Multikultur di Zaman Perjanjian Lama

130 Buku Guru Kelas XII SMASMK

2. Multikulturalisme di Zaman Perjanjian Baru

Budaya bangsa Israel di zaman Perjanjian Baru dipengaruhi oleh warna-warni budaya dari beberapa bangsa yang pernah menjajah Israel, seperti Persia, Yunani dan Romawi. Secara khusus, saat itu bangsa Israel yang tersebar di luar Yerusalem sebagai pusat aktivitas rohani- membawa mereka pada konsep eksklusivisme sebagai umat pilihan Allah. Pada zaman Tuhan Yesus, Dia membawa pemikiran baru tentang pentingnya inklusivisme. Yesus tidak menutup diri dari kemajemukan kebudayaan. Yesus tidak memandang latar belakang budaya, suku maupun ras, Ia berkenan menerima semua orang dalam pergaulan multikultural. Ketika seorang perempuan Kanaan hendak meminta tolong Matius 15:21-28 dan seorang Perwira Roma meminta kesembuhan Lukas 7:1-10, Yesus menjawab kebutuhan mereka dan menolong mereka. Ini menyatakan Yesus sendiri menghargai keberagaman dan perbedaan budaya. Dalam Perjanjian Baru, jemaat multikultural secara eksplisit dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 orang-orang yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai budaya yang berbeda mendengarkan khotbah Petrus. Pada waktu itu ada tiga ribu orang bertobat, dan mereka menjadi model gereja pertama. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi masalah antara jemaat yang berbudaya Yunani dan Yahudi. Perbedaan budaya antara Yahudi dan Yunani menimbulkan banyak persoalan dalam beberapa jemaat, seperti di Roma dan Korintus. Perpecahan dan perselisihan tersebut timbul hanya karena mengenai kebiasaan-kebiasaan jemaat 1 Korintus 11. Namun, Paulus menegaskan bahwa sekarang tidak ada lagi orang Yunani atau Yahudi, tidak ada orang bersunat maupun tidak bersunat, tidak ada budak atau orang merdeka. Semua orang sama di hadapan Allah, semua menjadi satu jemaat dimana kepalanya adalah Yesus Kristus.

C. Gereja dan Multikulturalisme

Multikultur bukanlah sesuatu yang asing bagi gereja-gereja di Asia pada umumnya dan gereja-gereja di Indonesia. Keberagaman suku, bangsa, budaya, adat istiadat serta berbagai kebiasaan telah turut mewarnai perjalanan gereja- gereja di Asia dan Indonesia. Menurut pakar sosiologi, tidak ada wilayah yang amat beragam seperti di Asia. Masyarakat Asia adalah masyarakat yang multikultur. Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri 131 Hope S.Antone Pendidikan Kristiani Kontekstual, 2010 menulis bahwa dunia Alkitab ditandai oleh kemajemukan atau keanekaragaman budaya dan agama. Di zaman Abraham dipanggil di tanah Haran masyarakat amat beragam dan tiap suku memiliki pemahaman terhadap “Allahnya” sendiri. Demikian pula di tanah Kanaan di tempat di mana Abraham dan Sara hidup sebagai pendatang. Menurut Hope di tanah Kanaan setiap suku memiliki pandangannya sendiri terhadap yang Ilahi. Di tengah situasi seperti itulah Abraham dan Sara dan kemudian bangsa Israel membangun kepercayaannya terhadap Allah yang mereka sembah. Dalam konteks Yesus juga ditandai oleh keberagaman, Yesus tumbuh dalam tradisi iman komunitas-Nya, dalam tradisi agama Yahudi sendiri. Di zaman setelah Yesus, kekristenan tumbuh dan berakar dalam budaya Yahudi dan Yunani helenis. Menurut Wikipedia Indonesia, masyarakat multikultura adalah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, agama, pendidikan, ekonomi, politik, bahasa, dan lain-lain yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat, jadi ada unsur keberagaman. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Pada level teoritis, multikulturalisme merupakan sebuah wacana yang hangat diperdebatkan dikalangan ilsuf, sosiolog maupun psikolog, khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, selama kurang lebih tiga dekade. Secara umum para ahli ini terbagi dalam dua kubu pemikiran. Kubu pertama adalah mereka yang melihat multikulturalisme sebagai ideologi politis yang memiliki nilai-nilai positif. Adapun kelompok yang lain adalah mereka yang bersikap kritis bahkan ada yang cenderung antagonis terhadap ide multikulturalisme. Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, mulktikulturalisme bukan sekadar wacana ilsafat dan politik yang diperdebatkan di lingkungan akademik dan dituangkan dalam jurnal ilmiah. Multikulturalisme juga bukan sekadar pemikiran yang dituangkan dalam kebijakan. Lebih dari itu, multikulturalisme adalah perjumpaan orang dengan orang antarmanusia yang berasal dari berbagai latar belakang berbeda termasuk di dalamnya agama. Sebuah perjumpaan dan pergaulan yang menyenangkan, di mana perbedaan budaya dan lainnya dipahami, dialami, dan dihargai . Namun, ada saat ketika multikulturalisme dimasukkan ke dalam kontestesi politik dan dijadikan komoditi politik maka potensi konlik muncul.