Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Per 05MEN2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, ditulis bahwa penangkapan
ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal atau memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah danatau mengawetkannya JICA 2009.
Kesulitan yang dihadapi para nelayan dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap, antara lain disebabkan oleh adanya karakteristik yang spesifik dari
sumber daya perikanan, yakni: 1 faunanya bersifat liar dan pada dasarnya jumlahnya terbatas; 2 faunanya bebas bergerak dan tidak terlihat secara langsung;
3 pada daerah tropis, ikannya terdiri dari bermacam-macam spesies sehingga alat tangkap yang digunakan juga bermacam-macam; dan 4 sumber daya bersifat
terbuka untuk dimanfaatkan. Pengelolaan perikanan secara operasional ditujukan untuk mencapai hasil tangkapan maksimal yang berimbang lestari MSY, hasil
produksi yang secara ekonomi memberikan keuntungan maksimum yang lestari MEY dan kondisi sosial yang optimal misalnya memaksimumkan tenaga kerja
dan mengurangi pertentangan yang terjadi di antara nelayan Gulland 1997.
2.4 Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil
Seperti dikemukakan pada bab terdahulu bahwa klasifikasi perikanan tangkap skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal
atau komersial hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengingat dimensinya yang cukup luas. Sering kali pengelompokan berdasarkan atas ukuran kapal atau
besarnya tenaga, tipe alat tangkap, jarak daerah penangkapan dari pantai Smith 1983.
Menurut Charles 2001, skala usaha perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek di antaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan, berdasarkan
daerah penangkapan, yaitu jarak dari pantai ke lokasi penangkapan dan berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokan tersebut dilakukan melalui
perbandingan skala kecil dengan perikanan skala besar, walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih
spesifik. Lebih lanjut karakteristik perikanan skala kecil diungkapkan oleh Smith 1983 bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan
perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan dan membaginya ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan nelayan tradisional Tabel
1. Perikanan tradisional menurut Smith 1983, adalah di antaranya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: 1
Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali.
2 Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu dan pendapatan keluarga
adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan di luar penangkapan.
3 Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri.
4 Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin.
5 Investasi rendah dengan modal pinjaman dari penampung hasil tangkapan.
6 Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai
sangat rendah. 7
Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang teroganisir dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau dijual di laut.
8 Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama
keluarganya. 9
Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai
batas minimal. Kesembilan ciri perikanan tradisional di atas bisa dijumpai pada
masyarakat nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara. Dalam struktur masyarakat nelayan terdapat hubungan antar fungsi dari faktor internal, faktor
eksternal dan kapasitas diri nelayan terhadap tingkat keberdayaan mereka sebagai individu. Bekerjanya fungsi tersebut telah menyebabkan terjadinya stratifikasi
dalam masyarakat nelayan itu sendiri, pada kenyataanya terdapat nelayan yang tingkat kesejahteraannya yang buruk miskin. Kondisi demikian terjadi karena
adanya perbedaan kemampuan dalam menjalankan fungsi tersebut masing-masing individu oleh karena tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang mereka
miliki juga berbeda dalam kehidupan mereka sebagai nelayan.
Pada setiap struktur sosial terdapat fungsi di dalamnya, seperti dikemukakan oleh Dahrendorf yang diacu dalam Megawangi 1999
mengemukakan gambarannya mengenai pokok-pokok teori fungsionalisme, sebagai berikut:
1 Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan
stabil. 2
Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik. 3
Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya suatu sistem masyarakat.
4 Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai
nilai di kalangan para anggotanya. Dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial
merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional. Teori struktural ini memandang sistem stratifikasi sebagai
sebuah struktur dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada sistem stratifikasi, melainkan pada sistem posisi kedudukan. Namun perbedaan fungsi
ini tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan tetapi untuk mencapai tujuan keluarga dan masyarakat nelayan secara keseluruhan. Kebiasaan
masyarakat, budaya serta nilai yang berlaku dalam masyarakat akan berpengaruh juga terhadap bekerjanya fungsi tersebut.
Seperti dikemukakan oleh Megawangi 1999 tentunya, struktur dan fungsi masyarakat tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai-
nilai yang melandasi sistem masyarakat itu. Menurut teori struktural fungsional, struktur sosial dan pranata sosial berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini menekankan
kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial,
fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur ini tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori
struktural kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya Poloma 2000.
Tabel 1 Perbandingan situasi technico-socio-economic antara nelayan tradisional dengan nelayan industri
No. Uraian Nelayan Industrial Tradisional
Artisanal Subsisten
1 Unit penangkapan
Tepat, dengan divisi profesi dan
prospek jelas. Tepat, kecil,
spesialisasi dengan profesi yang tidak
terbagi Tenaga sendiri,
atau keluarga, atau grup
masyarakat
2 Kepemilikan Dikonsentrasikan
pada beberapa pengusaha,
kadang bukan nelayan.
Biasanya dimiliki oleh nelayan yang
berpengalaman, atau nelayan-nelayan
gabungan Tersebar di
antara partisipan- partisipan
3 Komitmen waktu
Biasanya penuh waktu
Seringkali merupakan profesi
sampingan Kebanyakan
paruh waktu 4 Kapal
Bertenaga, dengan
peralatan yang memadai
Kecil; dengan motor di dalam atau motor
tempel kecil diluar. Tidak ada atau
berbentuk kano. 5 Perlengkapan
Buatan mesin,
atau pemasangan lainnya
Sebagian atau seluruhnya
menggunakan material-material
buatan mesin Material buatan
tangan yang dipasang
pemiliknya
6 Sifat profesi
Dengan bantuan
mesin Bantuan mesin yang
minim Dioperasikan
dengan tangan 7 Investasi
Tinggi, dengan
proporsi yang besar diluar
nelayan Rendah; penghasilan
nelayan seringkali diambil dari pembeli
hasil tangkapan Sangat rendah
sekali
8 Penangkapan per
unit Besar
Menengah Rendah hingga
sangat rendah 9 Produktivitas
per orang
Besar Menengah atau
rendah Rendah hingga
sangat rendah 10 Pengolahan
hasil tangkapan
Diolah menjadi tepung ikan atau
untuk bahan konsumsi atau
bukan untuk manusia
Beberapa dikeringkan, diasap,
diasinkan; untuk kebutuhan manusia
Kecil atau tidak ada sama sekali;
semuanya untuk dikonsumsi.
11 Keberadaan ekonomi nelayan
Sering kali kaya Golongan menengah
kebawah Minimal
12 Kondisi sosial
Terpadu Kadang terpisah
Masyarakat yang terisolasi
Sumber: Kesteven 1973 yang diacu Smith 1983
Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan
konsekuensi kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidak pastian sehingga tidak ada
pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal patron. Bagi nelayan menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk
menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Artinya, patron menguasai sumber daya tersebut
menyebabkan ikatan patron-klien terjalin. Mengacu pada struktur sosial tersebut, bahwa masyarakat nelayan kota Manado menunjukkan adanya pelapisan sosial,
pelapisan sosial merupakan dimensi struktur sosial yang bersifat vertikal yang melihat masyarakat secara bertingkat yang nampak pada stratifikasi sosial, kelas
sosial dan status sosial dalam masyarakat. Apakah seseorang berada pada lapisan atas, menengah, atau bawah dan apakah dia temasuk pada orang yang berada
dikelas atas, menengah bawah Satria 2009. Hal di atas sesuai dengan penjelasan dari Soekanto dan Soerjono 1990, menyatakan bahwa dengan mengamati pola-
pola penguasaan aset produksi seperti modal, pelapisan sosial dalam komunitas nelayan.
Klasifikasi usaha penangkapan ikan ke dalam skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial telah banyak
dilakukan oleh berbagai badan atau lembaga pemerintah untuk keperluan pengembangan dan pencatatan Haluan 1986. Selanjutnya disimpulkan bahwa
usaha penangkapan ikan tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1
Unit penangkapan ikan dengan skala kecil yang seringkali terdiri dari kelompok keluarga nelayan yang menggunakan perahu dengan atau
tanpa motor penggerak. 2
Kegiatan penangkapan ikan seringkali tidak tetap atau musiman. 3
Penghasilan dan pendapatan nelayan didasarkan atas sistem bagi hasil. 4
Juragan atau nelayan pemilik kapal dan alat penangkapan ikan sering ikut operasi penangkapan ikan sendiri.
5 Bahan alat penangkap ikan mungkin sudah dibuat oleh mesin di pabrik
seperti jaring nilon, tetapi desain dan penyambungan bagian-bagiannya masih dilakukan oleh tangan nelayan sendiri dan dalam penauran serta
penarikan umumnya tidak dibantu oleh tenaga mesin. 6
Tingkat investasi rendah dan sistem ijon masih berlaku.
7 Hasil tangkapan per unit penangkapan ikan dan produktivitas per
nelayan mulai dari tingkat menengah sampai rendah sekali. 8
Hasil tangkapan belum semuanya dijual di Tempat Pelelangan Ikan TPI.
9 Sebagian atau kadang-kadang semua hasil tangkapan ikan dikonsumsi
sendiri bersama keluargaya. 10
Seringkali perkampungan nelayan tradisional agak terisolasi dan tingkat hidup nelayan tradisional rendah.
Nelayan tradisional merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan oleh sikap mental yang
tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, disamping kepemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan relatif rendah dan miskin, umumnya
hanya memiliki perahu tanpa motor, dengan alat tangkap yang sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan untuk
membedakannya dengan nelayan modern atau non-tradisional, sebagai penyederhanaan gambaran klasik sistem ekonomi dualistik Bailey dan Zerner
1992. Struktur sosial masyarakat beranekaragam corak. Ada yang sederhana dan
adapula yang kompleks. Sederhana atau kompleksnya struktur sosial suatu masyarakat tergantung dari keadaan masyarakat. Masyarakat primitif atau terasing
umumnya mempunyai struktur sosial yang sederhana dan terutama ditentukan oleh corak sistem kekerabatannya. Pada masyarakat yang sudah maju, struktur
sosial umumnya sangat komplek dan tidak hanya bersumber pada sistem kekerabatannya, tetapi juga ditentukan oleh sistem ekonomi, sistem pelapisan
sosial dan sebagiannya yang merupakan kombinasi Ibrahim 2000. Struktur sosial disusun dari status dan posisi anggota dalam suatu sistem. Pada
hakekatnya dalam suatu sistem sosial selalu terdapat struktur. Permasalahannya, ada struktur yang dapat dengan jelas dimengerti anggota-anggotanya ada pula
yang abstrak. Sistem-sistem sosial formal dapat dengan mudah diketahui, sedangkan struktur sosial yang non-formal atau tradisional memerlukan
perenungan beberapa saat.
Pada hakekatnya struktur sosial berpengaruh pada tingkah laku dalam menjawab rangang dari luar. Begitu pula jalannya proses difusi inovasi, struktur
sosial mempunyai hubungan saling pengaruh yang komplek dengan proses adopsi inovasi ke dalam suatu sistem sosial. Struktur dapat merintangi atau memudahkan
proses difusi dan sebaliknya difusi dapat mengubah struktur sosial suatu masyarakat Ibrahim 2000.
Masyarakat desa dalam melakukan kegiatan-kegiatan termasuk di dalamnya kegiatan mata pencaharian, masih tetap berpegang pada tradisi-tradisi
yang dilandasi oleh kepercayaan tentang hari-hari baik dan buruk menurut sistem pengetahuan yang mereka miliki dan warisi dari nenek moyangnya, kemudian
ditransformasikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam lingkungan sekitarnya.
Koentjaningrat 1977 menyatakan bahwa pokok-pokok sistem pengetahuan terdiri atas:
1 Pengetahuan tentang sekitar alam. 2 Pengetahuan tentang alam flora.
3 Pengetahuan tentang alam fauna. 4 Pengetahuan tentang zat-zat dan bahan mentah.
5 Pengetahuan tentang kelakuan sesama manusia. 6 Pengetahuan tentang tubuh manusia.
7 Pengetahuan tentang ruang, waktu dan bilangan. 2.5
Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap
Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia dikelompokan dalam 3 kelompok yaitu: 1 perikanan lepas pantai offshore
Fisheries; 2 perikanan pantai Coastal Fisheries; dan 3 perikanan darat Inland Fisheries. Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya
dengan pengelolaan lingkungan pesisir Satria 2002. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik Bahari 1989.
Dahuri 2003 mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan haruslah dtinjau melalui bio-tecnico-socio-economic-approach. Oleh karena itu ada empat
persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu jenis alat penangkapan ikan untuk dikembangkan yaitu; 1 bila ditinjau dari aspek biologi, pengoperasian alat
tangkap tersebut tidak mengganggu atau merusak kelestarian sumber daya perikanan, 2 secara teknis, efektif untuk dioperasikan, 3 ditinjau dari aspek
sosial dapat diterima masyarakat nelayan, 4 secara ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan dan selain itu harus ada izin dari pemerintah. Keempat
syarat tersebut tidak mutlak diharuskan, melainkan dipertimbangkan sesuai kepentingan.
Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya dana yang tersedia.
Berdasarkan sifat sumber daya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya perikanan di suatu perairan.
Fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi nelayan yang beroperasi di sekitar tersebut Syafrin 1993.
Mengingat tujuan utama pengembangan perikanan tangkap yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan, maka sejumlah aspek yang berkaitan
dengan nelayan mendapat banyak perhatian, salah satu di antaranya ialah mengembangan perikanan tangkap untuk menciptakan lapangan kerja Monintja
2000. Teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis perikanan tangkap yang dapat menyerap tenaga kerja relatif banyak, disertai dengan pendapatan nelayan
yang memadai. Pengembangan sentra perikanan harus diawali dengan perbaikan sarana
perikanan utama pelabuhan perikanan, Pangkalan Pendaratan Ikan PPI, serta fasilitas paska panen lainnya, sedangkan kebijaksanaan operasional
pengembangan produksi perikanan laut diterapkan juga pada perluasan dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut di wilayah pengembangan Direktorat
Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI 1999. Menurut Monintja et al. 2006, perlu adanya pertimbangan dalam
pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan yang akan digunakan dalam pemilihan
teknologi dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, teknologi penangkapan ikan secara teknis,
ekonomis, rute dan pemasaran menguntungkan serta kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan.
Suatu kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan memiliki ciri- ciri sebagai berikut:
1 Selektivitas tinggi artinya, teknologi yang digunakan mampu
meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target. 2
Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan.
3 Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan dengan
menggunakan teknologi tersebut. 4
Menghasilkan ikan bermutu baik dan tidak membahayakan kesehatan konsumen.
5 Hasil tangkapan yang terbuang discards sangat minim.
6 Berdampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, tidak
menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah. 7
Dapat diterima, secara sosial, artinya di masyarakat nelayan tidak menimbulkan konflik.
Kriteria untuk kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan adalah: 1
Menerapkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. 2
Jumlah hasil tangkapan yang tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
3 Menguntungkan.
4 Investasi rendah.
5 Penggunaan bahan bakar minyak rendah.
6 Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Simbolon et al. 2009 menyatakan bahwa keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain: 1 nelayan
yang mengoperasikan alat tangkap; 2 alat penangkap ikan; 3 kapal ikan dan perlengkapannya; 4 metode penangkapan ikan; 5 tingkah laku ikan; dan 6
daerah penangkapan ikan. Bahari 1989 mengungkapkan bahwa pengembangan usaha perikanan
merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di
bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik.
Status sumber daya perikanan laut dunia pada tahun 2004 menurut Garcia et al. 2002 yang diacu dalam Monintja et al. 2006, telah menunjukkan kondisi
yang memprihatinkan, karena 52 dari stok ikan dunia telah fully exploited, sekitar 17 telah mengalami over exploted dan 7 telah dinyatakan berada
dalam status depletation. Disebutkan pula beberapa kecenderungan, bahwa: 1
Stok yang dimanfaatkan pada tingkat MSY telah menurun sejak tahun 1974, namun cenderung naik lagi setelah tahun 1995.
2 Peluang pengembangan pemanfaatan telah menurun dari 40 pada tahun
1974, menjadi 24 pada tahun 2004. 3
Proporsi stok ikan yang mengalami over exploited telah meningkat dari 10 pada tahun 1974 menjadi 25 pada tahun 2000-an walaupun agak
stabil pada tahun-tahun terakhir. 4
Pemulihan stok stock recover tercatat sebesar 1 pada tahun 2004. Seluruh masyarakat perikanan dunia sebaiknya berfikir dan bertindak
secara lebih obyektif untuk segera meningkatkan kegiatan pengelolaan perikanan, guna menjamin keberlangsungan usaha penangkapan ikan dalam memenuhi
kebutuhan umat manusia terhadap protein ikan. Salah satu penyebab lambatnya pemulihan stok ikan adalah karena terlambatnya implementasi pengeloaan
perikanan dan bahkan sebelum adanya rencana pengelolaan yang dirancang secara terpadu dan konseptual.
Dengan luasnya wilayah yang menjadi dasar evaluasi FAO maka dapat diduga bahwa gejala dan fakta global tidak selalu terjadi dalam lingkup yang lebih
kecil. Khususnya, apa yang terjadi dengan perikanan Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang membuktikan bahwa gejala dan fakta
perikanan di dunia ini belum atau tidak terjadi dengan perikanan Indonesia. Pertama, berdasarkan analisis ilmiah oleh tim ahli dari berbagai instansi
pemerintah dan universitas, diperoleh bahwa potensi lestari sumber daya perikanan laut Indonesia sekitar 6,4 juta ton per tahun. Ini berarti sekitar 6,4 juta
ton ikan dapat diambil setiap tahun dari perairan laut Indonesia tanpa gangguan stabilitas dan kontinuitas bioekologi sumber daya. Namun baru sekitar 72
potensi ini dimanfaatkan. Artinya bahwa masih besar peluang pengembangan bisnis industri ini. Kedua, kenyataan bahwa perairan Indonesia merupakan arena
perburuan ikan oleh nelayan asing yang secara ilegal namun terkoordinir masuk dan menguras sumber daya ikan Indonesia. Fakta ini memberi indikasi bahwa
sumber daya ikan di negara mereka memang sudah terkuras habis tetapi sebaliknya masih tersedia di perairan Indonesia. Ketersediaan itu menjadi daya
tarik penangkapan ikan secara ilegal yang penuh dengan resiko. Ketiga, semaraknya pembangunan perikanan di daerah, utamanya di kabupaten dan kota
pesisir. Kesemarakan pembangunan ini dilihat dari dijadikannya usaha perikanan sebagai usaha basis pemberdayaan ekonomi masyarakat serta peningkatan
kontribusi pendapatan daerah dari sektor perikanan. Ini hanya bisa terjadi karena sumber daya ikan di perairan dekat pantai inshore waters masih cukup tersedia
Nikijuluw 2005.
2.6 Pengaruh Kegiatan Perikanan Tangkap Terhadap Lingkungan