Strategi Pastoral Pasien Kanker Pasca Kemoterapi

122 bahwa, “Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi dan tinggal sesaat pula dan kamu akan melihat Aku lagi” Yoh 16:16. Menerima ucapan Yesus yang demikian, para murid mulai mempertanyakan maksud dari ungkapan Yesus ini. Lantas Yesus memberikan penjelasannya dengan perumpamaan, Aku berkata kepadamu; Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita. Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia. Yoh 16:20-21 Melalui Injil Yohanes, Yesus mengajarkan kepada segenap umat beriman untuk menemukan jawaban dari pergumulan hidup tentang penderitaan dalam terang iman. Yesus menghimbau untuk melihat penderitaan yang dialami sebagai jalan menuju kepada kemuliaan, kepada yang transenden, kepada Allah. Memahami penderitaan sebagai suatu berkat bukanlah hal yang mudah karena membutuhkan kemampuan berlapang dada yang besar dan menerima kenyataan yang pahit dengan penuh syukur. Tetapi sikap inilah yang Tuhan ajarkan kepada segenap umat beriman Kristiani. Manusia dalam hal ini umat beriman Kristiani harus berani melawan segala bentuk kegelisahan dan penderitaan, serta dapat menerimanya dengan sikap penuh percaya bahwa akhirnya akan ada kebahagiaan yang sudah disiapkan, berharap, juga pasrah kepada kehendak Allah, karena bukan kehendakku yang terjadi melainkan kehendak-Mu yang terjadi Luk 22:42. Sikap yang demikian ini juga ditemukan dalam diri ibu Yesus, yakni 123 Maria yang senantiasa menerima kehendak Tuhan dengan pernyataan Aku ini adalah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu. Sikap yang menunjukkan penerimaan kehendak Allah dengan penuh percaya dan penuh harap seperti yang diajarkan melalui teladan Yesus dan Maria ini dapat memberikan ketentraman hidup pada manusia tatkala dihadapkan pada situasi penderitaan yang tak kunjung usai dan tidak dapat dijawab dengan penalaran manusia. Melalui teladan Yesus dan Maria dalam menanggapi kehendak Allah ini, pada akhirnya manusia dibawa kepada titik fokus utama yakni Tuhan sendiri sebagai pusat hidup manusia. Dengan demikian, manusia tidak lagi mempertanyakan banyak hal terkait yang dialami, karena di dalam Allah manusia telah menemukan sesuatu yang dapat menjawab pertanyaan dan gejolak hatinya, serta yang sulit untuk diterangkan dengan kata-kata.

2. Konsepsi yang Positif mengenai Proses Hidup dan Tuhan

Dalam rangka mencoba memahami arti dari kehendak Allah, secara khusus kondisi di batas daya kemampuan manusia ini, manusia secara tidak langsung dituntut untuk memiliki pemahaman yang jernih mengenai hidup dan mengenai Allah sebagai Pencipta. Dalam menjalani dinamika hidup, tidak jarang manusia mempertanyakan segala sesuatu terlebih yang erat kaitannya dengan eksistensinya sebagai manusia. Pertanyaan-pertanyaan itu tentunya tidak lari dari arti hidup dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Pertanyaan mengenai eksistensi tersebut belum usai dijawab oleh manusia, namun manusia dihadapkan ke dalam dua kondisi paradoks. Di satu 124 sisi manusia mendambakan hidup yang penuh dengan kesenangan, kebahagiaan, ketercukupan, dan lain sebagainya, namun di sisi lain manusia dihadapkan dengan kondisi yang serba terbatas. Di dalam gagasannya mengenai hidup dan penderitaan, Christina BT. Yubong 1995: 80 melihat hidup sebagai realitas yang harus dijalani dan bukan direnungi. Dinamika hidup manusia bukanlah dinamika yang sebagai suatu rentetan rutinitas melainkan lebih kepada dinamika yang dinamis. Manusia lahir dari ukurang kecil kemudian bertumbuh menjadi dewasa dan kemudian orang tua. Dari yang awalnya hanya bisa menangis saja hingga bisa mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata, perasaan, mimik muda, dan gerak tubuh. Dalam menjalani dinamika hidup, manusia juga belajar berpikir, memilah, menemukan, dan merumuskan konsep tentang seusatu. Sehingga hidup menjadi lahan bagi manusia untuk mengenal pribadinya, sesama dan Tuhan melalui dinamika hidup manusia itu sendiri. Seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumnya kaitannya dengan kondisi batas daya kemampuan dan atau penderitaan, kerap kali yang muncul sebagai bentuk reaksi atau respon dari manusia adalah menolaknya, bahkan sampai tercipta suatu pemberontakan jiwa. Pemberontakan dan atau penolakan ini akan dapat menyebabkan terjadinya frustasi dalam diri manusia karena pemberontakan yang dibentuk sebagai reaksi atas adanya penderitaan tersebut tidak berujung dan tidak terjawab, yang nantinya cenderung mengakibatkan kelelahan pada manusia itu sendiri. Konsep penderitaan inilah yang kemudian diolah dalam terang iman Kristiani. 125 Melalui teladan Yesus dan Maria yang juga dibahas dalam bagian sebelumnya dalam menanggapi situasi dan kondisi batas daya kemampuan, manusia dibawa kepada titik fokus utama yakni Tuhan sendiri sebagai pusat hidup manusia dan bukan lagi berfokus pada hal-hal duniawi yang terus-terusan dipertanyakan dengan kemampuan nalar. Dengan demikian, manusia tidak lagi mempertanyakan banyak hal terkait yang dialami, karena di dalam Allah manusia telah menemukan sesuatu yang dapat menjawab pertanyaan dan gejolak hatinya, serta yang sulit untuk diterangkan dengan kata-kata. Pemahaman akan konsep Allah pun juga akan berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain. Adanya perbedaan ini dipengaruhi oleh pangalaman hidup masing-masing orang dan cara menanggapi pengalaman tersebut. Sebagai umat beriman Kristiani, untuk dapat mengenal Allah dan memahami-Nya secara lebih jernih, manusia harus masuk ke dalam pengalaman akan Allah. Hal ini disebabkan, Allah tidak dapat dilihat dan diterjemahkan secara hurufiah dan definitif melainkan dialami. Sehingga, manusia harus mengalami Allah dalam dinamika hidupnya dan merasakan bagaimana Allah turut bekerja dan campur tangan dalam hidup manusia itu sendiri. Apabila manusia sudah dapat mengenali Allah, pada akhirnya manusia tersebutdapat menangkap bahwa situasi dan kondisi yang sedang dialami, dalam hal ini situasi batas daya dan atau menderita bukanlah ukuran bahwa Allah tidak ada, Allah tidak mendengarkan rintihan umat-Nya, Allah itu jahat dan lain sebagainya, melainkan situasi ini merupakan bagian dari dnamika hidup manusia yang harus dilalui dan dijalani. Sikap yang demikian juga dapat ditemukan dalam diri Ayub yang sudah