Sikap Terhadap Sakit Menurut Iman Kristiani

32 sudut pandang yang lain terkait dengan situasi dan kondisi dari orang yang sedang menderita sakit. T. Jacob sebagaimana dikutib oleh Kieser Kieser, 1984:124 berpendapat bahwa: Ada kemungkinan orang yang sedang menderita sakit tidak benar-benar menderita seperti apa yang sedang dialami, ada kemungkinan orang tersebut merasa senang dapat dibesuk oleh banyak orang, dilayani bak seorang raja, bahkan ada kemungkinan juga ia merasa diri bebas dari kewajiban atau tugas rutinnya selama ini. Kondisi sakit ini membuat orang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, di mana orang tersebut harus taat, menerima pola hidup yang seluruhnya ditentukan oleh perhatian untuk kesehatan yang mungkin tidak biasa ia dapatkan, pola makan dan asupan gizi pun diatur, dan hampir seluruh aspek hidupnya diatur dengan pusat perhatian adalah penyakit yang sedang dialami atau dikeluhkan. Dengan demikian, mau tidak mau orang benar-benar ditarik keluar dari kebiasaan dan kenyamanannya selama ini dan dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berbeda.

4. Situasi dan Kondisi Batin Orang Sakit

Dewasa ini orang sering kali membicarakan sifat simbolis dari penyakit, terutama kalangan medis. Terdapat pandangan lama terkait dengan manusia. Pandangan itu melihat manusia sebagai makhluk dikotomi yang terdiri dari tubuh dan jiwa saja, sedangkan penyakit dilihat sebagai sesuatu yang hanya mengenai dan menyerang tubuh saja Abineno, 1972: 38. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan penelitian pun turut berkembang, pandangan tersebut diuji keabsahannya dan mulai dirumuskan kembali dengan 33 lebih akurat. Kini kalangan medis meihat manusia sebagai suatu kesatuan yang utuh dan penyakit sebagai sesuatu yang mengenai keseluruhan manusia dan mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia Abineno, 1972: 38. Dari gagasan tersebut, kalangan medis berpikir bahwa penyakit dapat menjadi tanda dari kekacauan batin manusia. Kekacauan batin manusia itu bisa dipicu oleh penyakit atau disebabkan oleh penyakit. Kekacauan itu dapat dipicu juga oleh adanya gangguan-gangguan psikis dari dalam diri manusia itu ataupun dari pengaruh-pengaruh negatif lain di luar diri manusia tersebut. Membahas mengenai gangguan batin dan psikis manusia tentunya tidak dapat terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan emosi manusia. Setiap manusia tentunya memiliki perasaan dan dinamika emosi yang akhirnya membentuk suatu sikap tertentu dalam menghadapi kenyataan yang sedang dialaminya Go., 1984: 72-75. Sebuah penelitian dilakukan oleh Dr. Elisabeth Kubler yang bekerjasama dengan sejumlah mahasiswa dari Universitas di Chicago tentang reaksi dan pengalaman pasien di kala sakit dan saat menghadapi atau mempersiapkan diri menghadapi kematian sebagaimana dikutib oleh Dr. P. Go., O. Carm. Dari hasil penelitian yang diakukan Dr. Elisabeth Kulber Ross bersama dengan mahasiswa, Dr. Elisabeth Kulber Ross menemukan tahapan-tahapan emosi yang muncul dari dalam diri pasien ketika sakit dan saat menghadapi atau mempersiapkan diri menghadapi kematian Go., 1984: 72. Ada 5 tahapan atau fase yang dialami oleh pasien di kala sakit dan saat menghadapi atau mempersiapkan diri menghadapi kematian sebagaimana dikutib oleh Dr. P. Go., O. Carm. 1984: 72-75. Tahap 34 atau fase tersebut adalah fase penolakan, fase marah-marah sampai mengamuk, fase tawar-menawar, fase depresi, dan fase penerimaan. Tahapan pertama ketika pasien mendapatkan diagnosa dari pihak dokter, yang terjadi adalah penolakan atau penyangkalan. Tidak ada satupun manusia di dunia ini ketika dinyatakan sedang mengidap penyakit dengan gembira dan senang hati. Sering kali hal pertama yang terjadi adalah penolakan, ketidakpercayaan bahwa sedang mengidap penyakit apalagi penyakit tersebut bersifat kronis. Hal ini dirasa begitu manusiawi, mengingat karena pasien ketika mendapatkan berita mengejutkan tentunya respon yang demikian inilah yang terjadi Go., 1984: 72. Pasien tersebut akan merasa sedih, marah, gugup, dan terguncang hatinya, seolah-olah sudah membayangkan akan hilangnya masa depan yang sudah dibangun sejak usia anak-anak. Fase ini biasanya berlangsung pada diagnosa awal sampai pada akhir hidupnya. Namun, seiring berjalannya waktu dan melalui sejumlah pendampingan dan usaha pendekatan yang dilakukan, pasien tersebut akan melewati fase ini dan mulai menuju kepada fase berikutnya. Fase berikutnya adalah fase marah sampai-sampai mengamuk. Pada fase ini, pasien sudah tidak lagi menyangkal kenyataan yang sedang dialami. Pada fase ini, pasien cenderung merasakan ketidakadilan terjadi di dalam hidupnya dan pasien berusaha mencari-cari sasaran guna melampiaskan emosi tersebut. Yang sering kali terjadi adalah Tuhan, dokter, petugas pendampingan pastoral, bahkan keluarga yang mendampingi yang menjadi sasaran kemarahannya Go., 1984: 73. Suasana yang muncul tatkala pasien sedang berada di dalam kondisi seperti ini adalah suasana yang tidak mengenakkan bagi pasien ataupun keluarga. Suasana 35 yang seolah-olah pasien membuka kembali tabir kenangan-kenangan permasalahan yang kiranya belum terselesaikan dengan baik, pengalaman tidaak menyenangkan, serba salah, sedih atau bahkan malu. Berbeda dengan dua fase sebelumnya, pasien yang pada mulanya tidak dapat menghadapi kenyataan yang menyedihkan sampai-sampai marah kepada Tuhan dan orang-orang yang berada di sekitarnya, pada fase ini pasien sudah mulai lunak secara emosional. Tahap ini berjalan cukup singkat, pasien sudah memahami dan menyadari bahwa sakit yang sedang dialami tidak dapat dihindari, mau atau tidak, pasien harus menjalani proses penyembuhannya. Pada fase ini, pasien cenderung bersikap baik, menjadi lebih penurut, dan mau bekerjasama dengan dokter dan petugas pendampingan pastoral. Namun, di dalam upaya yang dilakukan pasien, nampaknya terdapat modus di dalamnya, pasien berharap untuk dapat membujuk Tuhan agar Tuhan turut campur tangan dalam proses penyembuhannya Go., 1984: 73. Pasien mulai mengumbar sejumlah janji-janji kepada Tuhan, ketika pasien sudah sembuh, pasien menjanjikan untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan, rajin beribadah, memberikan hidupnya untuk pelayanan Gereja, dan lain-lain. Hal ini sama dengan yang dialami oleh Hizkia di dalam Kitab Suci. Pada waktu itu, adalah saat bagi Hizkia mendekati ajalnya dikarenakan suatu penyakit yang menyerang tubuhnya. Nabi Yesaya mengunjungi H izkia dan berkata, “Sampaikanlah pesan terakhirmu kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi” 2 Raj 20:1. Karena tidak ingin mati, Hizkia berdoa sambil menangis di hadapan Tuhan Allah. Hizkia menyebutkan segala perbuatan baik yang sudah dia lakukan