Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa

commit to user 71 menganggap bahwa gagasan adalah suatu kekayaan intelektual seperti hak cipta atau paten.Terma organisasi maupun religi merujuk pada istilah-istilah suatu organisasi atau religi yang dapat berupa organisasi politik, sosial, negara, sekolah, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut seringkali memiliki istilah-istilah yang unik dan hanya dimiliki oleh anggota organisasi tersebut, misalnya, organisasi militer, yang memiliki istilah-istilah seperti junta, guinta, junte, mayor, dan sebagainya. Sementara itu, di dalam bahasa religi, juga diwujudkan dalam berbagai varian istilah atau ungkapan, misalnya Santa Claus, Saint Nicholas, Father Christmas, Kris Kringle, dan lain-lain. Sementara itu, istilah artistik merujuk pada suatu produk atau proses dari suatu unsur yang sedemikian rupa mempengaruhi makna, emosi, dan intelektualitas. Artistik mencakup berbagai wilayah kegiatan, kreasi, dan bentuk ekspresi manusia yang termasuk di dalamnya adalah musik, potografi, film, patung, lukisan, gedung seni, dan sebagainya.

2.2.4.3.4 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa

Di dalam penelitian ini, peneliti menegaskan bahwa gaya bahasa berbeda dengan gaya. Sebagaimana yang peneliti uraikan di dalam subbab 2.2.3.2 bahwa gaya adalah way of writing atau cara bagaimana penulis atau pengarang menyajikan sesuatu dalam bentuk tulisan, sedangkan gaya bahasa adalah cara bagaimana menyusun bahasa sehingga menimbulkan nuansa keindahan. Gaya digunakan sebagai suatu istilah yang menekankan pada bentuk tulisan dan membedakannya dengan isi tulisan. Cara penulis menyajikan tulisannya mungkin commit to user 72 saja menggunakan struktur kata atau kalimat yang kompleks atau sederhana, menggunakan istilah-istilah teknis atau budaya, menggunakan pemilihan partisipan dari beragam sudutpandang, ataupun juga menggunakan bahasa-bahasa figuratif atau gaya bahasa yang berbeda-beda. Dengan kata lain, gaya bahasa merupakan bagian dari gaya. Secara umum yang dimaksud dengan gaya bahasa adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal Ratna , 2009: 3. Di dalam karya susastra, gaya bahasa adalah cara penyusunan bahasa sehingga menimbulkan aspek estetis. Secara tradisional gaya bahasa disamakan dengan majas atau suatu kiasan yang digunakan penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Majas tersebut secara umum dibedakan menjadi empat macam, yaitu: majas penegasan, perbandingan, pertentangan, dan majas sindiran. Dilihat dari hakikat karya susastra secara keseluruhan, sebagai kualitas estetis, perbandingan dianggap sebagai majas yang paling penting sebab semua majas pada dasarnya memiliki ciri-ciri perbandingan. Metafora, sebagai salah satu bentuk majas, merupakan yang paling banyak dan paling sering di dalam memanfaatkan perbandingan, atau dengan kata lain, di antara semua majas, maka metaforalah yang paling penting. Menurut Wellek dan Warren 1989: 246 makna karya susastra justru terletak di dalam metafora yang berkaitan dengan perumpamaan secara umum karena di dalam susastra yang penting adalah citra yang ditampilkan dengan ciri khasnya yang estetis. Oleh karena itu, di dalam commit to user 73 penelitian ini, metafora menjadi objek kajian yang berhubungan dengan gaya bahasa. Metafora didefinisikan melalui dua pengertian, secara sempit dan luas. Pengertian secara sempit, metafora adalah majas seperti metonimia, hiperbola, personifikasi, dan sebagainya. Pengertian metafora secara luas meliputi semua bentuk kiasan, penggunaan bahasa yang dianggap menyimpang dari bahasa baku. Di dalam kaitannya dengan penciptaan citra atau kesan baru, metafora menurut Larson 1984: 246 dibagi menjadi dua kategori, yaitu metafora hidup dan metafora mati. Metafora hidup adalah metafora yang temporer atau serta-merta diciptakan oleh penulis atau pembicara untuk melukiskan sesuatu, yang seringkali penciptaannya dilakukan secara emosional. Misalnya, penggunaan bahasa ‘pisau tajam’, yang semula mengacu pada pengertian benda nyata kemudian menjadi ‘pikiran tajam’ untuk menunjukkan kejernihan, kedalaman, dan ketelitian seseorang dalam menganalisis suatu permasalahan, sama dengan kemampuan pisau tersebut. Pisau yang tajam atau benda-benda lain yang tajam tidak akan menghasilkan makna yang baru sebab makna tajam yang dimiliki oleh pisau sudah dianggap sebagai makna literal. Sebaliknya, pikiran tajam berhasil membangkitkan emosi sebab makna tajam itu sendiri sudah berada di dalam konteks yang baru. Dengan kata lain bahwa metafora hidup merupakan estetis yang memberikan kesan baru. Metafora hidup ini akan mudah dipahami apabila pembaca atau pendengar memberikan perhatian yang khusus terhadap perbandingan yang telah dibuat. commit to user 74 Metafora mati atau seringkali disebut dengan bahasa klise atau idiom merupakan metafora yang dibentuk dengan tidak lagi memikirkan pembanding makna dasarnya, namun langsung memikirkan pada makna idiomatis yang dibentuknya. Contoh dari metafora mati ini adalah leg of the table atau kaki meja. Penulis atau pembicara membentuk metafora ini dengan membandingkannya antara kaki meja dengan kaki manusia, namun penulis dan pembaca tidak lagi memikirkan kaki manusia ketika menggunakan tersebut. Metafora seperti kaki meja ini memiliki makna yang tetap atau tidak berubah. Jadi, makna metafora mati atau idiom tidak dapat diprediksi dari kata-kata yang membentuk idiom tersebut. Misalnya, if convicted, he will certainly get the hot seat, yang memiliki makna ‘hukuman mati’. Arti idiom tersebut sama sekali tidak dapat diprediksi dari kata-kata pembentuknya, yaitu hot dan seat. Larson 1984: 246 menyatakan bahwa idiom memiliki makna idiomatik yang juga disebut dengan non-literal meaning figurative meaning atau figure of speech, yaitu sebuah kata atau frase yang dipakai untuk menciptakan efek khusus dan dipakai bukan dalam arti yang sebenarnya. Idiom bisa merupakan kelompok kata atau frase, klausa, dan bahkan kalimat. Idiom termasuk ke dalam ungkapan figuratif yang terdapat di dalam semua bahasa dan makna dari idiom tersebut tidak bisa diprediksi dari kata-kata yang menyusunnya secara harfiah. Walaupun pengarang susastra melakukan penyimpangan struktur-struktur bahasa yang lazim dipakai, kenyataannya mereka tidak dapat melepaskan diri secara total akan konvensi susastra. Menurut Aminuddin 2009:44-46, konvensi commit to user 75 susastra tersebut secara umum dapat dilihat melalui penanda-penanda sebagai berikut: a Bahasa yang dipakai di dalam susastra adalah bahasa yang bersifat estetis, puitis, dan menyentuh rasa keindahan. Keindahan bahasa susastra tercipta lewat pendiksian yang tepat serta kompensasi bunyi yang serasi. Setiap novel pasti memenuhi penanda ini. b Karya susastra bersifat imajinatif atau fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat dari daya khayal kreatif. Karya susastra bersifat intuitif yang mengutamakan faktor rasa. Imajinasi merupakan wilayah khusus yang tidak perlu dicocok-cocokkan dengan kenyataan, walaupun sesuatu yang bersifat imajinatif tidak harus irasional. Sesuatu yang bersifat imajinatif boleh jadi terjadi dalam kehidupan nyata, karena bagaimanapun juga karya susastra merupakan refleksi kehidupan manusia. c Bahasa susastra bersifat konotatif dan multiinterpretasi. Bahasa susastra mempunyai banyak makna dan dapat ditafsirkan melalui berbagai macam aspek dan dimensi. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa karya susastra memang merupakan karya kreatif yang harus mampu menggugah kreativisme dan merangsang daya pikir. Jika seseorang berhasil menginterpretasikan ungkapan-ungkapan susastra yang rumit, maka dia tidak perlu mengklaim bahwa tafsirannyalah yang paling benar, karena penafsiran karya susastra terbuka terhadap banyak tafsir. Karya susastra selalu mempunyai berlapis- lapis makna dan karenanya selalu mengundang penafsiran makna-makna baru. Karya susastra bersifat dinamis. commit to user 76 d Bahasa susastra bersifat simbolis, asosiatif, sugestif, dan konotatif. Bahasa susastra mengungkapkan sesuatu dengan kiasan. Penggunaan bahasa kias dalam karya susastra bukan berarti pengarang sengaja membuat pembaca bingung, namun justru lebih mendorong pembaca untuk berfikir kreatif. Bahasa kias juga mencerminkan kehalusan perasaan pengarang dan daya asosiasi yang tinggi. e Tokoh-tokoh didalam karya susastra dilukiskan dengan karakter, pribadi, dan pencitraan diri yang kuat. Keberadaan tokoh-tokoh tersebut terasa hidup dan berada kuat di tengah-tengah kita. Setting dilukiskan dengan cermat dan hidup, sedangkan plotnya begitu memikat. Adanya setting dan plot memungkinkan para tokoh bias bergerak dengan leluasa untuk melahirkan konflik-konflik yang dramatis. Dengan mengacu pada konvensi di atas dan dengan mempertimbangkan gaya bahasa sebagai pemakaian bahasa secara khas, maka pemakaian bahasa yang khas dapat diidentifikasi dengan 1 secara teoretis, menemukan ciri-ciri pemakaian bahasa yang khas yang pada umumnya dilakukan dalam kaitannya dengan penelitian ilmiah, misalnya, pada saat menganalisis sebuah karya susastra, dan b secara praktis, melalui pengamatan langsung terhadap pemakaian bahasa sehari-hari, misalnya, melalui pemakaian berbagai perumpamaan Ratna, 2009:13. Namun demikian, dikaitkan dengan relevansinya sebagai kekhasan itu sendiri, bahasa yang diciptakan dengan sengaja, maka pemakaian bahasa yang khas pada umumnya dibatasi pada karya susastra. commit to user 77 Dominasi penggunaan bahasa yang khas ini di dalam karya susastra diakibatkan oleh beberapa hal sebagai berikut: a Karya susastra merupakan karya yang mementingkan unsur keindahan. b Karya susastra di dalam menyampaikan pesan menggunakan cara-cara tidak langsung, sepert refleksi, manifestasi, dan representasi. c Karya susastra adalah curahan emosi, bukan intelektual. Aspek keindahan, pesan tak langsung, dan hakikat emosional mengarahkan bahasa susastra pada bentuk penyajian terselubung dan bahkan sengaja disembunyikan. Ada suatu kesan bahwa untuk menemukan pesan di dalam karya susastra harus dilakukan melalui jalan yang panjang dan berbelok- belok. Jadi, karya susastra berbeda dengan karya ilmiah yang justru menghindari unsur estetis dan emosionalitas. Karya susastra juga berbeda dengan bahasa sehari-hari yang bersifat praktis dan cepat dimengerti. Penggunaan bahasa khas bukan dalam pengertian bahwa bahasa susastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiah. Tidak ada perbedaan prinsip seperti kosakata dan leksikal antara bahasa susastra, bahasa ilmiah, dan bahasa sehari-hari. Ciri khas dan perbedaannya diperoleh melalui proses pemilihan dan penyusunan kembali. Analog dengan kehidupan sehari-hari, gaya sebagai salah satu cara hidup di antara berbagai cara yang lain, gaya bahasa adalah masalah cara pemakaian yang khas, bukan bahasa khas yang berbeda dengan bahasa dalam kamus. Dengan kata lain, kekhasan yang dimaksudkan adalah kekhasan dalam proses seleksi, memanipulasi, dan mengombinasikan kata- kata. Pilihan-pilihan seperti itulah yang justru memegang peranan karena di dalam commit to user 78 proses tersebut terkandung kualitas proses kreatif, kemampuan imajinatif, dan kekuatan kata-kata. Sementara itu, Zuchridin 1982: 87-91 menegaskan bahwa kekhasan bahasa di dalam karya susastra adalah kekhasan dari sifat-sifat susastra itu sendiri, yaitu bahwa karya susastra selain memiliki unsur-unsur ekspresi, amanat, informasi, fiksi, juga bersifat individulisasi. Oleh karena kekhasannya tersebut, maka penggunaan bahasa di dalam karya susastra harus digunakan sebaik- baiknya. Bahasa yang digunakan harus sederhana, segar, tepat, dan hidup. Dengan melihat pada sifat kekhasan bahasa di dalam karya susastra, maka seorang penerjemah perlu atau harus dapat memberikan interpretasi dan apresiasi yang tepat terhadap karya terjemahan yang akan diterjemahkan.

2.2.5 Penerjemahan Novel