Situasi dan Kondisi Fisik Orang Sakit

35 yang seolah-olah pasien membuka kembali tabir kenangan-kenangan permasalahan yang kiranya belum terselesaikan dengan baik, pengalaman tidaak menyenangkan, serba salah, sedih atau bahkan malu. Berbeda dengan dua fase sebelumnya, pasien yang pada mulanya tidak dapat menghadapi kenyataan yang menyedihkan sampai-sampai marah kepada Tuhan dan orang-orang yang berada di sekitarnya, pada fase ini pasien sudah mulai lunak secara emosional. Tahap ini berjalan cukup singkat, pasien sudah memahami dan menyadari bahwa sakit yang sedang dialami tidak dapat dihindari, mau atau tidak, pasien harus menjalani proses penyembuhannya. Pada fase ini, pasien cenderung bersikap baik, menjadi lebih penurut, dan mau bekerjasama dengan dokter dan petugas pendampingan pastoral. Namun, di dalam upaya yang dilakukan pasien, nampaknya terdapat modus di dalamnya, pasien berharap untuk dapat membujuk Tuhan agar Tuhan turut campur tangan dalam proses penyembuhannya Go., 1984: 73. Pasien mulai mengumbar sejumlah janji-janji kepada Tuhan, ketika pasien sudah sembuh, pasien menjanjikan untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan, rajin beribadah, memberikan hidupnya untuk pelayanan Gereja, dan lain-lain. Hal ini sama dengan yang dialami oleh Hizkia di dalam Kitab Suci. Pada waktu itu, adalah saat bagi Hizkia mendekati ajalnya dikarenakan suatu penyakit yang menyerang tubuhnya. Nabi Yesaya mengunjungi H izkia dan berkata, “Sampaikanlah pesan terakhirmu kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi” 2 Raj 20:1. Karena tidak ingin mati, Hizkia berdoa sambil menangis di hadapan Tuhan Allah. Hizkia menyebutkan segala perbuatan baik yang sudah dia lakukan 36 semasa hidupnya dan mengingatkan Tuhan bahwa selama ini Hizkia sudah berusaha mengikuti apa yang diperintahkan Tuhan kepada Hizkia Yes 38:3. Usai mendengarkan doa-doa yang dipanjatkan oleh Hizkia, Tuhan Allah memberikan kesempatan hidup lebih panjang kepada Hizkia. Sebagai tanda persetujuan ini, Tuhan Allah menggeser bayangan matahari ke arah belakang sepuluh tangga Ahaz, kemudian Tuhan Allah memberikan ramuan penyembuh kepada Nabi Yesaya, yakni sepotong kue ara untuk diletakkan di atas luka yang sedang diderita Hezkia, maka sembuhlah Hezkia seketika itu jua 2 Raj 20:7. Fase berikutnya adalah fase depresi. Pada fase ini, pasien memiliki kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri dan marah dengan dirinya. Pasien mulai mengalami penurunan kondisi fisik dan mental. Pada fase ini, pasien berusaha untuk menarik diri dari orang lain, mulai merasakan kehilangan minat pada dunia di luar dirinya, merasakan kehilangan aktivitas yang selama ini membuatnya merasa nyaman dan mencapai popularitas Go., 1984: 73. Fase terakhir adalah fase penerimaan. Pada fase ini akhirnya pasien mampu untuk menerima keadaan yang dialaminya. Hal ini nampak dari perubahan raut muka pasien yang menunjukkan kedamaian di dalam dirinya ataupun orang lain Go., 1984: 74. Fase ini membuat pasien kehilangan minat akan dunia di sekitarnya, melulu ingin sendiri, dan tidak ingin banyak berbicara. Kehadiran orang-orang di sekitarnya pun hanya dianggap sebagai pendamping yang membantu memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendirian di dalam menghadapi kenyataan saat ini. 37 Itulah tahapan-tahapan atau fase yang dialami pasien secara mental. Di dalam penelitiannya Dr. Elisabeth Kulber Ross turut menjelaskan bahwa tahapan- tahapan ini tidak bersifat mutlak dan kaku. Tidak setiap pasien mengalami tahapan dengan pola klasik ini. Di beberapa fenomena ada yang menunjukkan pasien mengalami dua fase dalam waktu yang bersamaan, ada juga yang menunjukkan perjalanan fase ini maju mundur atau bahkan melompat-lompat. Secara tidak langsung penelitian Dr. Elisabeth Kulber Ross menunjukkan bahwa fase ini berurutan tetapi tidak semuanya bersifat mutlak dan sistematis, karena berhubungan dengan manusia, dan setiap orang memiliki dinamika yang berbeda satu dengan yang lain.

5. Situasi dan Kondisi Spiritual Orang Sakit

Membicarakan situasi dan kondisi spiritual orang sakit tentunya tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut dengan refleksi teologis yang berpangkal dari kedalaman iman dari masing-masing orang, selain itu juga mengindahkan perihal spiritualitas seseorang. Kedalaman iman yang dimaksudkan bukan sekadar pandangan ataupun pengetahuan seseorang tentang imannya, melainkan lebih kepada kemampuan seseorang di dalam menghayati imannya secara khusus ketika berada di dalam kondisi batas daya kemampuan seseorang. Spiritualitas yang hendak dibicarakan di sini lebih pada spiritualitas seseorang tatkala sedang dalam kondisi sakit.