mencapai hasil yang memuaskan. Pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di
dalamnya sumberdaya perikanan agar dapat berdampak posistif bagi pemanfaatnya secara berkelanjutan, maka harus dikelola secara terpadu
Integrated Coastal Zone Management Dahuri et al. 1996; Cincin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999; Masalu 2000.
Menurut Dahuri et al. 2004, pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu
integrated guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dikatakan oleh Masalu 2000 dan Dahuri et al. 2004, keterpaduan pengelolaan
wilayah pesisir yang berkelanjutan, harus memiliki tiga dimensi, yaitu; 1
keterpaduan sektoral, 2 keterpaduan bidang ilmu, dan 3 keterpaduan atau
keterkaitan ekologis. Selanjutnya menurut Kay and Alder 1999, pengelolaan
pesisir terpadu akan berhasil, bila; 1 keputusan pengelolaan komprehensif yang didasarkan pada kondisi suatu wilayah pesisir, 2 evaluasi dilakukan secara
menyeluruh agregat, dan 3 pengelolaan harus konsisten dengan melibatkan semua level kebijakan dalam pelaksanaannya. Ditambahkan oleh Masalu 2000,
suatu pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif tidak hanya didasarkan pada suatu analisa aktivitas dan dampaknya saja, tetapi harus
diperhatikan juga efek dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir secara keseluruhan. Pengelolaan sistem yang kompleks ini memerlukan suatu pendekatan
terintegrasi yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan secara terorganisir, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat memberikan manfaat sosial dan
ekonomi secara optimal untuk generasi mendatang, tidak mengurangi sumberdaya itu sendiri, dan tetap memelihara proses yang berlangsung secara ekologis.
Pengelolaan pesisir yang terpadu adalah dasar untuk pembangunan berkelanjutan, karena akan mengurangi dampak pencemaran, mengoreksi dampak lain, dan
mengurangi konflik, baik untuk saat ini maupun di masa datang.
2.2 Bioekologi Ikan Bandeng Chanos chanos,
Forsskal
Ikan bandeng Gambar 2, lebih dikenal dengan sebutan milkfish dan merupakan spesies euryhaline. Di Inggris, ikan ini dikenal sebagai salmon-
herring , sedang di Jepang dikenal dengan sabahi. Klasifikasi ikan tersebut
menurut Saanin 1984, adalah: Filum: Chordata
Subfilum: Vertebrata Kelas: Osteichthyes
Subkelas: Actinopterygii Ordo: Gonorynchiforme
Famili: Chanidae Genus: Chanos
Spesies : Chanos chanos Forsskal
Sumber : eol;orgpages224731
[diakses : 1 Desember 2009]
Gambar 2 Ikan bandeng Chanos chanos, Forsskal
Sebagai spesies euryhaline, ikan bandeng dalam siklus hidupnya selalu bermigrasi ke perairan dengan salinitas berbeda seiring dengan pertumbuhannya.
Melewati masa mudanya di perairan pesisir, kemudian seiring dengan kematangan seksual akan beruaya ke laut lepas untuk memijah dekat permukaan pada
kedalaman 10 hingga 40 meter yang bersubsrat pasir dan koral Nontji 1986. Bardach et al. 1982 in Budiono et al. 1984, menyatakan bahwa ikan bandeng
akan siap memijah setelah berumur 6 tahun dan dilakukan pada malam hari. Secara alami setiap induk bandeng akan memijah 1 atau 2 kali dalam setahun.
Selanjutnya habitat ikan bandeng dari larva hingga dewasa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Habitat ikan bandeng Chanos chanos, Forsskal dari larva hingga dewasa Bagarinao 1991.
Larva ikan bandeng yang baru dipijahkan disebut yolk-sac larvae hingga
kuning telurnya diserap. Disebut larva bila ukuran tubuh berkisar antara 6 hingga 10 mm, berumur 2 hingga 3 minggu setelah pemijahan, dan mulai bermigrasi ke
perairan pantai Lee et al. 1986. Menurut Lee et al. 1986; Nontji 1986,
sebutan fry diberikan untuk fase akhir dari larva yang berumur antara 3 hingga 4
minggu setelah pemijahan, dengan ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 16 mm, yang selanjutnya muncul di perairan pantai, bergerak lincah, dan selalu berada di
permukaan secara bergerombol. Setelah itu akan memasuki kawasan manggrove, hidup disana hingga berumur ± 3 bulan, kemudian akan bermigrasi kembali ke
laut Lee et al. 1986. Pola distribusi seperti ini berkaitan erat dengan kondisi
perairan, seperti ketersediaan makanan, faktor fisik, dan kimia perairan Boehlert
et al . 1985. Warna larva tersebut pada ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 12
mm adalah bening transparan. Pada ukuran panjang tubuh antara 13 hingga 15 mm dengan berat tubuh antara 6 hingga 7 mg, memiliki sebuah titik putih di
bagian tengah badan yang berfungsi sebagai gelembung udara Mardjono et al. 1985. Bentuk larva ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Larva ikan bandeng Chanos chanos, Forsskal
Pantai Laut lepas
Daerah pemijahan Laut lepas
Daerah pembesaran
Nontji 1986, menyatakan bahwa larva ikan bandeng yang muncul di perairan pesisir di Indonesia dikenal dengan sebutan nener. Larva ikan ini
umumnya ditemukan di perairan pesisir yang jernih, bebas pencemaran, masih dipengaruhi pasang surut, dan bersubsrat dasar pasir atau pasir dengan sedikit
berbatu terutama pantai berpasir yang mendapat suplai air tawar. Ini dikarenakan larva tersebut dalam fase pertumbuhannya memerlukan salinitas yang lebih
rendah untuk berkembang menjadi ikan muda Mardjono et al. 1985. Penyebaran larva ini banyak ditentukan oleh angin dan arus, terutama arus pasang
surut serta ketika angin bertiup ke arah pantai. Muncul di pantai pada saat air mulai pasang atau mulai surut Kumagai 1984 in Watanabe 1986; Nontji 1986;
Mardjono et al. 1985; Suseno 1987; Mudjiman 1987.
2.3 Kualitas Lingkungan Perairan Habitat Larva Ikan Bandeng