Nontji 1986, menyatakan bahwa larva ikan bandeng yang muncul di perairan pesisir di Indonesia dikenal dengan sebutan nener. Larva ikan ini
umumnya ditemukan di perairan pesisir yang jernih, bebas pencemaran, masih dipengaruhi pasang surut, dan bersubsrat dasar pasir atau pasir dengan sedikit
berbatu terutama pantai berpasir yang mendapat suplai air tawar. Ini dikarenakan larva tersebut dalam fase pertumbuhannya memerlukan salinitas yang lebih
rendah untuk berkembang menjadi ikan muda Mardjono et al. 1985. Penyebaran larva ini banyak ditentukan oleh angin dan arus, terutama arus pasang
surut serta ketika angin bertiup ke arah pantai. Muncul di pantai pada saat air mulai pasang atau mulai surut Kumagai 1984 in Watanabe 1986; Nontji 1986;
Mardjono et al. 1985; Suseno 1987; Mudjiman 1987.
2.3 Kualitas Lingkungan Perairan Habitat Larva Ikan Bandeng
Faktor biofisik laut seperti, cahaya, suhu, salinitas, arus, pasang surut, dan ketersediaan makanan telah dipandang sebagai faktor abiotik dan biotik pada
ekosistem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses kelangsungan hidup biota laut termasuk larva ikan bandeng, seperti pertumbuhan dan distribusinya.
Menurut Lee et al. 1986, kelangsungan hidup survival larva ikan bandeng banyak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan habitatnya, seperti; 1 suhu, 2
oksigen terlarut, 3 salinitas, 4 kekeruhan, 4 intesitas cahaya, 5 densitas plankton, 6 fase bulan, 7 cuaca, dan 8 keberadaan ekosistem mangrove.
2.3.1 Suhu Permukaan Perairan
Suhu perairan terutama lapisan permukaan dipengaruhi oleh intensitas penyinaran matahari, arus permukaan, keadaan awan, up welling, divergensi dan
konvergensi terutama di sekitar estuari dan sepanjang garis pantai Hela and
Laevastu 1970. Suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, seperti; penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaman udara, dan kecepatan
angin. Oleh sebab itu, suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musim. Contohnya pada musim pancaroba, kecepatan tiupan angin biasanya lemah
sehingga permukaan laut tenang dan proses pemanasan sangat tinggi yang mengakibatkan suhu lapisan permukaan mencapai maksimum Nontji 1986.
Sulliva 1954 in Hayes and Laevastu 1982 menyatakan bahwa, pengaruh suhu terhadap ikan antara lain; 1 sebagai modifier proses metabolik kebutuhan
makan dan pertumbuhan, 2 sebagai modifier bagi aktivitas badan laju renang, dan 3 sebagai stimulus saraf. Dikatakan oleh Lee et al. 1986, ikan bandeng
dapat mentolerir kisaran suhu dari 10 C hingga 40
C, hidup sehat pada suhu 15
C hingga 30 C, dengan pertumbuhan optimal pada suhu 25
C hingga 30 C.
Hasil penelitian Villaluz and Unggai 1983 in Watanabe 1986 menemukan bahwa, pertumbuhan dan perkembangan larva ini cepat pada suhu 28.9
C hingga 35.2
C, sedang pada suhu 23.7 C hingga 28.9
C, dan lambat pada suhu 17.5 C
hingga 23.6 C.
Pengkonsentrasian makanan ikan sangat erat hubungannya dengan suhu, disamping beberapa faktor linkungan lain. Dengan mengetahui suhu optimum
suatu spesies ikan akan dapat digunakan untuk meramal daerah konsentrasi ikan, kelimpahan musiman, dan distribusi atau migrasi ikan Baskoro et al. 2004. Dari
studi kebiasaan makan juvenil milkfish yang diambil dari lagoons payau di Tarawa Selatan Kiribati oleh Luckstadt and Reiti 2002, dimana suhu perairan pada
pukul 06.00 adalah 27.2 C dan 35.2
C pada pukul 16.00, makanan yang ditemukan mendominasi isi perut juvenil milkfish di perairan tersebut adalah
Chlorophycea dan Cyanophycea yang merupakan jenis algae hijau bersel tunggal.
2.3.2 Salinitas