Makna Literal dan Makna Figuratif

commit to user 38

2.2.3.2 Makna Literal dan Makna Figuratif

Pengertian makna literal dan makna figuratif pada dasarnya mengarah pada pembedaan di dalam sistem kebahasaan untuk menganalisis makna suatu bahasa. Contoh dari pembedaan makna di atas dapat dilihat di dalam kalimat berikut: The ground is thirsty. Kalimat ini memiliki makna berkias. Kata ground sendiri memiliki makna literal, namun kata ground atau tanah dapat dipahami bahwa ground itu tidaklah hidup, oleh karenanya ground tidak memerlukan minuman atau merasakan haus. Pembaca kalimat tersebut akan secara langsung menolak suatu interpretasi literal dan secara pasti akan menginterpretasikan bahwa kata-kata tersebut yang dimaksud adalah The ground is dry, suatu analogi yang mengarah pada kondisi yang menimbulkan rasa haus pada manusia atau binatang. Begitu pula di dalam contoh kalimat yang diucapkan sebagai berikut: “It’s raining cats and dogs”. Kalimat ini memiliki makna literal pada masing- masing katanya, namun bagi pendengar akan secara langsung menolak interpretasi literal tersebut karena dirasakan tidak sesuai, namun pendengar akan memilih interpretasi figuratif dari tuturan tersebut, yang dibantu oleh suatu konteks, bahwa yang dimaksud di dalam tuturan tersebut adalah kondisi atau keadaan hujan deras. Menurut Motsch Pasch 1987:35, makna harfiah ialah makna ujaran yang konteks ujarannya tidak membawa kepada penafsiran semula terhadap makna tertentu dari segi tatabahasa bagi kata atau ungkapan itu. Disini juga makna harfiah itu berada pada suatu konteks namun tidak dipengaruhi oleh konteks tersebut. Sementara itu, Searle 1979: 132 membuat perbedaan antara makna penutur, makna kalimat, dan makna harfiah. Menurut Searle, makna commit to user 39 harfiah berada dalam domain makna kalimat dan makna penutur bergantung pada makna kalimat. Searle mengungkapkan bahwa makna harfiah berada pada suatu konteks. Menurut Israel 2004:1, makna literal merupakan makna lugas dan termasuk ke dalam jenis makna yang paling sederhana, yang bersifat langsung, harfiah, dan menerapkan aturan tatabahasa sewajarnya ordinary rules of grammar, dalam arti bahwa makna leksikal tersebut tidak memerlukan penambahan imajinasi, inferensi, maupun gaya bahasa. Makna literal tersebut terletak di dalam kata itu sendiri. Sementara itu, Turner 1991:147 memberikan konsep pemahaman makna literal di dalam hubungan antara bahasa, pemikiran, dan realitas. Menurut Turner, makna leksikal mengabaikan peranan imajinasi di dalam konstruksi makna keseharian, berhubungan dengan suatu kebenaran dan pemikiran di satu sisi, dan bertentangan dengan kebohongan dan khayalan di sisi yang lain, sebagaimana yang dinyatakan sebagai berikut: The real world is exhaustively literal: literal language refers to it; literal concepts mirror the literal world; literal language evokes literal concepts... Separate from all this, so the folk theory runs, there are mental imaginative connections that are false; they are expressed in figurative, non-literal language or literally false language; we must transform the meaning of this language in order to arrive at interpretations of it that can be literal and true. Makna leksikal tersebut tidak secara tiba-tiba berdiri sendiri, namun keberadaannya tetap di dalam suatu kalimat atau paragraf, namun memiliki makna yang terbebas dari konteks atau tidak dipengaruhi oleh suatu konteks. Di dalam suatu tuturan yang panjang, misalnya di dalam sebuah novel, makna literal mungkin berupa suatu cerita narasi biasa saja, yang terbebas atau tidak memiliki asosiasi moral, politik, estetik, atau asosiasi simbolik lain yang ingin disampaikan. commit to user 40 Saeed 2000:15-17 menyatakan bahwa perbedaan antara makna literal dan makna figuratif dapat dilihat di dalam penggunaan bahasa yang literal dan non-literal. Penggunaan bahasa yang literal mengarah pada suatu keadaan, yaitu pembicara yang mengungkapkan tuturan secara netral dan secara faktual tepat, sedangkan penggunaan bahasa yang non-literal mengacu pada suatu keadaan, yaitu pembicara secara berlebih-lebihan menggambarkan sesuatu dengan istilah- istilah atau kata-kata yang tidak benar untrue dan tidak mungkin impossible yang tujuannya untuk mendapatkan efek khusus. Lebih lanjut, Saeed memberikan contoh sebagai berikut: a. I’m hungry. b. I’m starving. c. I could eat a horse. Di dalam contoh tersebut, bahwa pada kondisi atau keadaan lapar, pembicara mungkin secara literal akan mengungkapkan tuturan sebagaimana poin a, atau juga secara non-literal seperti pada poin b dan c. Di sini nampak bahwa di dalam penggunaan bahasa non-literal, pembicara menggeser makna suatu kata untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi yang baru. Pergeseran atau penyimpangan bentuk ungkapan bahasa ini, menurut Gorys Keraf 2002:113 disebut dengan gaya bahasa figures of speech, yaitu cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pengguna bahasa. Pemakaian dengan cara yang khas tersebut ditandai oleh adanya penyimpangan dari pemakaian bahasa lumrah. commit to user 41 Penggunaan gaya bahasa sering terjadi di dalam dunia sastra sebab kata- kata harfiah memiliki keterbatasan. Dengan mengandalkan makna harfiah semata dalam mendeskripsikan suatu objek atau ide, seorang pengarang akan menemui halangan. Dengan gaya bahasa seorang pengarang dapat memperkaya makna sehingga pengarang dapat menyampaikan pesan yang diinginkan secara lebih leluasa. Sementara itu, menurut Ratna 2009:164 figures of speech disebut juga dengan majas, yaitu pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Menurut Ratna, secara umum majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: a majas penegasan, b perbandingan, c pertentangan, d dan majas sindiran. Beberapa jenis majas dibedakan lagi menjadi subjenis lain sesuai dengan cirinya masing-masing. Secara tradisional bentuk-bentuk tersebut disebut dengan gaya bahasa. Namun demikian, di dalam perkembangan kontemporer, majas hanyalah bagian kecil dari gaya bahasa. Majas dengan demikian merupakan penunjang, unsur-unsur yang berfungsi untuk melengkapi gaya bahasa. Dengan kalimat lain, gaya bahasa jauh lebih luas daripada majas. Pada saat menganalis sebuah karya sastra, tidak terhitung jenis gaya bahasa yang timbul yang harus dibicarakan, seperti panjang pendeknya kalimat, tingkatan bahasa tinggi dan rendah, penggunaan kata-kata serapan, penggunaan kosakata daerah, dan sebagainya. Gaya bahasa juga meliputi cara-cara penyusunan struktur intrinsik secara keseluruhan, seperti: plot, tokoh, kejadian, dan sudut pandang. Tidak ada suatu pemahaman apa pun tanpa adanya commit to user 42 cara-cara tertentu yang berbeda. Demikian juga tidak ada karya sastra tertentu tanpa gaya bahasa tertentu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum dapat dipahami bahwa makna leksikal atau sering disebut dengan makna harfiah adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, makna apa adanya, atau makna kalimat yang bebas dari konteks yang melatarinya, sedangkan makna figuratif atau makna kiasan adalah makna bahasa berkias yang dapat menghidupkanmeningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Makna figuratif ini merujuk pada kata atau kelompok kata yang dilebih-lebihkan atau diubah makna sebenarnya yang dibantu oleh suatu konteks. Makna figuratif ini dapat berupa suatu metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdot, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, ataupun paradoks.

2.2.3.3 Jenis-jenis Makna dalam Penerjemahan