Faktor yang mempengaruhi impulse buying

6. Prominent Store Display Display yang menonjol dari barang-barang tersebut diperlukan untuk meningkatkan kesempatan bagi konsumen melakukan impulse buying. Tampilan disini termasuk posisi peletakan rak, promosi dan kemasan yang menarik. 7. Short Product Life Fakta bahwa pembeli cenderung membeli barang yang memiliki jangka waktu kadarluarsa lebih lama dibandingkan kadaluarsa yang lebih singkat sehingga pembeli sering mengurangi kebutuhannya untuk merencanakan hal tersebut. 8. Small Size or Light Weight Berat atau ukuran adalah masalah yang berhubungan dengan barang yang mewajibkan pembeli untuk melakukan beberapa perencanaan khusus dan dengan demikian mengurangi impulse buying. Di sisi lain, kecil, ringan, barang yang mudah diangkut menjadi tidak masalah dan lebih memungkinkan pembeli untuk menjadi impulse buying. 9. Ease of Storage Masalah di mana pembelanja harus menempatkan barangnya di dalam rumah juga mempengaruhi impulse buying. Misalnya, pembelanja terdorong untuk membeli banyak es krim tetapi, dia tidak memiliki ruang untuk menyimpan dalam freezer. Sebaliknya, barang-barang yang tidak ada masalah penyimpanan lebih mungkin menjadi barang impuls. Jadi faktor yang mempengaruhi dalam penelitian ini adalah menurut Dawson dan Kim 2009 dimana component normative dan faktor demografis digunakan sebagai independent variabel IV dalam penelitian ini.

2.1.5 Perbedaan perilaku impulsif dan nonimpulsif

Perilaku impulse buying memiliki beberapa perbedaan dengan perilaku nonimpulsif. Menurut Rook dan Hock 1985, terdapat lima elemen penting yang membedakan perilaku konsumen impulsif dengan non impulsif yaitu: 1. Perilaku impulsif melibatkan keinginan tiba-tiba dan spontan untuk bertindak, mewakili perilaku sebelumnya yang sedang berlangsung, gagasan perubahan yang cepat dalam keadaan psikologis sesuai dengan representasi neurofisiologis, dimana dorongan digambarkan sesuai dengan gelombang perubahan aktif disepanjang serat saraf Wolman dalam Rook, 1985. Dengan cara yang sama bahwa impuls saraf memicu beberapa respon biologi, impuls psikologis dapat dilihat sebagai agen stimulasi didorong oleh proses mental sadar dan bawah sadar. 2. Dorongan tiba-tiba untuk melakukan suatu kegiatan belanja yang menempatkan konsumen dalam keadaan di sekuilibrium secara psikologis, dimana impulse buying dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan kendali untu sementara waktu. 3. Elemen yang ketiga dari impulse buying yaitu konflik psikologis dan perjuangan yang mungkin terjadi Thaler Sherin, dalam Rook, 1985. Freud dalam Rook, 1985 melihat impuls seperti pertarungan antara dua kekuatan yang bersaing, kesenangan dan prinsip realitas id dan superego. Konsumen ditarik didalam dua arah, dan harus mempertimbangkan manfaat dari kepuasan untuk segera melawan apapun konsekuensi jangka panjang yang mungkin diakibatkan. 4. Elemen yang keempat aspek-aspek yang membedakan pembelian impulsif adalah evaluasi kognitif mereka dari atribut produk. Sebagian besar perilaku yang dimunculkan ketika impulse buying ialah otomatis, aktifasi efektif tinggi, dan kontrol yang rendah saat keputusan membeli. 5. Akhirnya seseorang sering mengkonsumsi secara impulsif tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Indivdu hanya sedikit memikirkan konsekuensi dari perilakunya saat ini.

2.1.4 Pengukuran impulse buying

Seseorang memiliki tingkat impulse buying yang berbeda-beda, untuk mengetahui tingkat impulse buying pada seseorang dapat menggunakan skala impulse buying yang digunakan oleh skala Asugman dan Cote 1993. Sebelumnya Asugman dan Cote mengadaptasi skala afektif dari Larsen dan Diener yaitu Affect Intensity Measure Questionaire AIMQ 1993, skala kognisi dari Cacioppo, Petty dan Kao masing-masing dengan jumlah 18 item. Dari dua skala tersebut didapat 17 item yang sesuai untuk diklasifikasikan kedalam karakteristik dekriptif reactive buying 9 item dan reminder buying 8 item. Asugman dan Cote merevisi semua skala tersebut setelah mengujinya dengan Confirmatory Factor Analysis CFA. Dari hasil uji CFA terdapat delapan item yang valid, lima item mengukur reactive buying dan tiga item mengukur reminder buying. Selain itu Verplanken dan Herabadi 2001 mengukur impulse buying dengan menggunakan impulse buying tendency scale IBTS. IBTS terdiri dari 20 item yang mengukur dua apsek kognitif dan afektif. Aspek kognitif melihat mengenai kurangnya perencanaan dan kehati-hatian, sedangkan pada aspek afektifnya mengukur perasaan menyenangkan, kegairahan, tekanan, kontrol yang rendah dan rasa penyesalan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan oleh Verplanken dan Herabadi 2001, karena peneliti tidak membatasi jenis impulse buying yang dilakukan partisipan dan hanya melihat secara kognitif dan afektifnya saja.

2.2 Subjective Well-Being

2.2.1 Pengertian subjective well-being

Dalam hidup ini, kebahagiaan merupakan tujuan dari kehidupan. Kebahagiaan dapat merujuk ke banyak arti seperti rasa senang pleasure, kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna, atau bisa juga merasakan kebermaknaan contentment. Beberapa peneliti menulis kebahagiaan sebagai sinonim dari subjective well-being . Menurut Diener et.al. 2005 subjective well-being adalah evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya, yang mana evaluasi ini termasuk reaksi emosional terhadap peristiwa serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kehidupan. Dengan demikian, subjective well-being merupakan suatu konsep umum yang mencakup mengalami emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat suasana hati negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi. Pengalaman positif yang terkandung dalam kesejahteraan subjektif yang tinggi adalah konsep inti dari psikologi positif karena mereka membuat hidup mereka berharga. Meskipun subjectif well-being telah banyak dipelajari dalam psikologi, terdapat riset pemasaran yang relatif kecil pada subjectif well-being. Menurut Oropesa dalam David et.al., 2008 penelitian yang berfokus pada bagaimana perolehan barang material berhubungan dengan kepuasan kehidupan. Selain itu Penelitian sebelumnya yang dilakukan Deneve dan Cooper dalam David et.al., 2008 menunjukkan bahwa kepuasan hidup secara langsung berkaitan dengan pengaruh positif dan berbanding terbalik dengan pengaruh negatif. Pengaruh negatif terkait dengan neurotisisme dan pengaruh positif terkait dengan extraversion, keramahan, kesadaran dan keterbukaan terhadap pengalaman. Adapun teori yang digunakan untuk variabel subjectif well-being yang menjadi landasan penilitian yaitu teori yang digunakan oleh Diener et.al., 2005 menyatakan bahwa subjectif well-being adalah evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya, yang mana evaluasi ini termasuk reaksi emosional terhadap peristiwa serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kehidupan.