Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Per 05MEN2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, ditulis bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal atau memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah danatau mengawetkannya JICA 2009. Kesulitan yang dihadapi para nelayan dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap, antara lain disebabkan oleh adanya karakteristik yang spesifik dari sumber daya perikanan, yakni: 1 faunanya bersifat liar dan pada dasarnya jumlahnya terbatas; 2 faunanya bebas bergerak dan tidak terlihat secara langsung; 3 pada daerah tropis, ikannya terdiri dari bermacam-macam spesies sehingga alat tangkap yang digunakan juga bermacam-macam; dan 4 sumber daya bersifat terbuka untuk dimanfaatkan. Pengelolaan perikanan secara operasional ditujukan untuk mencapai hasil tangkapan maksimal yang berimbang lestari MSY, hasil produksi yang secara ekonomi memberikan keuntungan maksimum yang lestari MEY dan kondisi sosial yang optimal misalnya memaksimumkan tenaga kerja dan mengurangi pertentangan yang terjadi di antara nelayan Gulland 1997.

2.4 Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil

Seperti dikemukakan pada bab terdahulu bahwa klasifikasi perikanan tangkap skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengingat dimensinya yang cukup luas. Sering kali pengelompokan berdasarkan atas ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap, jarak daerah penangkapan dari pantai Smith 1983. Menurut Charles 2001, skala usaha perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek di antaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan, berdasarkan daerah penangkapan, yaitu jarak dari pantai ke lokasi penangkapan dan berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokan tersebut dilakukan melalui perbandingan skala kecil dengan perikanan skala besar, walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik. Lebih lanjut karakteristik perikanan skala kecil diungkapkan oleh Smith 1983 bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan dan membaginya ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan nelayan tradisional Tabel 1. Perikanan tradisional menurut Smith 1983, adalah di antaranya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1 Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali. 2 Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan di luar penangkapan. 3 Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri. 4 Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin. 5 Investasi rendah dengan modal pinjaman dari penampung hasil tangkapan. 6 Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai sangat rendah. 7 Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang teroganisir dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau dijual di laut. 8 Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya. 9 Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal. Kesembilan ciri perikanan tradisional di atas bisa dijumpai pada masyarakat nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara. Dalam struktur masyarakat nelayan terdapat hubungan antar fungsi dari faktor internal, faktor eksternal dan kapasitas diri nelayan terhadap tingkat keberdayaan mereka sebagai individu. Bekerjanya fungsi tersebut telah menyebabkan terjadinya stratifikasi dalam masyarakat nelayan itu sendiri, pada kenyataanya terdapat nelayan yang tingkat kesejahteraannya yang buruk miskin. Kondisi demikian terjadi karena adanya perbedaan kemampuan dalam menjalankan fungsi tersebut masing-masing individu oleh karena tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang mereka miliki juga berbeda dalam kehidupan mereka sebagai nelayan. Pada setiap struktur sosial terdapat fungsi di dalamnya, seperti dikemukakan oleh Dahrendorf yang diacu dalam Megawangi 1999 mengemukakan gambarannya mengenai pokok-pokok teori fungsionalisme, sebagai berikut: 1 Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil. 2 Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik. 3 Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya suatu sistem masyarakat. 4 Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai di kalangan para anggotanya. Dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional. Teori struktural ini memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada sistem stratifikasi, melainkan pada sistem posisi kedudukan. Namun perbedaan fungsi ini tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan tetapi untuk mencapai tujuan keluarga dan masyarakat nelayan secara keseluruhan. Kebiasaan masyarakat, budaya serta nilai yang berlaku dalam masyarakat akan berpengaruh juga terhadap bekerjanya fungsi tersebut. Seperti dikemukakan oleh Megawangi 1999 tentunya, struktur dan fungsi masyarakat tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai- nilai yang melandasi sistem masyarakat itu. Menurut teori struktural fungsional, struktur sosial dan pranata sosial berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur ini tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori struktural kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya Poloma 2000. Tabel 1 Perbandingan situasi technico-socio-economic antara nelayan tradisional dengan nelayan industri No. Uraian Nelayan Industrial Tradisional Artisanal Subsisten 1 Unit penangkapan Tepat, dengan divisi profesi dan prospek jelas. Tepat, kecil, spesialisasi dengan profesi yang tidak terbagi Tenaga sendiri, atau keluarga, atau grup masyarakat 2 Kepemilikan Dikonsentrasikan pada beberapa pengusaha, kadang bukan nelayan. Biasanya dimiliki oleh nelayan yang berpengalaman, atau nelayan-nelayan gabungan Tersebar di antara partisipan- partisipan 3 Komitmen waktu Biasanya penuh waktu Seringkali merupakan profesi sampingan Kebanyakan paruh waktu 4 Kapal Bertenaga, dengan peralatan yang memadai Kecil; dengan motor di dalam atau motor tempel kecil diluar. Tidak ada atau berbentuk kano. 5 Perlengkapan Buatan mesin, atau pemasangan lainnya Sebagian atau seluruhnya menggunakan material-material buatan mesin Material buatan tangan yang dipasang pemiliknya 6 Sifat profesi Dengan bantuan mesin Bantuan mesin yang minim Dioperasikan dengan tangan 7 Investasi Tinggi, dengan proporsi yang besar diluar nelayan Rendah; penghasilan nelayan seringkali diambil dari pembeli hasil tangkapan Sangat rendah sekali 8 Penangkapan per unit Besar Menengah Rendah hingga sangat rendah 9 Produktivitas per orang Besar Menengah atau rendah Rendah hingga sangat rendah 10 Pengolahan hasil tangkapan Diolah menjadi tepung ikan atau untuk bahan konsumsi atau bukan untuk manusia Beberapa dikeringkan, diasap, diasinkan; untuk kebutuhan manusia Kecil atau tidak ada sama sekali; semuanya untuk dikonsumsi. 11 Keberadaan ekonomi nelayan Sering kali kaya Golongan menengah kebawah Minimal 12 Kondisi sosial Terpadu Kadang terpisah Masyarakat yang terisolasi Sumber: Kesteven 1973 yang diacu Smith 1983 Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidak pastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal patron. Bagi nelayan menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Artinya, patron menguasai sumber daya tersebut menyebabkan ikatan patron-klien terjalin. Mengacu pada struktur sosial tersebut, bahwa masyarakat nelayan kota Manado menunjukkan adanya pelapisan sosial, pelapisan sosial merupakan dimensi struktur sosial yang bersifat vertikal yang melihat masyarakat secara bertingkat yang nampak pada stratifikasi sosial, kelas sosial dan status sosial dalam masyarakat. Apakah seseorang berada pada lapisan atas, menengah, atau bawah dan apakah dia temasuk pada orang yang berada dikelas atas, menengah bawah Satria 2009. Hal di atas sesuai dengan penjelasan dari Soekanto dan Soerjono 1990, menyatakan bahwa dengan mengamati pola- pola penguasaan aset produksi seperti modal, pelapisan sosial dalam komunitas nelayan. Klasifikasi usaha penangkapan ikan ke dalam skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial telah banyak dilakukan oleh berbagai badan atau lembaga pemerintah untuk keperluan pengembangan dan pencatatan Haluan 1986. Selanjutnya disimpulkan bahwa usaha penangkapan ikan tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1 Unit penangkapan ikan dengan skala kecil yang seringkali terdiri dari kelompok keluarga nelayan yang menggunakan perahu dengan atau tanpa motor penggerak. 2 Kegiatan penangkapan ikan seringkali tidak tetap atau musiman. 3 Penghasilan dan pendapatan nelayan didasarkan atas sistem bagi hasil. 4 Juragan atau nelayan pemilik kapal dan alat penangkapan ikan sering ikut operasi penangkapan ikan sendiri. 5 Bahan alat penangkap ikan mungkin sudah dibuat oleh mesin di pabrik seperti jaring nilon, tetapi desain dan penyambungan bagian-bagiannya masih dilakukan oleh tangan nelayan sendiri dan dalam penauran serta penarikan umumnya tidak dibantu oleh tenaga mesin. 6 Tingkat investasi rendah dan sistem ijon masih berlaku. 7 Hasil tangkapan per unit penangkapan ikan dan produktivitas per nelayan mulai dari tingkat menengah sampai rendah sekali. 8 Hasil tangkapan belum semuanya dijual di Tempat Pelelangan Ikan TPI. 9 Sebagian atau kadang-kadang semua hasil tangkapan ikan dikonsumsi sendiri bersama keluargaya. 10 Seringkali perkampungan nelayan tradisional agak terisolasi dan tingkat hidup nelayan tradisional rendah. Nelayan tradisional merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan oleh sikap mental yang tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, disamping kepemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan relatif rendah dan miskin, umumnya hanya memiliki perahu tanpa motor, dengan alat tangkap yang sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan untuk membedakannya dengan nelayan modern atau non-tradisional, sebagai penyederhanaan gambaran klasik sistem ekonomi dualistik Bailey dan Zerner 1992. Struktur sosial masyarakat beranekaragam corak. Ada yang sederhana dan adapula yang kompleks. Sederhana atau kompleksnya struktur sosial suatu masyarakat tergantung dari keadaan masyarakat. Masyarakat primitif atau terasing umumnya mempunyai struktur sosial yang sederhana dan terutama ditentukan oleh corak sistem kekerabatannya. Pada masyarakat yang sudah maju, struktur sosial umumnya sangat komplek dan tidak hanya bersumber pada sistem kekerabatannya, tetapi juga ditentukan oleh sistem ekonomi, sistem pelapisan sosial dan sebagiannya yang merupakan kombinasi Ibrahim 2000. Struktur sosial disusun dari status dan posisi anggota dalam suatu sistem. Pada hakekatnya dalam suatu sistem sosial selalu terdapat struktur. Permasalahannya, ada struktur yang dapat dengan jelas dimengerti anggota-anggotanya ada pula yang abstrak. Sistem-sistem sosial formal dapat dengan mudah diketahui, sedangkan struktur sosial yang non-formal atau tradisional memerlukan perenungan beberapa saat. Pada hakekatnya struktur sosial berpengaruh pada tingkah laku dalam menjawab rangang dari luar. Begitu pula jalannya proses difusi inovasi, struktur sosial mempunyai hubungan saling pengaruh yang komplek dengan proses adopsi inovasi ke dalam suatu sistem sosial. Struktur dapat merintangi atau memudahkan proses difusi dan sebaliknya difusi dapat mengubah struktur sosial suatu masyarakat Ibrahim 2000. Masyarakat desa dalam melakukan kegiatan-kegiatan termasuk di dalamnya kegiatan mata pencaharian, masih tetap berpegang pada tradisi-tradisi yang dilandasi oleh kepercayaan tentang hari-hari baik dan buruk menurut sistem pengetahuan yang mereka miliki dan warisi dari nenek moyangnya, kemudian ditransformasikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam lingkungan sekitarnya. Koentjaningrat 1977 menyatakan bahwa pokok-pokok sistem pengetahuan terdiri atas: 1 Pengetahuan tentang sekitar alam. 2 Pengetahuan tentang alam flora. 3 Pengetahuan tentang alam fauna. 4 Pengetahuan tentang zat-zat dan bahan mentah. 5 Pengetahuan tentang kelakuan sesama manusia. 6 Pengetahuan tentang tubuh manusia. 7 Pengetahuan tentang ruang, waktu dan bilangan. 2.5 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia dikelompokan dalam 3 kelompok yaitu: 1 perikanan lepas pantai offshore Fisheries; 2 perikanan pantai Coastal Fisheries; dan 3 perikanan darat Inland Fisheries. Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir Satria 2002. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik Bahari 1989. Dahuri 2003 mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan haruslah dtinjau melalui bio-tecnico-socio-economic-approach. Oleh karena itu ada empat persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu jenis alat penangkapan ikan untuk dikembangkan yaitu; 1 bila ditinjau dari aspek biologi, pengoperasian alat tangkap tersebut tidak mengganggu atau merusak kelestarian sumber daya perikanan, 2 secara teknis, efektif untuk dioperasikan, 3 ditinjau dari aspek sosial dapat diterima masyarakat nelayan, 4 secara ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan dan selain itu harus ada izin dari pemerintah. Keempat syarat tersebut tidak mutlak diharuskan, melainkan dipertimbangkan sesuai kepentingan. Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya dana yang tersedia. Berdasarkan sifat sumber daya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya perikanan di suatu perairan. Fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi nelayan yang beroperasi di sekitar tersebut Syafrin 1993. Mengingat tujuan utama pengembangan perikanan tangkap yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan, maka sejumlah aspek yang berkaitan dengan nelayan mendapat banyak perhatian, salah satu di antaranya ialah mengembangan perikanan tangkap untuk menciptakan lapangan kerja Monintja 2000. Teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis perikanan tangkap yang dapat menyerap tenaga kerja relatif banyak, disertai dengan pendapatan nelayan yang memadai. Pengembangan sentra perikanan harus diawali dengan perbaikan sarana perikanan utama pelabuhan perikanan, Pangkalan Pendaratan Ikan PPI, serta fasilitas paska panen lainnya, sedangkan kebijaksanaan operasional pengembangan produksi perikanan laut diterapkan juga pada perluasan dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut di wilayah pengembangan Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI 1999. Menurut Monintja et al. 2006, perlu adanya pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan yang akan digunakan dalam pemilihan teknologi dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, teknologi penangkapan ikan secara teknis, ekonomis, rute dan pemasaran menguntungkan serta kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan. Suatu kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan memiliki ciri- ciri sebagai berikut: 1 Selektivitas tinggi artinya, teknologi yang digunakan mampu meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target. 2 Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan. 3 Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan dengan menggunakan teknologi tersebut. 4 Menghasilkan ikan bermutu baik dan tidak membahayakan kesehatan konsumen. 5 Hasil tangkapan yang terbuang discards sangat minim. 6 Berdampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah. 7 Dapat diterima, secara sosial, artinya di masyarakat nelayan tidak menimbulkan konflik. Kriteria untuk kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan adalah: 1 Menerapkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. 2 Jumlah hasil tangkapan yang tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. 3 Menguntungkan. 4 Investasi rendah. 5 Penggunaan bahan bakar minyak rendah. 6 Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Simbolon et al. 2009 menyatakan bahwa keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain: 1 nelayan yang mengoperasikan alat tangkap; 2 alat penangkap ikan; 3 kapal ikan dan perlengkapannya; 4 metode penangkapan ikan; 5 tingkah laku ikan; dan 6 daerah penangkapan ikan. Bahari 1989 mengungkapkan bahwa pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Status sumber daya perikanan laut dunia pada tahun 2004 menurut Garcia et al. 2002 yang diacu dalam Monintja et al. 2006, telah menunjukkan kondisi yang memprihatinkan, karena 52 dari stok ikan dunia telah fully exploited, sekitar 17 telah mengalami over exploted dan 7 telah dinyatakan berada dalam status depletation. Disebutkan pula beberapa kecenderungan, bahwa: 1 Stok yang dimanfaatkan pada tingkat MSY telah menurun sejak tahun 1974, namun cenderung naik lagi setelah tahun 1995. 2 Peluang pengembangan pemanfaatan telah menurun dari 40 pada tahun 1974, menjadi 24 pada tahun 2004. 3 Proporsi stok ikan yang mengalami over exploited telah meningkat dari 10 pada tahun 1974 menjadi 25 pada tahun 2000-an walaupun agak stabil pada tahun-tahun terakhir. 4 Pemulihan stok stock recover tercatat sebesar 1 pada tahun 2004. Seluruh masyarakat perikanan dunia sebaiknya berfikir dan bertindak secara lebih obyektif untuk segera meningkatkan kegiatan pengelolaan perikanan, guna menjamin keberlangsungan usaha penangkapan ikan dalam memenuhi kebutuhan umat manusia terhadap protein ikan. Salah satu penyebab lambatnya pemulihan stok ikan adalah karena terlambatnya implementasi pengeloaan perikanan dan bahkan sebelum adanya rencana pengelolaan yang dirancang secara terpadu dan konseptual. Dengan luasnya wilayah yang menjadi dasar evaluasi FAO maka dapat diduga bahwa gejala dan fakta global tidak selalu terjadi dalam lingkup yang lebih kecil. Khususnya, apa yang terjadi dengan perikanan Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang membuktikan bahwa gejala dan fakta perikanan di dunia ini belum atau tidak terjadi dengan perikanan Indonesia. Pertama, berdasarkan analisis ilmiah oleh tim ahli dari berbagai instansi pemerintah dan universitas, diperoleh bahwa potensi lestari sumber daya perikanan laut Indonesia sekitar 6,4 juta ton per tahun. Ini berarti sekitar 6,4 juta ton ikan dapat diambil setiap tahun dari perairan laut Indonesia tanpa gangguan stabilitas dan kontinuitas bioekologi sumber daya. Namun baru sekitar 72 potensi ini dimanfaatkan. Artinya bahwa masih besar peluang pengembangan bisnis industri ini. Kedua, kenyataan bahwa perairan Indonesia merupakan arena perburuan ikan oleh nelayan asing yang secara ilegal namun terkoordinir masuk dan menguras sumber daya ikan Indonesia. Fakta ini memberi indikasi bahwa sumber daya ikan di negara mereka memang sudah terkuras habis tetapi sebaliknya masih tersedia di perairan Indonesia. Ketersediaan itu menjadi daya tarik penangkapan ikan secara ilegal yang penuh dengan resiko. Ketiga, semaraknya pembangunan perikanan di daerah, utamanya di kabupaten dan kota pesisir. Kesemarakan pembangunan ini dilihat dari dijadikannya usaha perikanan sebagai usaha basis pemberdayaan ekonomi masyarakat serta peningkatan kontribusi pendapatan daerah dari sektor perikanan. Ini hanya bisa terjadi karena sumber daya ikan di perairan dekat pantai inshore waters masih cukup tersedia Nikijuluw 2005.

2.6 Pengaruh Kegiatan Perikanan Tangkap Terhadap Lingkungan