Eksklusivisme adalah sikap yang memandang agamanya sendirilah yang

Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri 149 embel belaka atau menjadi tahap persiapan bagi seseorang sebelum ia pada akhirnya mengenal “agama yang benar”. Tokoh yang paling terkenal untuk pendekatan ini adalah Karl Rahner, seorang teolog Jerman yang mengatakan, “Kekristenan memahami dirinya sebagai agama yang mutlak, yang dimaksudkan untuk semua orang. Ia tidak dapat mengakui agama lain manapun sebagai agama yang setara dengan dirinya.” Rahner baca: Raner menyebut orang-orang bukan Kristen yang hidupnya baik, tulus, saleh, sebagai “orang Kristen yang anonim”. Artinya, mereka layak disebut “Kristen” karena perilakunya yang baik, tetapi karena mereka tidak memeluk agama Kristen, mereka menjadi “Kristen anonim”. Pendekatan ini menimbulkan masalah. Apakah orang-orang yang bukan Kristen itu rela disebut sebagai “Kristen anonim”? Apakah orang Kristen mau disebut sebagai “Muslim anonim” oleh orang-orang Muslim karena perilakunya baik di mata mereka? Maukah mereka disebut sebagai “Hindu anonim” atau “Buddhis anonim” dengan alasan yang sama? Dapatkah kita membangun kerukunan antarumat beragama dengan sikap seperti ini?

3. Pluralisme. Daniel S. Breslauer menyebut pluralisme sebagai: “Suatu

situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda.” Dengan sikap pluralis, orang berupaya mencari titik temu bagi agama-agama. Titik temu bagi terciptanya dialog dan kerja sama adalah kebersamaan setiap pemeluk agama dalam menghadapi serta memecahkan masalah-masalah kemanusiaan bersama. Dalam pluralisme perbedaan antara agama-agama diakui , namun bukan untuk diadu domba melainkian dicari titik-titik perjumpaannya yang diisi sikap saling menghargai dan kesatuan. Jadi, pada dasarnya pluralisme tidak menolak perbedaan, yang ditolak adalah membeda- bedakan agama dan ajarannya yang berujung pada ketidakrukunan. Pluralisme tidak berarti mempersamakan semua agama. Atau seperti yang sering dikatakan orang, “Semua agama itu sama saja.” Sebaliknya, pluralisme mengakui bahwa agama-agama itu saling berbeda semuanya. Namun justru karena berbagai perbedaan yang ada itulah, kita didorong untuk membangun jembatan penghubung untuk saling menolong, saling menghargai dan bekerja sama dalam kerukunan hidup. Misi dan dakwah dilakukan bukan dengan tekanan atau paksaan. Bukan pula dengan menjelek-jelekkan agama lain, melainkan dengan kesaksian hidup yang nyata dalam kesadaran akan keunikan agama masing-masing.