Gereja dan Multikulturalisme Kelas 12 SMA Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti Guru 2

Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri 131 Hope S.Antone Pendidikan Kristiani Kontekstual, 2010 menulis bahwa dunia Alkitab ditandai oleh kemajemukan atau keanekaragaman budaya dan agama. Di zaman Abraham dipanggil di tanah Haran masyarakat amat beragam dan tiap suku memiliki pemahaman terhadap “Allahnya” sendiri. Demikian pula di tanah Kanaan di tempat di mana Abraham dan Sara hidup sebagai pendatang. Menurut Hope di tanah Kanaan setiap suku memiliki pandangannya sendiri terhadap yang Ilahi. Di tengah situasi seperti itulah Abraham dan Sara dan kemudian bangsa Israel membangun kepercayaannya terhadap Allah yang mereka sembah. Dalam konteks Yesus juga ditandai oleh keberagaman, Yesus tumbuh dalam tradisi iman komunitas-Nya, dalam tradisi agama Yahudi sendiri. Di zaman setelah Yesus, kekristenan tumbuh dan berakar dalam budaya Yahudi dan Yunani helenis. Menurut Wikipedia Indonesia, masyarakat multikultura adalah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, agama, pendidikan, ekonomi, politik, bahasa, dan lain-lain yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat, jadi ada unsur keberagaman. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Pada level teoritis, multikulturalisme merupakan sebuah wacana yang hangat diperdebatkan dikalangan ilsuf, sosiolog maupun psikolog, khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, selama kurang lebih tiga dekade. Secara umum para ahli ini terbagi dalam dua kubu pemikiran. Kubu pertama adalah mereka yang melihat multikulturalisme sebagai ideologi politis yang memiliki nilai-nilai positif. Adapun kelompok yang lain adalah mereka yang bersikap kritis bahkan ada yang cenderung antagonis terhadap ide multikulturalisme. Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, mulktikulturalisme bukan sekadar wacana ilsafat dan politik yang diperdebatkan di lingkungan akademik dan dituangkan dalam jurnal ilmiah. Multikulturalisme juga bukan sekadar pemikiran yang dituangkan dalam kebijakan. Lebih dari itu, multikulturalisme adalah perjumpaan orang dengan orang antarmanusia yang berasal dari berbagai latar belakang berbeda termasuk di dalamnya agama. Sebuah perjumpaan dan pergaulan yang menyenangkan, di mana perbedaan budaya dan lainnya dipahami, dialami, dan dihargai . Namun, ada saat ketika multikulturalisme dimasukkan ke dalam kontestesi politik dan dijadikan komoditi politik maka potensi konlik muncul. 132 Buku Guru Kelas XII SMASMK Hal ini terjadi misalnya dalam kampanye pemilu legislatif pemilu presiden dan wakil presiden. Isu ini dibangun untuk mengurangi elektabilitas calon dan untuk mempengaruhi para pemilih yang dengan mudah termakan oleh isu tersebut terutama di kalangan masyarakat yang masih memilih pemimpin berdasarkan agama. Namun masyarakat kini mulai berpikir rasional memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan integritas bukan berdasarkan agama atau suku. Meskipun demikian, tak dapat dihindari ketika multikultur dijadikan komoditi politik maka dapat menimbulkan potensi konlik secara horizontal antarmasyarakat. Hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan antarumat beragama, pada aras akar rumput atau rakyat jelata, nampak solidaritas dan kebersamaan namun situasi ini dapat saja berubah ketika perbedaan agama dijadikan komoditi politik. Dalam Kitab Efesus 2:11-21 Paulus menjelaskan mengenai dipersatukan dalam Kristus. Ia memfokuskan pembahasannya pada pekerjaan penebusan, rekonsiliasi dan merubuhkan tembok-tembok pemisah antarumat. Jadi, jika kita satu di dalam Kritus maka kita terlepas dari perbedaan suku, ras, budaya maupun status sosial ekonomi. Kegiatan tersebut sudah merubuhkan tembok pemisah dalam berbagai perbedaan, maka kita menjadi satu dalam Kristus. Sebagaimana Kristus telah menerima kita tanpa syarat maka kita pun wajib saling menerima satu dengan yang lain. Menjadi satu dalam Kristus memungkinkan gereja menjadi satu. Dalam Kitab Galatia 3:26-28, Paulus mengatakan kita memiliki identitas baru melalui Kristus. Tidak ada diskriminasi dalam Kristus, kita semua sama di hadapan Allah.

D. Multikulturalisme dan Sinkretisme

Konteks gereja-gereja Asia adalah kemajemukan di mana multikultur merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak dan diabaikan. Antoni S. Hope dengan mengutip seorang ahli Biblika dari Sri Lanka, Daniel hiagarajah yang mengatakan bahwa : “misi Allah adalah gerakan Allah melawat umat- Nya. Dalam dirinya sendiri misi gereja mengambil langkah baru untuk maju. Setiap pembicaraan manapun mengenai Allah yang secara autentik mengklaim bersifat Asia harus memperhatikan kompleksitas situasi di Asia di mana kita dipanggil untuk hidup, mewartakan dan merayakan iman kita. Berteologi tidak pernah dapat dilakukan dalam suatu ruang kosong, tetapi harus selalu dilakukan dalam hubungan dengan situasi hidup yang aktual. Oleh sebab itu, meskipun misi gereja adalah mission Dei atau misi Allah, namun tidak boleh terlepas dari konteks”. Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri 133 Misi Allah hendaknya ditempatkan dalam konteks masyarakat di mana gereja sebagai lembaga dan umat Allah ada dan hidup. Dalam kaitannya dengan pendapat tersebut, kita pernah mengalami masa-masa suram ketika para penginjil barat datang dengan superioritas budaya barat yang memberangus semua kekayaan budaya lokal yang ada di Indonesia. Ketakutan terhadap sinkretisme penyembahan berhala dan sikap superioritas telah melahirkan tindakan yang menurut mereka merupakan pembersihan terhadap sinkretisme dan upaya untuk “memurnikan” Injil. Bukankah para penginjil, para pemberita yang hidup di zaman Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru juga turut dibentuk oleh budaya setempat pada masa itu? Contohnya aturan mengenai kaum perempuan yang tidak boleh beribadah dengan rambut terurai dan harus menutupi kepalanya, 1 Timotius 2:8-15. Perempuan tidak boleh memimpin, menurut Barclay dipengaruhi oleh kebudayaan Yahudi yang memandang rendah kedudukan seorang perempuan, dan bahkan tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang. Artinya, Injil tidak terlepas dari konteks budaya. Oleh karena itu, sepakat dengan Daniel hiagarajah yang dikutip oleh Antone S.Hope di atas, bahwa misi Allah harus ditempatkan dalam konteks kehidupan setempat. Itulah yang tengah dikembangkan oleh gereja-gereja di Indonesia. Dibutuhkan upaya dan kerja keras dalam menjalankan misi Allah di tengah masyarakat multikultur dan membangun pemahaman multikulturalisme. Ada kekhawatiran seolah-olah jika gereja turut memperjuangkan multikulturalisme maka gereja jatuh ke dalam sinkretisme. Multikulturalisme bukanlah sinkretisme karena multikulturalisme tidak mengorbankan misi Allah. Bahkan melalui multikulturalisme misi Allah lebih dipertegas lagi, terutama ketika Allah mengatakan pada Abraham “karena Engkau maka segala bangsa di muka bumi akan diberkati”. Memperkuat pernyataan itu, kita dapat mengacu pada Kitab Efesus 2:11-21, Galatia 3:26-28 bahwa di dalam Yesus tidak ada orang Yahudi maupun orang Yunani, tidak ada budak maupun orang merdeka, kita semua adalah satu di dalam Yesus Kristus.

E. Belajar dari Yesus

Yesus menjadikan multikultur sebagai wacana perjumpaan antarmanusia yang dapat bergaul dan bekerja sama dalam kasih. Mengenai sikap Yesus, kita dapat mencatat beberapa pokok pikiran dari Hope S.Antone dalam kaitannya dengan multikulturalisme. Antara lain: • Kesetiaan Yesus ditujukan kepada Allah bukan kepada institusi maupun praktik agama yang sudah mapan. Konsekuensi dari sikap itu adalah Ia