Pemerataan pendapatan yang terpilih sebagai variabel pengukur bagi kriteria pemerataan sosial, didefenisikan sebagai distribusi pendapatan. Untuk
kepentingan penelitian ini digunakan nilai Gini Rasio Indeks GRI Kota Jayapura, sebesar 0.23. Sebagai nilai CTV-nya digunakan nilai GRI untuk
distribusi pendapatan yang merata menurut kriteria Bank Dunia. Nilai GRI berkisar dari 0 hingga 1, dimana semakin mendekati 0 semakin bagus, demikian
sebaliknya Rosyidi 2005. Menurut Oshima in Rosyidi 2005, bila GRI mendekati 0.3 menunjukkan ketimpangan pemerataan pendapatan ringan, bila
mendekati 0.4 ketimpangan moderat atau sedang, dan bila mendekati 0.5 menunjukkan ketimpangan berat atau mutlak. Untuk kepentingan analisis ini,
dilakukan pembobotan terhadap nilai GRI, seperti terlihat pada Tabel 39. Tabel 39 Pembobotan nilai Gini Rasio Indeks GRI
Nilai GRI yang akan digunakan dalam analisis ini adalah nilai hasil pembobotan.
Bila bobot GRI Kota Jayapura sama atau lebih besar dari bobot CTV-nya, maka pemerataan pendapatan semakin bagus dan kondisi kedua kawasan pesisir tersebut
dapat menunjang keberlanjutan sosial pemanfaat sumberdaya larva tersebut.
5.3.3 Evaluasi Keberlanjutan
A. Keberlanjutan Biologi
1 Pengumpul Larva Ikan Bandeng
Tampilan diagram amoeba pada Gambar 32, menunjukkan hasil tangkapan
larva saat ini berada sangat jauh di bawah hasil tangkapan tahun 2004.
Selisih antara kedua nilai ini menunjukkan hasil tangkap larva saat ini berkurang sebanyak 311 092 ekor. Sesuai dengan batasan pengertian hasil
perbandingan antara nilai riil dan nilai CTV dari variabel ini, maka kondisi kedua kawasan pesisir tersebut tidak dapat menunjang keberlanjutan
keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng biologi yang berdampak pada ketidakberlanjutan usaha pengumpul.
No GRI Pembobotan Keterangan
1 0.5
Sangat berat 2 0.4
- 0.5 1
Berat 3 0.2
- 0.3 2
Sedang 4
0.0 - 0.1 3
Merata
1 Petambak Ikan Bandeng
Hasil tabulasi nilai riil total kebutuhan petambak setiap musim tanam dan nilai CTV-nya hasil tangkap tahun 2004 pada diagram amoeba
menunjukkan, total kebutuhan benih juga berada dibawah nilai CTV-nya. Namun demikian perbedaan antar keduanya tidak sebesar perbedaan
indikator ini pada pengumpul Gambar 33. Hal ini disebabkan petambak mempunyai daerah alternatif lain untuk menutupi kekurangan benih tambak
mereka, yaitu dari Makasar. Meskipun demikian dari sisi keberlanjutan biologi tetap tidak berkelanjutan dan berdampak pada ketidakberlanjutan
usaha mereka. Hal ini disebabkan, meski petambak memiliki sumber benih alternatif, produktivitas tambak mereka sangat bergantung pada benih lokal.
Ini dikarenakan larva tersebut lebih berkualitas dari sisi kecepatan pertumbuhan dan daya tahan terhadap penyakit.
2 Pedagang Pengumpul Ikan Bandeng
Kondisi keberlanjutan usaha pedagang ikan bandeng dari sisi biologi sama dengan kondisi pada analisis terhadap petambak Gambar 34. Hal ini
disebabkan kedua usaha ini memiliki keterkaitan erat dalam hal penyediaan bahan baku ikan bandeng untuk konsumsi pasar. Oleh sebab itu
ketidakberlanjutan usaha petambak juga berdampak pada ketidakberlanjutan usaha mereka.
B. Keberlanjutan Ekologi
Hasil tabulasi nilai riil dan nilai CTV dari variabel pengukur indikator ekologi luasan mangrove pada diagram amoeba dari ketiga pemanfaat
sumberdaya larva tersebut menunjukkan bahwa, nilai riil berada dibawa nilai CTV-nya. Terjadi penurunan luasan mangrove sebesar 51 Ha Gambar
32, 33, dan 34. Berdasarkan batasan pengertian hasil perbandingan nilai riil dan CTV dari variabel pengukur kriteria keberlanjutan ini, maka kondisi
kedua kawasan ini secara ekologi berdampak pada ketidakberlanjutan ketiga usaha ini. Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove di kedua kawasan
tersebut berperan penting sebagai daerah asuhan larva tersebut. Penurunan luasan ekosistem ini, berdampak pada penurunan fungsi ekologisnya untuk
mendukung kedua kawasan tersebut dalam menunjang kesehatan stok ikan bandeng dan pada akhirnya berdampak pada ketidakberlanjutan ketiga usaha
ini.
C. Keberlanjutan Ekonomi