raksasa ekonomi yang sedang tidur, mengabdi kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta yang telah menganugrahi bangsa ini dengan laut dan perairan yang lebih luas dari daratan. Maka adalah dosa kepada Tuhan dan sesama manusia apabila sumber daya yang diberikan-Nya ini tidak dimanfaatkan dengan baik, apalagi ditelantarkan dan bahkan dirusak (Nikijuluw 2005).

Sasaran pengelolaan perikanan secara lebih operasional dirumuskan oleh Gulland (1974) menjadi tiga sasaran yaitu untuk mencapai hasil: hasil tangkapan

maksimum berimbang yang lestari atau ” Maximum Sustainable Yield ” (MSY);

hasil produksi yang secara ekonomi memberikan keuntungan yang maksimum atau ”Maximum Economic Yield” (MEY); kondisi sosial optimal atau mengurangi pertentangan yang terjadi dalam sektor perikanan. Memang masih sering dikatakan bahwa laut Indonesia memiliki peluang yang melimpah. Kata melimpah berarti berlebihan dan tidak bisa ditampung. Lebih tepat dikatakan bahwa laut Indonesia masih memiliki peluang untuk memberikan tambahan hasil perikanan. Peluang itu memang ada, namun tidak begitu banyak lagi. Data yang ada memberikan pertanda bahwa ekspansi penangkapan ikan masih bisa ditingkatkan. Pembenaran lainnya yaitu adanya fakta bahwa perairan Indonesia masih merupakan lahan subur bagi kegiatan penangkapan ikan ilegal oleh nelayan asing. Akhirnya timbul pemikiran, dari pada ditangkap dan dikuras habis oleh nelayan asing, lebih baik oleh nelayan sendiri. Pandangan ini benar, objektif dan nasionalis.

Konsep pemanfaatan sumber daya ikan secara besar-besaran untuk menghindari illegal fishing barangkali akan dikritik oleh pemerhati lingkungan, LSM dan mereka yang ingin mengorbankan generasi sekarang demi anak cucu. Padahal tanpa generasi sekarang, tidak akan ada generasi anak cucu. Jadi apa yang harus diperbuat? Bila memang data masih valid untuk pengembangan kegiatan penangkapan tersebut harus terus dilakukan oleh nelayan sendiri. Tetapi di saat yang sama adalah keharusan untuk membangun sistem pengawasan perikanan


(47)

sehingga praktek ilegal dapat dikurangi atau ditiadakan. Kehendak politis pemerintah untuk meniadakan penangkapan illegal masih perlu lebih banyak lagi dimanisfestasikan dalam bentuk kegiatan nyata, terkoordinir, terpadu dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara (Nikijuluw 2005).

2.3 Pengelolaan Usaha Perikanan Tangkap

Manajemen sumber daya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumber daya ikan, pengelolaan lingkungan, serta pengelolaan kegiatan manusia (Nikijiluw 2002).

Perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya alam khususnya kegiatan penangkapan dan pengumpulan berbagai jenis biota yang ada di lingkungan perairan (Diniah 2009).

Dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: Per 05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, ditulis bahwa Usaha Perikanan adalah usaha yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi reproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran, sedangkan Usaha Perikanan Tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan (JICA 2009).

Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang menangkap meliputi pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kegiatan menangkap ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewan, devisa serta pendapatan negara (Monintja 1994).

Perikanan tangkap skala kecil di Indonesia adalah kontributor terbesar terhadap produksi perikanan. Bahkan sekitar 85% tenaga yang bergerak di sektor perikanan merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidak-berdayaan nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha (Widiyanto et al. 2002).

Usaha perikanan menurut Direktorat Jenderal Perikanan (Syafrin 1993), adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau


(48)

membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial atau mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan, sedangkan perikanan laut sebagai salah satu sub-sektor dari usaha perikanan terbagi pula menjadi 2 aspek, yaitu: 1) penangkapan di laut, adalah semua kegiatan penangkapan yang dilakukan di laut dan muara-muara sungai, laguna dan sebagainya yang dipengaruhi pasang surut. Pada umumnya desa perikanan laut terletak di sekitar muara sungai, laguna dan lain-lain. Dalam hal demikian semua kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dari perikanan laut dinyatakan sebagai penangkapan di laut dan 2) budidaya di laut adalah semua kegiatan memelihara yang dilakukan di laut atau di perairan antara lain terletak di muara sungai dan laguna.

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), telah mengamanatkan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan pemanfaatan sumber daya perikanan secara bertanggung jawab. Prinsip-prinsip dalam pengelolaan meliputi: 1) pelaksanaan hak menangkap ikan disertai upaya konservasi; 2) pengelolaan berasaskan pada mempertahankan kualitas sumber daya, keanekaragaman hayati dan berkelanjutan; 3) pengembangan armada sesuai kemampuan reproduksi sumber daya; 4) perumusan kebijakan perikanan berdasarkan bukti ilmiah; 5) pengelolaan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian; 6) pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumber daya; 7) mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi; 8) perlindungan dan rehabilitasi terhadap habitat sumber-sumber perikanan kritis; 9) pengintegrasian pengelolaan sumber-sumber perikanan kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir; serta 10) penegakan hukum melalui penerapan monitoring, controlling and survilliance (MCS) (Manggabarani 2006), pada sisi lain Gulland (1977) mengajukan enam pendekatan dalam pengelolaan perikanan: 1) pembatasan alat tangkap; 2) penutupan daerah penangkapan ikan; 3) penutupan musim penangkapan; 4) pemberlakuan kuota penangkapan; 5) pembatasan ukuran ikan yang boleh ditangkap; dan 6) penetapan jumlah kapal serta jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap kapal.

Pengelolaan penangkapan ikan meliputi; kontrol alat tangkap, aktifitas penangkapan, lokasi, musim dan kontrol nelayan. Menurut Welcomme (2003),


(1)

X3.6 = 0.49*X3, Errorvar.= 0.76 , R² = 0.24 (0.079) (0.16)

6.18 4.72

X3.7 = 0.21*X3, Errorvar.= 0.95 , R² = 0.046 (0.074) (0.15)

2.89 6.55

X3.8 = -0.18*X3, Errorvar.= 0.97 , R² = 0.033 (0.067) (0.14)

-2.72 6.70

X3.9 = 0.62*X3, Errorvar.= 0.62 , R² = 0.38 (0.099) (0.19)

6.25 3.28

X4.4 = 0.20*X4, Errorvar.= 0.96 , R² = 0.041 (0.075) (0.15)

2.71 6.59

X4.5 = 0.20*X4, Errorvar.= 0.96 , R² = 0.041 (0.073) (0.15)

2.77 6.60

X4.6 = -0.47*X4, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.22 (0.10) (0.17)

-4.62 4.48

X4.7 = 0.21*X4, Errorvar.= 0.96 , R² = 0.042 (0.072) (0.15)

2.84 6.59

X4.8 = 0.17*X4, Errorvar.= 0.97 , R² = 0.030 (0.073) (0.14)

2.36 6.71

X4.9 = -0.51*X4, Errorvar.= 0.74 , R² = 0.26 (0.099) (0.17)

-5.18 4.21


(2)

Error Covariance for X2.6 and X1.6 = 0.75 (0.12)

6.40

Error Covariance for X2.6 and X1.9 = -0.04 (0.13)

-0.33

Error Covariance for X2.7 and X1.7 = 0.36 (0.10)

3.48

Error Covariance for X3.7 and X1.7 = 0.89 (0.10)

8.71

Error Covariance for X3.7 and X2.7 = 0.33 (0.10)

3.24

Error Covariance for X3.8 and X1.8 = 0.58 (0.10)

5.70

Error Covariance for X3.9 and X1.6 = -0.06 (0.13)

-0.46

Error Covariance for X3.9 and X1.9 = 0.59 (0.13)

4.40

Error Covariance for X4.5 and X4.4 = 0.33 (0.10)

3.24

Error Covariance for X4.6 and X1.6 = 0.50 (0.13)

3.94

Error Covariance for X4.6 and X1.9 = 0.032 (0.14)

0.23

Error Covariance for X4.6 and X2.6 = 0.38 (0.13)

3.00

Error Covariance for X4.6 and X3.6 = 0.43 (0.11)

3.70

Error Covariance for X4.6 and X3.9 = 0.064 (0.13)

0.51

Error Covariance for X4.7 and X3.5 = 0.30 (0.10)

2.99


(3)

(0.10) 2.93

Error Covariance for X4.8 and X4.7 = 0.27 (0.10)

2.67

Error Covariance for X4.9 and X1.6 = -0.06 (0.13)

-0.48

Error Covariance for X4.9 and X1.9 = 0.79 (0.14)

5.52

Error Covariance for X4.9 and X2.6 = -0.10 (0.13)

-0.75

Error Covariance for X4.9 and X3.9 = 0.65 (0.12)

5.20

X = -0.0056*X1-0.083*X2-0.0040*X3 + 0.13*X4, Errorvar.= 0.050, R² = 0.013

(0.11) (0.32) (0.10) (0.40) -0.049 -0.26 -0.039 0.32


(4)

Correlation Matriks of Independent Variables X1 X2 X3 X4

--- --- --- --- X1 1.00

X2 -1.33 1.00 (0.80)

-1.65

X3 1.48 -0.64 1.00 (0.83) (0.16)

1.78 -3.99

X4 -1.21 1.12 -0.76 1.00 (0.85) (0.30) (0.19)

-1.42 3.74 -4.05

Covariance Matriks of Latent Variables X X1 X2 X3 X4 --- --- --- --- --- X 0.05

X1 -0.06 1.00

X2 0.07 -1.33 1.00

X3 -0.06 1.48 -0.64 1.00


(5)

Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 159

Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 140.32 (P = 0.85) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0

90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 11.43) Minimum Fit Function Value = 1.42

Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.12)

Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.027) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 1.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 3.06

90 Percent Confidence Interval for ECVI = (3.06 ; 3.18) ECVI for Saturated Model = 4.67

ECVI for Independence Model = 11.00

Chi-Square for Independence Model with 210 Degrees of Freedom = 1046.71 Independence AIC = 1088.71

Model AIC = 284.32 Saturated AIC = 462.00

Independence CAIC = 1164.41 Model CAIC = 543.89

Saturated CAIC = 1294.79

Root Mean Square Residual (RMR) = 0.078 Standardized RMR = 0.078

Goodness of Fit Index (GFI) = 0.93

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.90 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.64 Normed Fit Index (NFI) = 0.87

Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.03 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.66 Comparative Fit Index (CFI) = 1.00

Incremental Fit Index (IFI) = 1.02 RelatifFit Index (RFI) = 0.82 Critical N (CN) = 144.51


(6)

The Modification Indices Suggest to Add the

Path to from Decrease in Chi-Square New Estimate X1.8 X2 16.2 3.35

X3.5 X1 13.9 -5.80 X3.5 X2 9.5 0.99 X3.9 X1 13.5 4.51

The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate X2.9 X1.9 11.5 0.52