kerja keras peserta didik. Hal tersebut ditunjukkan dari perubahan sikap dan perilaku yang diperlihatkan oleh peserta didik pada indikator - indikator yang
mewakili karakter kerja keras.
4.2.2 Hasil Keterampilan Pemecahan Masalah
Selain bertujuan untuk membentuk karakter kerja keras, penelitian ini juga memiliki tujuan untuk membentuk keterampilan pemecahan masalah yang
ditunjukkan dari peningkatan aspek-aspek keterampilan pemecahan masalah subjek penelitian. Penilaian keterampilan tidak hanya didasarkan pada hasil akhir
pemecahan masalah melainkan diamati dari proses yang dilakukan subjek penelitian dalam memecahkan masalah. Wawancara juga dilakukan untuk
mengetahui keterampilan mereka dalam
menunjukkan langkah-langkah
pemecahanan masalah dan merangkum hasil pemecahan masalah sebagai pelengkap data hasil pengamatan.
Menurut Lenchner sebagaimana dikutip dalam Wardhani 2010: 36 kemampuan pemecahan masalah tidak dapat berkembang secara otomatis dari
penguasaan keterampilan berhitung, sehingga butuh usaha dari guru untuk mengajarkan keterampilan pemecahan masalah saat pembelajaran berlangsung.
Guru dalam penelitian ini memberikan pembelajaran keterampilan pemecahan masalah mencakup empat langkah strategi memecahkan masalah. Pembelajaran
tersebut dapat menjadi salah satu bentuk scaffolding, yaitu merupakan bantuan yang diberikan oleh guru untuk membantu peserta didik membangun
kemampuannya Kauchak, 1998: 273. Scaffolding merupakan dukungan yang diberikan oleh guru kepada peserta didik dalam menyelesaikan masalah yang
tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya. Scaffolding lebih banyak diberikan pada subjek penelitian pada rangking bawah, yang kemampuan
pemecahan masalahnya masih rendah. Pembelajaran keterampilan pemecahan masalah dilakukan setelah
pembahasan materi, yaitu pada saat mengerjakan contoh soal dan membahas hasil diskusi berpasangan. Ketika diberikan pada peserta didik dengan kemampuan
dasar yang masih rendah, maka pembelajaran ini merupakan salah satu bentuk scaffolding. Berikut ini merupakan usaha pembelajaran serta scaffolding yang
dilakukan guru untuk mengatasi kesulitan peserta didik dalam memecahkan masalah:
1. Pembelajaran memahami masalah
Secara umum S.A tidak memiliki kesulitan dalam memahami masalah, hanya pada masalah-masalah tertentu saja ia mengalami kebingungan. S.B
mengalami kesulitan dalam hal ketelitian mencermati informasi, begitu pula S.C yang mengalami kesulitan dalam menerjemahkan informasi dalam permasalahan.
S.D dan S.E mengalami kesulitan dalam hal kecermatan memahami soal, karena mereka terbiasa langsung mencoba mengerjakan soal tanpa memahami terlebih
dahulu masalah yang ditemui sehingga terkadang salah dalam menggunakan dan menafsirkan informasi yang diketahui. Peneliti menyimpulkan mengenai kesulitan
yang dialami oleh S.A, S.B, S.C dalam memahami masalah berhubungan dengan bahasa dalam masalah. Salah satu proses yang dapat dilakukan adalah dengan
mengidentifikasi kosa kata dalam masalah yang diberikan misalnya yang kurang dikenal dan yang bermakna ganda ambigu dari masalah. Istilah khusus dalam
matematika misalnya tegak lurus, kelipatan tidak untuk dihindari tetapi harus dimengerti dengan jelas oleh peserta didik, sehingga guru perlu memberikan
pengetahuan mengenai istilah-istilah tersebut. Kesulitan yang dialami S.D dan S.E dalam memahami masalah dapat di atasi dengan membiasakan peserta didik untuk
menuliskan jawaban dalam kalimat yang lengkap. 2.
Pembelajaran membuat rencana pemecahan masalah Setelah peserta didik dapat memahami masalah yang dihadapi, selanjutnya
mereka harus memutuskan rencana aksi pemecahan masalah yaitu dengan memilih strategi pemecahan masalah yang masuk akal. Strategi untuk
memecahkan masalah cukup banyak dan bervariasi, serta dapat digunakan secara sendiri-sendiri maupun digunakan dengan kombinasi. Berdasarkan pengamatan
dan hasil wawancara S.A, S.B, dan S.C telah dapat menyesuaikan penggunaan stategi untuk merencanakan pemecahan masalah, yaitu dengan menggunakan
berbagai macam strategi seperti membuat gambar, mengaitkan dengan masalah lain serta mencoba-coba. Sedangkan S.D dan S.E masih kurang dapat
menggunakan variasi strategi pemecahan masalah, mereka cenderung menggunakan cara yang itu-itu saja sehingga ketika diberikan permasalahan yang
baru mereka kesulitan dalam menentukan strategi apa yang cocok digunakan. Oleh karena itu kepada peserta didik perlu diberikan masalah-masalah yang luas
dan bervariasi sehingga mereka termasuk S.D dan S.E dapat mencoba strategi baru dan praktik menggunakannya. Hal tersebut juga dapat melatih mereka dalam
menerapkan strategi pemecahan masalah yang bervariasi. 3.
Pembelajaran melaksanakan rencana pemecahan masalah
Proses melaksanakan
rencana pemecahan
masalah seringkali
menghadapkan peserta didik dengan perhitungan aritmatika. Masih banyak peserta didik, termasuk kelima subjek penelitian yang melakukan kesalahan pada
perhitungan aritmatika. S.A, S.B, S.C, dan S.D sudah dapat menggunakan perumpamaan dan pemisalan dalam pemecahan masalah yang melibatkan operasi
aljabar, namun terkadang mereka masih melakukan kesalahan pada operasi bilangan pecah, operasi akar dan konversi satuan. Sedangkan S.E selain
mengalami kesulitan dalam penghitungan aritmatika seperti subjek lainnya, kecepatan menghitungnya juga masih lambat sehingga waktu hanya terbuang
untuk melakukan perhitungan. Ketika peserta didik mengalami hambatan dalam hal itu, guru berusaha mengingatkan peserta didik untuk mengecek pekerjaan
mereka pada setiap akhir langkah sebelum membuat kesimpulan. Bila peserta didik menjumpai strategi yang tidak efektif, guru menyarankan mereka untuk
mempertimbangkan pengubahan pemilihan stategi. Memberikan soal-soal yang melibatkan perhitungan yang kompleks juga digunakan untuk melatih
keterampilan berhitung untuk peserta didik yang keterampilan berhitungnya masih kurang seperti S.E.
4. Pembelajaran melihat mengecek kembali
Peserta didik seringkali percaya diri dengan apa yang telah dikerjakan ketika menemukan jawaban, apapun hasilnya. Mereka sering merasa tidak perlu
untuk melihat kembali apa yang telah mereka kerjakan. Hal ini juga terjadi pada kelima subjek penelitian, mereka hanya mengecek jawaban jika masih ada waktu.
Akibatnya terkadang mereka menghilangkan bagian penting dari proses
pemecahan masalah sehingga kadang-kadang jawaban mereka keliru atau memang jawaban itu yang dimaksud namun belum lengkap. Hal tersebut disikapi
guru dengan mendorong peserta didik untuk melihat kembali apakah jawaban yang diperoleh masuk akal, serta mendorong mereka untuk membuat cek akhir
terhadap kecermatan penghitungan. Jika terdapat waktu tersisa dalam pembelajaran dilakukan diskusi mengenai strategi yang digunakan oleh masing-
masing peserta didik yang bisa saja berbeda-beda. Pembahasan itu dapat digunakan untuk menentukan efisiensi dan kesederhanaan dalam menggunakan
strategi, serta dapat membimbing peserta didik menghubungkan masalah yang dihadapi dengan masalah yang telah dipecahkan sebelumnya.
Penerapan model pembelajaran TAPPS berbantuan kartu permasalahan juga dirancang sedemikian rupa sehingga kegiatannya dapat meningkatkan
keterampilan peserta didik dalam memecahkan masalah. Berikut ini merupakan matriks keterkatian antara penerapan model pembelajaran TAPPS berbantuan
kartu permasalahan dengan pengembangan keterampilan pemecahan masalah. Tabel 4.14 Keterkaitan Penerapan Model Pembelajaran TAPPS
Berbantuan Kartu Permasalahan dengan Keterampilan Pemecahan Masalah
No Indikator Keterampilan
Pemecahan Masalah Kekuatan Penerapan Model
Pembelajaran TAPPS Berbantuan
Kartu Permasalahan
1. Memahami pokok persoalan
Peserta didik
dibiasakan untuk
membacakan soal
dengan keras,
mencermati apa yang diketahui dan ditanyakan dan menuliskannya dengan
lengkap.
2. Mendiskusikan
alternatif pemecahannya
Peserta didik mengerjakan masalah dalam
kartu secara
berpasangan, problem solver dapat mengutarakan ide-
ide untuk
memecahkan masalah
sedangkan listener mencermati ide yang
No Indikator Keterampilan
Pemecahan Masalah Kekuatan Penerapan Model
Pembelajaran TAPPS Berbantuan
Kartu Permasalahan
disampaikan apakah dapat diaplikasikan untuk memecahkan masalah atau tidak.
3. Memecah
persoalan utama
menjadi bagian – bagian kecil
Problem solver menerangkan langkah- langkah pemecahan masalah dengan
memecah persoalan menjadi bagian- bagian kecil sehingga diketahui apa
yang harus dicari dengan urutan tertentu untuk memecahkan masalah.
4. Menyederhanakan persoalan
Peserta didik
mengerjakan soal
bervariasi sehingga
dapat melatih
keterampilannya dalam
membuat analogi serta representasi dalam bentuk
sketsa gambar untuk merencanakan pemecahan masalah.
5. Menggunakan pengalaman masa
lampau dan menggunakan intuisi untuk
menemukan alternatif
pemecahannya. Setiap awal pertemuan peserta didik
diberikan apresepsi mengenai materi yang
telah dipelajari
sebelumnya sehingga saat memecahkan masalah
mereka dapat mengaitkan dengan apa yang telah dipelajari untuk memilih
strategi dan rumus yang tepat.
6. Mencoba berbagai cara, bekerja
secara sistematis, mencatat apa yang terjadi, mengecek hasilnya
dengan
mengulang kembali
langkah – langkahnya
Ketika peserta didik diberikan suatu masalah mereka dibebaskan untuk
memilih strategi yang akan digunakan , membiasakan
menuliskan langkah-
langkahnya secara runtut, mengecek hasilnya, dan menarik kesimpulan dari
masalah. Selain itu dalam diskusi berpasangan peserta didik dituntut
untuk dapat mengutarakan langkah- langkah dan merangkum pemecahan
masalah dengan menggunakan kata- katanya sendiri.
Hasil pengamatan dan wawancara mengenai keterampilan pemecahan masalah menunjukkan bahwa secara umum kelima subjek penelitian mengalami
peningkatan dalam aspek-aspek keterampilan pemecahan masalah. Besarnya peningkatan tersebut dilihat berdasakan gain skor keterampilan pemecahan
masalah. Gain total penelitian juga dihitung dengan menjadikan skor pertemuan I sebagai skor awal dan skor pertemuan V sebagai skor akhir sehingga diketahui
peningkatan skor keterampilan pemecahan masalah dari awal sampai akhir penelitian. Gain keterampilan pemecahan masalah menunjukkan peningkatan
yang bervariasi antar subjek penelitian. Gain dari pertemuan I ke V untuk S.B, S.C, dan S.A bernilai 0,81; 0,94; dan 0,88 sehingga peningkatan keterampilan
pemecahan masalahnya termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan untuk S.D dan S.E gainnya bernilai 0,55 dan 0,67 sehingga peningkatan keterampilan pemecahan
masalahnya termasuk dalam kategori sedang. Berdasarkan besarnya gain dari pertemuan I ke V diperoleh rangking subjek penelitian yaitu S.B, S.C, S.A, S.E,
dan S.D. Jika dicermati berdasarkan rangking gain diketahui bahwa S.B dan S.C dapat melampaui S.A dalam hal peningkatan keterampilan. Fakta tersebut
disebabkan oleh skor S.B dan S.C pada pertemuan I masih lebih rendah daripada skor S.A, namun dalam perkembangannya S.B dan S.C mengalami peningkatan
yang teratur sehingga pada pertemuan V mereka dapat menyamai bahkan melampaui perolehan skor S.A. Demikian pula dengan S.E yang perolehan
gainnya lebih tinggi dari pada S.D. Hal ini disebabkan S.E menunjukkan peningkatan sehingga perolehan skor akhirnya dapat melampaui S.D.
Berdasarkan data tersebut, dapat dinyatakan bahwa pembelajaran matematika dengan penerapan model pembelajaran TAPPS berbantuan kartu
permasalahan pada materi luas dan keliling segiempat dapat membentuk keterampilan pemecahan masalah. Hal tersebut ditunjukkan dari peningkatan
aspek-aspek keterampilan pemecahan masalah subjek penelitian.
4.2.3 Hasil Kemampuan Pemecahan Masalah