Kota Surakarta TINJAUAN PUSTAKA

Keraton Surakarta memiliki konsep tata ruang yang khas dalam penataan ruang. Terdapat konsep simbolisme dan filosofi yang kuat pada Keraton Surakarta, sehingga terdapat suatu hirarki pada susunan bangunan-bangunan di Keraton Surakarta. Konsep simbolisme dan filosofi Keraton Surakarta juga ditemukan pada tata ruang luar yang terbagi menjadi empat kriteria, yaitu Alun- alun Lor, pelataran pelataran Setinggil Lor, pelataran kedathon dan Alun-alun Kidul Setiawan, 2000. Alun-alun yang terletak diutara merupakan simbol dari kehidupan di dunia dan alun-alun di selatan mencerminkan kematian. Lanskap keraton merupakan cerminan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Jawa. Taman-taman dan penataan ruang bahkan penanaman pepohonan mengikuti kepercayaan yang mereka percaya, seperti penanaman pohon sawo kecik dibelakang halaman Keraton Surakarta yang memiliki filosofi tersendiri. Filosofi sawo kecik identik dengan sarwo becik yang memiliki arti serba baik. Diharapkan yang menanam dan yang mempunyai tanaman ini dirumahnya akan selalu mendapatkan kebaikan Wukilarit 2010. Penetapan dan peletakan vegetasi pada kawasan keraton juga memiliki makna tersendiri seperti dua pohon beringin Ficus benjamina di bagian depan komplek alun-alun Keraton Surakarta yang melambangakan perlindungan dan keadilan.

2.4 Kota Surakarta

Kota Surakarta atau dikenal dengan kota Solo merupakan sebuah kota di Pulau Jawa yang menjadi sangat menarik karena keberadaan Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dengan konsep tata ruang yang memiliki ciri khas tersendiri mempengaruhi pembentukan wajah lanskap pada Kota Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta menjadi panutan masyarakat Surakarta dalam berbagai hal, baik dari kepercayaan mengenai filosofi kehidupan hingga paham-paham maupun ajaran yang dianut oleh keraton. Kota Surakarta merupakan sebuah kota yang tumbuh sebagai pusat pemerintahan kerajaan, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang mendukung fungsi komersial, industri, jasa dan sektor- sektor lainnya, layaknya sebuah kota modern Hadi,2001. Surakarta pada awalnya berkembang dengan konsep tata ruang tradisional mengalami perubahan menjadi kota kolonial dan pada akhirnya menjadi kota modern dengan tidak menghiraukan kembali konsep-konsep yang digunakan oleh Keraton Surakarta. Hadi 2001 menyatakan bahwa “Solo Lama” adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Dimana pasar-pasar tempat penduduk melakukan transaksi dalam nama-nama Jawa. Pola penyebaran pasar- pasar ini membentuk konfigurasi kota yang cenderung berkembang mengikuti pola grid. Kota Surakarta memiliki luas wilayah sebesar 4.404,06 Ha dan terbagi menjadi lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari. Dari lima kecamatan tersebut terdapat 51 kelurahan. Terjadi konflik penggunaan ruang di pusat kota antara usaha memanfaatkan ruang wilayah binaan antik guna mengejar nilai ekonomi tanah dan usaha konservasi budaya. Perkembangan kota yang pesat membawa serta perubahan budaya warga kota, jumlah kepadatan penduduk meningkat mempengaruhi pola penggunaan ruang pada kota Surakarta. Pemukiman penduduk cenderung bergeser keluar, sehingga muncul wilayah-wilayah desa-kota disekeliling Surakarta. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, Kota Surakarta terus mengalami perkembangan perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti perubahan ekologi kota, pertambahan penduduk, dan juga faktor eksternal yang secara langsung mempengaruhi perkembangan kota melalui kebijakan politik dan masuknya kekuatan kapitalis. Surakarta kemudian menampilkan bentuknya sebagai kota yang memadukan unsur-unsur tradisional dan modern Gunawan, 2010.

BAB III METODOLOGI