Keraton Kulon merupakan keraton baru yang dibangun oleh Sinuhun Pakubuwana X setelah mendengar ramalan runtuhnya Keraton Surakarta setelah
berumur 200 tahun. Keraton Kulon dibangun di sebelah barat gunung. Gunung yang dimaksud adalah timbunan tanah yang tinggi yang menyerupai gunung yang
ditanami oleh pepohonan sehingga menyerupai hutan. Keraton Kulon dibangun dengan arsitektur bergaya kolonial dengan pintu gerbang menghadap ke barat.
Setelah masa pemerintahan PB X berakhir, bangunan ini tidak ditempati lagi.
14. Kori Srimanganti Kidul
Kori Srimanganti Kidul berada di selatan Sasana Handrawina, yaitu timur Sasana Pustaka. Kori Srimanganti Kidul berpasangan dengan Kori Srimanganti
Lor. Kori Srimanganti Kidul berfungsi sebagai pintu masuk menuju keraton dari bagian selatan, namun saat ini sudah jarang digunakan karena saat ini pintu masuk
keraton hanya lewat pintu utara.
15. Kori Kamandungan Kidul
Kori Kamandungan Kidul berpasangan dengan Kori Kamandungan Lor dan memiliki fungsi yang sama sebagai pintu masuk menuju keraton, namun dari
arah selatan. Pada Kori Kamandungan Kidul tidak terdapat Bale Rata. Saat ini Kori Kamandhungan Kidul telah menjadi bagian dari Sekolah Dasar Kasatriyan.
Dengan keberadaan sekolah ini maka tertutup akses menuju keraton dari arah selatan.
16. Kori Brajanala Kidul
Kori Brajanala Kidul berpasangan dengan Kori Brajanala Lor. Kori Brajanala Kidul menghubungkan daerah Baluwarti dengan darah luar Baluwarti.
Kori Brajanala Kidul dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Kori Brajanala Kidul tidak ditemukan adanya bangsal seperti di bagian utara.
Gambar 14. Kori Brajanala Kidul
17. Setinggil Kidul
Setinggil Kidul memiliki bentuk bangunan yang sangat berbeda dengan Setinggil Lor. Setinggil Kidul hanyalah bangunan Jawa dengan pendapa besar
dikelilingi oleh pagar besi yang menghadap Alun-alun Kidul tanpa adanya pagelaran seperti Sasana Sumewa. Setinggil Kidul dikelilingi oleh Jalan Supit
Urang Kidul dan terdapat dua buah meriam yang menghiasi Maruti, 2003. Saat ini kondisi Setinggil Kidul sangat tidak terawat, rumput-rumput sekitar nya sudah
tinggi dan banyak sampah yang bertebaran. Pada Setinggil Kidul terdapat dua buah gerbong kereta bekas yang dahulu digunakan oleh pihak keraton. Setinggil
Kidul dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Setinggil Kidul
18. Gapura Gading
Gapura Gading merupakan pintu keluar dari keraton bagian selatan. Gapura Gading merupakan sebuah gapura berwarna kuning gading, sesuai
namanya, dan terdapat lambang Radya Laksana pada bagian atas gapura Maruti, 2003. Gapura gading menghubungkan keraton dengan Jalan Veteran.
Bangunan tradisional Jawa merupakan bangunan yang menjadi dasar pada bangunan-bangunan Keraton Surakarta. Tata ruang bangunan tradisional Jawa
Tengah terdiri dari lima bagian ruang yaitu Pendapa, Pringgitan, Griya Ageng, Gandok dan Pawon. Keraton Surakarta menggunakan konsep bangunan yang
sama dengan tata ruang bangunan tradisional Jawa. Analogi bangunan di Keraton Surakarta dengan bangunan rumah tradisional Jawa disajikan pada Gambar 16.
Pandapa merupakan bangunan yang terletak paling depan dengan sakatiang sebagai penopangnya, pandapa biasanya dilengkapi dengan atap berbentuk
limasan dan digunakan sebagai tempat berkumpul maupun tempat menerima
tamu. Pringgitan adalah ruang penghubung antara Pendapa dengan Griya Ageng yang merupakan pusat maupun inti dari kegiatan keluarga di rumah. Griya Ageng
terbagi menjadi dua, bagian depan memiliki luasan lebih besar dan digunakan untuk ruang berkumpul keluarga, sedangkan bagian belakang terdiri dari tiga
ruangan, yaitu Krobongan, Senthong Tengenkanan dan Senthong Kiwakiri Setiawan, 2000. Selanjutnya, Gendok yang berada di sisi kiri dan kanan Griya
Ageng yaitu ruang yang digunakan sebagai kamar anggota keluarga dan Pawon ruang yang letaknya paling belakang yang merupakan sebuah dapur.
Gambar 16. Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah adat Sumber : Setiawan 2000
Terdapat lima bentuk atap pada bangunan pokok rumah adat Jawa, yaitu Panggungpe, Kampung, Tajug , Limasan dan Joglo. Hal ini diterapkan pada
bentuk bangunan di Keraton Surakarta, raja tidak diperbolehkan mendirikan bangunan tempat tinggal dengan atap limasan atau joglo atau kampung, melainkan
dengan sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangunan limasan maupun joglo digunakan untuk bangunan pelengkap saja Setiawan, 2000. Masing-
masing bangunan memiliki latar belakang sosial yang disesuaikan dengan status sosial pemilik rumah. Ronald 2005 menjelaskan bahwa bentuk bangunan rumah
memiliki status sosial tersendiri, seperti rumah tipe Joglo merupakan rumah dengan pemilik berstatus sebagai bangsawan, rumah tipe Limasan dimiliki oleh
masyarakat menengah dan bentuk kampung dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Masyarakat Jawa telah lama menggunakan kayu sebagai bahan baku dasar dalam
pembuatan rumah. Arsitektur Jawa di Indonesia sebagian besar diterapkan pada bangunan
rumah tinggal dan sebagian lain adalah pada bangunan peribadatan, monumen atau makam leluhur, pasar atau sejenis bangunan yang lekat sekali dengan
kebutuhan sehari-hari suku bangsa Jawa. Bagi masyarakat Jawa, rumah atau tempat tinggal bukanlah sekedar tempat untuk berlindung dari segi fisik saja,
namun juga merupakan suatu tempat yang dapat mengakomodasi kegiatan spiritual maupun ritual sesuai kepercayaan mereka. Masyarakat Jawa terkenal
memiliki kepercayaan tersendiri dalam melakukan kegiatan, begitu juga dalam membangun sebuah rumah. Maka untuk mendirikan sebuah rumah, dilakukan
perhitungan dimana akan diletakkan pintu, jendela dan sebagainya, tidak dilupakan diadakannya sesajen agar pembangunan rumah berjalan lancar.
Bangunan tempat tinggal dengan konsep bangunan rumah adat Jawa tradisional Jawa hanya dimiliki oleh beberapa kalangan saja. Seiring dengan
perkembangan zaman dan adanya proses globalisasi, maka banyak masyarakat yang tidak menggunakan konsep bangunan seperti ini lagi. Hal ini dikarenakan
faktor ekonomi dan juga lahan yang tersedia sudah sangat terbatas, karena bangunan dengan konsep rumah adat memerlukan lahan yang cukup luas.
4.1.3.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta