Jenis Makanan Utama Keadaan Biofisik .1 Karakteristik Fisik Stasiun Pengamatan

Pada Gambar 18, 19, dan 20, terlihat bahwa faktor kondisi larva tidak selalu mengikuti ukuran panjang tubuhnya. Pada ketiga gambar tersebut, terlihat juga bahwa meski ukuran rata-rata panjang tubuh larva di ketiga stasiun relatif sama, namun berbeda dalam nilai faktor kondisi. Larva ikan bandeng di stasiun III memiliki ukuran tubuh yang lebih panjang dari larva di stasiun I dan II, tetapi nilai faktor kondisinya cenderung lebih kecil. Hal ini disebabkan 2 dua hal. Pertama, jarak yang ditempuh untuk sampai ke stasiun III lebih jauh disamping arus di sekitar selat Tobati juga cukup kuat, sehingga sebagian energi terkuras untuk bergerak serta untuk tetap bertahan terhadap kekuatan arus. Kedua, karena larva tersebut langsung ditangkap sebelum melakukan aktivitas makan. Untuk stasiun I dan II, juga disebabkan 2 dua hal. Pertama, karena belum sempat melakukan aktivitas makan ketika ditangkap. Kedua, larva tersebut telah mengeluarkan isi saluran pencernaannya ketika ditangkap akibat stres sehingga mempengaruhi biomassa dan nilai faktor kondisi. Bila nilai biomassa dan berat tubuh larva pada pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei serta 25 dan 29 Juni pada ketiga gambar dihubungkan dengan kelimpahan fitoplankton Tabel 19 serta Gambar 13 dan 14, maka dapat dikatakan bahwa stasiun II lebih produktif dibanding stasiun I dan III. Biomassa dan berat tubuh larva ikan bandeng di stasiun II lebih tinggi dari stasiun I dan III. Kondisi ini juga terkait dengan karakteristik fisik stasiun II, arah arus, serta arah dan kecepatan angin. Menurut Santiago et al. 1983, peningkatan biomassa larva ditentukan oleh tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan, dimana tinggi rendahnya kelangsungan hidup atau laju pertumbuhan bergantung pada kelayakan habitat serta keserasian sediaan makanan alami. Ditambahkan oleh Wahbah et al. 2001 bahwa, aliran arus yang terhalang dapat menimbulkan pola arus yang berlawanan dan menjadi perangkap bagi keberadaan makan ikan di laut.

5.1.6 Jenis Makanan Utama

Luckstadt and Reiti 2002, menemukan fitoplankton yang mendominasi isi perut juvenil milkfish yang diambil dari perairan lagoons payau di Tarawa Selatan Kiribati terdiri atas jenis algae hijau yaitu, Chlorophycea dan Cyanophyta. Kedua jenis fitoplankton ini mencapai 60 dari total isi saluran pencernaan, baik pada siang maupun malam hari. Sedangkan Diatome, Copepoda, Phylopod dan Nupli hanya merupakan bagian kecil dari isi perut mereka. Tampi 1957 in Supriharyono 1987, menemukan Chroococus sp., Pleurosigma sp. dan Diploneis sp. dalam saluran pencernaan larva ikan bandeng dari perairan payau di Philipina. Supriharyono 1987, menemukan fitoplankton yang menjadi makanan utama larva ikan bandeng di perairan laut Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah terdiri atas, Nitzschia sp., Pleurosigma sp., Diploneis sp., Ceratium sp. dan Peridinium sp.. Anggoro 1984, menemukan jenis makan alami dalam saluran pencernaan larva ini yang sama dengan jenis yang ada di perairan Sluke, terdiri atas; 1 Navicula sp., Nitzschia sp., Rhizosolenia sp. dan Pleurosigma sp. dari kelompok alga kersik dan 2 Chroococcus sp., Lyngbya sp., Oscillatoria sp., Phormidium sp. dan Spirulina sp. dari kelompok alga biru. Tang and Hwang 1972 in Anggoro 1984 menyatakan bahwa, sitoplasma alga kersik lebih mudah diserap oleh usus larva ikan bandeng dibanding alga biru. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Poernomo 1979 dan Sachlan 1980, bahwa alga kersik walaupun berdinding keras tetapi sitoplasmanya lebih mudah diserap usus larva ikan dibanding alga biru. Anggoro 1984, menemukan kelompok alga kersik mendominasi 40 isi saluran pencernaan dan kelompok alga biru mendominasi 60 saluran pencernaan larva ikan bandeng. Ini berarti bahwa, larva tersebut tidak selektif dalam memanfaatkan makanan alami yang tersedia. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian dari jenis fitoplankton yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan merupakan makan utama larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp. Jenis tersebut antara lain; 1 Nitzschia sp., Pleurosigma sp. dan Diploneis sp. dari klas Bacillariophyceae serta 2 Ceratium sp. dan Peridinium sp.. dari klas Dinophyceae. Namun demikian, bisa saja jenis fitoplanton lain yang ditemukan di kedua kawasan perairan ini dimanfaatkan juga oleh larva tersebut mengingat pola makannya yang tidak selektif dalam pemilihan makanan. Tang and Hwang 1972 in Anggoro 1984 menyatakan bahwa, sitoplasma dari alga kersik selain lebih mudah diserap usus larva ikan bandeng, jenis alga ini ternyata memiliki rasio nutrisi sebesar 1 : 1.54, dan skor peran bagi pertumbuhan sebesar 4. Rasio nutrisi dan skor peran terhadap pertumbuhan ini lebih tinggi dari jenis alga biru. Berdasarkan pernyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa, ada korelasi antara jumlah kelimpahan jenis fitoplankton ini dengan biomassa dan faktor kondisi larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan. Bila diperhatikan hasil sampling plankton pada tanggal 25 dan 27 bulan Mei serta tanggal 25 dan 29 Juni di stasiun II, kelimpahan jenis Nitzschia sp., Diploneis sp., Pleurosigma sp., Ceratium sp., dan Peridinium sp. cukup tinggi demikian juga dengan biomassa dan faktor kondisi larva pada tanggal pengamatan tersebut Gambar 18, 19, dan 20. Empat dari lima jenis fitoplankton yang menjadi makanan utama larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp, dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21 Empat dari lima jenis makananan larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp Sumber : http:www.bing.com . 5.1.7 Hubungan antara Biomassa, Faktor Kondisi, dan Fitoplankton dengan Parameter Suhu dan Salinitas Menurut Lee et al. 1986, suhu, salinitas, dan densitas fitoplankton merupakan sebagian dari faktor yang menentukan sintasan larva ikan bandeng. Ditambahkan oleh Nybakken 1992 dan Basmi 1999, distribusi fitoplankton berkaitan erat dengan suhu dan salinitas perairan. Santiago et al. 1983 menyatakan bahwa, ketersediaan fitoplankton sangat menentukan peningkatan biomassa larva ikan dan peningkatan ini bergantung pada kelayakan habitat. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dilakukan Analisis Komponen Utama AKU untuk melihat hubungan antara biomassa, faktor kondisi, dan kelimpahan Nitzschia sp. Pleurosigma sp. Ceratium sp. Diploneis sp. fitoplankton serta keterkaitan ketiganya dengan parameter suhu dan salinitas di ketiga stasiun pengamatan. Keseluruhan nilai yang diperhitungkan dalam analisis ini adalah nilai yang terukur pada tanggal 25 dan tanggal 27 Mei serta tanggal 25 dan tanggal 29 Juni 2009. Nilai parameter suhu dan salinitas merupakan nilai rata-rata, nilai kelimpahan fitoplankton adalah nilai total kelimpahan indm 3 , nilai kelimpahan larva ikan bandeng adalah kelimpahan dalam biomassa grm 2 dan faktor kondisi larva. Berdasarkan output Komponen Utama dari nilai-nilai yang diperhitungkan pada variable yang terukur pada tanggal 25 Mei 2009 dan tanggal 27 Mei 2009, maka komponen yang digunakan sebanyak dua komponen, yaitu Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2 . Keputusan pengambilan kedua komponen ini dilihat dari nilai eigen akar ciri yang lebih dari 1. Hasil analisis Komponen Utama terhadap hubungan antara variabel yang diperbandingkan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 Total keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2, adalah 95.8. Keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1, sebesar 74, sedang yang mampu di jelaskan oleh Komponen Utama 2, sebesar 21.9. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Korelasi antar variabel pada stasiun I, II, dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 Eigen Analisis Komponen Utama 1 2 Nilai Eigen akar ciri 3.693 1.093 Ragam 0.740 0.219 Kumulatif 0.740 0.958 Variabel Korelasi Terhadap Komponen Utama 1 Korelasi Terhadap Komponen Utama 2 Suhu -0.513 -0.046 Salinitas -0.148 -0.909 Kelimpahan fitoplankton 0.450 -0.403 Biomassa larva ikan Bandeng grm 2 0.507 0.084 Faktor kondisi larva ikan Bandeng 0.505 -0.040 Hasil analisis untuk variabel yang diperbandingkan dari pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009, dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22 Hasil analisis AKU untuk tangal 25 dan 27 Mei 2009. Pada Gambar 22, terlihat bahwa stasiun II baik pada sampling tanggal 25 Mei maupun tanggal 27 Mei 2007 lebih dekat dengan karakteristik faktor kondisi dan biomassa larva ikan bandeng serta kelimpahan fitoplankton. Karakteristik ini lebih banyak mengarah ke Stasiun IIb hasil pengamatan tanggal 27 Mei. Korelasi antara ketiga variabel ini sangat erat dan searah korelasi positif. Ini ditunjukkan oleh sudut yang dibentuk oleh ketiganya yang kurang dari 90 derajat. Stasiun I dan III lebih dicirikan oleh variabel suhu dan salinitas serta keduanyapun memiliki hubungan yang kuat serta berkorelasi positif. Antara dua kelompok faktor tersebut, yaitu; 1 faktor kondisi, biomassa larva ikan bandeng, dan kelimpahan fitoplankton dengan 2 faktor suhu dan salinitas, berlawanan atau tidak searah. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, meski parameter suhu dan salinitas yang terukur di ketiga stasiun tersebut memiliki nilai yang dapat ditoleransi oleh fitoplankton dan larva ikan bandeng, namun produktivitas stasiun II lebih tinggi daripada stasiun I dan III. Ini menunjukkan juga bahwa, faktor karakteristik fisik stasiun pengamatan serta pergerakan arus dan angin pada waktu pengamatan sangat berperan dalam distribusi dan kelimpahan dari fitoplankton dan larva ikan bandeng. Pada tanggal 25 Juni dan tanggal 29 Mei 2009, komponen yang digunakanpun sebanyak dua komponen, yaitu Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2. Keputusan pengambilan ini juga dilihat dari nilai nilai eigen akar ciri 3 2 1 - 1 - 2 - 3 1 . 5 1 . 0 0 . 5 0 . 0 - 0 . 5 - 1 . 0 - 1 . 5 Fir s t Co m p o n e n t 7 4 S e c o n d C o m p o n e n t 2 1 .9 f ak t o r _ k o n d isi G m 2 k e lim p ah an sa lin it a s su h u Stasiun I Stasiun III Stasiun IIb Stasiun IIa yang lebih dari 1. Hasil analisis Komponen Utama terhadap hubungan antara variabel yang diperbandingkan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 Total keragaman yang mampu dijelaskan oleh kedua Komponen Utama tersebut adalah, sebesar 94.4. Keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1, sebesar 72 dan oleh Komponen Utama 2, sebesar 22.4. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Korelasi antar variabel pada stasiun I, II dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 Hasil analisis untuk variabel yang diperbandingkan dari pengamatan tanggal 25 dan 29 Mei 2009, dapat dilihat pada Gambar 23. 2 1 - 1 - 2 1 . 5 1 . 0 0 . 5 0 . 0 - 0 . 5 - 1 . 0 - 1 . 5 Fir s t Co m p o n e n t S e c o n d C o m p o n e n t fak to r _k o n d isi G m 2 k elim p ah an salin it as su h u Gambar 23 Hasil analisis AKU untuk tangal 25 dan 29 Juni 2009. Eigen Analisis Komponen Utama 1 2 Nilai Eigen akar ciri 3.599 1.121 Ragam 0.720 0.224 Kumulatif 0.720 0.944 Variabel Korelasi Terhadap Komponen Utama 1 Korelasi Terhadap Komponen Utama 2 Suhu -0.439 0.504 Salinitas -0.488 0.301 Kelimpahan fitoplankton 0.331 0.691 Biomassa larva ikan Bandeng grm 2 0.464 0.409 Faktor kondisi larva ikan Bandeng 0.494 -0.103 Stasiun III Stasiun IIa Stasiun I Stasiun IIb Hasil analisis pada Gambar 23, menunjukkan juga bahwa stasiun II baik pada pengamatan tanggal 25 Juni maupun 29 Juni 2009, lebih dekat dengan karakteristik faktor kondisi dan biomassa larva ikan bandeng serta kelimpahan fitoplankton. Karakteristik inipun lebih banyak mengarah ke Stasiun IIb hasil pengamatan tanggal 29 Juni. Korelasi antara ketiga variabelpun sangat erat dan searah korelasi positif. Stasiun III, lebih dicirikan oleh variabel suhu dan salinitas serta keduanya pun memiliki hubungan yang kuat dan berkorelasi positif. Sedang stasiun I, tidak menunjukkan karakteristik atau hubungan variabel apapun karena pada minggu IV bulan Juni tidak ditemukan adanya larva ikan bandeng, sehingga tidak dilakukan pengukuran parameter suhu, salinitas, dan fitoplankton. Antara dua kelompok faktor tersebut, yaitu; 1 faktor kondisi, biomassa larva ikan bandeng, dan kelimpahan fitoplankton dengan 2 faktor suhu dan salinitas, berlawanan atau tidak searah. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa, meski parameter suhu dan salinitas yang terukur di kedua stasiun tersebut memiliki nilai yang dapat ditoleransi oleh fitoplankton dan larva ikan bandeng, namun produktivitas stasiun II lebih baik daripada stasiun III. Ini menunjukkan juga bahwa, faktor karakteristik fisik stasiun pengamatan serta pergerakan arus dan angin pada waktu pengamatan sangat berperan dalam distribusi serta kelimpahan fitoplankton dan larva ikan bandeng. 5.2 Keadaan Sosial Ekonomi 5.2.1 Karakteristik Responden Masyarakat yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya ikan bandeng. Populasi responden terdiri atas, 20 orang pengumpul larva ikan bandeng dan 27 orang petambak ikan bandeng di kampung Holtekamp Kelurahan Muaratami, 15 orang pedagang pengumpul ikan bandeng di Pasar Youtefa Kelurahan Waymhorock, dan 10 orang pengambil kebijakan yang berasal dari instansi teknis lingkup Pemerintah Daerah Kota Jayapura Kelurahan Entrop dan Kampung Yoka. Responden pengambil kebijakan terbagi atas; 1 Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura sebanyak 4 orang, 2 BAPPEDA Kota Jayapura sebanyak 3 orang, 3 BAPEDALDA Kota Jayapura sebanyak 1 orang dan 4 Dinas Parawisata sebanyak 2 orang.