Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta

Pemerintahan Hindia Belanda di Kota Solo memberikan pengaruh yang besar terhadap lanskap kota maupun kehidupan sosial masyarakat. Invasi kekuasaan barat di bawah pemerintahan Hindia-Belanda mengatur penataan kota menyerupai kota modern Eropa. Simbol-simbol masyarakat yang kapitalis diciptakan seperti adanya bangunan perkantoran, loji, balai kota, bank, benteng, gereja, jalur kereta api, stasiun maupun bangunan lain yang sebelumnya tidak dikenal Gunawan, 2010. Kota Solo yang secara geografis terletak di lembah dan tempuran sungai, sering sekali terjadi banjir. Maka pada awal tahun 1900 pihak Belanda, bersama- sama Kasunanan dan Mangkunegaran melakukan proyek besar penganggulangan bahaya banjir, baik berupa pembuatan kanal, pembuatan sungai baru atau pembuatan tanggul. Pada bagian utara kota, Kali Pepe dipotong oleh sungai baru, yang kemudian disebut sebagai Kali Anyar, sehingga air bah tidak memasuki kota melainkan dialirkan melalui luar kota, dan mengikuti Kali Anyar yang bermuara di Bengawan Solo. Pada bagian selatan kota, Kali Laweyan juga dipotong oleh sungai baru dan ditambahi dengan tanggul yang menuju Bengawan Solo, yang kemudian disebut sebagai Kali Tanggul, yang berfungsi menahan air bah dari Kali Laweyan. Sedangkan pada sisi timur kota, dibangun tanggul yang mendampingi Bengawan Solo, sehingga luapan air sungai ketika banjir tidak masuk kota Qomarun 2007. Pada awal abad 19 untuk pertama kalinya pemerintah Belanda berhasil melakukan politik ruang yang dikenal dengan istilah Wijkenstelsel, yaitu pembagian wilayah berdasarkan etnik tertentu yang diharuskan tinggal di perkampungan-perkampungan tertentu agar mudah diawasi dan tidak membahayakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Wilayah Chineesewijk untuk Bangsa Cina ditempatkan di utara Sungai Pepe dan disekitar Pasar Gedhe, wilayah Arabiswijk yaitu membentang dari timur Gladag hingga Pasar Kliwon untuk Bangsa Arab, wilayah Europeeschewijk untuk Bangsa Belanda terdapat di Loji Wetan, Jebres serta Banjarsari, dan selebihnya merupakan permukiman masyarakat pribumi. Sehingga tercipta budaya campuran yang unik di Solo. Morfologi perubahan pada Kota Surakarta sejak tahun 1500 hingga tahun 2000 disajikan pada Gambar 27. Keterangan : 1 Kampung Nusupan, 2 Bandar Kabanaran, 3 Kampung Arab, 4 Kampung China, 5 Kampung Betan, 6 Benteng Vastenberg, 7 Keraton Surakarta, 8 Kampung Eropa, 9 Pura Mangkunegaran, 10 Taman Sriwedari Gambar 27. Morfologi Kota Surakarta Tahun 1500-2000 Sumber : Qomarun et.al, 2007 Pada awal tahun 1900, Surakarta memiliki enam buah gapura utama sebagai pintu masuk kota dengan bentuk dan ciri yang sama. Gapura merupakan gerbang yang menghubungkan antara wilayah hinterland dan mancanegara dengan negaragung yang merupakan pusat kota Heins, 2004. Gapura didirikan pada tahun 1847 yang menghubungkan antara kota negaragung dengan kabupaten-kabupaten sekitarnya. Keraton Surakarta sebagai tempat tinggal keluarga raja dilengkapi oleh Gapura Gladag di utara dan Gapura Gading di selatan sebagai pintu masuk. Gapura lainnya yaitu Gapura Jurug, Gapura Kleco, Gapura Kandhang sapi dan Gapura Mojo Heins, 2004. Gapura pertama adalah Gapura Jurug yang merupakan penghubung dan pintu masuk bagi pendatang dari wilayah timur menuju kota. Saat ini Gapura Jurug menjadi pembatas kota dengan Kabupaten Karanganyar. Gapura Kleco merupakan salah satu gapura tertua dan terletak di sebelah barat kota berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Selanjutnya adalah Gapura Kandhang Sapi dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan dua gapura sebelumnya. Gapura Kandhang Sapi merupakan akses menuju kota dari utara, namun saat ini sudah dibangun rumah sakit Dr. Oen yang berdekatan dengan gapura, sehingga gapura menjadi tertutup oleh bangunan rumah sakit. Gapura Mojo merupakan gapura yang menjadi pintu masuk dari arah selatan. Kondisi gapura yang masih terjaga secara fisik menjadi landmark tersendiri bagi Kota Surakarta. Posisi masing- masing gapura sebagai pintu masuk menuju kota disajikan pada Gambar 28. Gambr 28. Tata Letak Gapura Keraton Surakarta Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia resmi merdeka dengan dicetuskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan maka Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta lebur menjadi suatu kesatuan bagian Republik Indonesia. Pihak Keraton Surakarta tidak memperoleh status ”Daerah Istimewa”. Sehingga sistem pemerintahan tidak lagi melibatkan pihak keraton maupun Mangkunegaran. Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Adipati Mangkunegaran Sri Mangkunegara VIII masih bertahta di keraton dan juga Pura Mangkunegaran, namun kekuasaannya hanya berbatas pada wilayah spiritual serta kebudayaan dan hanya meliputi kaum kerabat Maruti, 2004. Perkembangan Kota Surakarta terbagi menjadi dua yang dipisahkan oleh Jalan Slamet Riyadi Zaida, 2004. Pada selatan jalan yaitu wilayah yang berkembang lebih cepat dan dianggap sebagai pusat perekonomian karena banyak kegiatan ekonomi yang terjadi dengan banyaknya pasar dan perkantoran. Sedangkan pola pengunaan lahan pada bagian utara cenderung lebih modern dengan pembangunan sarana dan prasarana fisik kota seperti jaringan listrik, jaringan air maupun jaringan transportasi. Pada bagian utara Kota Surakarta terdapat banyak sarana pendidikan yang dimulai sejak jenjang taman kanak-kanak hingga universitas. Pada bagian utara kota terdapat lahan-lahan kosong sehingga banyak muncul pemukiman baru. Kalianyar yang dibangun pada tahun 1910 secara tidak langsung menjadi pembatas fisik kota Surakarta pada bagian utara. Pada bagian utara Kalianyar terdapat banyak lahan-lahan terbuka dan belum banyak dibangun fasilitas-fasillitas umum sehingga pada kawasan ini sangat sedikit kegiatan yang dilakukan masyarakat. Perkembangan Kota Surakarta diarahkan menuju tahap modernisasi, dibuktikan dengan bangunan-bangunan modern yang kontras dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Pada tahun 1988 terjadi kerusuhan besar di Surakarta yang menyebabkan banyak infrastruktur kota yang rusak. Setelah kerusuhan yang terjadi maka dalam beberapa waktu kemudian dilakukan pembangunan kembali dengan lebih memperhatikan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi gaya arsitektur pada Keraton Surakarta. Dengan demikian terbentuk wajah kota yang memiliki perpaduan antara arsitektur modern dengan arsitektur tradisional.

4.2.3 Persepsi Masyarakat terhadap Keraton Surakarta

Masyarakat merupakan komponen penting dari suatu kota. Masyarakat merupakan pelaku sejarah dan budaya dari suatu kawasan. Keinginan dan harapan dari masyarakat Kota Surakarta berperan penting guna kegiatan pelestarian kawasan, sehingga dilakukan penyebaran kuisioner terhadap 63 responden yang tersebar di seluruh penjuru Kota Surakarta. Responden yang didapatkan memiliki berbagai rentang usia, etnis dan perkerjaan. Hasil kuisioner diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat terhadap Keraton Surakarta dan seberapa penting elemen-elemen keraton untuk ditampilkan pada Kota Surakarta. Hasil kuisioner juga akan menjadi pertimbangan dalam menentukan tindakan pelestarian guna menciptakan Kota Surakarta yang beridentitas. Responden kuisioner tersebar dari lima kecamatan yang ada di Kota Surakarta, sebanyak 32 responden dari Kecamatan Laweyan, 16 dari Kecamatan Serengan, 19 dari Kecamatan Pasar Kliwon, 16 dari Kecamatan Jebres dan sebesar 17 dari Kecamatan Banjarsari. Sebagian besar responden telah bertempat tinggal do Kota Surakarta selama lebih dari 15 tahun. Masyarakat asli Surakarta merupakan saksi hidup perkembangan kota dari masa ke masa. Sebanyak 81 orang mengetahui sejarah Kota Surakarta. Kota Surakarta yang dikenal dengan slogan Kota Budaya, merupakan sebuah kota yang memiliki nilai budaya kuat. Hal ini dapat tercermin juga dari kegiatan sehari-hari masyarakat yang masih melakukan aktivitas budaya, seperti menggunakan bahasa jawa, busana tradisional bahkan masih melakukan upacara- upacara adat seperti dalam upacara pernikahan, kematian maupun upacara kelahiran. Sebanyak 40 masyarakat masih melakukan kegiatan tersebut. Kota Surakarta sebagai kota budaya dengan keberadaan Keraton Surakarta yang menjadi pusatnya, sebanyak 96.8 masyarakat meyakini bahwa Kota Surakarta memiliki budaya yang khas bila dibandingkan dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Selama responden bertempat tinggal di Kota Surakarta, mereka berpendapat bahwa Kota Surakarta telah banyak mengalami perubahan, sebagian beranggapan perubahan ini menjadi lebih nyaman 65 dan ada pula yang beranggapan perubahan ini menjadikan Kota Surakarta menjadi tidak nyaman lagi 35. Dari perubahan yang terjadi, perubahan yang paling dirasakan adalah pada lingkunganlanskap kawasan 49, sarana dan prasarana 16, jumlah penduduk 23 dan pada aktivitas wisata 12. Perubahan pada kota mengakibatkan suasana dan situasi yang ada saat ini juga mengalami perubahan, responden telah memberikan pendapat mengenai situasi lanskap kota saat ini. Karakter lanskap masa lalu sedikit banyak diketahui oleh responden. Pendapat masyarakat terhadap situasi lanskap saat ini dan karakter lanskap masa lalu disajikan pada Tabel 6. Tebel 6. Pendapat masyarakat terhadap Lanskap Kota Surakarta No Model Wawancara Frekuensi Orang Presentase 1 Situasi lanskap Kota Surakarta saat ini Indah 48 76 Unik 46 73 Menarik 42 Membanggakan 46 73 Bernilai budaya tinggi 54 86 Bernilai sejarah tinggi 45 71 Sesuai untuk wisata 44 70 Kelestarian terjaga 39 62 2 Kondisi lanskap masa lalu Mengetahui 22 35 3 Kondisi karakter budaya Kota Surakarta di masa lalu Mengetahui 31 49 4 Karakter budaya Kota Surakarta masa lalu Budaya Jawa secara umum 8 26 Budaya Jawa khas Surakarta 11 35 Budaya Keraton Surakarta 10 32 Budaya Eropa Budaya campuran Jawa dan Eropa 2 7 Pada saat ini karakter budaya pembentuk kota dapat dilihat dari kebiasaan hidup masyarakat 27,3, bangunan tradisional dan semimodern 25, dari aktivitas sehari-hari seperti berdagang 24,4 dan dapat dilihat dari kondisi alam 23,2 yang membentang di Kota Surakarta. Masyarakat memiliki beberapa pendapat mengenai Keraton Surakarta. Sebanyak 67 berpendapat bahwa keraton merupakan suatu situs cagar budaya, sebanyak 15 berpendapat bahwa keraton merupakan sumber kebudayaan bagi masyarakat Jawa, sebanyak 12 masyarakat menyatakan bahwa keraton merupakan cikal bakal dari Kota Surakarta dan sebesar 6 masyarakat berpendapat bahwa Keraton Surakarta adalah cerminan kejayaan kerajaan masa lampau. Namun, hanya sebesar 19 responden yang mengetahui mengenai konsep lanskap dari Keraton Surakarta. Elemen yang diketahui oleh masyarakat adalah pada ornamen, warna, vegetasi khas keraton yang berupa pohon beringin, model dan susunan bangunan. Perkembangan Kota Surakarta yang merupakan perkembangan dari keberadaan Keraton Surakarta juga dinyatakan harus mempertimbangkan mengenai keberadaan Keraton Surakarta dan hal ini juga sejalan dengan pendapat responden yaitu sebesar 81. Dengan perlu dipertimbangkannya keberadaan Keraton Surakarta maka dalam perkembangan Kota Surakarta sebesar 86 responden berpendapat bahwa perlu ditampilkan elemen-elemen lanskap Keraton Surakarta pada kota, seperti bentuk bangunan tradisional seperti atap joglo, motif dan ragam hias pada bangunan, ukiran-ukiran maupun kesenian tradisional Keraton Surakarta. Responden mengharapkan Kota Surakarta yang bersih, indah dan nyaman dengan tetap mengedepankan nilai-nilai budaya dan juga tata krama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat juga mengharapkan selama pembangunan kota selalu memperhatikan ciri khas dari nilai-nilai budaya yang sudah dimiliki, yaitu nilai budaya dari Keraton Surakarta, seperti dalam pembangunan bangunan-bangunan baru perlu diperhatikan nilai arsitektur bangunan kuno seperti rumah joglo, limasan dan lainnya. Dalam pembangunan Kota Surakarta selanjutnya harus diperhatikan kelestarian dari bangunan- bangunan kuno dan tidak meninggalkan budaya Keraton Surakarta.