Situasi dan Kondisi Batin Orang Sakit

37 Itulah tahapan-tahapan atau fase yang dialami pasien secara mental. Di dalam penelitiannya Dr. Elisabeth Kulber Ross turut menjelaskan bahwa tahapan- tahapan ini tidak bersifat mutlak dan kaku. Tidak setiap pasien mengalami tahapan dengan pola klasik ini. Di beberapa fenomena ada yang menunjukkan pasien mengalami dua fase dalam waktu yang bersamaan, ada juga yang menunjukkan perjalanan fase ini maju mundur atau bahkan melompat-lompat. Secara tidak langsung penelitian Dr. Elisabeth Kulber Ross menunjukkan bahwa fase ini berurutan tetapi tidak semuanya bersifat mutlak dan sistematis, karena berhubungan dengan manusia, dan setiap orang memiliki dinamika yang berbeda satu dengan yang lain.

5. Situasi dan Kondisi Spiritual Orang Sakit

Membicarakan situasi dan kondisi spiritual orang sakit tentunya tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut dengan refleksi teologis yang berpangkal dari kedalaman iman dari masing-masing orang, selain itu juga mengindahkan perihal spiritualitas seseorang. Kedalaman iman yang dimaksudkan bukan sekadar pandangan ataupun pengetahuan seseorang tentang imannya, melainkan lebih kepada kemampuan seseorang di dalam menghayati imannya secara khusus ketika berada di dalam kondisi batas daya kemampuan seseorang. Spiritualitas yang hendak dibicarakan di sini lebih pada spiritualitas seseorang tatkala sedang dalam kondisi sakit. 38 Spiritualitas dipandang sebagai suatu cara di mana pengalaman manusia akan Allah membentuk cara menusia tersebut dalam memandang dunia, juga cara manusia tersebut berinteraksi dengan dunia. Batas daya kemampuan seseorang dengan jelas digambarkan oleh seorang filsuf aliran eksistensial dengan istilah granz-situation atau the ultimate situation. Granz-situation atau the ultimate situation merupakan situasi di mana terjadi suatu peristiwa yang tidak dapat dielakkan dan tidak dapat dipahami oleh manusia Sri Suparmi, 1988: 54. Karl Jasper sebagaimana dikutib oleh Sri Suparmi 1988: 55 yang menggagas konsep ini menggambarkan keadaan seseorang tatkala berada dalam situasi ini demikian: Disebut granz-situation bahwa seseorang selalu hidup dalam situasi, bahwa selalu harus berjuang, bahwa harus selalu menderita bahwa harus selalu – mau tidak mau – membuat salah, bahwa harus mati. Melalui penggambarannya ini, Karl Jasper sebagaimana dikutib oleh Sri Suparmi 1988: 55 ingin mengatakan bahwa hidup di dalam kondisi batas daya berarti kehidupan di mana manusia tidak memilih untuk masuk ke dalam situasi tersebut dan situasi itu sangat menentukan hidupnya. Situasi tidak dapat diubah oleh manusia. Bahkan hidup dan kegiatan senantiasa berpangkal dari situasi tertentu yang tidak dapat dipilih sendiri oleh manusia. Terdapat begitu banyak kemungkinan di dalam hidup manusia, tetapi tidak semua kemungkinan dapat dijangkau oleh manusia. Karl Jaspers sebagaimana dikutib oleh Sri Suparmi 1988: 56 mengungkapkan pula bahwa kemungkinan konkrit yang dimiliki oleh manusia begitu terbatas, manusia tidak dapat menyangkal asal usul dirinya. 39 Dengan demikian, situasi yang semacam ini membatasi ruang gerak manusia. Situasi yang menentukan dan memungkinkan hidup manusia. Hal senada diungkapkan pula oleh Paus Yohanes Paulus II yang dituangkan di dalam ensiklik Salfivici Doloris. Melalui ensiklik ini Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa penderitaan lebih luas cakupannya dari pada sakit. Penderitaan juga tidak dapat dilihat hanya sebatas penderitaan fisik atau materiil semata SD, art. 5. Secara mendalam ensiklik ini berbicara tentang penderitaan moral, yakni penderitaan dalam hati. Penderitaan tersebut merupakan sebuah kemalangan yang dimiliki manusia. Tidak ada satupun manusia yang memiliki kesejahteraan yang dengan sewajarnya diharapkan oleh manusia tersebut. Tentunya terdapat hambatan yang menjadi penghalang untuk memperoleh kesejahteraan tersebut. Manusia merasa bahwa kemalangan ini seharusnya tidak ada, akan tetapi pada kenyataannya kemalangan ini tidak dapat dihidarkan dari hidup manusia. Dengan demikian manusia benar-benar berada pada batas daya kemampuannya. Kondisi sakit sama halnya dengan situasi dan kondisi manusia ketika berada pada batas daya kemampuan manusia. Kondisi sakit merupakan suatu kondisi yang tidak dapat dielakkan dari dinamika hidup seseorang. Memang benar adanya bahwa terdapat suatu tindak preventif atau pencegahan supaya tidak terjangkit penyakit. Namun, manusia hidup tidak hanya sendiri, manusia hidup dengan lingkungan, dengan situasi sekitar yang ada, dan dengan kemungkinan apapun yang dapat terjadi. Situasi batas daya ini menggambarkan kemampuan manusia yang ada batasnya. 40 Ditarik dalam sebuah refleksi teologis, Rasul Paulus menuangkan tulisannya di dalam sebuah surat yang ditujukan kepada jemaat di Efesus bahwa Rahmat Allah sudah selalu mendahului, sebab manusia selamat bukan karena usaha manusia, melainkan karena Allah yang menghendaki keselamatan dan iman bukan hasil dari usaha manusia, melainkan pemberian dari Allah Ef 2:8. Kondisi seseorang tatkala berada pada batas daya kemampuan acapkali merasa hidup menjadi gelap, merasa segala hal yang sudah dicoba untuk diupayakan gagal, hidup menjadi hampa, merasa terancam, dan terbatas dalam apapun. Dalam sebuah cerita tentang pergulatan hidup yang ditulis oleh Jammy Farish, seorang jurnalis Pacific Northwest Jack Canfield, dkk. 2012: 7 mengungkapkan pergulatan batin yang dialaminya tatkala mendengarkan diagnosa dari dokter bahwa ia divonis mengidap penyakit kanker payudara. Fase- fase batin yang dialami selaras dengan rumusan fase-fase batin orang sakit yang dirumuskan oleh Dr. Elisabeth Kulber Ross sebagaimana dikutib oleh Dr. P. Go., O. Carm. Sedangkan secara spiritual atau keimanan, Jammy Faris mengalami apa yang dinamakan iman di dalam batas daya kemampuan manusia. Berdasakan apa yang dituturkan oleh Jammy Farish dalam Dokter, Tolong... Saya Kena Kanker Ang Peng Tiam, 2006: 49-54 terbilang masih muda tatkala memperoleh diagnosa itu, ia yang masih berusia dua puluh lima tahun dengan status sudah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Ketika mendengarkan diagnosa ini, sontak Jammy Farish bersungut-sungut, menangis, menjerit-jerit, hingga kelelahan dan menjatuhkan dirinya ke sebuah sofa yang berada di sebelahnya. Secara naluriah hal ini tampak wajar, karena diagnosa ini seolah-olah akan 41 merubah pola hidup Jammy Farish seperti yang tertulis dalam pembahasan sebelumnya. Akan tetapi di tengah ketidakberdayaannya, Jammy Fanish tetap menjalankan kegiatan sehari-harinya meski dengan batasan-batasan yang ada. Di dalam situasi yang demikian ini pula, Jammy Fanish tidak pernah berhenti untuk membiarkan Tuhan juga turut berkerja dalam proses yang sedang dilalui oleh Jammy Fanish. Sampai suatu saat, kepercayaan akan imannya dan kepercayaan akan dirinya untuk sembuh pun terjadi. Jammy Fanish dapat dikatakan pulih dari sakitnya tetapi tidak secara total, Jammy Fanish masih perlu menjalani sejumlah terapi, mengurangi kegiatan dengan porsi yang berat, dan menjaga kondisi tubuh serta emosinya, agar sel kanker yang ada di dalam tubuhnya tidak menjadi ganas kembali. Lain lagi dengan kisah yang dituturkan oleh Weni Kartika Sari dalam Dokter, Tolong... Saya Kena Kanker Ang Peng Tiam, 2006: 81-87 yang menderita sakit lupus. Weni demikian akrab dikenal oleh keluarga maupun kerabatnya mulai mendapati bahwa dirinya terjangkit penyakit lupus tatkala dalam usia remaja, Weni mulai merasakan adanya kejanggalan di dalam tubuhnya. Terdapat ruam yang berbentuk seperti kupu-kupu di bagian wajahnya, peradangan pada mulut, hingga rontoknya rambut kepala Weni. Awalnya Weni menyangka dirinya terjangkit kanker, kemudian Weni memberanikan diri untuk berobat dan memeriksakan dirinya. Alhasil, Weni didiagnosa menderita lupus, sebuah peradangan kronis yang terjadi ketika sistem imun tubuh menyerang organ dan jaringan tubuh. 42 Kala itu, Weni benar-benar tidak mempercayai hasil diagnosa dokter. Ia merasa masih baik dan ingin meraih impiannya, namun hal itu berbalik ketika Weni harus mengidap penyakit ini. Tubuh Weni mulai melemah dari hari ke hari. Di balik penderitaan yang sedang ia jalani, Weni juga tak kunjung henti untuk berdoa. Tiada waktu baginya untuk tidak berdoa kepada Tuhan. Namun lama kelamaan Weni mulai berpikir bahwa Tuhan tidak mengabulkan doanya. Lambat laun Weni mulai menyeimbangkan pola hidupnya dengan mulai mengikuti kegiatan-kegiatan kerohanian. Melalui kegiatan kerohanian inilah Weni mulai menyadari bahwa terdapat sejumlah perkara yang menghambat kuasa Allah bekerja di dalam proses yang Weni alami. Weni masih menyimpan sejumlah luka batin yang belum terselesaikan dengan baik dan belum berdamai dengannya. Tanpa tergesa-gesa Weni mulai menyelesaikan satu demi satu luka batin yang masih hinggap di dalam dirinya, Weni berusaha berdamai dan legowo dengan peristiwa buruk yang pernah menimpanya. Bersamaan dengan hal tersebut, Weni pun benar-benar meletakkan proses penyembuhan di dalam kuasa Tuhan, karena ia menyadari sebagai manusia hal ini tidak mungkin terjadi. Weni tidak pasrah bongkokan. Di dalam sikap penyerahannya, Weni tetap berusaha dengan rutin melakukan terapi, melakukan kegiatan harian, dan tetap mengikuti kegiatan kerohanian. Alhasil, apa yang dilakukannya selama ini menuai hasil. Weni dinyatakan oleh dokter bahwa ia normal kembali dengan memperhatikan sejumlah pantangan yang harus disadari dan dilakukan. Berbeda pula dengan kisah yang dituturkan oleh Tuan Jo Seah yang dimuat dalam Dokter, Tolong... Saya Kena Kanker Ang Peng Tiam, 2006: 1-8