commit to user 86
yaitu penerjemahan yang mengacu pada penerjemahan karya susastra baik prosa maupun puisi.
Dengan melihat pada cakupan ranah yang luas dan penggunaan unsur- unsur yang kompleks dari pernyataan-pernyataan di atas, penerjemahan literer
atau penerjemahan karya susastra dianggap lebih sukar daripada penerjemahan nonliterer karena pada dasarnya karya susastra lebih bersifat ekspresi diri si
pengarang yang berpusat pada efek dan kesan yang ditimbulkan kepada para pembacanya, dan di dalam penerjemahan karya susastra tersebut, penerjemah
dituntut untuk menghasilkan padanan yang dinamis, yaitu padanan yang efeknya dirasakan oleh pembaca bahasa sasaran sebanding dengan efek yang dirasakan
oleh pembaca bahasa sasaran Nida dan Taber, 1974. Penerjemah di dalam karya susastra di samping harus menguasai bahasa sumber, bahasa sasaran, bidang ilmu
yang diterjemahkan, teori terjemahan, juga dituntut menguasai hal lain yang berhubungan dengan ilmu susastra, yaitu yang berupa pemahaman latar belakang
pengarang, gaya bahasa, gaya pengarang dalam menuangkan ide cerita, aspek- aspek budaya dalam karya, dan lain-lain.
2.2.6 Teori Polisistem
Even-Zohar 1997:9-45 di dalam model yang dikembangkannya, yaitu teori polisistem, melihat penerjemahan karya susastra sebagai bagian dari sistem
budaya, susastra, dan sejarah dari bahasa sasaran Munday, 2000:108. Karya susastra tidaklah dilihat sebagai karya yang dipelajari secara terpisah namun
sebagai bagian dari sistem susastra yang dinamis di dalam polisistem secara
commit to user 87
keseluruhan dengan menekankan bahwa penerjemahan karya susastra bekerja pada sistem: 1 bahasa sasaran memilih karya untuk penerjemahannya, dan
2 norma, tingkah laku, dan kebijakan penerjemahan dipengaruhi oleh sistem yang lain co-system.
Sebagaimana dinyatakan oleh Shuttleworth and Cowie dalam Munday, 2000: 109 bahwa: ”The polysystem is conceived as a heterogeneous, hierarchized
conglomerate or system of systems which interact to bring about an ongoing, dynamic process of evolution within the polysystem as a whole”. Pernyataan
tersebut mengandung dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu hirarki dan proses evolusi yang dinamis. Yang dimaksud dengan hirarki adalah mengacu pada
posisi dan interaksi dari strata yang berbeda dari polisistem. Bila posisi tertinggi diduduki oleh jenis karya susastra inovatif, maka strata yang lebih rendah
diduduki oleh jenis karya susastra konservatif, begitu pula sebaliknya. Proses evolusi yang dinamis menunjukkan bahwa hubungan antara sistem inovatif dan
konservatif suatu karya susastra tidaklah tetap atau statis, namun mungkin menempati posisi utama atau kedua di dalam polisistem. Bila karya susastra
terjemahan menempati posisi utama berarti bahwa karya susastra tersebut memberi pengaruh yang sangat kuat dalam polisistem dan sebaliknya bahwa
karya susastra yang menempati posisi kedua berarti bahwa karya susastra tersebut sangat lemah dan tidak memiliki pengaruh yang berarti.
Di dalam polisistem nampak bahwa posisi yang diduduki oleh karya terjemahan di dalam polisistem menentukan strategi penerjemahan. Apabila karya
terjemahan merupakan karya utama, penerjemah tidak akan merasa terbatasi
commit to user 88
untuk mengikuti model susastra sasaran dan lebih siap untuk berekspresi, dan penerjemah seringkali menghasilkan Tsa yang sangat sepadan atau berkecukupan
adequacy dengan bahasa sumber. Sebaliknya, bila karya terjemahan menempati posisi kedua, penerjemah cenderung menggunakan model budaya sasaran yang
sudah ada untuk Tsa dan menghasilkan penerjemahan yang tidak berkecukupan non-adequate.
Dengan dasar pada teori Even-Zohar, Toury 1995 mengembangkan suatu teori penerjemahan umum yang dikenal dengan Descriptive Translation Studies
dengan mengusulkan tiga fase metodologi, yaitu: a Menempatkan teks di dalam sistem budaya sasaran dengan melihat
kepentingan dan keberterimaannya. b Membandingkan Tsu dan Tsa, mengidentifikasi hubungan antara pasangan
segmen-segmen Tsu dan Tsa, dan berusaha memberikan generalisasi konsep penerjemahannya.
c Membuat gambaran pembuatan keputusan untuk penerjemahan berikutnya. Menilik pada metodologi di atas, tampak bahwa salah satu langkah
penting di dalam penerjemahan adalah kemungkinan pengulangan pada fase pertama dan fase kedua bagi pasangan teks yang sama lainnya untuk memperluas
dan membangun profile penerjemahan sesuai dengan jenis teks, pengarang, pembaca, dan sebagainya Pym, 2005:16-21. Dengan cara ini, norma-norma yang
menyinggung masing-masing jenis penerjemahan dapat diidentifikasi dengan tujuan akhir penetapan penerjemahan secara umum.
commit to user 89
2.2.7 Konsep Norma