commit to user 94
b Menguasai dan mampu memakai bahasa sasaran dengan baik dan efektif. c Mengetahui dan memahami susastra, apresiasi susastra, serta teori terjemahan.
d Mempunyai kepekaan terhadap karya susastra. e Memiliki keluwesan kognitif dan keluwesan sosiokultural.
f Memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.
2.2.8 Konsep Kesepadanan
Penerjemahan pada dasarnya merupakan pengalihan suatu pesan dan gaya bahasa suatu teks yang sepadan dari bahasa yang satu bahasa sumber ke bahasa
yang lain bahasa sasaran. Dengan kata lain bahwa kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah selalu ditujukan untuk mencari padanan yang optimal
dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Padanan yang optimal adalah tujuan akhir penerjemahan Zhu, 2004. Di dalam usaha mencari suatu padanan yang
optimal bukanlah hal yang mudah bagi penerjemah dan seringkali menimbulkan banyak masalah. Masalah-masalah tersebut sebagai akibat adanya perbedaan
gramatikal, semantik, dan sosiokultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Menurut Machali 2000, 106 kesepadanan bukanlah kesamaan. Hal ini karena
bahasa berbeda satu sama lain baik yang menyangkut bentuk maupun kaidah yang mengatur konstruksi gramatikal. Hal senada disampaikan oleh Bassnett 2002:37
bahwa kesepadanan equivalence di dalam penerjemahan seharusnya tidak disebut dengan kesamaan sameness karena kesamaan tidak dapat muncul
bersama antara dua bentuk Tsa dari teks yang sama, namun tetap berdiri sendiri antara Tsu dan Tsa. Sementara itu, Pym 2007:2 mengatakan bahwa teks bahasa
commit to user 95
sumber dan teks bahasa sasaran tidak bisa disebut berpadanan karena konsep terjemahan itu sendiri pada dasarnya secara budaya berbeda dan memiliki konsep
sendiri-sendiri. Lebih lanjut, menurut Nababan 2008 suatu kesepadanan penerjemahan
antara Tsa dengan Tsu sangatlah problematik, dalam arti bahwa kesepadanan mutlak sangatlah sulit dicapai. Hal ini karena tiga alasan, yaitu: tidak mungkin
suatu teks memiliki interpretasi yang konstan sama meskipun dari orang yang sama dalam kesempatan yang berbeda; penerjemahan merupakan interpretasi
subjektif dari penerjemah sama dengan pendapat William, 2001 ; dan tidak mungkin bagi seorang penerjemah untuk menentukan bagaimana tanggapan
pembaca terjemahan terhadap Tsu ketika Tsu tersebut pertama kali dibuat. Di dalam usaha mencari hubungan padanan ini, beberapa pakar penerjemahan
Catford 1974; House 1977:49; Newmark 1981; Nida and Taber 1982:200- 201; Bell 1991:6; Baker 1992:11-12; Vinay dan Darbelnet 1995:342;
Munday 2000; Jakobson 2000: 233 menyodorkan berbagai pendapat
mengenai konsep kepadanan dalam penerjemahan. Vinay and Darbelnet 1995:342 memandang kesepadanan sebagai suatu
prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan
Tsu. Menurut Vinay dan Darbelnet, apabila prosedur ini diterapkan dalam proses penerjemahan, prosedur tersebut mampu menjaga bentuk atau gaya dari Tsu ke
dalam Tsa. Oleh karena itu, kesepadanan tersebut merupakan metode yang sangat ideal di dalam menerjemahkan peribahasa, idiom, frase nominal atau sifat, dan
commit to user 96
juga onomatopi suara binatang. Lebih lanjut Vinay dan Darbelnet mengatakan penciptaan kesepadanan
muncul dari suatu situasi, yaitu situasi di dalam Tsu yang akan dicarikan solusinya atau padanannya oleh penerjemah. Di dalam mencari padanan ini,
penerjemah tidaklah cukup apabila hanya mencarikan padanannya melalui kamus atau glosari saja, namun juga harus mencari padanannya di dalam situasi atau
konteks yang sama atau dalam istilah mereka di sebut dengan full equivalents. Kesepadanan menurut Jakobson 2000: 233 adalah penggunaan sinonim
untuk mendapatkan makna dari Tsu hal yang sama juga disampaikan oleh Amstrong, 2005:44. Hal ini berarti bahwa di dalam penerjemahan tidak ada yang
namanya full equivalence antara fitur-fitur kebahasaaan di dalam Tsu dan Tsa. Di dalam konsep kesepadanan ini dapat dijelaskan bahwa penerjemahan melibatkan
dua pengalihan pesan yang sepadan di dalam dua fitur kebahasaan yang berbeda. Lebih lanjut Jakobson mengatakan bahwa dari sudut pandang gramatikal bahasa
pastilah berbeda satu sama lain, namun perbedaan tersebut tidak berarti bahwa penerjemahan tidak dapat dilakukan, atau dengan kata lain bahwa penerjemahan
tetap dapat dilakukan meskipun menghadapi masalah di dalam mencari padanan penerjemahan. Di dalam mencari padanan ini dapat dilakukan dengan cara
peminjaman kata loanwords, pergeseran semantik, atau penciptaan kata sendiri. Konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Jakobson ini dapat dijelaskan
bahwa di dalam hal-hal tertentu tidak ada kesepadanan literal untuk kata-kata atau kalimat tertentu atau khas di dalam Tsu dan oleh karena itu penerjemah harus
memilih atau mencari cara yang paling sesuai atau memungkinkan diterapkan
commit to user 97
pada Tsa. Di sini nampak bahwa ada kesamaan antara konsep kesepadanan Vinay dan Darbelnet dengan konsep Jakobson. Kedua konsep kesepadanan tersebut
menekankan bahwa apabila pendekatan linguistik sudah tidak lagi sesuai di dalam menerjemahkan, penerjemah harus mencari prosedur yang lain misalnya pinjaman
kata loanwords, pergeseran semantik, dan sebagainya. Kedua konsep tersebut menjelaskan keterbatasan teori linguistik dan menjelaskan bahwa penerjemahan
tetap dapat dilakukan karena masih terdapat cara-cara lain yang dapat dipilih oleh penerjemah.
Menurut Nida 1982:200-201 terdapat dua jenis kesepadanan, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan formal mengacu
pada kesepadanan maksimal pada kata atau frase bahasa sumber. Nida dan Taber memberikan kejelasan bahwa tidak selalu ada kesepadanan formal antara dua
bahasa. Oleh karena itu, Nida dan Taber menyarankan bahwa kesepadanan formal dipakai apabila penerjemahan bertujuan untuk mendapatkan kesepadanan yang
benar-benar formal daripada kesepadanan yang sifatnya dinamis. Penggunaan kesepadanan formal ini membawa implikasi yang cukup serius di dalam Tsa
karena penerjemahan tersebut tidak akan mudah dipahami oleh pembaca Fawcett, 1997. Nida dan Taber sendiri menyatakan bahwa kesepadanan formal pada
umumnya menyimpangkan pola gramatikal dan gaya dari bahasa sasaran, dan oleh karenanya juga menyimpangkan pesan atau makna yang disampaikan kepada
pembaca karena pembaca akan sangat sulit memahami pesan yang disampaikan. Kesepadanan dinamis mengacu pada prinsip penerjemahan bahwa
penerjemah berusaha mencari makna asli sedemikian rupa sehingga kata-kata di
commit to user 98
dalam Tsa akan membangkitkan pengaruh atau efek yang sama kepada pembaca sasaran sebagaimana pengaruh atau efek yang dibangkitkan Tsu terhadap
pembaca Tsu. Hal ini berarti bahwa bentuk atau gaya di dalam Tsu dapat diubah sepanjang perubahan tersebut mengacu pada konsistensi kontekstual dalam
pengalihannya. Konsep kesepadanan oleh Nida dan Taber ini menyiratkan secara jelas
bahwa kesepadanan dinamis lebih efektif Ibrahim, 2008:1 daripada kesepadanan formal karena hal ini dapat dipahami bahwa konteks atau situasi jauh lebih akurat
dan komunikatif daripada menggunakan pendekatan linguistik di dalam menerjemahkan, atau dengan kata lain kualitas pragmatik-semantik lebih
menjelaskan kesepadanan dalam penerjemahan daripada sekadar kesepadanan harfiah saja. Atau dalam pandangan Hatim dan Munday 2004:27 bahwa
kesepadanan formal hanya melibatkan pendeskripsian sistem kebahasaan saja langue dan bukannya perbandingan dan kesepadanan antara Tsu dan Tsa.
Newmark 1981 membedakan konsep kesepadanan antara kesepadanan semantik dan kesepadanan komunikatif. Sama halnya dengan konsep kesepadanan
dinamis yang diberikan oleh Nida dan Taber, kesepadanan komunikatif juga berusaha menciptakan efek terhadap pembaca Tsa yang sama dengan apa yang
diterima oleh pembaca Tsu. Munday 2000 menggambarkan konsep kesepadanan dalam lima jenis
kesepadanan, yaitu: 1 kesepadanan denotatif, yaitu yang berhubungan dengan kesepadanan ekstralinguistik suatu teks, 2 kesepadanan konotatif, yaitu yang
berhubungan dengan pilihan-pilihan leksikal, 3 kesepadanan teks-normatif, yaitu
commit to user 99
yang berhubungan dengan jenis-jenis teks, 4 kesepadanan pragmatik, atau kesepadanan komunikatif, yaitu kesepadanan yang ditujukan pada pembaca teks,
dan 5 kesepadanan formal, yaitu kesepadanan yang berhubungan dengan bentuk atau gaya suatu teks.
Konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Catford 1974 ini benar-benar berbeda dengan yang ditawarkan oleh Vinay dan Darbelnet, Jakobson, maupun
Nida dan Taber karena Catford lebih menekankan pada pendekatan yang berbasis linguistik dengan kontribusi terbesarnya di dalam terjemahan yaitu mengenai
pergeseran terjemahan translation shift. Gagasan mengenai pergeseran terjemahan tersebut pada dasarnya berawal dari perbedaan antara kesepadanan
formal dan kesepadanan tekstual. Di dalam terjemahan terikat rank-bound translation, kesepadanan dilakukan secara kata per kata atau morfem per morfem
di dalam Tsa. Sementara itu, di dalam terjemahan bebas unbounded translation, kesepadanan tidak terikat pada tataran tertentu, dalam arti bahwa kesepadanan
dapat ditemukan di dalam tingkat kalimat, klausa, ataupun tingkat yang lain. Oleh karena itu, menurut Catford bahwa kesepadanan formal selalu ada
antara Tsu dan Tsa dan memiliki konfigurasi yang sama di dalam tataran ranks Tsu dan Tsa. Salah satu masalah yang nyata di dalam kesepadanan formal adalah
meskipun bermanfaat di dalam perbandingan bahasa, namun tidak benar-benar sesuai di dalam memcari kesepadanan terjemahan antara Tsu dan Tsa. Sementara
itu, kesepadanan tekstual terjadi ketika teks di dalam bahasa sasaran diselaraskan supaya sepadan dengan teks yang ada di dalam bahasa sumber. Sejauh pergeseran
terjemahan dapat dilakukan, maka kesepadanan terjemahan dapat dilakukan.
commit to user 100
Dengan alasan ini, Catford membedakan pergeseran terjemahan dengan pergeseran tingkat level shifts dan pergeseran kategori category shifts.
Konsep kesepadanan Catford ini menuai banyak kritik. Salah satu kritik yang paling tajam berasal dari Snell-Hornby 1988:19-20, yaitu yang mengatakan
bahwa definisi kesepadanan tekstual Catford yang sangat bergantung pada faktor tekstual ‘benar-benar tidak cukup’ di dalam proses penerjemahan. Snell-Hornby
menyatakan bahwa proses penerjemahan tidak cukup hanya dengan pengurangan atau pergeseran pada tataran linguistik saja, namun masih ada faktor-faktor lain
yang perlu diperhatikan, yaitu aspek budaya dan konteks. House 1977:49 lebih menekankan pada kesepadanan semantik dan
pragmatik dan menyatakan bahwa Tsu dan Tsa seharusnya memiliki fungsi dan dimensi situasional yang sama. Jadi, apabila Tsu dan Tsa secara substansial
berbeda dimensi situasinya dan kemudian secara fungsinya tidak sepadan, maka terjemahan tersebut tidak memiliki kualitas terjemahan yang tinggi.
Sementara itu, Baker mengeksplorasi kesepadanan dalam berbagai tingkatan di dalam proses penerjemahan. Menurut Baker 1992:11-12,
kesepadanan dapat digolongkan ke dalam: a kesepadanan kata, yaitu kesepadanan antar kata, b kesepadanan gramatikal, yaitu mengacu pada
perbedaan-perbedaan kategori gramatikal bahasa sumber dengan bahasa sasaran, c kesepadanan tekstual, yaitu mengacu pada kesepadanan antara Tsu dan Tsa
dalam hal makna dan kohesinya, dan d kesepadanan pragmatik, yaitu mengacu pada implikatur dan strategi yang digunakan selama proses penerjemahan.
commit to user 101
Bell 1991:6 membagi kesepadanan berdasar sifat bahasa itu sendiri, yaitu sebagai struktur formal dan sebagai sistem komunikasi. Bahasa sebagai struktur
formal terdiri dari unsur-unsur yang dikombinasikan dan yang memiliki makna. Bahasa sebagai sistem komunikasi dalam arti bahwa bentuk-bentuk struktur
formal tersebut mengacu pada entitas dan disertai dengan sinyal-sinyal yang memiliki nilai komunikasi. Berdasarkan sifat bahasa ini kesepadanan terjemahan
dibedakan atas kesepadanan formal, yaitu kesepadanan yang bebas konteks, dan kesepadanan fungsional, yaitu kesepadanan yang berorientasi pada nilai-nilai
komunikasi teks. Dari beberapa konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh para pakar
tersebut, secara substansial dapat dilihat bahwa beberapa pakar lebih berfokus pada aspek linguistik dan beberapa pakar lain lebih pada fungsinya. Pernyataan
yang sama diungkapkan oleh Leonardi 2000:1 bahwa konsep kesepadanan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1 kelompok pakar penerjemahan
yang mendasarkan pada pendekatan linguistik di dalam upaya mencari kesepadanan di dalam menerjemahkan, 2 kelompok pakar penerjemahan yang
mendasarkan kesepadanan dengan melihat pada perbedaan aspek pragmatiksemantik, fungsi, dan budaya, dan 3 kelompok pakar penerjemahan
yang berdiri di tengah-tengah, yang menganggap bahwa penerjemahan dapat didasarkan pada pendekatan linguistik maupun dengan melihat pada perbedaan
aspek semantik dan budaya. Di dalam penelitian ini, konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Vinay
dan Darbelnet dan konsep kesepadanan oleh Jakobson digunakan sebagai
commit to user 102
landasan di dalam menentukan kesepadanan makna dan gaya. Kedua konsep tersebut dianggap mewakili dalam menentukan konsep kesepadanan di dalam
penelitian ini, yaitu bahwa kesepadanan adalah sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya
menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan Tsu. Di dalam mencari padanan ini, penerjemah tidaklah cukup apabila hanya mencarikan padanannya
melalui kamus atau glosari saja, namun juga harus mencari padanannya di dalam situasi atau konteks yang sama. Kedua konsep kesepadanan tersebut juga
menekankan bahwa apabila pendekatan linguistik sudah tidak lagi sesuai di dalam menerjemahkan, penerjemah harus mencari prosedur yang lain misalnya pinjaman
kata loanwords, pergeseran semantik, atau cara-cara lain yang dapat dipilih oleh penerjemah.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa karena adanya perbedaan gramatikal, semantik, dan sosio-kultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran,
maka diperlukan strategi pemecahan masalah padanan. Strategi tersebut dapat berupa penambahan informasi, pengurangan informasi, dan penyesuaian struktur
Newmark, 1988:85-91. Penambahan informasi adalah memasukkan informasi yang tidak ada dalam Tsu ke dalam Tsa. Informasi yang ditambahkan dapat
berupa informasi kultural, teknis, atau kebahasaan. Penghilangan informasi mengacu pada penghilangan isi dan bukan penyelarasan struktur untuk
menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Penyesuaian struktur mengacu pada perubahan atau pergeseran tatabahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
Tujuan penyesuaian struktur ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang
commit to user 103
sepadan makna dan gayanya. Sementara itu, menurut Aguardo 2005:294 strategi lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kesepadanan adalah dengan
menggunakan berbagai strategi menerjemahkan dengan memperhatikan pada tataran kata, kalimat, dan pertanyaan-pertanyaan pada makna-makna leksikal.
Namun demikian, karena tidak ada dua bahasa yang secara sistematis dan budaya sama, maka pergeseran tersebut: penambahan, penghilangan, dan
substitusi perlu dilakukan namun tidak dalam setiap kesempatan Riazi, 2008. Penerjemah perlu mempertimbangkan secara mendalam penggunaan gaya di
dalam Tsa. Apabila terdapat perbedaan yang sangat lebar antara dua bahasa, penerjemah dapat merubahnya ke dalam bentuk atau gaya yang sesuai di dalam
bahasa sasaran yang didasarkan pada suatu konteks yang melatarinya Pinto, 2001; House, 2001 dan juga tugas penerjemah perlu mengenali jenis-jenis teks
sebelum memulai menerjemahkan Nieminen, 2004.
2.2.9 Evaluasi Kualitas Terjemahan