148 Buku Guru Kelas XII SMASMK
orang lain. Menghargai agama lain tidak berarti lalu kita merendahkan dan meremehkan keyakinan kita sendiri, melainkan menunjukkan
kesediaan kita untuk terbuka dan belajar dari siapapun juga. Orang yang bersedia menghargai agama lain tidak akan merasa terancam bila orang
lain menjalankan ibadahnya sesuai dengan perintah agama itu sendiri. Orang ini akan membuka diri dengan lapang untuk mendengarkan
pengalaman keagamaan dan rohani orang-orang yang beragama lain. Orang-orang ini tidak segan-segan terlibat dalam forum-forum dialog
antarumat beragama.
Paham Pluralisme Agama, Apakah Mungkin?
Di samping empat sikap yang telah dikemukakan di atas, ada banyak tokoh hubungan antaragama yang mempromosikan apa yang disebut
sebagai pluralisme agama. Pluralisme adalah suatu cara pandang dimana orang berupaya mencari titik temu bagi agama-agama. Pemikiran ini tidak
terlepas dari berbagai upaya dan reaksi atas tuntutan kerukunan antarumat beragama. Di zaman terakhir ini, ketika umat manusia menghadapi berbagai
permasalahan yang menyangkut kemanusiaan, keadilan serta perdamaian, maka tuntutan akan dialog dan kerja sama antar umat yang berbeda agama
untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan secara bersama-sama semakin menjadi kebutuhan yang tak dapat dihindari. Para pakar ilmu sosial
dan teologi agama-agama mengemukakan tiga sikap yang tampak dalam hubungan antarumat beragama:
1. Eksklusivisme adalah sikap yang memandang agamanya sendirilah yang
paling benar dan baik. Sementara itu, agama lain adalah agama yang tidak benar. Para penganut paham eksklusif sulit untuk berinteraksi dengan
penganut agama lain. Mereka cepat merasa curiga terhadap umat beragama lain. Mereka cenderung hanya bergaul dengan orang yang menganut agama,
bahkan juga teologi dan jalan berpikir, yang sama. Apabila semua agama menonjolkan klaim-klaim eksklusifnya, masih adakah kemungkinan bagi
umatnya untuk bekerja sama dengan orang lain dengan sepenuh hati?
2. Inklusivisme mengakui kepelbagaian agama-agama. Setiap orang
mengakui eksistensi agama dan penganut agama lain. Masing-masing saling menghormati kedaulatan serta ajarannya. Namun sikap inklusif
menyiratkan bahwa pada akhirnya keselamatan hanya terdapat dalam satu agama saja. Orang Kristen yang inklusif menyatakan bahwa keselamatan
hanya ada di dalam Yesus Kristus. Semua agama lainnya hanyalah embel-
Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri 149
embel belaka atau menjadi tahap persiapan bagi seseorang sebelum ia pada akhirnya mengenal “agama yang benar”. Tokoh yang paling terkenal
untuk pendekatan ini adalah Karl Rahner, seorang teolog Jerman yang mengatakan, “Kekristenan memahami dirinya sebagai agama yang
mutlak, yang dimaksudkan untuk semua orang. Ia tidak dapat mengakui agama lain manapun sebagai agama yang setara dengan dirinya.” Rahner
baca: Raner menyebut orang-orang bukan Kristen yang hidupnya baik, tulus, saleh, sebagai “orang Kristen yang anonim”. Artinya, mereka layak
disebut “Kristen” karena perilakunya yang baik, tetapi karena mereka tidak memeluk agama Kristen, mereka menjadi “Kristen anonim”. Pendekatan
ini menimbulkan masalah. Apakah orang-orang yang bukan Kristen itu rela disebut sebagai “Kristen anonim”? Apakah orang Kristen mau disebut
sebagai “Muslim anonim” oleh orang-orang Muslim karena perilakunya baik di mata mereka? Maukah mereka disebut sebagai “Hindu anonim” atau
“Buddhis anonim” dengan alasan yang sama? Dapatkah kita membangun kerukunan antarumat beragama dengan sikap seperti ini?
3. Pluralisme. Daniel S. Breslauer menyebut pluralisme sebagai: “Suatu
situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka
berbeda.” Dengan sikap pluralis, orang berupaya mencari titik temu bagi agama-agama. Titik temu bagi terciptanya dialog dan kerja sama adalah
kebersamaan setiap pemeluk agama dalam menghadapi serta memecahkan masalah-masalah kemanusiaan bersama.
Dalam pluralisme perbedaan antara agama-agama diakui , namun bukan untuk diadu domba melainkian dicari titik-titik perjumpaannya
yang diisi sikap saling menghargai dan kesatuan. Jadi, pada dasarnya pluralisme tidak menolak perbedaan, yang ditolak adalah membeda-
bedakan agama dan ajarannya yang berujung pada ketidakrukunan.
Pluralisme tidak berarti mempersamakan semua agama. Atau seperti yang sering dikatakan orang, “Semua agama itu sama saja.” Sebaliknya,
pluralisme mengakui bahwa agama-agama itu saling berbeda semuanya. Namun justru karena berbagai perbedaan yang ada itulah, kita didorong
untuk membangun jembatan penghubung untuk saling menolong, saling menghargai dan bekerja sama dalam kerukunan hidup. Misi dan dakwah
dilakukan bukan dengan tekanan atau paksaan. Bukan pula dengan menjelek-jelekkan agama lain, melainkan dengan kesaksian hidup yang
nyata dalam kesadaran akan keunikan agama masing-masing.