Sakit dalam Pandangan Ajaran Gereja

28 mencintai orang-orang sakit, sebab seringkali Ia mengunjungi dan menyembuhkan mereka. Penderitaan sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, memang memiliki kaitan dengan dosa yang telah dilakukan oleh manusia. Tetapi, tampaknya tidak dapat dikatakan bahwa setiap orang yang mederita sakit merupakan akibat dari dosa yang ditanggungnya atau bahkan kondisi sakit yang sedang dialaminya sesuai dengan berat ringannya ganjaran dosa yang diterimanya. Hal ini dikarenakan, Yesus yang tidak berdosa, mengalami penderitaan yang amat berat di dalam perjalanan hidup-Nya. Bahkan Ia menanggung setiap dosa dan luka sebagai akibat dari kesalahan umat manusia, serta mengambil bagian di dalam penderitaan manusia Yes 53:4-5. Di dalam kisah hidupnya, Yesus bahkan masih mengalami penderitaan berupa siksaan dan hukuman mati di kayu salib sebagai bentuk konsekuensi yang dipilih oleh Yesus untuk menanggung luka yang timbul dari kesalahan umat-Nya. Tetapi sekali lagi, Yesus memandang bahwa segala penderitaan yang dialami itu ringan rasanya dan sifatnya hanya sementara, karena jika dibandingkan dengan kemuliaan kekal sebagaimana dijanjikan oleh Bapa- Nya, penderitaan yang dialami oleh Yesus ibarat sebutir debu di tengah lautan pasir bdk. 2 Kor 4:17. Melalui hal ini, sebagaimana ditulis oleh Dr. P. Go., O. Carm. 1984: 57 dalam Hidup dan Kesehatan, Allah menghendaki agar manusia berjuang dengan gigih melawan setiap penyakit dan memelihara kesehatan jiwa dan raganya dengan sebaik-baiknya, agar ia dapat menjalankan tugas perutusannya di dalam hidup bermasyarakat dan hidup menggereja. Tetapi, ketika manusia dihadapkan pada kondisi sakit dan menderita, manusia tersebut harus siap menghadapinya. 29 Hal ini dikarenakan, ketika manusia siap menghadapi situasi dan kondisi sakit atau menderita, secara langsung manusia tersebut menggenapi apa yang masih kurang dalam penderitaan yang dialami oleh Yesus Kristus sebagai pilihan penebusan dosa umat manusia, sambil menantikan hadirnya pembebasan seluruh ciptaan ke dalam kemerdekaan dan kemuliaan anak-anak Allah bdk. Kol 1:24; Rom 8:19-21. Dari sejumlah gagasan mengenai konsep sakit, ditemukan bahwa kesehatan merupakan nilai dasar dan nilai yang sangat tinggi dalam hidup manusia Go., 1984: 55. Dari sudut pandang teoritis, ketika manusia kehilangan kesehatannya hal ini menjadi pukulan berat baginya, hal ini menggambarkan bahwa manusia itu kehilangan nilai dasar dan nilai yang memiliki kedudukan tinggi di dalam hidupnya. Akan tetapi, hal ini tidak serta merta harus ditekankan ke dalam pola berpikir manusia, karena kesehatan juga memiliki nilai relatif, di mana kehilangan kesehatan bukan menjadi sebuah bencana terbesar dalam hidup manusia. Sehingga, manusia tidak dapat berbuat seolah-olah ia kehilangan segala- galanya, karena kesehatan memang bukanlah segala-galanya Go., 1984: 55. Sebagai sebuah gagasan teori hal ini menjadi tampak begitu ideal, namun pada kenyataannya, ketika seseorang diadapkan pada kondisi sakit, yang terjadi adalah seseorang akan menimbulkan rasa putus asa dan penderitaan yang hebat di dalam hidupnya. Akan tetapi, hal ini akan berbeda jika pemahaman mengenainilai dasar dan nilai tertinggi itu disejajarkan posisinya dengan konsep dan gagasan hidup Yesus Kristus. 30 Kesaksian orang beriman akan situasi dan kondisi sakit atau menderita yang sedang dialami dapat menjadi peringatan bagi orang lain yang mengalami hal yang sama, bahwa hidup abadi lebih luhur nilainya jika dibandingkan dengan kehidupan yang sifatnya fana belaka, bahkan hidup yang abadi ini perlu ditebus dengan misteri wafat dan kebangkitan Kristus Go., 1984: 57.

3. Situasi dan Kondisi Fisik Orang Sakit

Sakit sejatinya merupakan sebuah pengalaman subyektif pasien. Sebagai sebuah pengalaman subyektif tentunya pengalaman sakit ini akan berbeda satu dengan yang lainnya tergantung pemaknaan dan pemahaman tentang pengalaman sakit yang dialami. Sakit itu sendiri akan mempengaruhi sejumlah aspek di dalam diri manusia, salah satunya adalah adanya perubahan irama hidup. Dalam situasi normal, manusia memerlukan suasana at home, yang membuat dirinya merasa nyaman dan bebas. Situasi yang demikian ini membuat manusia dapat melakukan apa saja dengan bebas dan tanpa ada batasan kecuali norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam situasi seperti ini, manusia dengan leluasa menikmati hidup yang terkadang memberikan kemudahan dan kenikmatan dalam sagala bidang. Namun, kenyataan yang demikian ini akan tampak berbeda ketika manusia dinyatakan mengalami sakit atau divonis oleh pihak Rumah Sakit untuk beristirahat baik di rumah ataupun di bangsal Rumah Sakit. Kenyataan ini akan mendatangkan perubahan besar pada kebebasan yang selama ini dinikmati. 31 P. Go dalam Hidup dan Kesehatan 1983: 54 mengungkapkan situasi dan kondisi orang yang tengah sakit sebagai berikut: Orang sakit tiba-tiba dicabut dari lingkungan akrabnya, dari karyanya yang memberinya kedudukan dan peranan serta identitas dirinya, dan ia dengan terpaksa memutuskan hubungannya dengan hidup normal. Ia hidup dalam lingkungan baru yang tidak akrab dan merasakan dirinya asing di lingkungan baru itu. Ia kehilangan kebebasan, kehilangan peranan sosialnya atau merasa takut kehilangan kedudukannya yang mungkin diintai oleh orang-orang yang lebih muda dan dinamis yang ingin merebut kedudukannya. P. Go hendak menggambarkan kondisi orang sakit yang tidak berdaya dan tidak berguna, yang terbaring lemah dan mengalami ketergantungan dengan orang lain, dengan obat, dan peralatan medis. Kondisi yang demikian ini secara tidak langsung membuat orang menjadi minder, merasa diri kosong, hanya bisa merepotkan orang lain, bahkan menjadi beban bagi orang lain. Hal ini berbeda dengan sikap dari lingkungan sekitarnya. Dengan keadaan yang demikian, keluarga acap kali memberikan perhatian yang penuh kepada orang yang sedang sakit, memberikan waktu yang cukup untuk menemani ataupun mendengarkan cerita dari orang yang sedang sakit. Tetapi ada juga perlakuan yang berbeda dari lingkungan seandainya orang yang menderita sakit tersebut kurang dapat bersosialisasi dengan orang lain secara baik, lingkungan cenderung membiarkan, tidak ada satupun orang yang membesuk, bahkan mendoakan. Secara tidak langsung hubungan antara individu dengan ligkungan juga memiliki pengaruh terhadap aksi dan reaksi yang akan ditimbulkan. Berbeda dengan pandangan P. Go, T. Jacob sebagaimana dikutib oleh Kieser dalam Ikut Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit melihat dari 32 sudut pandang yang lain terkait dengan situasi dan kondisi dari orang yang sedang menderita sakit. T. Jacob sebagaimana dikutib oleh Kieser Kieser, 1984:124 berpendapat bahwa: Ada kemungkinan orang yang sedang menderita sakit tidak benar-benar menderita seperti apa yang sedang dialami, ada kemungkinan orang tersebut merasa senang dapat dibesuk oleh banyak orang, dilayani bak seorang raja, bahkan ada kemungkinan juga ia merasa diri bebas dari kewajiban atau tugas rutinnya selama ini. Kondisi sakit ini membuat orang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, di mana orang tersebut harus taat, menerima pola hidup yang seluruhnya ditentukan oleh perhatian untuk kesehatan yang mungkin tidak biasa ia dapatkan, pola makan dan asupan gizi pun diatur, dan hampir seluruh aspek hidupnya diatur dengan pusat perhatian adalah penyakit yang sedang dialami atau dikeluhkan. Dengan demikian, mau tidak mau orang benar-benar ditarik keluar dari kebiasaan dan kenyamanannya selama ini dan dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berbeda.

4. Situasi dan Kondisi Batin Orang Sakit

Dewasa ini orang sering kali membicarakan sifat simbolis dari penyakit, terutama kalangan medis. Terdapat pandangan lama terkait dengan manusia. Pandangan itu melihat manusia sebagai makhluk dikotomi yang terdiri dari tubuh dan jiwa saja, sedangkan penyakit dilihat sebagai sesuatu yang hanya mengenai dan menyerang tubuh saja Abineno, 1972: 38. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan penelitian pun turut berkembang, pandangan tersebut diuji keabsahannya dan mulai dirumuskan kembali dengan