Kori Srimanganti Lor Arsitektur Bangunan dan Filosofi Keraton Surakarta

masing bangunan memiliki latar belakang sosial yang disesuaikan dengan status sosial pemilik rumah. Ronald 2005 menjelaskan bahwa bentuk bangunan rumah memiliki status sosial tersendiri, seperti rumah tipe Joglo merupakan rumah dengan pemilik berstatus sebagai bangsawan, rumah tipe Limasan dimiliki oleh masyarakat menengah dan bentuk kampung dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Masyarakat Jawa telah lama menggunakan kayu sebagai bahan baku dasar dalam pembuatan rumah. Arsitektur Jawa di Indonesia sebagian besar diterapkan pada bangunan rumah tinggal dan sebagian lain adalah pada bangunan peribadatan, monumen atau makam leluhur, pasar atau sejenis bangunan yang lekat sekali dengan kebutuhan sehari-hari suku bangsa Jawa. Bagi masyarakat Jawa, rumah atau tempat tinggal bukanlah sekedar tempat untuk berlindung dari segi fisik saja, namun juga merupakan suatu tempat yang dapat mengakomodasi kegiatan spiritual maupun ritual sesuai kepercayaan mereka. Masyarakat Jawa terkenal memiliki kepercayaan tersendiri dalam melakukan kegiatan, begitu juga dalam membangun sebuah rumah. Maka untuk mendirikan sebuah rumah, dilakukan perhitungan dimana akan diletakkan pintu, jendela dan sebagainya, tidak dilupakan diadakannya sesajen agar pembangunan rumah berjalan lancar. Bangunan tempat tinggal dengan konsep bangunan rumah adat Jawa tradisional Jawa hanya dimiliki oleh beberapa kalangan saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya proses globalisasi, maka banyak masyarakat yang tidak menggunakan konsep bangunan seperti ini lagi. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi dan juga lahan yang tersedia sudah sangat terbatas, karena bangunan dengan konsep rumah adat memerlukan lahan yang cukup luas.

4.1.3.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta

Ruang terbuka hijau di Keraton Surakarta dihiasi oleh tanaman-tanaman indah yang selain memiliki fungsi ekologis juga memiliki nilai simbolik. Ruang terbuka hijau di Keraton Surakarta terdiri dari Alun-alun lor utara, Alun-alun Kidul selatan dan juga halaman maupun pelataran yang berada di Keraton Surakarta beserta elemen-elemen penyusun ruang terbuka hijau tersebut.

1. Alun-alun Lor

Alun-alun Lor merupakan sebuah lahan terbuka dengan hamparan pasir. Saat ini Alun-alun Lor maupun Alun-alun Kidul Keraton Surakarta sudah dipenuhi oleh rumput hijau. Pada zaman dahulu, alun-alun merupakan suatu tempat yang sangat lapang dengan permukaan dihampari oleh pasir. Konon pasir yang menutupi lahan alun-alun merupakan pasir yang berasal dari Pantai Selatan Jawa. Pada siang hari, pasir akan menyerap panas, sehingga akan terpantulkan udara yang panas. Namun, pada malam hari pasir akan membawa udara yang sangat menyejukkan. Keadaaan siang dan malam tersebut melambangkan bahwa di dunia terdapat keadaan yang saling berlawanan yaitu ada hal baik dan juga hal buruk Nitinagoro, 2011. Nitinagoro 2011 menyatakan bahwa pada Alun-alun Lor terdapat beberapa pasang pohon beringin kembar. Pohon beringin yang memiliki tajuk yang besar dan rindang memiliki perlambangan sebagai pengayoman, kewibawaan dan kehidupan. Setiap pohon beringin yang ditanam memiliki julukan tersendiri, seperti pohon beringin yang berada pada pelataran Gapura Gladag yang bernama Wok yang artinya wanita dan Jenggot yang artinya pria. Kedua beringin tersebut merupakan simbol peringatan bahwa asal kehidupan diciptakan Allah melalui pria dan wanita ayah dan ibu. Sehingga, kedua pohon beringin ini merupakan lambang kesuburan. Dua pohon beringin kembar yang berada dibatas ruang Alun-alun Lor bagian selatan, yaitu pohon beringin Gung yang berarti tinggi ditanam di sebelah timur alun-alun dan pohon beringin Binatur yang berarti pendek ditanam di sebelah barat alun-alun. Kedua beringin ini memiliki arti bahwa Keraton Surakarta adalah duwur tan ngungkul-ngungkuli, andap tan keno kinungkulan tinggi yang tidak berlebihan dan rendah namun tidak boleh ada yang merendahkan. Terdapat dua buah beringin kembar yang terletak di tengah alun-alun. Beringin tersebut dibawa dari Keraton Kartasura. Kedua pohon beringin dipagari dengan pagar besi sehingga disebut sebagai beringin kurung. Beringin kurung memiliki filosofi tersendiri yaitu kesempurnaan hidup yang harus dicapai oleh manusia dan bahwa dalam kehidupan ini manusia selalu memilik batasan maupun kekurangan dan tidak dapat bertingkah-laku semaunya, hal ini dilambangkan