Pastoral orang sakit bagi pasien kanker pasca kemoterap.

(1)

viii

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul PASTORAL ORANG SAKIT BAGI PASIEN

KANKER PASCA KEMOTERAPI dipilih karena dewasa ini semakin sedikit

orang yang mau terjun di dalam pelayanan pendampingan pastoral terlebih kepada orang sakit. Pengalaman sakit bukanlah pengalaman yang membahagiakan. Orang cenderung merasa kesepian, merasa tidak berdaya dan tidak berguna karena segala keperluan untuk hidup dilayani oleh orang lain. Bahkan ada juga yang merasa bahwa pengalaman ini merupakan hukuman atas apa yang sudah dia lakukan selama ini di dunia, sehingga orang yang bersangkutan merasa dunia mengucilkannya. Penyakit yang cukup ditakuti oleh sejumlah orang di dunia adalah kanker. Kanker merupakan masalah kesehatan dari banyak negara di dunia yang menjadi perhatian serius di bidang kedokteran. Hal ini disebabkan oleh jumlah korban yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan belum ditemukan cara yang efektif untuk pengobatannya. Terdapat sejumlah ragam pengobatan kanker yang selama ini sudah dicoba dilakukan untuk mengatasi penyakit kanker ini di antaranya adalah melalui pembedahan (operasi), penyinaran (radiasi), dan terapi kimia (kemoterapi). Salah satu yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah pengobatan dengan menggunakan metode kemoterapi. Dari sejumlah data-data hasil penelitian, diungkapkan bahwa pada penderita kanker yang menjalani pengobatan dengan radioterapi/terapi kimia (kemoterapi) akan menunjukkan efek samping yang cukup besar, seperti semakin memburuknya kemampuan fungsi seksual, lebih mudah mengalami gangguan somatisasi, dan timbulnya gangguan psikososial. Bertitik tolak pada permasalahan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu memberikan pendampingan secara spiritual kepada pasien kanker pasca kemoterapi.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah perlunya kerjasama yang baik antara dokter, perawat, dan petugas rohani dalam melayani pasien kanker pasca kemoterapi. Namun kenyataannya adalah kompetensi yang dimiliki oleh pendamping rohani dirasa masih kurang memadai. Dari pelbagai sumber yang sudah ditemukan oleh penulis, kebanyakan pendamping rohani atau petugas pastoral lebih-lebih mendampingi hanya sebatas hal-hal yang sifatnya ritus semata, seperti doa, pelayanan sakramen orang sakit, dan lain sebagainya. Sedangkan yang menjadi ujung tombak dari pendampingan ini, yakni pendampingan yang mengena ke hati belum tersentuh. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Oleh karena itu, terlibat langsung dalam menemani pasien telah dilaksanakan oleh penulis. Di samping itu, studi pustaka juga diperlukan untuk menunjang gagasan yang dapat digunakan untuk mengkaji persoalan ini.

Hasil akhir dari tulisan ini menunjukkan bahwa Shared Christian Praxis dan Sunday School merupakan suatu model pendampingan pastoral yang relevan bagi pasien kanker pasca kemoterapi. Untuk keperluan itu, penulis mengusulkan suatu program pastoral orang sakit dengan model Shared Christian Praxis dan


(2)

ix ABSTRACT

Thesis entitled PASTORAL CARE FOR THE POST-CHEMOTHERAPY CANCER PATIENTS is chosen because are getting fewer

people who are willing to plunge in the first pastoral care ministry to the sick. Experience of sickness is not a happy experience. People tend to feel lonely, helpless and useless for their daily life have to be served by someone else. Even some feel that this experience is a punishment for what he has done in his life which eventually make him feel that the world isolate them. A disease that is feared by a number of people in the world is cancer. Cancer is a health problem of many countries in the world which has been a serious concern in the field of medicine. This is caused by the number of cancer patient continues to increase from year to year and there is no effective way of treatment. There are a wide number of cancer treatments that have been developed to overcome this cancer some of them are surgery (surgery), radiation (radiation), and chemical treatment (chemotherapy). The focus in this discussion is the treatment using chemotherapy. Based on the amount of research data, patients who undergoing cancer treatment with radiotherapy/chemical treatment (chemotherapy) will show considerable side effects, such as worsening of sexual function capability, more prone to somatization disorder, and impaired psychosocial. Based on this issue, then this paper is intended to help in providing spiritual assistance to cancer patients after chemotherapy.

The main issue in this paper is the need for good cooperation between doctors, nurses, and spiritual workers in accompanying cancer patients after chemotherapy. However the reality has shown that the competency of the spiritual companion is still not adequate. From various sources that have been found by the author, most spiritual companion or pastoral workers merely accompany those things that are rites, such as prayer, sacramental ministry to the sick, and so forth. While the spearhead of this assistance, the assistance that hit to the heart untouched. To examine this issue adequatelly we need accurate data. Therefore, the direct remains involvement in the accompanying patients has been implemented by the author. In addition, literature studies are also needed to support ideas that can be used to access this issue.

The result of this paper shows that the Shared Christian Praxis and Sunday School is a relevant model of pastoral care for cancer patients after chemotherapy. For this purpose, the author propose a model of pastoral care program Shared Christian Praxis and Sunday School for cancer patients after chemotherapy.


(3)

PASTORAL ORANG SAKIT BAGI PASIEN KANKER PASCA KEMOTERAPI

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Ignatius Galang Ananta NIM: 101124038

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

PASTORAL ORANG SAKIT BAGI PASIEN KANKER PASCA KEMOTERAPI

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Ignatius Galang Ananta NIM: 101124038

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

(6)

(7)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada

Y.B. Kukuh Iriyanto dan Maria Yosephine Suliyem selaku orangtua saya, Yohanes Genta Oktariyanto, Laurensia Nata Dewi, dan Yusuf Guruh Andita

selaku saudara dan saudari saya,

serta kepada Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik yang turut serta dalam proses mendampingi perkembangan saya baik secara

akademis maupun non-akademis.


(8)

v

MOTTO

“Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak sorai sambil membawa berkas-berkasnya.”


(9)

(10)

(11)

viii

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul PASTORAL ORANG SAKIT BAGI PASIEN

KANKER PASCA KEMOTERAPI dipilih karena dewasa ini semakin sedikit

orang yang mau terjun di dalam pelayanan pendampingan pastoral terlebih kepada orang sakit. Pengalaman sakit bukanlah pengalaman yang membahagiakan. Orang cenderung merasa kesepian, merasa tidak berdaya dan tidak berguna karena segala keperluan untuk hidup dilayani oleh orang lain. Bahkan ada juga yang merasa bahwa pengalaman ini merupakan hukuman atas apa yang sudah dia lakukan selama ini di dunia, sehingga orang yang bersangkutan merasa dunia mengucilkannya. Penyakit yang cukup ditakuti oleh sejumlah orang di dunia adalah kanker. Kanker merupakan masalah kesehatan dari banyak negara di dunia yang menjadi perhatian serius di bidang kedokteran. Hal ini disebabkan oleh jumlah korban yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan belum ditemukan cara yang efektif untuk pengobatannya. Terdapat sejumlah ragam pengobatan kanker yang selama ini sudah dicoba dilakukan untuk mengatasi penyakit kanker ini di antaranya adalah melalui pembedahan (operasi), penyinaran (radiasi), dan terapi kimia (kemoterapi). Salah satu yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah pengobatan dengan menggunakan metode kemoterapi. Dari sejumlah data-data hasil penelitian, diungkapkan bahwa pada penderita kanker yang menjalani pengobatan dengan radioterapi/terapi kimia (kemoterapi) akan menunjukkan efek samping yang cukup besar, seperti semakin memburuknya kemampuan fungsi seksual, lebih mudah mengalami gangguan somatisasi, dan timbulnya gangguan psikososial. Bertitik tolak pada permasalahan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu memberikan pendampingan secara spiritual kepada pasien kanker pasca kemoterapi.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah perlunya kerjasama yang baik antara dokter, perawat, dan petugas rohani dalam melayani pasien kanker pasca kemoterapi. Namun kenyataannya adalah kompetensi yang dimiliki oleh pendamping rohani dirasa masih kurang memadai. Dari pelbagai sumber yang sudah ditemukan oleh penulis, kebanyakan pendamping rohani atau petugas pastoral lebih-lebih mendampingi hanya sebatas hal-hal yang sifatnya ritus semata, seperti doa, pelayanan sakramen orang sakit, dan lain sebagainya. Sedangkan yang menjadi ujung tombak dari pendampingan ini, yakni pendampingan yang mengena ke hati belum tersentuh. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Oleh karena itu, terlibat langsung dalam menemani pasien telah dilaksanakan oleh penulis. Di samping itu, studi pustaka juga diperlukan untuk menunjang gagasan yang dapat digunakan untuk mengkaji persoalan ini.

Hasil akhir dari tulisan ini menunjukkan bahwa Shared Christian Praxis dan Sunday School merupakan suatu model pendampingan pastoral yang relevan bagi pasien kanker pasca kemoterapi. Untuk keperluan itu, penulis mengusulkan suatu program pastoral orang sakit dengan model Shared Christian Praxis dan


(12)

ix ABSTRACT

Thesis entitled PASTORAL CARE FOR THE POST-CHEMOTHERAPY CANCER PATIENTS is chosen because are getting fewer

people who are willing to plunge in the first pastoral care ministry to the sick. Experience of sickness is not a happy experience. People tend to feel lonely, helpless and useless for their daily life have to be served by someone else. Even some feel that this experience is a punishment for what he has done in his life which eventually make him feel that the world isolate them. A disease that is feared by a number of people in the world is cancer. Cancer is a health problem of many countries in the world which has been a serious concern in the field of medicine. This is caused by the number of cancer patient continues to increase from year to year and there is no effective way of treatment. There are a wide number of cancer treatments that have been developed to overcome this cancer some of them are surgery (surgery), radiation (radiation), and chemical treatment (chemotherapy). The focus in this discussion is the treatment using chemotherapy. Based on the amount of research data, patients who undergoing cancer treatment with radiotherapy/chemical treatment (chemotherapy) will show considerable side effects, such as worsening of sexual function capability, more prone to somatization disorder, and impaired psychosocial. Based on this issue, then this paper is intended to help in providing spiritual assistance to cancer patients after chemotherapy.

The main issue in this paper is the need for good cooperation between doctors, nurses, and spiritual workers in accompanying cancer patients after chemotherapy. However the reality has shown that the competency of the spiritual companion is still not adequate. From various sources that have been found by the author, most spiritual companion or pastoral workers merely accompany those things that are rites, such as prayer, sacramental ministry to the sick, and so forth. While the spearhead of this assistance, the assistance that hit to the heart untouched. To examine this issue adequatelly we need accurate data. Therefore, the direct remains involvement in the accompanying patients has been implemented by the author. In addition, literature studies are also needed to support ideas that can be used to access this issue.

The result of this paper shows that the Shared Christian Praxis and Sunday School is a relevant model of pastoral care for cancer patients after chemotherapy. For this purpose, the author propose a model of pastoral care program Shared Christian Praxis and Sunday School for cancer patients after chemotherapy.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah, berkat, kasih dan karunia-Nya, sehingga skripsi mengenai PASTORAL ORANG SAKIT BAGI PASIEN KANKER PASCA KEMOTERAPI ini akhirnya dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Hal itu disebabkan karena keterbatasan waktu, sarana, maupun ilmu pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik berupa nasehat, petunjuk maupun dorongan kepada penulis. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa yang selalu memberikan kekuatan, penghiburan, dan pengajaran untuk semakin teguh dalam iman kepada-Nya. Segala kemuliaan, hormat dan puji hanya kepada Tuhan.

2. Drs. F.X. Heryatno W.W., S.J., M.Ed. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik yang telah mengijinkan penulis untuk menganalisa, merumuskan, dan menyususun pembahasan mengenai pastoral orang sakit bagi pasien kanker pasca kemoterapi ini.


(14)

xi

3. F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd. selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan perhatian, meluangkan waktu, dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberi masukan-masukan dan kritikan-kritikan sehingga penulis dapat lebih termotivasi dalam menuangkan gagasan-gagasan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

4. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji II yang terus menerus mendampingi penulis sampai selesainya penulisan skripsi ini.

5. Y.H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum. selaku dosen penguji III yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

7. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

8. Segenap Pengurus Yayasan Kanker Indonesia Cabang Yogyakarta yang pendampingan pastoral orang sakit bagi pasien kanker di Yogyakarta.

9. Y.B. Kukuh Iriyanto dan Maria Yosephine Suliyem selaku orang tua yang senantiasa menemani, memberi dukungan moral dan materi, membimbing, dan menyemangati penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

10. Yohanes Genta Oktariyanto, Laurensia Nata Dewi, dan Yusuf Guruh Andita yang selalu mendukung dan menguatkan penulis selama menyelesaikan skripsi ini.


(15)

(16)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. SITUASI DAN KONDISI ORANG SAKIT KANKER PASCA KEMOTERAPI ... 11

A. Situasi dan Kondisi Orang Sakit ... 11

1. Definisi Sakit ... 11

2. Sakit Menurut Iman Kristiani ... 14

a. Sakit dalam Gambaran Penderitaan Manusia di dalam Kitab Suci... ... 14

b. Sakit dalam Pandangan Ajaran Gereja... 23

c. Sikap terhadap Sakit menurut Iman Kristiani... 27


(17)

xiv

4. Situasi dan Kondisi Batin Orang Sakit ... 32

5. Situasi dan Kondisi Spiritual Orang Sakit... .. 37

B. Situasi dan Kondisi Pasien Kanker Pasca Kemoterapi... 48

1. Definisi Kanker ... 48

2. Dari Sel Transformatif sampai pada Kanker ... 50

3. Stressor Psikososial menjadi Pemicu Munculnya Kanker dalam Tubuh Manusia ... 52

4. Dampak Psikologis Kanker bagi Pasien... . 58

C. Kemoterapi menjadi Salah Satu Pengobatan Kanker... 61

1. Dampak Psikologis Kanker Pasca Kemoterapi sebagai Tindakan Medis (Medical Treatment) ... 63

2. Dampak Spiritual Kanker pada Pasien Kanker Pasca Kemoterapi ... ... 66

BAB III. PASTORAL ORANG SAKIT ... 70

A. Hakikat Pastoral ... 70

1. Definisi Pastoral... 70

2. Ruang Lingkup Pastoral... 72

3. Jenis-jenis Pelayanan Pastoral... 75

a. Pelayanan Pastoral sebagai Bentuk Pemberitaan Firman .. 77

b. Pelayanan Pastoral sebagai Bentuk Konseling ... 80

c. Pelayanan Pastoral sebagai Perwujudan dari Persekutuan (Kerygma) ... 82

d. Pelayanan Pastoral sebagai Perwujudan dari Diakonia ... 83

4 Pastoral untuk Orang Sakit... ... 84

a. Hakikat Pastoral Orang Sakit... 84

b. Alasan Perlu Dilaksanakan Pastoral Orang Sakit... 87

c. Fungsi Pastoral Orang Sakit... 89

d. Pendekatan Pastoral untuk Orang Sakit... 91

1) Merawat yang Sakit sebagai Wujud Menolong Sesama ... 91

2) Mengikuti Cara Pelayanan Yesus dan Menggunakan Metode Pendekatan Holistik ... 92


(18)

xv

f. Ragam Pendekatan Pastoral Orang Sakit ... 95

1) Pendampingan Pastoral Klinis (Clinical Pastoral Education) ... 97

2) Meditasi ... 100

g. Kriteria Pendamping Pastoral ... 102

1) Memahami Pengalaman Menderita ... 103

2) Memahami Psikologi Perkembangan Manusia ... 105

3) Memahami Sikap Gereja ... 108

4) Memahami Peranan Pendampingan. ... 110

BAB IV. USULAN PROGRAM PASTORAL ORANG SAKIT YANG RELEVAN BAGI PASIEN KANKER PASCA KEMOTERAPI ... 112

A.Latar Belakang Program Pendampingan Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi ... 112

B.Konteks Program Pendampingan Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi ... 113

C.Tujuan Program Pendampingan Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi ... 116

D.Strategi Pendampingan Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi ... 117

E. Bahan Pendampingan Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi ... 120

1. Menerima Penderitaan sebagai Suatu Berkat ... 120

2. Konsepsi yang Positif Mengenai Proses Hidup dan Tuhan ... 123

F. Usulan Program Pendampingan Pasien Kanker Pasca Kemoterapi ... 126

G.Petunjuk Pelaksanaan Program ... 128

1. Sunday School... ... 129

2. Shared Christian Praxis (SCP) ... 130

H. Pemilihan Tema dan Tujuan ... .... 133

I. Contoh Program Pastoral Orang Sakit Kanker Pasca Kemoterapi ... 135

J. Contoh Satuan Persiapan 1 Pastoral Orang Sakit Kanker Pasca Kemoterapi ... 138


(19)

xvi

BAB V. PENUTUP ... 153

A. Kesimpulan ... 153

B. Saran ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 156

LAMPIRAN ... 159

Lampiran 1: Dokumen Video Materi Program ... (1)

Lampiran 2: Teks Lagu Hatiku Gembira ... (2)


(20)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A.Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Satatan Singkat. (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal 8.

B.Singkatan Dokumen Gereja

AA : Apostolocam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, 18 November 1965.

EV : Evangelium Vitae, Ensiklik yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II tentang sikap Gereja Katolik terhadap nilai-nilai kehidupan manusia, 25 Maret 1995.

RH : Redemptor Hominis, Ensiklik pertama yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II tentang penebusan umat manusia, 4 Maret 1979. SD : Salvifici Doloris, Surat Apostolik dari Paus Yohanes Paulus II

kepada para Uskup, para Imam, keluarga-keluarga beriman, dan kepada jemaat Gereja tentang makna penderitaan manusia, 11 Februari 1984.

C.Singkatan Lain Art : Artikel Bdk : Berdasarkan


(21)

xviii Dkk : Dan kawan-kawan

Ed : Editor

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia MAWI : Majelis Waligereja Indonesia


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam sebuah buku berjudul Dasar-dasar Pendampingan Pastoral (Tu’u, 2007: 20) dirumuskan pemahaman pastoral sebagai suatu kegiatan yang dilakukan untuk mencari dan mengunjungi anggota jemaat satu per satu, terutama yang sedang bergumul dengan persoalan-persoalan yang menghimpitnya. Pemahaman ini membawa kepada sebuah konsep yang menunjuk kepada suatu istilah pendampingan pastoral untuk orang sakit atau acap kali disebut sebagai

pastoral care. Menurut G. Heitink (Hommes & Singgih, 1992: 405) sebagaimana

dikutib oleh Tjaard G. Hommes dan Gerrit Singgih dalam Teologi dan Praksis

Pastoral: Antologi Teologi Pastoral, pendampingan pastoral atau pastoral care

merupakan suatu profesi pertolongan; seorang pendeta atau pastor mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan dengan orang lain, agar dengan terang Injil dan persekutuan dengan Gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan iman. Praktik pastoral orang sakit atau

pastoral care ini sering kali dirasakan di dalam sebuah pelayanan di rumah sakit,

meski sebenarnya praktik pastoral orang sakit atau pastoral care ini sebenarnya tidak terbatas dilakukan di rumah sakit dan diperuntukkan bagi pendampingan kepada orang sakit.

Sebagai sebuah kegiatan pelayanan atau diakonia, praktik pendampingan pastoral atau pastoral care yang diperuntukkan bagi orang sakit dapat benar-benar


(23)

dirasakan ketika salah satu anggota keluarga atau kerabat sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit. Tidak sedikit perhatian dari sejumlah anggota Gereja, petugas pastoral di rumah sakit, bahkan pastor turut hadir dan memberikan pendampingan kepada anggota keluarga atau kerabat yang sedang sakit tersebut. Pendampingan pastoral atau pastoral care yang diberikan pun begitu banyak ragamnya, mulai dari doa bersama, sharing pengalaman sampai pada memberikan motivasi kepada keluarga atau kerabat yang sakit. Pastoral orang sakit atau pastoral care ini tidak terbatas pada pasien yang menderita sakit ringan. Pastoral orang sakit atau

pastoral care ini juga diberlakukan kepada pasien yang menderita sakit parah atau

termasuk dalam golongan penderita terminal illness.

Secara konseptual, dengan didasarkan pada gagasan yang diutarakan oleh G. Heitink, segala kegiatan yang berhubungan dengan pastoral ini dilaksanakan oleh pastor. Akan tetapi mengingat sejumlah tugas dan tanggung jawab yang diemban, pastor mengajak kaum awam untuk turut terlibat dalam pendampingan pastoral ini. Hal ini selaras dengan yang termuat di dalam dekrit Konsili Vatikan II tentang kerasulan awam yang menyatakan bahwa Gereja diciptakan untuk menyebarluaskan Kerajaan Kristus di mana-mana demi kemuliaan Allah Bapa, dan dengan demikian mengikutsertakan semua orang dalam penebusan yang membawa keselamatan (AA, art. 4). Namun, pada kenyataan yang terjadi tidaklah berbanding lurus dengan konsep mengenai pendampingan pastoral. Dewasa ini semakin sedikit orang yang mau terjun di dalam pelayanan pendampingan pastoral terlebih kepada orang sakit.


(24)

Cukup banyak alasan yang ditemukan dari permasalahan semakin sedikitnya orang yang mau terlibat di dalam pendampingan pastoral atau pastoral

care kepada orang sakit. Dalam pengantar bukunya, Tulus Tu’u (2007: vii) menuliskan bahwa seiring perkembangan zaman, hidup manusia semakin kompleks dan tantangan semakin beragam. Di tengah banyaknya orang sibuk dengan perjuangan dan pencapaian kariernya, ada sejumlah golongan yang merasa sunyi dan kesepian.

Golongan yang dimaksud di sini merupakan golongan yang senantiasa bergumul dengan pelbagai permasalahan yang menyelimuti dirinya atau keluarganya, tekanan dari lapangan pekerjaan, bahkan sampai pada tersisihnya di dalam hidup bermasyarakat. Kondisi yang dialami oleh golongan ini acap kali hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang dengan sejumlah obat yang mampu untuk membuatnya bertahan hidup dan setidaknya mampu memulihkan kondisi agar permasalahan dapat teratasi. Jenis golongan ini sering kali luput dari perhatian banyak orang, karena yang dapat merasakan persoalan ini hanyalah yang bersangkutan atau keluarga yang bersangkutan.

Pengalaman sakit bukanlah pengalaman yang membahagiakan atau membuat diri seseorang merasa nyaman. Orang cenderung merasa kesepian, merasa tidak berdaya dan tidak berguna karena segala keperluan untuk hidup dilayani oleh orang lain. Bahkan ada juga yang merasa bahwa pengalaman ini merupakan hukuman atas apa yang sudah dia lakukan selama ini di dunia, sehingga orang yang bersangkutan merasa dunia mengucilkannya. Dari sejumlah kondisi tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa keadaan orang sakit yang


(25)

demikian itu dapat mempengaruhi keseimbangan jiwanya (Sri Suparmi, 1988: 17). Ia mengalami ketegangan jiwa yang tampak di dalam sejumlah gejala emosi, seperti ketakutan, kecemasan yang berlebihan, marah, kesepian, ketidakpastian, dan keputusasaan (Sri Suparmi, 1988: 18).

Dewasa ini, penyakit yang cukup ditakuti oleh sejumlah orang di dunia adalah kanker. Lucia Kusbawanti sebagaimana dikutib oleh Yuswanto dan Sinaradi (2000: 1) mengatakan “Kanker merupakan sebuah nama umum dari sekumpulan penyakit yang perjalanannya bervariasi, dengan ditandai oleh pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, terus menerus, tidak terbatas, merusak jaringan setempat dan sekitarnya, serta dapat menyebar luas (distant metastases)”. Kanker merupakan masalah kesehatan dari banyak negara di dunia yang menjadi perhatian serius di bidang kedokteran. Hal ini disebabkan oleh jumlah korban yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan belum ditemukan cara yang efektif untuk pengobatannya (Yuswanto & Sinaradi, 2000: 2). Terdapat ragam pengobatan kanker yang selama ini sudah dicoba dilakukan untuk mengatasi penyakit kanker ini di antaranya adalah melalui pembedahan (operasi), penyinaran (radiasi), dan terapi kimia (kemoterapi). Salah satu yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah pengobatan dengan menggunakan metode kemoterapi, yaitu penggunaan bahan-bahan bioaktif dari hasil sintesis atau isolasi bahan alam. Dari sejumlah data-data hasil penelitian, diungkapkan bahwa pada penderita kanker yang menjalani pengobatan dengan radioterapi/terapi kimia (kemoterapi) akan menunjukkan efek samping yang cukup besar, seperti semakin


(26)

memburuknya kemampuan fungsi seksual, lebih mudah mengalami gangguan somatisasi, dan timbulnya gangguan psikososial. Di dalam sebuah artikel yang dimuat dalam jurnal Psikologi Kesehatan, Nimas Ayu Fitriana dan Tri Kurniati Ambarini (2012: 2) mengungkapkan bahwa kondisi psikologi pada penderita kanker yang menjalani pengobatan radioterapi/terapi kimia (kemoterapi), yakni munculnya perasaan takut, tidak berdaya, rendah diri, sedih, dan lebih mudah mengalami kecemasan ataupun depresi.

Perubahan-perubahan sistem dan fungsi tubuh yang terjadi pada penderita kanker pasca menjalani pengobatan radioterapi/terapi kimia (kemoterapi) dapat menimbulkan gangguan konsep diri penderita. Dalam gangguan ini, penderita mengalami ketergantungan pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan dasar dan penurunan fungsi anggota tubuh. Keadaan ini selanjutnya akan menyebabkan penurunan gambaran diri yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan harga diri pasien (Ayu Fitriana & Tri Kurniati Ambarini, 2012: 2).

Bagi seseorang yang mengetahui bahwa penyakit yang sedang dideritanya tidak dapat disembuhkan secara medis, atau belum diketemukannya obat yang dapat menyembuhkannya, pasien tersebut dapat dipastikan akan mengalami depresi. Proses penyembuhan tidak dapat dilakukan oleh dokter dan suster, tetapi baik juga jika diadakan kolaborasi dan kerjasama dengan pelayan rohani atau sering disebut dengan petugas pastoral care. Dalam hal inilah pastoral orang sakit atau pastoral care dirasa berkontribusi dalam proses penyembuhan.


(27)

Berpijak dari pemikiran inilah, ditemukan gagasan dalam menangani pasien penderita kanker pasca kemoterapi yang kemungkinan untuk sembuh sangat kecil, dokter dan perawat perlu bekerja sama dengan petugas rohani untuk menolong agar pasien dapat menerima kondisi yang dialami saat ini sebagai berkat dari Tuhan dan dapat membangun konsepsi yang positif mengenai hidup dan Tuhan. Jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan memulihkan pikiran, perasaan, emosi, dan hubungannya dengan orang lain. Melalui pastoral orang sakit yang akan diterapkan bagi pribadi pasien, maka harapan yang hendak dihadirkan adalah penyakit yang tak tersembuhkan itu dapat berkurang bahkan dan timbul motivasi kesembuhan yang membuat pasien lebih optimis dalam menghadapi penyakitnya. Perhatian khusus bagi pasien, secara khusus dalam usaha pastoral orang sakit nampaknya harus segera diwujudkan secara nyata. Untuk mewujudkan perhatian ini tidaklah mudah, terlebih untuk menentukan perhatian apa yang paling tepat bagi mereka, karena kondisi pasien penderita kanker pasca kemoterapi ini cukup dinamis. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul skripsi PASTORAL ORANG SAKIT BAGI PASIEN KANKER PASCA KEMOTERAPI.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam hal ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:


(28)

2. Bagaimana konsep pastoral bagi orang sakit, secara khusus bagi pasien kanker pasca kemoterapi?

3. Model pastoral orang sakit manakah yang relevan bagi pasien kanker pasca kemoterapi?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini berdasarkan judulnya

PASTORAL ORANG SAKIT BAGI PASIEN KANKER PASCA

KEMOTERAPI yaitu:

1. Mendeskripsikan dan menggambarkan situasi dan kondisi pasien kanker pasca kemoterapi dari sejumlah kepustakaan yang ada.

2. Mendeskripsikan gagasan pastoral bagi orang sakit, secara khusus bagi pasien kanker pasca kemoterapi.

3. Merumuskan model pastoral orang sakit yang relevan bagi pasien kanker pasca kemoterapi.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam: 1. Manfaat Teoristis

Hasil dari analisa deskriptif mengenai PASTORAL ORANG SAKIT BAGI PASIEN KANKER PASCA KEMOTERAPI diharapkan bisa menambah juga memperkaya kajian mengenai model pastoral orang sakit yang dapat diterapkan bagi pasien kanker pasca kemoterapi dalam ranah kerohanian yang


(29)

disesuaikan dengan tingkatan usia pasien, serta bisa menjadi referensi untuk kajian teoritis selanjutnya dalam kajian bidang kerohanan dan pengembangan karya katekese dalam bidang kesehatan.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang model pelayanan rohani, secara khusus model pendampingan pastoral bagi pasien kanker pasca kemoterapi.

b. Memberikan sumbangan pada institusi Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik tekait tentang pengembangan karya katekese di bidang pastoral orang sakit dan kerasulan kaum awam terlebih pendampingan bagi pasien secara integral melalui bentuk pendampingan pastoral bagi pasien kanker pasca kemoterapi.

E. Metode Penulisan

Dalam tugas akhir ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriptif analitis adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alami dengan cara mendeskripsikan dan menganalisa berdasarkan teori-teori dan kepustakaan yang menunjang (Suprihatin, 1999: 7). Teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi atau gabungan. Data yang dihasilkan bersifat deskriptif dan analisis data dilakukan secara indukatif. Dalam metodologi ini, pertama-tama penulis hendak mendeskripsikan tentang situasi dan kondisi pasien kanker pasca kemoterapi.


(30)

Kemudian, penulis ingin mengetahui secara teoritis konsep pastoral orang sakit. Setelah itu penulis hendak merumuskan pemikiran tentang usulan program pastoral orang sakit bagi pasien penderita kanker pasca kemoterapi.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai skripsi yang hendak ditulis, maka penulis membagi pokok-pokok tulisan sebagai berikut:

Bab I berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan, dan keaslian penulisan.

Bab II berisi tentang situasi dan kondisi orang sakit kanker pasca kemoterapi, diuraikan tentang definisi sakit, sakit menurut Kitab Suci berdasarkan gambaran penderitaan manusia di dalam kisah Ayub, sakit dalam pandangan dokumen Salvifici Doloris, situasi dan kondisi orang sakit, baik secara batin maupun spiritual, serta sikap terhadap sakit dalam iman Kristiani. Kemudian dilanjutkan dengan situasi dan kondisi pasien kanker pasca kemoterapi yang mencakup definisi kanker, konsep terbentuknya kanker dari sel transformatif, stressor psikososial yang menjadi pemicu munculnya kanker di dalam tubuh manusia, dampak psikologis kanker bagi pasien, kemoterapi sebagai salah satu pengobatan kanker, dampak psikologis pasien kanker pasca kemoterapi sebagai tindakan medis (medical treatment), dan dampak spiritual kanker pada pasien kanker pasca kemoterapi.


(31)

Bab III membahas mengenai pastoral orang sakit. Pada bab ini diuraikan hakikat dari pastoral, yang mencakup definisi pastoral, ruang lingkup pastoral, jenis-jenis pelayanan pastoral yang mencakup pelayanan pastoral sebagai bentuk pemberitaan Firman, pelayanan pastoral sebagai bentuk konseling, pelayanan pastoral sebagai perwujudan dari persekutuan, dan pelayanan pastoral sebagai bentuk perwujudan dari diakonia. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan konsep mengenai pastoral orang sakit yang di dalamnya termuat hakikat pastoral orang sakit, alasan perlu dilaksanakan pastoral orang sakit, pendekatan yang digunakan dalam pastoral orang sakit, fungsi pendampingan pastoral untuk orang sakit, dinamika pastoral orang sakit, ragam pendekatan pastoral orang sakit, dan kriteria pendamping pastoral orang sakit.

Bab IV berisi tentang sintesa antara paparan deskriptif teoritis terkait dengan pastoral orang sakit bagi pasien kanker pasca kemoterapi sampai pada penyusunan usulan program pastoral orang sakit yang dapat diterapkan bagi pasien kanker pasca kemoterapi.


(32)

BAB II

SITUASI DAN KONDISI ORANG SAKIT KANKER PASCA

KEMOTERAPI

Sakit merupakan bagian dari eksistensi manusia (Kieser, 1987: 139-140). Dewasa ini, penyakit yang cukup ditakuti oleh sejumlah orang di dunia adalah kanker. Berdasarkan karangan dr. Med Juliar Sihlman (1980: 15) yang dimuat dalam majalah Mawas Diri edisi Januari 1980, diungkapkan bahwa kanker termasuk dalam salah satu dari empat besar golongan penyakit utama yang diderita oleh manusia, yakni jantung koroner, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Di banyak negara di belahan dunia, kanker masih menjadi perhatian serius di bidang kedokteran. Hal ini disebabkan oleh jumlah korban yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan belum ditemukan cara yang efektif untuk pengobatannya. Pengobatan kanker secara medis yang selama ini dilakukan adalah melalui pembedahan (operasi), penyinaran (radiasi), dan terapi kimia (kemoterapi). Salah satu yang menjadi perhatian di dalam pembahasan ini adalah kemoterapi, yaitu penggunaan bahan-bahan bioaktif dari hasil sintesis atau isolasi bahan alam.

A. Situasi dan Kondisi Orang Sakit

1. Definisi Sakit

Secara umum, dapat dipastikan setiap makhluk hidup dan manusia khususnya pernah mengalami apa yang dinamakan dengan rasa sakit. Sakit


(33)

layaknya hidup dan mati manusia, dengan demikian sakit menjadi bagian dari dinamika hidup manusia. Di dalam salah satu pembahasannya, dr. L. Laksmiasanti dalam Ikut Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit sebagaimana dikutib oleh Kieser (Kieser, 1984:31), merumuskan sebagai suatu situasi atau keadaan, di mana terjadi gangguan keseimbangan yang dinamis antara suatu organisme dengan lingkungannya untuk memelihara struktur maupun fungsinya di dalam keadaan yang tidak normal dalam kehidupannya dan di dalam fase–fase tertentu dalam siklus hidupnya.

Situasi yang demikian ini sedikit banyak akan membawa dampak bagi orang yang menderita sakit maupun orang–orang di sekitarnya. Situasi sakit juga membuat pasien mengalami ketergantungan terhadap orang lain, mengakibatkan kehidupan rutin pasien menjadi terganggu, akan memunculkan adanya beban secara finansial, fokus perhatian menjadi tertuju pada penderita, dan lain sebagainya.

Ivan Illich sebagaimana dikutib oleh Kieser (1984: 32) turut mendefinisikan sakit sebagai suatu keadaan di mana terjadi gangguan adaptasi organisme terhadap lingkungannya, sehingga putuslah hubungan dengan lingkungannya, yaitu lingkungan pekerjaan, lingkungan keluarga ataupun teman sebaya. Menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh Ivan Illich sebagaimana dikutib oleh Kieser (1984: 32) dalam Ikut Menderita Ikut Percaya: Pastoral

Orang Sakit menyatakan bahwa kesehatan bukanlah akibat dari naluri manusia,


(34)

pola hidup dan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang tidak tentu maupun tingkat pertumbuhan usia pasien.

Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, beberapa contoh perikop berusaha menggambarkan kaitan antara sakit dengan dosa yang telah diperbuat oleh manusia. Sakit diyakini sebagai hukuman dari Allah atas dosa manusia (Mzm 107:17, Yoh 9:1-2, Yoh 5:14). Di dalam perikop yang lain, sakit juga dihubungkan dengan adanya pengaruh roh jahat yang mencoba masuk dalam tubuh manusia.

Berdasarkan kaitan sakit dengan dosa dan pengaruh roh jahat yang dituliskan di dalam perikop-perikop Kitab Suci, terdapat kesadaran intuitif yang menyatakan bahwa di mana manusia meninggalkan Tuhan, di sana hidup manusia berada di dalam keadaan yang tidak sehat (Abineno, 1972: 10). Kondisi ini bukan hanya dilihat dari hal rohaniah semata, melainkan juga jasmaniah. Terdapat hubungan yang erat di antara kondisi rohani dengan jasmani. Dengan tubuh dan jiwanya, manusia memuji dan membesarkan nama Tuhan, dengan tubuh dan jiwanya pula, manusia dapat menderita karena hukuman yang diterima dari Allah. Yang menarik di dalam pembahasan tentang kaitan sakit dengan dosa dan pengaruh roh jahat yang ditulis oleh Dr. J.L. Ch. Abineno dalam Pelajanan

Pastoral (1967: 45) adalah di samping adanya kuasa–kuasa destruktif, terdapat pula kuasa lain yakni anugerah dari Allah sekalipun tersembunyi kuasa tersebut menjaga dan memelihara orang–orang percaya yang menderita hingga mereka dapat bertahan dan berpegang pada Tuhan dalam penderitaan mereka.


(35)

dengan nasib, yakni suatu situasi yang dengan sendirinya datang ke dalam hidup pasien; hal ini tidak dapat dihindari melainkan harus dihadapi. Sebagai mahkluk yang memiliki akal budi, manusia sering tidak mengindahkan upaya-upaya pencegahan ketika organ tubuh sudah memunculkan tanda-tanda yang akan menunjuk pada sakit. Manusia cenderung mengabaikan, menganggap remeh, bahkan berharap dapat menikmati rasa sakit itu dengan dalih dapat sejenak beristirahat dari hal-hal yang menyibukkan.

2. Sakit Menurut Iman Kristiani

a. Sakit dalam Gambaran Penderitaan Manusia di dalam Kitab Suci

Secara umum, setiap makhluk hidup dan manusia khususnya tentunya pernah mengalami apa yang dinamakan dengan rasa sakit. Di dalam paragraf sebelumnya disampaikan oleh dr. L. Laksmiasanti sebagaimana dikutib oleh Kieser (1984: 31), menyatakan bahwa sakit menjadi suatu situasi di mana terjadi gangguan keseimbangan yang dinamis antara suatu organisme dengan lingkungannya untuk memelihara struktur maupun fungsinya di dalam keadaan yang tidak normal dalam kehidupannya dan di dalam fase–fase tertentu dalam siklus hidup.

Dalam pembahasan awal bab ini digagas bahwa Kitab Suci turut berusaha menunjukkan hubungan antara sakit dengan dosa dan pengaruh roh jahat. Gagasan ini diungkapkan oleh Dr. J.L. Ch. Abineno dalam Penjakit dan

Penjembuhan (1972: 10-11) sebagai sebuah kesadaran intuitif yang menyatakan


(36)

dalam keadaan yang tidak sehat. Gagasan ini diperkuat dengan konsep yang sebelumnya dituangkan dalam Pelajanan Pastoral oleh Dr. J.L. Ch. Abineno (1967: 43) yang menyatakan bahwa penyakit yang diderita oleh seseorang dianggap sebagai akibat dari dosa-pelanggaran hukum Allah-yang secara sadar atau tidak telah ia perbuat.

Gagasan yang dirumuskan oleh Dr. J.L. Ch. Abineno dalam karyanya, melihat adanya sejumlah perikop Kitab Suci dan menjadikannya acuan untuk menemukan konsep penderitaan yang dialami oleh manusia. Gagasan dari Dr. J.L. Ch. Abineno dipertegas oleh P. Go. dalam Hidup dan Kesehatan (1984: 51) bahwa di dalam Kitab Suci, sakit dan penderitaan bukan melulu soal hal-hal duniawi belaka, melainkan menjadi perkara keagamaan dan bergerak di bidang interpretasi religius.

Di dalam Kitab Ayub pasal 1 misalnya, menjadi gambaran perjuangan seseorang yang berusaha menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan besar yang sering menjadi pergulatan hidup manusia, yakni mengapa orang saleh menderita.

Dari Kitab Ayub pasal 1, diceritakan bahwa Ayub merupakan sosok orang saleh yang kaya raya. Pada jaman itu, Ayub memiliki hewan ternak dan pekerja dengan jumlah yang tidak sedikit. Ia merupakan orang paling kaya di kawasan negeri sebelah timur dengan memiliki 7.000 ekor domba, 3.000 ekor unta, 500 pasang lembu, 500 keledai betina, dan pekerja dengan jumlah besar (Ayb 1:3). Selain kekayaan yang dimiliki oleh Ayub sehingga ia dikatakan sebagai orang paling kaya, Ayub juga merupakan sosok orang yang saleh dan jujur. Ayub senantiasa berusaha untuk takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.


(37)

Ia juga sosok yang dermawan, berbudi luhur, dan begitu dihormati oleh pekerja-pekerja.

Sebagai seorang yang bijak, saleh, kaya, dermawan, berbudi luhur, dan begitu dihormati oleh pekerja-pekerja, Ayub mengalami dinamika hidup yang tidak lurus dan mulus-mulus saja. Ia yang memiliki keyakinan dan iman yang kuat senantiasa mendapatkan persoalan-persoalan yang dapat menggoncangkan imannya. Drama pahit kehidupan Ayub dimulai ketika ia mendapatkan musibah dalam kurun waktu satu hari. Musibah datang bertubi-tubi, dimulai dari lembu sapi yang sedang membajak dan keledai betina yang sedang makan rumput tiba-tiba diserang oleh segerombolan orang-orang Syeba dan merampas seluruh lembu sapi dan keledai betina dan membunuh pekerjanya. Kemudian disambut peristiwa memilukan berikutnya yakni kambing domba yang lenyap beserta dengan pekerja karena tersambar oleh api yang turun dari langit. Lalu unta yang dijarah oleh pasukan dari Kasdim dan membunuh serta pekerjanya. Peristiwa ini membuat harta kekayaan Ayub lenyap seketika itu juga (Ayb 1:15-17).

Situasi yang tidak mengenakkan tidak hanya berhenti pada kekayaan Ayub yang habis dalam waktu satu hari, melainkan kini mulai mengena juga pada harta yang teramat penting yang dimiliki Ayub, yakni anak-anaknya. Ayub memiliki 7 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan buah dari perkawinannya dengan istrinya. Akan tetapi tidak semua pola ayub tertuang pada diri puteranya. Anak laki-laki Ayub sering mengadakan pesta di rumah dan mengundang saudarinya (Ayb 1:4-5). Suatu hari ketika anak-anak Ayub sedang makan dan minum anggur di rumah saudara mereka, tiba-tiba angin ribut


(38)

berhembus dari seberang padang dan mengguncang rumah yang sedang digunakan anak-anak Ayub dari pelbagai penjuru, sehingga rumah itu roboh dan menimpa anak-anak Ayub hingga mati (Ayb 1:18-19).

Pergulatan yang dialami oleh Ayub merupakan sebuah gambaran pergulatan seorang saleh yang ditimpa penderitaan yang bertubi-tubi. Layaknya manusia normal pada umumnya, jika mendapatkan situasi dan kondisi yang demikian ini tentu pemberontakan merupakan respon pertama yang akan muncul. Demikian juga Ayub, reaksi Ayub mula-mula adalah berontak dan menuduh Tuhan Allah sebagai sosok yang tidak adil (Gannet, 1987: 38). Banyak orang di sekitar Ayub termasuk istri dan tiga orang teman Ayub meyakinkan Ayub bahwa apa yang dialami saat ini merupakan hukuman yang diberikan oleh Tuhan Allah kepada Ayub karena ketidaktaatan Ayub dan sejumlah dosa-dosa yang dibuat Ayub semasa hidupnya. Peristiwa semacam ini juga dialami oleh kebanyakan orang yang berada dalam kondisi dan situasi yang terhimpit. Banyak orang datang entah itu saudara, kerabat, atau teman-teman datang dengan tujuan untuk menghibur dan meyakinkan, namun acap kali penghiburan yang diberikan adalah ungkapan yang menyatakan bahwa apa yang dialami adalah akibat dari apa yang selama ini dilakukan.

Di dalam Tuhan di Balik Air Mata, Dr. Alden A. Gannet (1987: 29) mengungkapkan bahwa tatkala Ayub bergulat dengan peristiwa pahit dan penderitaan yang dialami, Tuhan Allah sebenarnya sudah memberikan jawaban dari setiap persoalan yang dialami oleh Ayub. Jawaban yang disediakan oleh Tuhan begitu sederhana dan sering tidak tampak oleh manusia, karena pandangan


(39)

manusia masih tertuju pada hal-hal duniawi. Dengan menggunakan perumpamaan jika air mata deras membanjir, bagaimana kita bisa terus memandang Tuhan di baliknya, Dr. Alden A. Gannett berusaha menjawab persoalan penderitaan manusia berdasarkan kisah Ayub ini.

Kisah yang dialami oleh Ayub menegaskan bahwa berdasarkan Kitab Suci, sakit lebih-lebih dikaitkan dengan hubungan antara dosa dan kesalahan seseorang sehingga sakit diyakini sebagai hukuman yang diberikan oleh Tuhan atas kesalahan yang telah dilakukan manusia tersebut. Tetapi ada juga pandangan lain namun masih lekat kaitannya dengan dosa dan sakit. Dalam pandangan lain, ada orang yang berpandangan bahwa sakit merupakan ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada umatnya dan manusia sebagai umat-Nya pun memiliki keyakinan bahwa Tuhan tidak akan memberikan tingkat ujian yang berat dibandingkan dengan kemampuan manusia tersebut. Hal ini juga dapat dilihat dalam kisah Ayub tatkala iman Ayub diuji oleh Iblis yang telah mengadakan negosiasi dengan Tuhan. Dengan demikian berdasarkan Kitab Ayub ini, sakit fasih dengan pemahaman konsep antara sakit yang merupakan akibat yang ditimbulkan karena dosa terutama ketidaksetiaan manusia terhadap perjanjian yang telah dibuat antara Allah dengan Bangsa Israel. Mengingat perjanjian ini merupakan suatu ikatan personal antara Allah degan Bangsa Pilihan-Nya (Buku, 2010: 5).

Rumusan Kitab Suci, secara khusus Kitab Ayub sebagaimana dibahas dalam paragraf di atas, bahwa arah dari Kitab Ayub ini hendak mengingatkan segenap umat Kristiani bahwa penderitaan atau pengalaman sakit yang sedang dialami tidak dapat diejawantahkan dan dikupas secara rasional dengan bekal


(40)

teori-teori yang ada ataupun pemahaman manusia. Pengalaman menderita ataupun sakit bukan sebuah soal matematika yang dapat dijawab dengan menggunakan rumus yang sudah ada, karena Tuhan Allah mengatasi segala bentuk dinamika manusia secara absolut dan tidak akan pernah dapat dikupas oleh manusia (Buku, 2010: 6).

Kondisi seseorang yang menderita dan memiliki harapan untuk terlepas dari penderitaan yang dialami secara langsung akan membuat gejolak iman yang besar. Gambaran berikutnya yang dapat menunjukkan apa yang dialami oleh seseorang yang menderita adalah Mazmur 13. Kitab Mazmur 13 ini dikenal sebagai mazmur ratapan dan keluhan manusia terhadap Sang Pencipta.

Mazmur 13 masuk dalam golongan mazmur disorientasi karena dilihat dari segi bentuknya, mazmur ini berisi permohonan perseorangan. Mazmur ini mengungkapkan perasaan kekuatiran pemazmur akan kekuasaan Tuhan. Pemazmur berprasangka bahwa harapan yang dinyatakannya pada Tuhan berujung kesia-siaan belaka dan iman yang dimiliki selama ini tidak ditanggapi oleh Tuhan (Barth & Pareira, 1999: 202).

Perasaan yang sama juga acap kali ditemukan di sejumlah kisah yang dialami oleh sejumlah orang yang sedang sakit. Di beberapa peristiwa, sering ditemukan orang yang sedang menderita suatu penyakit dengan jenis penyakit yang tergolong sering merasa hopeless atau harapannya mulai padam. Dalam keadaan seperti ini, pasien berteriak minta tolong bahkan mengajukan protes kepada Tuhan karena beratnya penderitaan yang dialami. Acap kali pasien merasa bahwa dirinya sepenuhnya benar tetapi diberi cobaan yang bahkan menurut


(41)

dirinya seharusnya ini tidak ditimpakan kepadanya, karena pasien merasa sudah melakukan segala hal sesuai dengan apa yang diajarkan dan diperintahkan kepadanya oleh Tuhan. Hal ini terjadi seperti yang dialami oleh Mickey Fellows salah satu tokoh dalam novel berjudul Mengapa Tuhan Tertawa karangan Depak Chopra (2009: 18). Kala itu Mickey tengah berada di dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit, di mana ayahnya terkena infeksi miokardia akut, yakni serangan jantung yang cukup serius dan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup singkat. Mickey Fellows yang adalah penganut agama Kristiani merasa sudah melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang Kristiani. Namun, ketika ia sedang berjuang hidup melawan sel-sel kanker yang mulai menggerogoti tubuhnya, ia mendapatkan peristiwa yang membuat seolah seluruh hidupnya tidak berdaya lagi. Ia mulai mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Tuhan. Dan Mickey yang disapa demikian merasa bahwa apa yang selama ini Ia laukan dan doakan seolah sia-sia belaka.

Penderitaan yang dialami oleh setiap manusia dipandang sebagai sebuah persoalan yang menggelisahkan sepanjang hidup. Penderitaan, kemalangan, kesengsaraan ataupun rasa sakit sudah menjadi dinamika paten dalam kehidupan manusia dan tidak akan pernah absen dari hidup manusia tersebut. Dihadapkan pada dinamika yang demikian ini, manusia senantiasa berusaha membebaskan diri dari penderitaan yang dialami. Semakin manusia berusaha, kenyataan yang sering terjadi semakin manusia menderita, tetapi saat disadari penderitaan yang dialami membawa manusia tersebut menjadi semakin dekat hubungannya dengan Tuhan, semakin percaya, dan pasrah kepada Tuhan.


(42)

Dalam Kitab Mazmur 13 ini, pemazmur mengungkapkan dinamika yang dialami kala itu. Dalam Mazmur 13 diungkapkan:

Berapa lama lagi, Tuhan, Kau lupakan aku terus menerus? Berapa lama lagi Kau sembunyikan wajah-Mu terhadap aku?

Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku dan bersedih hati sepanjang hari?

Pandanglah kiranya, jawablah aku ya Tuhan, Allahku!

Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati.

Supaya musuhku jangan berkata, “Aku telah mengalahkan dia” dan

lawan-lawanku bersorak-sorak apabila aku goyah.

Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau bernyanyi untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.

Mazmur 13 ini merupakan jenis mazmur disorientasi personal di mana pemazmur mengambarkan dengan begitu jelas kondisi menderita yang dialami kala itu. Digambarkan bahwa pemazmur sedang mengalami penderitaan yang begitu hebat yang datang dari musuh-musuhnya. Lantas pemazmur berseru kepada Tuhan memohon pertolongan, tetapi belum memperoleh respon dari Tuhan akan doa dan harapan yang ditujukan kepada Tuhan. Situasi dan suasana khawatir juga menyelimuti kondisi pemazmur kala itu, pergumulan pemazmur menghadapi setiap persoalan dan kesesakan dihadapinya seorang diri (Barth & Pareira, 1999: 201). Kondisi seperti ini juga dapat ditemui dalam pergumulan iman orang yang sedang menderita entah itu penderitaan yang ditimbulkan dari penyakit atau persoalan hidup.

Persoalan lain mengenai penderitaan manusia tidak hanya dari Kitab Ayub dan Mazmur. Penderitaan mendapatkan pemaknaan yang sedemikian dalam untuk dinamika hidup manusia dalam sejumlah kitab, seperti Kitab Yesaya. Salah satu perikop, Yesaya 53 menggambarkan tentang seorang hamba Allah yang


(43)

sedang menderita. Penderitaan yang dialami bukan berasal dari kesalahan atau dosa personal yang dilakukan oleh diri sendiri, melainkan penderitaan yang dialami oleh hamba Allah ini merupakan penderitaan yang dialami sebagai akibat dari dosa atau kesalahan orang lain. Penderitaan yang dialami oleh hamba Allah tersebut menjadi anugerah bagi orang lain, karena dosa yang ditanggungkan kepada hamba Allah tersebut menggantikan dosa orang lain.

Peristiwa dalam Kitab Yesaya ini selaras dengan kisah Yesus dalam Perjanjian Baru, lebih-lebih kisah hidup Tuhan Yesus. Di dalam Kitab Perjanjian Baru, sering dituliskan bahwa sabda dan karya yang dilakukan oleh Yesus sering igerakkan dan diresapi oleh cinta kasih-Nya kepada manusia, terutama manusia yang lemah dan tidak berdaya (Go., 1984: 52). Pewartaan yang dilakukan oleh Yesus di setiap penjuru kota memancarkan sikap optimisme yang timbul dari adanya kepastian tetang hadirnya Kerajaan Allah. Di setiap perbuatan yang Ia lakukan, Yesus mengajak semua orang untuk meminta adanya pembebasan dari segala hal yang buruk dalam arti yang sangat luas (bdk. Mat 6:13; Luk 11:4).

Dalam pelbagai peristiwa penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus, peristiwa ini hendak mengungkapkan bahwa Yesus menolak dengan tegas penafsiran penderitaan sebagai akibat dari dosa (Yoh 9:3). Namun, kondisi seseorang yang sedang dilanda sakit atau penderitaan ini menjadi siatuasi seseorang yang memerlukan penebusan (Go., 1984: 52). Kisah hidup Yesus menjadi dasar pemaknaan tentang penderitaan hidup manusia dan bagaimana menanggapi penderitaan itu. Penderitaan yang dialami Tuhan Yesus yang ditulis di dalam Injil juga pada akhirnya harus dimaknai sebagai permohonan ampun atas


(44)

dosa-dosa yang telah diperbuat oleh manusia dan pernyataan tentang keselamatan abadi.

Dengan demikian, hendak diungkapkan bahwa dalam Perjanjian Lama, penyakit dan penderitaan dilihat dalam konteks religius yang dihubungkan dengan kelemahan dan kesalaham manusia itu sendiri. Hal ini dilihat dari dasar Tuhan sebagai Pencipta alam semesta dan Tuhan sebagai Yahwe yang senantiasa menyertai bangsa Israel. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, kehadiran Yesus dengan segala mukjizat penyembuhan yang sudah dilakukan merupakan sebuah bentuk penolakan terhadap konteks hubungan kausal antara penyakit dan dosa. Kehadiran Yesus dan mukjizat penyembuhan yang dilakukan merupakan tanda hadirnya Kerajaan Allah sebagai bentuk pemenuhan akan kerinduan umat Perjanjian Lama (Go., 1984: 53). Dalam hal ini, Yesus hendak menegaskan bahwa mukjizat penyembuhan yang telah Ia lakukan merupakan tanda hadirnya Kerajaan Allah di dunia, dan tanda kasih sayang, serta perhatian khusus dari Allah kepada mereka yang menderita.

b. Sakit dalam Pandangan Ajaran Gereja

Dalam sebuah pengantar yang dimuat dalam Yohanes Paulus II tentang

Sakit dan Derita (Buku, 2010: 5) P. Josef Pieniazek, SVD mengungkapkan bahwa

penderitaan dalam arti luas merupakan suatu kenyataan dan pengalaman universal yang dialami oleh setiap orang yang hidup di dunia. Berdasarkan terang Kitab Suci, sakit atau penderitaan dipandang sebagai sebuah siksaan dari Tuhan sebagai akibat dari pelanggaran moral yang telah dilakukan yang disebabkan oleh


(45)

kelalaian manusia dalam menjalankan kewajiban yang sudah disahkan oleh tradisi bangsa itu.

Sedangkan nilai penderitaan yang dialami oleh Yesus, oleh P. Josef Pieniazek, SVD dinilai tidak terbatas karena Yesus sebagai Allah, melainkan penderitaan yang dialami begitu nyata karena posisi Yesus adalah seorang manusia yang benar, yang berusaha membela nilai-nilai kemanusiaan yang pada saat itu bertolak belakang dengan hukum yang mereka hayati dan imani (Buku, 2010: 7).

Penderitaan tidak hanya dapat diartikan berdasar pada sudut pandang Kitab Suci belaka, melainkan terdapat sejumlah gagasan yang dikeluarkan oleh para Paus, salah satunya adalah Paus Yohanes Paulus II sosok yang senantiasa dekat dengan orang yang menderita.

Salah satu dokumen yang membahas mengenai hal ini adalah Salfivici

Doloris. Dokumen ini merupakan salah satu dokumen yang dibuat oleh Paus

Yohanes Paulus II dan dibahas dengan begitu dalam mengenai arti dari penderitaan. Dalam salah satu paragrafnya diungkapkan bahwa penderitaan mengandung suatu panggilan khusus kepada keutamaan yang harus dilaksanakan sendiri oleh manusia sesuai dengan kewajibannya (SD, art. 23). Ini merupakan sebuah keutamaan ketekunan dalam melaksanakan apa saja yang secara personal membuatnya bingung dan merasa rugi. Penderitaan yang dialami bukanlah sebuah hukuman yang datang akibat dari dosa manusia atau ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada umat-Nya, melainkan suatu kesempatan untuk membersihkan segala dosa-dosa ataupun kesalahan yang sudah secara sadar ataupun tidak


(46)

dilakukan. Melalui penderitaan ini, secara khusus setiap manusia diarahkan kepada kebaikan-kebaikan yang harus dan diberikan oleh saudara-saudara di sekitarnya, seperti Kristus yang menyerahkan diri-Nya sebagai bentuk penebusan bagi semua orang.

Melalui dokumen Salfivici Doloris, Paus Yohanes Paulus II yang diungkapkan pada saat Audiensi Umum tanggal 15 November 1978 sebagaimana dikutib oleh Richardus M. Buku (2010: 13), mengajak segenap orang yang sedang mengalami penderitaan entah fisik berupa sakit ataupun psikis untuk tidak menjadikan peristiwa dan pengalaman ini menjadi beban, melainkan disadarkan bahwa mereka mempunyai posisi dan tempat yang penting di dalam Gereja. Penderitaan merupakan hal yang adikodrati dan manusiawi. Dikatakan adikodrati karena berakar dalam misteri Ilahi dari sebuah karya penebusan. Sedangkan dikatakan manusiawi, karena di dalamnya manusia dapat menemukan dirinya sendiri, kemanusiaannya sendiri, martabat, dan perutusannya.

Seperti dalam peristiwa pada umumnya, manusia yang memiliki akal budi dan kemampuan berpikir senantiasa mempertanyakan segala hal termasuk di dalamnya mengapa terdapat penderitaan dalam hidup manusia jika Tuhan menghendaki kehidupan di dunia ini harmonis. Pertanyaan ini dijawab oleh Paus Yohanes Paulus II melalui dokumen Salfivici Doloris yang menyatakan bahwa jika hendak menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu juga melihat pada perwahyuan mengenai kasih Ilahi, yang merupakan sumber terdalam dari makna setiap hal yang ada. Kasih juga merupakan sumber yang terkaya dari arti penderitaan, yang selalu tetap merupakan suatu misteri: kita sadar akan tidak


(47)

cukupnya dan tidak memadainya penjelasan-penjelasan kita (SD, art. 26). Kristus menyebabkan kita masuk dalam misteri ini dan untuk menemukan “mengapa ada penderitaan” sejauh kita dapat menangkap keluhuran kasih Ilahi.

Untuk menemukan arti terdalam dari penderitaan, sesuai dengan sabda Tuhan yang diwahyukan, diperlukan keterbukaan diri yang lebar terhadap subyek manusia dalam kemampuannya yang beraneka macam. Lebih-lebih sebagai manusia harus menerima cahaya perwahyuan tidak hanya sejauh hal itu mengungkapkan tatanan keadilan yang transenden tapi juga sejauh perwahyuan itu menyinari tatanan tadi dengan kasih, sebagai sumber definitif dari tiap hal yang ada. Kasih juga merupakan sumber yang paling penuh dari jawaban terhadap pertanyaan mengenai arti penderitaan. Jawaban ini telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia dalam Salib Yesus Kristus.

Berbicara mengenai penderitaan yang dialami oleh manusia, nampaknya oleh Paus Yohanes Paulus II tidak hanya disinggung di dalam dokumen Salvifici

Doloris saja. Konsep mengenai hidup dan penderitaan yang dialami oleh manusia

juga disinggung bahkan dibahas oleh sejumlah dokumen gereja yang dirumuskan oleh Paus Yohanes Paulus II melalui ensiklik Evangeli Vitae. Dikatakan di sana bahwa hidup di dalam Tuhan berarti mengakui bahwa penderitaan kendati itu buruk dan merupakan sebuah pencobaan, tetapi senantiasa menjadi sumber kebaikan (EV, art. 67). Demikianlah artikel yang ada di dalam dokumen ini menghayati penderitaan dalam Tuhan semakin penuh menyerupai Dia serta bergabung lebih erat dengan karya penebusan-Nya dengan Gereja dan umat manusia. Harapannya adalah tercapai dan terwujudnya ungkapan dari Rasul


(48)

Paulus yang menyatakan, “Aku bergembira akan penderitaanku demi kamu, dan

dalam dagingku kulengkapi apa yang masih kurang dalam sengsara Kristus demi tubuh-Nya, yakni Gereja” (Buku, 2010: 19).

c. Sikap Terhadap Sakit Menurut Iman Kristiani

Konsep sakit dan penderitaan yang dialami oleh manusia sudah dengan jelas digagas dalam pembahasan sebelumnya dari pelbagai sumber. Dari sudut pandang bidang medis, sakit memperoleh ruang yang besar untuk sebuah konsep mengenai gangguan terhadap kondisi fisik yang disebabkan oleh sejumlah faktor. Sedangkan dari sudut pandang agama atau spiritual, konsep sakit memperoleh pemaknaan yang cukup dalam dari sekedar sebuah konsep yang menyatakan bahwa sakit merupakan terjadinya perubahan kondisi fisik pada manusia yang disebabkan karena makhluk mikrobiologis atau virus. Sakit mendapatkan arti dan atau pemaknaan yang lebih dalam, karena sakit dapat membuat seseorang merenungkan arti hidup bagi diri pribadinya dan mendesak seseorang yang sedang sakit untuk berpikir lebih lanjut mengenai permasalahan atau konflik pribadinya yang selama ini membelenggu hidupnya (Go., 1984: 56).

Pengalaman sakit sebagaimana dikutib oleh Dr. P. Go., O. Carm. (1984: 56) dalam Hidup dan Kesehatan disebutkan demikian:

Pengalaman sebagai orang sakit merupakan pengalaman pahit yang dapat sangat mengguncangkan manusia. Orang beriman pun tidak luput dari pengalaman tersebut. Namun, berkat iman, orang sakit dapat lebih memahami makna penderitaan serta dapat menghadapinya dengan tabah dan lapang dada. Orang beriman tahu dari ajaranYesus Kristus bahwa

penderitaan mempunyai arti “demi keselamatannya sendiri dan demi keselamatan dunia”; dan orang beriman yakin bahwa Yesus Kristus


(49)

mencintai orang-orang sakit, sebab seringkali Ia mengunjungi dan menyembuhkan mereka.

Penderitaan sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, memang memiliki kaitan dengan dosa yang telah dilakukan oleh manusia. Tetapi, tampaknya tidak dapat dikatakan bahwa setiap orang yang mederita sakit merupakan akibat dari dosa yang ditanggungnya atau bahkan kondisi sakit yang sedang dialaminya sesuai dengan berat ringannya ganjaran dosa yang diterimanya. Hal ini dikarenakan, Yesus yang tidak berdosa, mengalami penderitaan yang amat berat di dalam perjalanan hidup-Nya. Bahkan Ia menanggung setiap dosa dan luka sebagai akibat dari kesalahan umat manusia, serta mengambil bagian di dalam penderitaan manusia (Yes 53:4-5). Di dalam kisah hidupnya, Yesus bahkan masih mengalami penderitaan berupa siksaan dan hukuman mati di kayu salib sebagai bentuk konsekuensi yang dipilih oleh Yesus untuk menanggung luka yang timbul dari kesalahan umat-Nya. Tetapi sekali lagi, Yesus memandang bahwa segala penderitaan yang dialami itu ringan rasanya dan sifatnya hanya sementara, karena jika dibandingkan dengan kemuliaan kekal sebagaimana dijanjikan oleh Bapa-Nya, penderitaan yang dialami oleh Yesus ibarat sebutir debu di tengah lautan pasir (bdk. 2 Kor 4:17).

Melalui hal ini, sebagaimana ditulis oleh Dr. P. Go., O. Carm. (1984: 57) dalam Hidup dan Kesehatan, Allah menghendaki agar manusia berjuang dengan gigih melawan setiap penyakit dan memelihara kesehatan jiwa dan raganya dengan sebaik-baiknya, agar ia dapat menjalankan tugas perutusannya di dalam hidup bermasyarakat dan hidup menggereja. Tetapi, ketika manusia dihadapkan pada kondisi sakit dan menderita, manusia tersebut harus siap menghadapinya.


(50)

Hal ini dikarenakan, ketika manusia siap menghadapi situasi dan kondisi sakit atau menderita, secara langsung manusia tersebut menggenapi apa yang masih kurang dalam penderitaan yang dialami oleh Yesus Kristus sebagai pilihan penebusan dosa umat manusia, sambil menantikan hadirnya pembebasan seluruh ciptaan ke dalam kemerdekaan dan kemuliaan anak-anak Allah (bdk. Kol 1:24; Rom 8:19-21).

Dari sejumlah gagasan mengenai konsep sakit, ditemukan bahwa kesehatan merupakan nilai dasar dan nilai yang sangat tinggi dalam hidup manusia (Go., 1984: 55). Dari sudut pandang teoritis, ketika manusia kehilangan kesehatannya hal ini menjadi pukulan berat baginya, hal ini menggambarkan bahwa manusia itu kehilangan nilai dasar dan nilai yang memiliki kedudukan tinggi di dalam hidupnya. Akan tetapi, hal ini tidak serta merta harus ditekankan ke dalam pola berpikir manusia, karena kesehatan juga memiliki nilai relatif, di mana kehilangan kesehatan bukan menjadi sebuah bencana terbesar dalam hidup manusia. Sehingga, manusia tidak dapat berbuat seolah-olah ia kehilangan segala-galanya, karena kesehatan memang bukanlah segala-galanya (Go., 1984: 55).

Sebagai sebuah gagasan teori hal ini menjadi tampak begitu ideal, namun pada kenyataannya, ketika seseorang diadapkan pada kondisi sakit, yang terjadi adalah seseorang akan menimbulkan rasa putus asa dan penderitaan yang hebat di dalam hidupnya. Akan tetapi, hal ini akan berbeda jika pemahaman mengenainilai dasar dan nilai tertinggi itu disejajarkan posisinya dengan konsep dan gagasan hidup Yesus Kristus.


(51)

Kesaksian orang beriman akan situasi dan kondisi sakit atau menderita yang sedang dialami dapat menjadi peringatan bagi orang lain yang mengalami hal yang sama, bahwa hidup abadi lebih luhur nilainya jika dibandingkan dengan kehidupan yang sifatnya fana belaka, bahkan hidup yang abadi ini perlu ditebus dengan misteri wafat dan kebangkitan Kristus (Go., 1984: 57).

3. Situasi dan Kondisi Fisik Orang Sakit

Sakit sejatinya merupakan sebuah pengalaman subyektif pasien. Sebagai sebuah pengalaman subyektif tentunya pengalaman sakit ini akan berbeda satu dengan yang lainnya tergantung pemaknaan dan pemahaman tentang pengalaman sakit yang dialami. Sakit itu sendiri akan mempengaruhi sejumlah aspek di dalam diri manusia, salah satunya adalah adanya perubahan irama hidup.

Dalam situasi normal, manusia memerlukan suasana at home, yang membuat dirinya merasa nyaman dan bebas. Situasi yang demikian ini membuat manusia dapat melakukan apa saja dengan bebas dan tanpa ada batasan kecuali norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam situasi seperti ini, manusia dengan leluasa menikmati hidup yang terkadang memberikan kemudahan dan kenikmatan dalam sagala bidang. Namun, kenyataan yang demikian ini akan tampak berbeda ketika manusia dinyatakan mengalami sakit atau divonis oleh pihak Rumah Sakit untuk beristirahat baik di rumah ataupun di bangsal Rumah Sakit. Kenyataan ini akan mendatangkan perubahan besar pada kebebasan yang selama ini dinikmati.


(52)

P. Go dalam Hidup dan Kesehatan (1983: 54) mengungkapkan situasi dan kondisi orang yang tengah sakit sebagai berikut:

Orang sakit tiba-tiba dicabut dari lingkungan akrabnya, dari karyanya yang memberinya kedudukan dan peranan serta identitas dirinya, dan ia dengan terpaksa memutuskan hubungannya dengan hidup normal. Ia hidup dalam lingkungan baru yang tidak akrab dan merasakan dirinya asing di lingkungan baru itu. Ia kehilangan kebebasan, kehilangan peranan sosialnya atau merasa takut kehilangan kedudukannya yang mungkin diintai oleh orang-orang yang lebih muda dan dinamis yang ingin merebut kedudukannya.

P. Go hendak menggambarkan kondisi orang sakit yang tidak berdaya dan tidak berguna, yang terbaring lemah dan mengalami ketergantungan dengan orang lain, dengan obat, dan peralatan medis. Kondisi yang demikian ini secara tidak langsung membuat orang menjadi minder, merasa diri kosong, hanya bisa merepotkan orang lain, bahkan menjadi beban bagi orang lain.

Hal ini berbeda dengan sikap dari lingkungan sekitarnya. Dengan keadaan yang demikian, keluarga acap kali memberikan perhatian yang penuh kepada orang yang sedang sakit, memberikan waktu yang cukup untuk menemani ataupun mendengarkan cerita dari orang yang sedang sakit. Tetapi ada juga perlakuan yang berbeda dari lingkungan seandainya orang yang menderita sakit tersebut kurang dapat bersosialisasi dengan orang lain secara baik, lingkungan cenderung membiarkan, tidak ada satupun orang yang membesuk, bahkan mendoakan. Secara tidak langsung hubungan antara individu dengan ligkungan juga memiliki pengaruh terhadap aksi dan reaksi yang akan ditimbulkan.

Berbeda dengan pandangan P. Go, T. Jacob sebagaimana dikutib oleh Kieser dalam Ikut Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit melihat dari


(53)

sudut pandang yang lain terkait dengan situasi dan kondisi dari orang yang sedang menderita sakit. T. Jacob sebagaimana dikutib oleh Kieser (Kieser, 1984:124) berpendapat bahwa:

Ada kemungkinan orang yang sedang menderita sakit tidak benar-benar menderita seperti apa yang sedang dialami, ada kemungkinan orang tersebut merasa senang dapat dibesuk oleh banyak orang, dilayani bak seorang raja, bahkan ada kemungkinan juga ia merasa diri bebas dari kewajiban atau tugas rutinnya selama ini.

Kondisi sakit ini membuat orang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, di mana orang tersebut harus taat, menerima pola hidup yang seluruhnya ditentukan oleh perhatian untuk kesehatan yang mungkin tidak biasa ia dapatkan, pola makan dan asupan gizi pun diatur, dan hampir seluruh aspek hidupnya diatur dengan pusat perhatian adalah penyakit yang sedang dialami atau dikeluhkan. Dengan demikian, mau tidak mau orang benar-benar ditarik keluar dari kebiasaan dan kenyamanannya selama ini dan dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berbeda.

4. Situasi dan Kondisi Batin Orang Sakit

Dewasa ini orang sering kali membicarakan sifat simbolis dari penyakit, terutama kalangan medis. Terdapat pandangan lama terkait dengan manusia. Pandangan itu melihat manusia sebagai makhluk dikotomi yang terdiri dari tubuh dan jiwa saja, sedangkan penyakit dilihat sebagai sesuatu yang hanya mengenai dan menyerang tubuh saja (Abineno, 1972: 38). Namun, seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan penelitian pun turut berkembang, pandangan tersebut diuji keabsahannya dan mulai dirumuskan kembali dengan


(54)

lebih akurat. Kini kalangan medis meihat manusia sebagai suatu kesatuan yang utuh dan penyakit sebagai sesuatu yang mengenai keseluruhan manusia dan mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia (Abineno, 1972: 38).

Dari gagasan tersebut, kalangan medis berpikir bahwa penyakit dapat menjadi tanda dari kekacauan batin manusia. Kekacauan batin manusia itu bisa dipicu oleh penyakit atau disebabkan oleh penyakit. Kekacauan itu dapat dipicu juga oleh adanya gangguan-gangguan psikis dari dalam diri manusia itu ataupun dari pengaruh-pengaruh negatif lain di luar diri manusia tersebut.

Membahas mengenai gangguan batin dan psikis manusia tentunya tidak dapat terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan emosi manusia. Setiap manusia tentunya memiliki perasaan dan dinamika emosi yang akhirnya membentuk suatu sikap tertentu dalam menghadapi kenyataan yang sedang dialaminya (Go., 1984: 72-75). Sebuah penelitian dilakukan oleh Dr. Elisabeth Kubler yang bekerjasama dengan sejumlah mahasiswa dari Universitas di Chicago tentang reaksi dan pengalaman pasien di kala sakit dan saat menghadapi atau mempersiapkan diri menghadapi kematian sebagaimana dikutib oleh Dr. P. Go., O. Carm. Dari hasil penelitian yang diakukan Dr. Elisabeth Kulber Ross bersama dengan mahasiswa, Dr. Elisabeth Kulber Ross menemukan tahapan-tahapan emosi yang muncul dari dalam diri pasien ketika sakit dan saat menghadapi atau mempersiapkan diri menghadapi kematian (Go., 1984: 72). Ada 5 tahapan atau fase yang dialami oleh pasien di kala sakit dan saat menghadapi atau mempersiapkan diri menghadapi kematian sebagaimana dikutib oleh Dr. P. Go., O. Carm. (1984: 72-75). Tahap


(55)

atau fase tersebut adalah fase penolakan, fase marah-marah sampai mengamuk, fase tawar-menawar, fase depresi, dan fase penerimaan.

Tahapan pertama ketika pasien mendapatkan diagnosa dari pihak dokter, yang terjadi adalah penolakan atau penyangkalan. Tidak ada satupun manusia di dunia ini ketika dinyatakan sedang mengidap penyakit dengan gembira dan senang hati. Sering kali hal pertama yang terjadi adalah penolakan, ketidakpercayaan bahwa sedang mengidap penyakit apalagi penyakit tersebut bersifat kronis. Hal ini dirasa begitu manusiawi, mengingat karena pasien ketika mendapatkan berita mengejutkan tentunya respon yang demikian inilah yang terjadi (Go., 1984: 72). Pasien tersebut akan merasa sedih, marah, gugup, dan terguncang hatinya, seolah-olah sudah membayangkan akan hilangnya masa depan yang sudah dibangun sejak usia anak-anak. Fase ini biasanya berlangsung pada diagnosa awal sampai pada akhir hidupnya. Namun, seiring berjalannya waktu dan melalui sejumlah pendampingan dan usaha pendekatan yang dilakukan, pasien tersebut akan melewati fase ini dan mulai menuju kepada fase berikutnya.

Fase berikutnya adalah fase marah sampai-sampai mengamuk. Pada fase ini, pasien sudah tidak lagi menyangkal kenyataan yang sedang dialami. Pada fase ini, pasien cenderung merasakan ketidakadilan terjadi di dalam hidupnya dan pasien berusaha mencari-cari sasaran guna melampiaskan emosi tersebut. Yang sering kali terjadi adalah Tuhan, dokter, petugas pendampingan pastoral, bahkan keluarga yang mendampingi yang menjadi sasaran kemarahannya (Go., 1984: 73). Suasana yang muncul tatkala pasien sedang berada di dalam kondisi seperti ini adalah suasana yang tidak mengenakkan bagi pasien ataupun keluarga. Suasana


(56)

yang seolah-olah pasien membuka kembali tabir kenangan-kenangan permasalahan yang kiranya belum terselesaikan dengan baik, pengalaman tidaak menyenangkan, serba salah, sedih atau bahkan malu.

Berbeda dengan dua fase sebelumnya, pasien yang pada mulanya tidak dapat menghadapi kenyataan yang menyedihkan sampai-sampai marah kepada Tuhan dan orang-orang yang berada di sekitarnya, pada fase ini pasien sudah mulai lunak secara emosional. Tahap ini berjalan cukup singkat, pasien sudah memahami dan menyadari bahwa sakit yang sedang dialami tidak dapat dihindari, mau atau tidak, pasien harus menjalani proses penyembuhannya. Pada fase ini, pasien cenderung bersikap baik, menjadi lebih penurut, dan mau bekerjasama dengan dokter dan petugas pendampingan pastoral. Namun, di dalam upaya yang dilakukan pasien, nampaknya terdapat modus di dalamnya, pasien berharap untuk dapat membujuk Tuhan agar Tuhan turut campur tangan dalam proses penyembuhannya (Go., 1984: 73). Pasien mulai mengumbar sejumlah janji-janji kepada Tuhan, ketika pasien sudah sembuh, pasien menjanjikan untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan, rajin beribadah, memberikan hidupnya untuk pelayanan Gereja, dan lain-lain. Hal ini sama dengan yang dialami oleh Hizkia di dalam Kitab Suci. Pada waktu itu, adalah saat bagi Hizkia mendekati ajalnya dikarenakan suatu penyakit yang menyerang tubuhnya. Nabi Yesaya mengunjungi Hizkia dan berkata, “Sampaikanlah pesan terakhirmu kepada keluargamu, sebab

engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi” (2 Raj 20:1).

Karena tidak ingin mati, Hizkia berdoa sambil menangis di hadapan Tuhan Allah. Hizkia menyebutkan segala perbuatan baik yang sudah dia lakukan


(57)

semasa hidupnya dan mengingatkan Tuhan bahwa selama ini Hizkia sudah berusaha mengikuti apa yang diperintahkan Tuhan kepada Hizkia (Yes 38:3). Usai mendengarkan doa-doa yang dipanjatkan oleh Hizkia, Tuhan Allah memberikan kesempatan hidup lebih panjang kepada Hizkia. Sebagai tanda persetujuan ini, Tuhan Allah menggeser bayangan matahari ke arah belakang sepuluh tangga Ahaz, kemudian Tuhan Allah memberikan ramuan penyembuh kepada Nabi Yesaya, yakni sepotong kue ara untuk diletakkan di atas luka yang sedang diderita Hezkia, maka sembuhlah Hezkia seketika itu jua (2 Raj 20:7).

Fase berikutnya adalah fase depresi. Pada fase ini, pasien memiliki kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri dan marah dengan dirinya. Pasien mulai mengalami penurunan kondisi fisik dan mental. Pada fase ini, pasien berusaha untuk menarik diri dari orang lain, mulai merasakan kehilangan minat pada dunia di luar dirinya, merasakan kehilangan aktivitas yang selama ini membuatnya merasa nyaman dan mencapai popularitas (Go., 1984: 73).

Fase terakhir adalah fase penerimaan. Pada fase ini akhirnya pasien mampu untuk menerima keadaan yang dialaminya. Hal ini nampak dari perubahan raut muka pasien yang menunjukkan kedamaian di dalam dirinya ataupun orang lain (Go., 1984: 74). Fase ini membuat pasien kehilangan minat akan dunia di sekitarnya, melulu ingin sendiri, dan tidak ingin banyak berbicara. Kehadiran orang-orang di sekitarnya pun hanya dianggap sebagai pendamping yang membantu memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendirian di dalam menghadapi kenyataan saat ini.


(58)

Itulah tahapan-tahapan atau fase yang dialami pasien secara mental. Di dalam penelitiannya Dr. Elisabeth Kulber Ross turut menjelaskan bahwa tahapan-tahapan ini tidak bersifat mutlak dan kaku. Tidak setiap pasien mengalami tahapan dengan pola klasik ini. Di beberapa fenomena ada yang menunjukkan pasien mengalami dua fase dalam waktu yang bersamaan, ada juga yang menunjukkan perjalanan fase ini maju mundur atau bahkan melompat-lompat. Secara tidak langsung penelitian Dr. Elisabeth Kulber Ross menunjukkan bahwa fase ini berurutan tetapi tidak semuanya bersifat mutlak dan sistematis, karena berhubungan dengan manusia, dan setiap orang memiliki dinamika yang berbeda satu dengan yang lain.

5. Situasi dan Kondisi Spiritual Orang Sakit

Membicarakan situasi dan kondisi spiritual orang sakit tentunya tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut dengan refleksi teologis yang berpangkal dari kedalaman iman dari masing-masing orang, selain itu juga mengindahkan perihal spiritualitas seseorang. Kedalaman iman yang dimaksudkan bukan sekadar pandangan ataupun pengetahuan seseorang tentang imannya, melainkan lebih kepada kemampuan seseorang di dalam menghayati imannya secara khusus ketika berada di dalam kondisi batas daya kemampuan seseorang. Spiritualitas yang hendak dibicarakan di sini lebih pada spiritualitas seseorang tatkala sedang dalam kondisi sakit.


(1)

158

__________. (1984). Kematian: Suatu Pandangan Medis. Dalam B. Kieser, SJ. (Ed.). Ikut Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit. (hal. 51-62). Yogyakarta: Kanisius.

Panitia Kanker RSUP DR. Sardjito. (1999). Onkologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Payne, Richard. (2009). Hope In The Face Of Terminal Illness. Dalam John Swinton & Richard Payne (Ed.). Living Well And Dying Faithfully:

Christian Practices For End-Of-Life Care. (hal. 205-225). Cambridge:

William B. Eerdmans Publishing Company.

Purwodarminto, W.J.S. (1987). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Riyadi, Eko St. (2011). Matius: Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah. Yogyakarta: Kanisius.

Sene, Alfons. (1976). Penuntun Sekolah Minggu. Umat Baru No. 49. Hal. 32. Sihlman, Med. Juliar. (1980). Kanker dan Hubungannya dengan Batin dan Sex.

Dalam Buletin Mawas Diri Edisi Januari 1980. (hal. 15-19).

Sri Suparmi. (1988). Pendampingan Iman Orang Sakit. Skripsi Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Kateketik/STFK. (hal. 14-64).

Staf Dosen Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik. (2006). Pedoman Umum Penulisan Skripsi. Dalam L. Bambang Hendarto Y. (Ed.). Pedoman Penulisan Skripsi Program Studi Ilmu

Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik. (hal. 3-44).

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Sumarno Ds., M. (2009). Pengantar Pendidikan Agama Katolik. Diktat Mata Kuliah Pengantar Pendidikan Agama Katolik Paroki untuk Mahasiswa Semester VI, Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma.

Suprihatin, Ana. (1999). Pelayanan Pendampingan Pastoral Orang Sakit di

Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta melalui Katekese. Skripsi

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma (hal. 36-66).

Swinton, John. (2009). Why Me Lord?: Practicing Lament At The Foot Of The Cross. Dalam John Swinton & Richard Payne (Ed.). Living Well And

Dying Faithfully: Christian Practices For End-Of-Life Care. (hal.

107-138). Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company.

Totok S. Wiryasaputra. (2007). Pendampingan Pasien Kanker. Jakarta: Pelkesi. __________. (1997). Pendampingan Pastoral Orang Sakit: Sikap dan

Keterampilan Dasar (Seri Pastoral No. 245). Yogyakarta: Pusat Pastoral

Yogyakarta.

Totok S. Wiryasaputra & Beek, Art M. (2000). Pendampingan Pastoral Orang

Sakit. Yogyakarta: RS. Bethesda.

Triono Budi Sutopo, Ign. (1993). Katekese Nyanyian sebagai Bentuk Kegiatan

Sekolah Minggu dalam Rangka PIA. Skripsi Mahasiswa Program Studi

Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma (hal. 49-79).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

159

Yohanes Paulus II, Paus. (1993). Salfivici Doloris. (J. Hadiwikarta, Pr., Penerjemah). Jakarta: DEPDOKPEN KWI. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1984).

__________. (2004). Pesan Sri Paus Yohanes Paulus II pada Peringatan Hari

Orang Sakit Sedunia (Lordes-Perancis, 11 Februari 2004). Brosur

terjemahan dari Bahasa Italia yang disebarluaskan oleh BN Karya Kepausan Indonesia. Jakarta.

Yubong, BT. Christina. (1995). Katekese Orang Dewasa dan Penderitaan. Skripsi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma (hal. 62-70).

Yuswanto dan Sinaradi (Ed.). (2000). KANKER. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI