Konteks Program Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi

118 sakit yang dialami oleh pasien penderita kanker ini bukan sekedar pengalaman sakit biasa. Kanker merupakan sebuah penyakit yang dapat mempengaruhi segala aspek hidup manusia yang menderitanya. Maka tidak salah jika, dampak yang ditimbulkan karena penyakit ini begitu beragam, mulai dari dampak psikologi, sosial, ekonomi, bahkan sampai pada iman. Pada bagian ini akan lebih menyoroti bagian gagasan dalam pendampingam kanker pasca kemoterapi secara khusus bagian iman pasien. Di dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Christina BT. Yubong, S.Pd. sebagai bentuk tugas akhir guna meraih gelar S1 yang berjudul Katekese Orang Dewasa dan Penderitaan 1995:62 dituliskan demikian: Untuk sampai pada iman yang dewasa perlu ada pendidikan iman yang terus menerus. Salah satu usaha pelayanan pendidikan iman adalah katekese. Dalam katekese, orang dewasa dibantu untuk menyadari Allah dalam segala peristiwa hidup sehari-hari. Kemudian mengkomunikasikan pengalaman di dalam penderitaan tersebut yang sudah diolah dalam terang iman. Melalui gagasannya ini, Christina hendak mengatakan bahwa perkembangan iman seseorang entah itu dalam kondisi sehat ataupun sakit kiranya senantiasa berada di dalam proses pendampingan. Pendampingan yang lekat dengan kondisi yang demikian adalah katekese atau yang lebih dikenal dengan istilah sharing pengalaman iman. Menurut gagasan B. Kieser, S.J. pendampingan iman yang diharapkan terjadi di sini adalah segala macam bentuk pelayanan yang dapat membantu seseeorang, terutama yang sedang sakit untuk mewujudkan dan mengungkapkan imannya. Pendampingan iman di sini tidak harus dilaksanakan dengan bentuk 119 pemenuhan kebutuhan religius yang bersifat ritus semata, seperti pemberian sakramen orang sakit, dan upacara suci lainnya, melainkan lebih kepada bantuan iman yang terwujud dalam bantuan praktis bagi permasalahan yang nyata, yakni kolaborasi antara perawatan dalam segi medis dan juga pendampingan iman yang sifatnya berkelanjutan. Maksud dari pendampingan ini adalah mendampingi pasien untuk berjumpa dengan Allah dalam situasi yang terbatas dan membagikan pengalaman tersebut kepada teman sebaya yang mengalami kondisi yang sama. Pendampingan ini diartikan juga sebagai perwujudan dari sikap ikut percaya baik dari pasien, pendamping, ataupun keluarga karena ikut merasakan pengalaman yang dialami pasien meski dalam bentuk yang berbeda dan terlebih sama-sama mengalami batas daya kemampuan manusia. Dengan demikian, pendampingan ini akan diarahkan supaya pasien ataupun keluarga untuk saling mengkomunikasikan, tukar pengalaman, dan menghayati imannya di tengah keterbatasan yang dialami. Gagasan ini lebih bersifat pendampingan iman dalam betuk katekese yang disesuaikan dengan tingkat usia dan lebih difokuskan dalam kaca mata iman Kristiani. Proses ini sendiri dapat membantu pasien untuk berproses dengan pribadinya sendiri dan segala hal terkait dengan pangalaman iman individu yang akan dibantu dengan dialog personal dengan pendamping, baru kemudian akan dibagikan kepada sesama penderita yang tentunya memiliki kondisi dan persoalan yang sama sebagai wujud katekese itu sendiri. Pendampingan iman di sini mencakup pendampingan iman anak, pendampingan iman remaja, dan pendampingan iman orang dewasa. 120

E. Bahan Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi

Di dalam pembahasan sebelumnya, telah dipaparkan latar belakang penyusunan program, gagasan tentang apa itu sakit, pandangan sakit menurut Kitab Suci dan beberapa ensiklik Gereja, situasi dan kondisi pasien kanker, tujuan disusunnya program pendampingan pastoral ini dirumuskan, serta strategi yang dapat diterapkan dalam program pendampingan pastoral bagi pasien kanker pasca kemoterapi. Pada bagian ini, akan dibahas mengenai bahan yang disampaikan kepada pasien kanker pasca kemoterapi berupa konsep dan sikap yang perlu dibangun dan ditumbuhkan dalam diri pasien. Konsep dan sikap yang perlu dibangun serta ditumbuhkan ke dalam diri pasien, yakni pasien dapat menerima penderitaan atau kondisi yang dialami saat ini sebagai berkat, membangun konsep positif di dalam diri pasien tentang proses hidup dan Tuhan, dan nantinya sampai kepada ajakan untuk berjuang mempertahankan kehidupan yang selayaknya diperoleh pasien.

1. Menerima Penderitaan sebagai Suatu Berkat

Dalam banyak perkara, manusia begitu sering mempertanyakan banyak hal, hal ini dipicu karena rasa ingin tahu yang besar yang dimiliki oleh manusia. Dalam hidup, manusia sering dipertemukan dengan kenyataan paradoks, yakni kesusahan dan kegagalan. Kedua hal paradoks ini silih berganti hadir dalam dinamika hidup manusia. Sehingga sering timbul pertanyaan yang demikian, apakah kiranya tidak lebih baik mempunyai dunia tanpa derita, tanpa kelumpuhan, tanpa air mata, tanpa kecacatan, tanpa penumpahan darah, tanpa penindasan, 121 tanpa ketidakadilan, tanpa kurasi roda, dan sebagainya Yubong, 1995: 77. Pertanyaan ini tidak menyertakan alasan dan jawaban definitif kepada manusia. Namun, kenyataan yang sering terjadi adalah manusia dibawa semakin jauh dalam kesulitan dan kegagalan ini. Melihat kondisi yang semacam ini, secara tidak langsung manusia dibentuk untuk dapat menerima adanya penderitaan sebagai kenyataan yang inheren Yubong, 1995: 77. Pada hakikatnya, penderitaan nampak begitu kejam, sehingga sulit untuk diterima oleh manusia, terlebih jika penderitaan yang menimpa terlihat kurang adil dan tidak dapat dipahami oleh kemampuan berkipir manusia. Dihadapkan dengan kenyataan yang seperti ini, kerap kali yang muncul sebagai bentuk reaksi atau respon dari manusia adalah menolaknya, bahkan sampai tercipta adanya pemberontakan jiwa. Pemberontakan dan atau penolakan ini akan dapat menyebabkan terjadinta frustasi dalam diri manusia karena pemberontakan yang dibentuk sebagai reaksi atas adanya penderitaan tersebut tidak berujung dan tidak terjawab, yang nantinya akan mengakibatkan kelelahan pada manusia itu sendiri. Dalam konteks orang beriman Kristiani, penderitaan kiranya ditanggapi dengan sikap menyadari dan menerima kenyataan yang tidak mengenakkan tersebut sebagai bagian dari kenyataan hidup manusia. Sebagai orang beriman Kristiani, sikap yang demikian ini merupakan buah dari sikap yang Yesus ajarkan tatkala Ia marus menerima kenyataan bahwa Ia akan diserahkan kepada pengadilan dan dihukum mati atas kesalahan manusia. Di dalam Injil Yohanes, Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya bahwa terdapat dukacita yang nantinya akan membuahkan sukacita. Ia mengatakan kepada murid-murid-Nya