107
pribadinya yang lekat dengan priamida kebutuhan yang dirumuskan oleh Abraham Maslow.
Kondisi penyebaran kanker ini terbuka pada segala usia, seperti sudah dijabarkan dengan begitu jelas di dalam pembahasan mengenai konsep kanker itu
sendiri. Kanker atau puru ayal dipahami sebagai jenis penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh
secara tidak terkendali pembelahan sel yang melebihi batas normal, menyerang jaringan biologis di dekatnya, dan bermigrasi ke jaringan tubuh yang lain melalui
sirkulasi darah atau sistem limfatik yang disebut metastasis. Munculnya penyakit kanker ini dapat disebabkan oleh pelbagai faktor, seperti genitas, faktor stresor
psikososial, dan lain sebagainya. Sel kanker ini akan menjadi buas dan dapat mematikan, jika pertumbuhannya tidak normal. Dengan demikian, sangatlah jelas
bahwa sel kanker dapat ditemukan di dalam tubuh setiap manusia di manapun jenjangnya, termasuk usia.
Kepentingan dari memahami psikologi perkembangan manusia dalam hal ini untuk pendampingan yang akan dilakukan oleh petugas pastoral adalah dasar
atau landasan sebelum pendamping atau petugas pastoral memberikan pendampingan atau treatment kepada pasien. Pendampingan atau treatment ini
juga diselaraskan dengan kondisi dan klasivikasi jenjang usia pasien, karena kondisi psikologi dalam diri manusia ini memiliki ciri yang berbeda di setiap
jenjang usia. Ini merupakan kepentingan utama yang harus dimiliki oleh pendamping
sebelum mendampingi pasien kanker pasca kemoterapi. Hal ini menjadi utama
108
karena, tidak mungkin perlakuan yang diberikan oleh pendamping kepada pasien dengan jenjang usia remaja diterapkan juga sebagai bentuk pendampingan pada
pasien usia anak-anak. Ciri-ciri psikologi setiap jenjang usia inilah yang menjadi acuan dalam memberikan pendampingan. Yang menjadikan pasien kanker pasca
kemoterapi ini sama di setiap jenjang usia adalah keterbatasan yang dimiliki. Akan tetapi ciri-ciri kondisi psikis tetap sama dengan ciri kondisi psikis yang
diterapkan oleh Elizabet B. Hurlock dalam bukunya yang berjudul Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
3 Memahami Sikap Gereja
Hidup manusia adalah dasar dari segala nilai yang dimiliki oleh manusia. Hidup sekaligus juga sebagai prasyarat bagi segala macam kegiatan manusia dan
prasyarat hidup sosial bermasyarakat. Dengan demikian, setiap orang wajib menjalankan hidupnya seturut dengan Kehendak Allah Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 2010: 7. Kaitannya dengan konsep hidup, Gereja pada dasarnya menghendaki
supaya hidup yang sudah dipercayakan sebagai nilai oleh Allah kepada manusia hendaknya dapat berbuah dan diharapkan pula pada adanya ketercapaian hidup
abadi Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2010: 7. Akan tetapi, di sisi lain dalam hidup manusia terdapat adanya suatu
misteri tentang kematian. Namun, misteri ini seakan tertutupi oleh adanya kemajuan dalam bidang medis dan dalam budaya modern masyarakat EV, art.
64. Kematian seolah-olah tampak layaknya sesuatu yang tidak masuk akal karena
109
secara tiba-tiba memutus kehidupan manusia yang tentunya masih kaya akan masa depan dan pengalaman menarik.
Kaitannya dengan kondisi pasien kanker pasca kemoterapi ini adalah ketika kondisi pasien dikatakan sebagai kondisi terminal illness dengan artian
kemampuan bertahan hidup begitu kecil, Gereja tetap menghimbau untuk tetap menjunjung tinggi martabat manusia. Penyakit kanker ini dapat merenggut
sejumlah aspek hidup dan eksistensi manusia, sehingga akan berdampak pada keterbatasan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi
keterbatasan dan berada di batas daya manusia, kebanyakan orang sekitar baik itu keluarga ataupun kerabat yang belum siap menghadapi situasi ini merasa tidak
mampu dan kasihan terhadap pasien serta keterbatasan ekonomi. Situasi yang demikian ini dapat memicu terjadinya pengambilan keputusan yang terlalu cepat,
seperti pemilihan tindakan euthanasia atau dibiarkan begitu saja sampai ajal menjemput. Berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh kongergasi suci tentang
eutanasia, eutanasia didefinisikan sebagai kematian tanpa penderitaan, tanpa rasa sakit yang berlebihan Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2010: 8
dalam artian yang lain membunuh karena rasa kasihan. Hal inilah yang secara keras ditolak oleh Gereja. Hal ini semakin
diperjelas dengan gagasan yang dirumuskan tatkala sidang biasa kongergasi pada 5 Mei 1980 yang disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2010:8 yang menyatakan bahwa, Tak suatupun dan tak seorangpun dapat memberi hak mematikan
manusia yang tak bersalah, entah menyangkut fetus atau embrio, anak atau orang dewasa, orang lanjut usia, orang sakit yang tak tersembuhkan
110
atau orang yang sedang akan meninggal. Tak seorang pun boleh minta tindakan mematikan ini bagi diri sendiri atau bagi orang lain, yang
merupakan tanggungannya, bahkan orang tak boleh menyetujui tindakan itu, baik secara eksplisit atau pun implisit. Karena hal ini berarti
melanggar hukum Ilahi, melecehkan martabat pibadi manusia, kejahatan
melawan kehidupan, serangan terhadap umat manusia.” Inilah yang perlu diperhatikan dari sikap Gereja terhadap kondisional pasien
kanker pasca kemoterapi yang masuk dalam kerangka penyakit terminal illness.
4 Memahami Peranan Pendampingan
Dalam pelbagai pembahasan di dalam skripsi ini sering ditemukan ungkapan bahwa kanker merupakan salah satu dari sekian jenis penyakit yang
termasuk dalam klasifikasi terminal illness. Konsep ini menyatakan bahwa dinamika hidup seseorang yang menderita penyakit ini mulai diliputi dengan alur
keterbatasan. Kondisi yang demikian ini tentunya akan mempengaruhi segala aspek
hidup manusia, di antaranya adalah eksistensi, aktivitas fisik, psikis, dan lain sebagainya. Keadaan atau siatuasi yang semacam inilah tidak mungkin hanya
dipercayakan kepada tim medis semata baik itu dokter atau perawat, melainkan juga diperlukan terjalinnya kerjasama antara tim medis dengan petugas pastoral.
Kerjasama yang baik ini merupakan perwujudan dari pendekatan pastoral orang sakit yang berfokus pada mengikuti cara pelayanan Yesus dan
menggunakan pendekatan holistik. Pendekatan holistik pada pasien ini memiliki sejumlah dimensi, di antaranya adalah dimensi psikologis strategi kooping.
Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk
111
menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Mekanisme
koping dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stresor dan orang menyadari dampak dari stressor tersebut.
Lalu, peranan pendampingan yang hendak dibicarakan di sini adalah pendamping dapat menjadi pelancar terjadinya perjumpaan iman yang didampingi
dengan Tuhan. Pendampingan dalam hal ini lebih mengarah kepada suatu bentuk usaha merawat, memperhatikan, mendampingi, menyembuhkan, bahkan
mendengarkan orang sakit dari pelbagai segi guna terwujudnya iman pasien kepada Tuhan.
BAB IV USULAN PROGRAM PASTORAL ORANG SAKIT YANG RELEVAN
BAGI PASIEN KANKER PASCA KEMOTERAPI
A. Latar Belakang Program Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi
Hidup manusia diwarnai dengan pelbagai dinamika yang dinamis. Salah satu dinamika yang tidak dapat dihindarkan dalam dinamika hidup manusia
adalah situasi atau kondisi sakit. Situasi atau kondisi yang tentunya setiap orang pernah mengalaminya. Sakit merupakan satu dari sekian banyak dinamika hidup
manusia yang dapat membuat ruang gerak seseorang menjadi terbatas dan mempengaruhi pelbagai aspek hidup seseorang.
Pola pendampingan terhadap orang sakit ini begitu beragam, mulai dari pendampingan medis hingga pendampingan spiritual. Dinamika pendampingan
orang sakit pun juga beragam, tetapi yang pasti adalah perlu adanya koordinasi yang baik antara pihak medis, keluarga, pasien, dan pendamping rohani. Hal ini
mengingat bahwa sakit fisik erat kaitannya dengan kondisi psikis dan spiritual. Dewasa ini, koordinasi yang terjalin antara tim medis, pasien, keluarga
dan pendamping rohani semakin terlaksana dengan baik. Akan tetapi, ada beberapa hal yang masih menjadi kendala dalam proses pelaksanaan
pendampingan orang sakit, yakni kompetensi yang dimiliki oleh sejumlah pihak secara khusus pendamping rohani dirasa masih kurang memadai. Dari pelbagai
sumber yang sudah ditemukan oleh penulis dan diungkapkan pada pembahasan sebelumnya dalam tulisan ini bahwa kebanyakan pendamping rohani atau petugas
113
pastoral lebih-lebih mendampingi hanya sebatas hal-hal yang sifatnya ritus semata, seperti doa, pelayanan sakramen orang sakit, dan lain sebagainya.
Sedangkan yang menjadi ujung tombak dari pendampingan ini, yakni pendampingan yang mengena ke hati belum tersentuh. Hal ini dikarenakan
semakin banyaknya sukarelawan yang tergerak hatinya untuk membantu, namun masih minim pengetahuan dan pengalaman. Sebagai akibat dari minimnya
pengetahuan dan pengalaman, timbulah kendala yakni bentuk pendampingan, pola pendekatan pasien, dan materi pendampingan yang diberikan pun hanya berkutat
pada hal-hal yang sifatnya lebih mengarah pada ritual belaka. Maka dari itu, dalam pembahasan kali ini akan diutarakan usulan program pendampingan pasien
kanker pasca kemoterapi yang sudah disesuaikan dengan sejumlah aspek, salah satunya adalah kondisi psikis dan religius pasien.
B. Konteks Program Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi
Dalam beberapa pandangan yang sudah dipaparkan dalam bab sebelumnya, sakit kerap dihubungkan sebagai akibat dari dosa dan kesalahan yang
diperbuat oleh manusia. Merujuk pada Kitab Ayub dalam susunan Perjanjian Lama, sakit digambarkan sebagai sebuah pergualatan hidup atas keteguhan iman
yang dimiliki oleh seseorang. Ayub yang diketahui sebagai orang yang saleh mendapatkan penderitaan yang begitu hebat. Situasi penderitaan yang dialami
oleh Ayub ini dirumuskan oleh Gereja dengan situasi menderita melalui dokumen Salfivici Doloris.
Dengan demikian situasi yang demikian ini digambarkan oleh Gereja
114
dengan pegalaman menderita. Pengalaman menderita ini menurut dokumen Salfivici Doloris digambarkan dengan suatu panggilan khusus kepada keutamaan
yang harus dilaksanakan sendiri oleh manusia sesuai dengan kewajibannya SD, art. 23. Keutamaan ini lebih mengarah kepada hal-hal yang erat kaitannya dengan
ketekunan dalam melaksanakan apa saja yang secara personal membuatnya bingung dan merasa rugi. Penderitaan yang dialami bukanlah sebuah hukuman
yang datang sebagai akibat dari dosa manusia atau ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada umat-Nya, melainkan suatu kesempatan untuk membersihkan
segala dosa-dosa ataupun kesalahan yang sudah secara sadar ataupun tidak dilakukan.
Dalam pembahasan ini, salah satu jenis penyakit fisik yang diolah adalah sakit kanker. Menurut ulasan yang diungkapkan romo Kieser, bahwa penyakit ini
merupakan salah satu jenis penyakit terminal illness. Hal serupa juga digagas oleh Yuswanto, bahwa penyakit ini merupakan penyebab kematian kedua setelah
penyakit kardiovaskuler. Kanker didefinisikan dengan begitu jelas oleh Dr. Iskandar Junaedi 2007: 1 sebagai suatu pertumbuhan abnormal sel-sel yang
cenderung menginvasi jaringan di sekitarnya dan atau menyebar ke tempat-tempat jauh.
Kanker menjadi suatu momok atau penyakit yang paling ditakuti oleh banyak orang. Tetapi kenyataan yang sering terjadi adalah banyak orang yang
pola hidupnya mengarah pada penyakit jenis ini. Kondisi yang demikian sering menyebabkan kebanyakan orang yang mendengarkan diagnosa yang diberikan
dokter tidak terima dan mengatakan bahwa diagnosa yang disampaikan salah.
115
Bentuk tidak terima ini oleh Elisabet Kulber digolongkan ke dalam fase tahap pertama orang yang sedang sakit. Fase ini dibenarkan oleh P. Go dalam
pembahasan sebelumnya, bahwa ketika sakit kanker yang diderita oleh seseorang tentunya akan berdampak pada terjadinya perubahan irama hidup seseorang dan
kondisi yang demikian inilah yang sering ditolak oleh kebanyakan orang. Apabila dibahasakan dalam istilah saat ini adalah, banyak orang tidak terima ketika berada
pada area yang sudah membuat dirinya merasa nyaman comfort zone. Fase emosional berikutnya adalah fase marah-marah bahkan sampai
mengamuk. Pada fase ini, pasien sudah tidak lagi menyangkal kenyataan yang sedang dialami, namun cenderung merasakan ketidakadilan terjadi di dalam
hidupnya dan berusaha mencari-cari sasaran guna melampiaskan emosi tersebut katarsis. Fase berikutnya adalah fase tawar menawar, kemudian fase depresi, dan
terakhir adalah fase penerimaan. Penggolongan ini tentunya tidak serta merta berjalan dengan sistematis, semua dapat berubah-ubah berdasarkan dengan
kondisi psikis dan konsep mental seseorang. Ada orang yang pertama kali ia mendengar diagnosa dari pihak medis bahwa ia menderita kanker, orang tersebut
dapat menerima dengan lapang dada, namun ada juga yang sebaliknya bahkan jumlahnya banyak.
Melihat kondisi yang demikian ini, tidak mudah untuk merumuskan suatu model pendampingan yang hanya berlagsung dalam waktu yang singkat.
Perlu diingat bahwa yang dilayani di sini adalah manusia yang memiliki dinamika hidup yang begitu dinamis dan tidak dapat diduga.
116
C. Tujuan Program Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi
Tujuan dari pendampingan pastoral bagi pasien kanker pasca kemoterapi sudah sedikit disinggung pada bagian sebelumnya bahwa, yang menjadi sasaran
dari pendampingan ini adalah manusia yang sedang mengalami sakit yang tergolong parah. Dengan demikian, pendampingan yang disusun tidak serta merta
dapat berlangsung dalam waktu yang singkat. Hal ini disinambungkan dengan fase-fase emosional seperti yang dijelaskan oleh Elisabet Kulber pada bab
sebelumnya. Tujuan pertama dari program ini adalah bagaimana pendampingan dapat
mengena sampai pada bagian sense seseorang atau perasaan atau hati. Dalam bab III dituliskan bahwa pendampingan pastoral merupakan suatu usaha Gereja dalam
upaya pemeliharaan jiwa atau dalam bahasa Latin disebut dengan istilah cura animarum. Penjelasan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jiwa ini, oleh Dr. J. L.
Ch. Abineno pada bahasan yang sama dikatakan bahwa tujuan dari pelayanan pastoral yakni semakin memanusiakan manusia melalui Kabar Gembira yang
menyatakan bahwa di dalam pribadi Yesus Kristus, Allah telah menjadi Bapa kita. Tujuan berikutnya yang hendak dicapai dalam program ini adalah
bagaimana petugas pastoral dapat membantu orang dengan tujuan orang yang dibantu dapat menolong dirinya sendiri melalui proses perolehan pengertian
tentang konflik batinnya. Tujuan ini dilandasi konsep bahwa manusia merupakan makhluk dinamis dengan pelbagai dinamika hidup yang dilaluinya. Dalam proses
menjalani dinamika hidup, setiap orang memiliki kemampuan untuk memilih akan merespon pengalaman tersebut seperti apa. Hal ini dilatarbelakangi juga dengan
117
adanya pengaruh dari keluarga dan lingkungan sekitar. Melalui tujuan ini, pasien hendak diajak untuk dapat menolong dirinya keluar dari belenggu perasaan yang
mengikat yang dapat mengakibatkan penyakit yang sedang dialaminya. Tujuan program pendampingan yang terakhir adalah terjadinya proses
perjumpaan iman dan proses perwujudan iman sebagai bentuk pertanggung jawaban dengan Tuhan secara personal. Ini merupakan tujuan akhir dari program
pendampingan pasien kanker pasca kemoterapi. Tujuannya lebih mengarah pada bagaimana pasien dapat secara personal mengalami perjumpaan iman dengan
Tuhan dan dapat mewujudkan imannya di tengah kuantitas waktu yang sudah didiagnosa tim medis berdasarkan kondisi pasien. Tuhan merupakan puncak
segala sesuatu, tujuan akhir hidup manusia, dan tempat di mana setiap manusia senantiasa mengarahkan hidupnya. Sehingga inilah alasan dari tujuan ini
diadakan.
D. Strategi Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi
Sudah disampaikan sebelumnya tentang latar belakang penyusunan program, gagasan tentang apa itu sakit, pandangan sakit menurut Kitab Suci dan
beberapa ensiklik Gereja, situasi dan kondisi pasien kanker, serta tujuan disusunnya program pastoral ini dirumuskan. Kini sampailah pada strategi yang
digunakan dalam rumusan program pendampingan pastoral bagi pasien kanker pasca kemoterapi.
Dalam merumuskan strategi, sangat perlu memperhatikan komponen- komponen yang sudah disampaikan sebelumnya pada bagian ini. Pengalaman