proses pemberian modal bagi nelayan akan meningkatkan produksi hasil tangkapan, membeli alat baru yang lebih up to date dan lain sebagainya. Semua
ini akan mengakibatkan peningkatan pendapaan dan peningkatan status. Dilihat dari kelemahan yang berupa alih profesi dan lokasi, pendapatan
nelayan yang minim, faktor budaya masyarakat nelayan, rendahnya teknologi penangkapan, ketidakmampuan memprotes kebijakan pemerintah, peraturan
pemerintah yang sulit diterapkan dengan ancaman: sistem bagi hasil yang merugikan nelayan skala kecil, adanya tengkulak, illegal fishing, kejenuhan dalam
pekerjaan, pengrusakan habitat perairan pada saat penangkapan ikan, maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa strategi WT yang cocok adalah
memberi sanksi keras bagi oknum yang melakukan illegal fishing demi
keuntungan pribadi.
Pemberian sanksi yang keras terhadap oknum ”nakal” bisa memberikan hasil yang positif bagi nelayan, dalam arti sekurang-kurangnya hak nelayan untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik dapat terwujud, karena tidak akan ada lagi pungutan-pungutan diluar kemampuan nelayan untuk membayarnya. Dengan
demikian pendapatan mereka bisa digunakan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya atau bahkan dapat menaikan status nelayan itu
sendiri menjadi lebih baik.
5.7 Tindakan Konkrit untuk Mempercepat Alih Status Nelayan ke Arah
yang Lebih Baik di Provinsi Sulawesi Utara
5.7.1 Memberikan pemahaman
ecosystem approach kepada nelayan
Kehidupan nelayan bergantung pada dipertahankannya integritas ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan rumah, kesalahan besar
biasanya tidak akan terulang. Pemahaman mereka tentang sistem alam yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta biasanya tidak dapat
dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah Mitchell et al. 2003. Pengetahuan ekologis tradisional dan pengetahuan teknik tradisional
membuat masyarakat memilih cara yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam Sambo dan Woytek 2001.
Teknik eksploitasi secara tradisional yang digunakan masyarakat merupakan sistem eksploitasi berkelanjutan, mengurangi kerusakan ekosistem dan
penurunan keanekaragaman hayati Pinedo-Vaquez et al. 2001. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapatlah disimpulkan
bahwa melalui hasil penelitian nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara umumnya mereka memahami tentang permasalahan ekosistemekologi, dengan
pengetahuan tersebut mendorong nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara untuk melakukan mobilitas, dengan tidak menggunakan bahan-bahan tidak ramah
lingkungan demi mendapatkan ikan ketika tidak ada ikan dan mendorong mereka untuk mengingatkan sesama nelayan untuk tidak merusak lingkungan ketika
menangkap ikan di suatu perairan, kemudian memberikan pemahaman tentang hal-hal lain lagi yang bisa mereka lakukan agar tidak merusak lingkungan pada
saat melakukan penangkapan ikan di suatu area penangkapan ikan.
5.7.2 Mengatasi konflik nelayan
Menurut Pruitt dan Rubin 2004 konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan perceived divergence of interest, atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Sedangkan Fisher et al. 2001 berpendapat bahwa konflik adalah
hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Selai n itu, Wiradi 2003 me mberikan definisi konflik s eba gai suatu sit uasi pros es interaksi antara dua atau lebih individu atau
kelompok dalam memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. Dalam kata lain konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Dari berbagai
definisi konflik di atas, maka pemahaman konflik secara umum me li bat kan dua a spe k. Pertama, aspek psikologis yang berkenaan dengan
persepsi mengenai perbedaan kepentingan dan perbedaan cara pandang terhadap suatu objek tertentu konflik laten. Kedua, aspek konfrontasi fisik berupa
perkelahian, peperangan,dan perjuangan dimana ada upaya untuk menyingkirkan, menghancurkan dan membuat tidak berdaya oleh pihak yang satu kepada pihak
yang lain konflik terbukamanifes.
Nelayan sebagai pihak yang memanfaatkan sumber daya laut tidak selalu memiliki hubungan yang harmonis, baik dengan sesama nelayan maupun dengan
pihak-pihak lain yang bukan nelayan. Perairan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik merupakan daerah
penangkapan ikan fishing ground bagi armada dengan skala kecil atau perikanan rakyat dan armada dengan skala besar atau perikanan industri. Alat tangkap
dominan yang digunakan oleh nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara adalah bagan, pajeko mini purse seine dan huhate longline. Data sementara
menunjukkan ketiga alat di atas mendominasi nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara sehingga dapat menyebabkan konflik antara nelayan baik nelayan
skala kecil dengan nelayan skala besar, maupun antar nelayan skala kecil seperti antar nelayan pancing, antar nelayan ikan cakalang, antar nelayan jaring. Konflik
yang terjadi biasanya dalam perebutan daerah penangkapan karena nelayan- nelayan tersebut bersaing memanfaatkan daerah penangkapan ikan yang sama
yang menyebabkan sebagian besar nelayan tidak mendapatkan hasil tangkapan atau tidak memperoleh ikan sama sekali.
Mengenai pemanfaatan sumber daya perikanan laut, terjadi kompetisi baik antar nelayan lokal maupun dengan nelayan pendatang andun. Kompetisi juga
terjadi dalam penggunaan teknologi alat tangkap dan perebutan sumber daya ikan di daerah penangkapan ikan fishing ground. Hal ini kemudian menjadi potensi
konflik yang suatu saat akan mengakibatkan terjadinya konflik terbuka. Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat tergantung pada kemampuan modal
dan ketrampilan nelayan dalam menggunakannya. Tidak semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan teknologi
penangkapan modern. Sementara laut sebagai sumber daya milik bersama common property resources tidak memiliki batasan kawasanwilayah yang jelas.
Dengan demikian, terjadilah benturan atau konflik di antara para nelayan yang sangat bergantung secara ekonomis terhadap laut Simbolon 2009.
Konflik pada masyarakat nelayan dapat terjadi akibat faktor eksternal dan internal. Kasus konflik akibat faktor eksternal terjadi akibat terusiknya
kelangsungan usaha masyarakat setempat karena beroperasinya kapal-kapal besar seperti dari Philipina sehingga aktifitas keseharian nelayan setempat menjadi
terganggu. Masalah ini yang sering terjadi di banyak daerah di Provinsi Sulawesi Utara, dimana alat tradisional semakin terlindas oleh nelayan skala besar yang
menggunakan alat tangkap yang dimodifikasi dan mempunyai catchability yang lebih tinggi. Seperti yang didapat dari hasil wawancara, nelayan tradisional dari
Sangihe yang bermobilitas ke Bitung, mereka bentrok dengan nelayan Bitung karena bersaing memanfaatkan daerah penangkapan ikan yang sama di Bitung.
Selanjutnya ada juga nelayan dari Kema yang bersaing dengan nelayan dari Philipina dan Taiwan dalam memperebutkan daerah penangkapan ikan di
Amurang. Bahkan nelayan Philipina sampai berani masuk ke wilayah territorial 3 mil di perairan pantai Sangihe yang terletak di utara Sulawesi Utara.
Konflik tersebut sering kali melibatkan dua kelompok nelayan berbeda teknologi dalam memperebutkan daerah dan target penangkapan yang sama.
Konflik antar nelayan disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, jumlah nelayan dengan beragam alat tangkap serta ukuran kapal telah meningkat. Kedua, luas
wilayah operasi tidak bertambah luas karena teknologi yang dikuasai tidak berkembang. Ketiga, perairan telah mengalami kondisi tangkap lebih dan populasi
ikan mulai menurun. Keempat, kesalahan pemahaman atas implikasi dan perumusan Undang-undang mengenai otonomi daerah yang mengatur
kewenangan pengelolaan wilayah perairan laut Simbolon 2009. Beberapa faktor yang kerap kali menjadi dasar pecahnya konflik sosial di
kalangan nelayan Sulawesi Utara adalah adanya perbedaan penggunaan teknologi penangkapan ikan dan adanya kekuatan lain di luar kalangan nelayan
yang mendesak kepentingan nelayan. Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara terbagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan. Tidak jarang terjadi persinggungan wilayah penangkapan ikan fishing ground yang kemudian memicu terjadinya
konflik. Perbedaan teknologi yang digunakan juga menimbulkan perbedaan hasil tangkapan sehingga hal ini dapat memicu kecemburuan terhadap kelompok lain.
Biasanya yang terjadi adalah ketidaksukaan nelayan “tradisional” terhadap nelayan “modern”. Hal ini juga dapat menjadi pemicu pecahnya konflik.
Konflik yang terjadi antar kelompok-kelompok ini merupakan kelompok internal karena melibatkan sesama nelayan. Selain itu terdapat juga konflik
eksternal yang merupakan konflik antara kalangan nelayan dengan pihak lain non-nelayan, dalam hal ini adalah pihak swasta. Berbagai faktor di atas
mengarah kepada satu isu yaitu terganggunya aktivitas dan keberadaan para nelayan di Provinsi Sulawesi Utara dalam usaha meningkatkan perekonomian
hidupnya. Masing-masing individu nelayan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber daya yang sama yaitu laut.
Konflik antar nelayan menjadi salah satu faktor yang memicu nelayan tradisional Sulawesi Utara melakukan mobilitas profesi menjadi petani kelapa,
tukang ojek, supir, kuli bangunan, tukang bongkar muat dan lain-lain. Kejenuhan menghadapi konflik yang sering terjadi membuat nelayan Sulawesi Utara
mengambil inisiatif untuk bermobilitas profesi, namun jika keadaan dirasa sudah membaik makan nelayan yang beralih profesi tersebut akan kembali menjadi
nelayan, karna nelayan Sulawesi Utara sangat mencintai profesinya sebagai nelayan.
Sama halnya di daerah lain, konflik antar nelayan adalah hal lumrah dimanapun. Contoh daerah lain yang sering terjadi konflik antar nelayannya
adalah di daerah Kalimantan Barat sebagian besar kasus konflik yang terjadi dikalangan nelayan Balikpapan adalah bersifat konflik terbuka atau manifes dan
hanya satu kasus saja yang merupakan konflik laten. Meskipun bersifat laten, kasus antara nelayan pejala dan pebagan perahu sangat berpotensi untuk berubah
menjadi konflik terbuka yang sewaktu-waktu dapat meledak. Kedalaman konflik pada kasus-kasus konflik terbuka semuanya telah sampai pada
tahap clash atau bentrok. Pada tahun 2010 lalu misalnya terjadi pembakaran dua atau tiga
dogolmini trawl setiap hari dalam kasus konflik antara nelayan dogolmini trawl
dengan perengge, hingga diperkirakan dogolmini trawl yang dibakar mencapai 50 buah pada saat itu. Bentrokan terbesar yang terjadi dari
contoh-contoh kasus konflik nelayan di Balikpapan di atas kemungkinan adalah peristiwa dibakarnya kapal milik nelayan purse seine dari Juwana
Jawa Tengah, KM Mutiara Sakti, oleh nelayan lokal pada tanggal 16 Januari 2006. Hal ini adalah puncak dari ketidak senangan nelayan terhadap
keberadaan kapal-kapal “modern” tersebut di wilayah tangkap mereka
fishing ground. Sedangkan pada konflik eksternal, bentrokan yang terjadi ditunjukkan dalam
bentuk penyanderaan dan pemblokiran kapal perusahaan, pemukulan, penikaman oleh pisau, penghancuran rumah nelayan
dan demonstrasi. Lain halnya dengan konflik yang terdapat di Kotabaru, menurut Yusmilyansari 2009 jenis-jenis konflik yang terdapat di Kotabaru Kalimantan
Selatan dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1
Konflik nelayan lokal dengan nelayan luar konflik alat tangkap, konflik kapal penangkap ikan, penggunaan bom.
2 Konflik nelayan lokal denga andun konflik perusakan terumbu karang,
konflik penggunaan bom dan bahan kimia berbahaya. Konflik lokal nelayan konflik fishing ground, konflik jalur penangkapan,
konflik alat tangkap. Sehubungan dengan konflik internal sebenarnya persoalan pokok bukan
terletak pada perbedaan jenis alat tangkap, melainkan adanya perbedaan yang mengandung unsur hierarkis yaitu ada pihak yang lebih superior dan ada yang
lebih inferior dalam kemampuan memanfaatkan sumber daya alam. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi dominasi satu kelompok nelayan atas kelompok
nelayan lain. Inilah yang sebenarnya memicu sebagian besar konflik sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam di kalangan nelayan di Indonesia khususnya
Provinsi Sulawesi Utara. Resolusi konflik dipandang sebagai upaya meredakan dan mengurangi
konflik yang telah dan sedang terjadi. Pada dasarnya konflik kenelayanan terkait pemanfaatan sumber daya laut bernuansa kekerasan Adhuri et al. 2005. Konflik
yang bernuansa kekerasan maupun yang tidak, bermanfaat dan tidak dapat dihilangkan dalam masyarakat karena hubungan-hubungan antar pihak-pihak
individu atau kelompok dalam masyarakat tidak selamanya harmonis, setidaknya ada hal yang dipertentangkan. Akar konflik dalam pengeksploitasian
sumber daya laut atau yang dikenal dengan istilah kenelayanan adalah kenyataan bahwa laut tergolong sumber daya milik umum public property resource
sehingga untuk mengatasinya dilakukan dengan penciptaan keputusan yang disetujui bersama yang bisa memaksa setiap orang untuk tunduk padanya Hardin
1968 dalam Adhuri et al. 2005.
Upaya penyelesaian resolusi perlu segera dilakukan terutama pada konflik yang bernuansa kekerasan agar tidak semakin buruk dan diharapkan dapat
menghasilkan keseimbangan equilibrium baru di masyarakat. Di pihak lain, resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka
dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri suatu kekerasan penyelesaian konflik, tetapi juga mencapai suatu resolusi dari
berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya Fisher et al. 2001. Adapun beberapa saran yang direkomendasikan sebagai alternatif
pemecahanpenyelesaian konflik di Provinsi Sulawesi Utara adalah sebagai berikut:
1 Mendorong masyarakat nelayan dalam menguatkan kerjasama kelembagaan antar KabupatenKota, menetapkan armada dan kuota
penangkapan, merealokasi wilayah penangkapan, sedangkan pembentukan kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan dapat ditempuh dengan cara
memberdayakan atau dengan cara memberi pinjaman modal yang ditujukan untuk alternatif usaha selain usaha penangkapan, seperti usaha
pengolahan ikan, budidaya perikanan. 2 Menyarankan pemerintah untuk mengkaji pengaturan zona
penangkapan yaitu dengan memperhatikan jarak dominasi pemberian pengakuan secara legal hak khusus sekelompok nelayan
atas wilayah tangkap tertentu pemberian status property right . Hal ini merupakan langkah awal dari pengakuan secara legal “hak pemanfaatan
tradisional” nelayan lokal. Sesuai dengan UU jalur penangkapan Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009, Jalur penangkapan ikan adalah wilayah
perairan yang merupakan bagian dari WPP-NRI untuk pengaturan dan pengelolaan kegiatan penangkapan yang menggunakan alat penangkapan
ikan yang diperbolehkan danatau yang dilarang. Jalur Penangkapan Ikan di WPP-NRI terdiri dari:
a Jalur penangkapan ikan I. Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, terdiri dari:
-Jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 dua mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
-Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 dua mil laut sampai dengan 4 empat mil laut.
b Jalur penangkapan ikan II. Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, meliputi perairan di luar jalur
penangkapan ikan I sampai dengan 12 dua belas mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
c Jalur penangkapan ikan III. Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, meliputi ZEEI dan perairan di luar
jalur penangkapan ikan II.
3 Memberdayakan badan yang mengawasi usaha penangkapan di
setiap wilayah tangkap. 4 Mengkombinasikan
penguasaan pribadiswasta dengan kolektivisme
negara. Hal ini akan membuat semua pihak merasa dihargai kehadirannya dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam.
5.7.3 Meninjau kembali pola hubungan patron-klien dan sistem bagi hasil